07 Oktober 2007

Pasangan yang se-Iman

1. Sebuah Kasus Ketika masih muda, Rut dikenal sebagai seorang Kristen yang saleh. Dalam percakapan dengan teman-temannya, dia sering menyatakan bahwa dia tidak akan mungkin menikah dengan seorang yang tidak percaya kepada Yesus Kristus. Namun dalam kenyataannya kemudian, Rut menikah dengan Ali, yang menganut agama lain. Rut tetap tekun ke gereja dan mengikuti persekutuan teman-teman lamanya. yang seiman. Nampaknya rumah tangga Rut bahagia. Teman-teman lama Rut mulai berpikir bahwa Tuhan tentunya memberkati rumah tangga Rut, betapa pun dia telah mendapat pasangan hidup yang tidak seiman. Bahkan beberapa temannya mulai beranggapan bahwa sesungguhnya merekalah yang telah berpikir sempit dan picik. Memasuki tahun kedua dari pernikahannya, teman-temannya mulai mendengar adanya masalah dalam rumah tangga Rut. Dalam pertemuan persekutuan dengan teman-temannya, Rut sering kali minta didoakan, sehubungan dengan masalah dalam rumah tangganya. Menjelang akhir tahun ketiga dari pernikahannya, Rut berpisah dan akhirnya bercerai dengan suaminya. 2. Kekudusan Menjelang saat-saat Yesus akan disalibkan, Dia berdoa dan meminta kepada BapaNya untuk memelihara para muridNya yang “masih ada di dalam dunia” (Yoh 17:11). Yesus tidak meminta agar BapaNya “megambil mereka dari dunia, tetapi supaya {BapaNya] melindungi mereka dari yang jahat” (Yoh 17:15). Dalam ayat 16 Yesus berkata: “Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia”. Ayat-ayat berikutnya (17-19) sangat penting diperhatikan: “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran . . . Sama seperti Engkau [Bapa/Tuhan] telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diriKu bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.” Pendek kata, orang-orang percaya harus hidup di dunia, tetapi mereka harus memisahkan diri dari hal-hal yang duniawi. Pemisahan yang dimaksud disini adalah kekudusan/kesucian itu sendiri. Apabila seseorang atau sesuatu dianggap suci/kudus, maka menurut konsep Alkitab ia dipisahkan untuk Allah. Dan justru disnilah masalahnya! Kekudusan/kesucian, yakni pemisahan, adalah pandangan dan/atau tindakan yang ditanggapi “sinis” di kalangan masyarakat kita. Kita rata-rata cenderung ber-komentar sinis: “Huh, sok suci bener!” Karena enggan di-komentar-i demikian, tanpa sadar kita pun hanyut dalam pola hidup “submissive” --- “Tidak apa-apa. Kok, khawatir banget?” Memang adalah kurang terpuji untuk menyalahkan, apalagi menghakimi teman-teman. Namun kalau kita akan mulai menjalin suatu hubungan pribadi dan intim (a.l. pacaran), maka kita harus berusaha agar kita tetap kudus. Kalau ini kita jadikan, paling tidak, semacam “rem” (yang jangan sampai “blong”), maka kita terpelihara dari kemungkina-kemungkinan menyedihkan, seperti yang dialami Rut dalam kasus yang dikisahkan di depan. Dalam 2 Kor 6:14 – 7:1 Paulus kembali mengingatkan pentingnya konsep dan upaya kekudusan yang telah disinggung di depan. Mengomentari anjuran Paulus tadi, William Barclay (1981:223) menulis: “Often it meant that a man had to give up family ties . . . However hard it may be, it will always remain true that there are certain things a man cannot do and be a Christian. There are certain things which every Christian must get out.” Memang benar juga bahwa dalam1 Kor 7:12-16 Paulus menyinggung masalah pernikahan campur. Di kalangan gereja Roma Katolik bagian ini dikenal sebagai privilegium Paulinium. Di sini Paulus menyampaikan pandangan pribadi-nya (ayat 12a), justru karena tak ada perintah yang pasti dan jelas dari Tuhan Yesus yang dapat dijadikan acuan atau rujukan. Sudah bisa diperkirakan bahwa mestinya ada warga jemaat di Korintus yang menentang pernikahan campur. Dalam kasus di mana telah terjadi pernikahan campur antara pasangan yang beriman dan yang tidak beriman, maka orang-orang ini, yakni para warga jemaat yang menentang tadi, mendorong agar pasangan tsb. bercerai saja. Untuk itulah Paulus menyampaikan pandangan pribadinya (artinya, bukan dari Tuhan Yesus! – ayat 12a): seyogianya jangan bercerai (ayat 12c dan 13b). Maksud Paulus sudah bisa diterka --- siapa tahu pernikahan campur tsb. bisa menjadi sarana dengan mana pasangan yang tidak seiman dimungkinkan mengenal Yesus Kristus dan akhirnya menjadi seorang beriman. Dengan itu menjadi jelas pula bahwa bagi Paulus, pekabaran/ pemasyhuran Injil (P.I.) dimulai dari lingkungan keluarga/rumah tangga. Cinta kasih dalam keluarga/rumah tangga dapat memimpin seseorang yang belum percaya untuk mengenal dan menghayati kasih karunia Allah di dalam dan melalui Yesus Kristus.
3. Mencintai dan Dicintai Cinta memang tidak bisa dibatasi-batasi atau dikotak-kotakkan. Sebagai manusia, setiap orang ingin dicintai dan mencintai. Juga kita perlu bergaul bahkan berteman dengan orang-orang lain. Namun kita hendaknya tetap berupaya untuk bertahan dalam kekudusan dan bukan menjadi “submissive” --- suatu sikap/perangai yang berpedoman: “tidak apa-apa, kok!” - - - o0o - - -
Kepustakaan Alkitab (Jakarta: LAI, 1992). Barclay, William, The Daily Study Bible, the Letters to the Corinthians (Edinburgh: St. Andrew, 1981). Becker, Verne et al., Muda-Mudi, Inilah Jawabnya, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2000) Brownlee, Malcolm, Hai Pemuda, Pilihlah! (Jakarta:BPK-GM, 2002). Cooke, Bernard (ed.), Perkawinan Kristen, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 1991). Go, Piet, Pokok-Pokok Soal Kawin Campur (Malang: Dioma, 1995). Shelton, Charles M., Moralitas Kaum Muda, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2000).

Tidak ada komentar: