07 Oktober 2007

Creationist atau Evolusionist?

Teman-teman, Ini saya sampaikan perenungan saya sambil jalan menelusuri lereng-lereng gunung menoreh - Jumat malam - dan diskusi bersama 2 orang saudara Muslim yang baru saja berbuka puasa untuk pembuatan pupuk organik.Kalau Anda tidak setuju dengan pandangan saya tidak apa-apa. Silakan lupakan saja. Salam damai dari Pegunungan Menoreh Yogyakarta
Totok

Kejadian 1: 1 – 251.
Pendahuluan
Bapak/Ibu/Sdr/ Sdri yang dikasihi oleh Tuhan Allah,Kejadian 1:1-25, menimbulkan perpecahan tajam dalam sejarah gereja. Baru-baru ini, termasuk di AS, pertentangan itu muncul kembali. Pertentangan antara Kaum Creationist dengan Evolutionist. Kaum Creationist percaya kebenaran Kej 1:1-25 secara leterlijk. Allah membuat bumi dalam 7 hari. Tidak boleh dikutik-kutik. Menurut mereka bumi ini statis. “Pokoke pathok bangkrong” … ya gitu deh … orang Jawa bilang. Sebaliknya Kaum Evolutionist percaya kebenaran teori evolusi dari ilmu pengetahuan. Bumi terbentuk melalui proses yang sangat panjang, jutaan tahun. Bumi itu dinamis. Berubah dari waktu ke waktu. Kedua kelompok saling melawan, menuding, dan menjelekkan, melalui mimbar gereja, brosur, buku, video, majalah, radio, dan televisi. Bagai perang antara Palestina dan Israel yang tidak pernah berakhir. Padahal mereka bersaudara. Kaum kreasionis mengatakan “Kaum evolusionis itu tidak alkitabiah, tidak beriman pada Tuhan, liberal, bidat, ateis”. Sedangkan kaum evolusionis mengatakan “Kaum kreasionis itu bodoh, tidak berpendidikan, tradisional”. 2. Inti percakapanSidang jemaat yang dikasihi Allah,Sesungguhnya, tidak perlu ada pertentangan atau dipertentangkan. Pertentangan mereka bagai membandingkan mana yang benar “pacul/cangkul atau arit/sabit?” Keduanya terbuat dari besi, kemudian dipande (ditempa), dan dibentuk menjadi pacul atau arit. Keduanya dibuat untuk tujuan yang berbeda. Jadi kita tidak dapat mengatakan mana yang benar. Keduanya benar. Alkitab, bukan buku ilmu pengetahuan. Alkitab adalah buku iman dari sebuah umat: beriman: Israel. Kejadian 1 adalah sebuah credo, pengakuan iman, dalam bentuk cerita. Alkitab adalah buku tentang karakter dan hakekat manusia yang sejati sebagai hamba Allah (Abdullah) dan wakil Allah (kalifatullah) di bumi. Sebaliknya ilmu pengetahuan menguraikan proses terjadinya bumi. Ilmu pengetahuan bukan buku iman. Ilmu pengetahuan bukan buku karakter manusia sebagai hamba dan wakil Allah; bagaimana seharusnya hidup menjadi manusia sejati di bumi. Sebenarnya Alkitab dan ilmu pengetahuan saling melengkapi. Bagai air yang kita minum dan nasi yang kita makan ketika makan siang.Cerita Alkitab dalam Kejadian 1 merupakan gambaran sederhana, yang dengan mudah dapat ditangkap oleh masyarakat zamannya. Cerita kontekstual. Orang dipersilakan menemukan sendiri maknanya yang terdalam dari cerita yang dituturkan. Dan memakainya sebagai pedoman hidup sehari-hari. Kejadian 1 tidak menggunakan bahasa wantah, melainkan bahasa susastra yang adiluhung. Kejadian 1 bukan ceramah ilmiah tentang proses terbentuknya bumi. Namun, bukan berarti omong kosong. Sebaliknya, bukan berarti, teori evolusi dapat dikesampingkan begitu saja. Lihat saja apa yang terjadi di sekitar kita. Gempa bumi di Bantul tahun yang lalu dan semua bencana alam yang lain merupakan bukti yang paling nyata bahwa bumi kita ini tidak statis. Makna pertama, terutama, dan terdalam dari Kejadian 1 adalah penyembahan kepada Tuhan Allah: ibadah pada hari ketujuh. Pada hari ketujuh orang harus berhenti dari segala macam aktifitas. Hari ketujuh adalah hari Sabtu. Bukan hari Minggu. Hari Minggu (Ahad) adalah hari 1. Kantor tutup pada Hari Sabtu. Almarhum ayah saya, sangat Calvinis. Ketika saya masih kecil, ayah tidak ke mana-mana pada hari Minggu. Bahkan sekedar mencari rumput untuk kambing pun diusahakan pada hari Sabtu. Apalagi ke ladang atau ke sawah, sama sekali tidak boleh. Dia sering menegur sesama orang Kristen yang pergi ke ladang pada hari Minggu. Pada hari Sabtu, orang Yahudi sembahyang berjamaah di sinagoge. “Tuhan Allah saja beristirahat pada hari ketujuh, mengapa kita tidak? Kemampuan kita terbatas. Kita harus mengakui keterbatasan kita. Oleh sebab itu, kita perlu beristirahat dan beribadah”. Itulah kata bijak almarhum ayah. Hari Minggu adalah saat yang saya tunggu-tunggu, bersama ayah dan Ibu pergi beribadah. Apalagi kalau almarhum ayah yang memimpin ibadah. Kotbahnya sederhana. Semua umur dapat memahaminya. It was straight to the point, pendek. Doanya juga pendek. Dia tidak mengulangi atau berkotbah lagi dalam atau mengkotbahi Tuhan dalam doa syaffat, seperti dilakukan oleh beberapa pemimpin ibadah masa kini. Seorang penatua jemaat 2 minggu yang lalu berbisik-bisik di samping saya “Pak ini namanya kotbah ketiga” di tengah doa syafaat. Kata almarhum ayahku “jangan mengkotbahi Tuhan dan jemaat dalam doa syafaatmu”. “Mengkotbahi Tuhan haram hukumnya” kata almarhum ayahku.Sebagai karya susastra yang selalu dibaca berulang-ulang dalam ibadah di sinagoge-sinagoge, kita dapat mengatakan bahwa Kejadian 1: 1 – 2 merupakan prolog “Pada mulanya …. “Kejadian 1: 3 – 31 merupakan dialog “Berfirmanlah Allah ….” Akhirnya, Kejadian 2: 1 – 3 merupakan epilog. Epilog tersebut merupakan proklamasi dan ajakan kepada umat betapa pentingnya istirahat dan beribadah. Orang Jawa bilang “liding dongeng” atau orang Inggris mengatakan “learning point” atau “lesson learned” atau “hikmah” dari cerita yang yang dituturkan. Itulah sebabnya, cerita Kejadian 1 dan Kitab Keluaran, khususnya tentang pembebasan dari perbudakan Mesir - selalu diulang-ulang dalam ibadah berjamaah orang Israel. YAHWE atau Allah memerdekakan, membebaskan, menyejahterakan, menteraturkan, menyelaraskan kehidupan.Makna kedua adalah bahwa “Tuhan Allah adalah pencipta yang menciptakan kesaling-tergantung an alam semesta, termasuk manusia. Seluruhnya menjadi sebuah eco-life system atau cakra manggilingan kehidupan. Meskipun berbeda-beda, semuanya tersusun rapi dalam sebuah sistem, bagai sebuah lingkaran. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara pengakuan iman dalam Kejadian 1 dan kerangka evolusi dalam ilmu pengetahuan. Keduanya memiliki makna yang sama. Hanya cara pengungkapannya yang berbeda. Karena tujuan dan komunitas pendengar dalam konteks yang berbeda. Keduanya menceritakan tentang keagungan Allah. Yang pertama melalui ceritera susastra sederhana tentang hasil akhir intervensi Allah atas situasi kekacauan “tohu wabohu”. Sedangkan kedua melalui analisis, observasi, explorasi, dan penelusuran proses terbentuknya bumi.Baik dalam buku iman maupun ilmu pengetahuan, antara manusia dan alam digambarkan saling terkait dan tergantung. Saling menghidupkan atau sebaliknya saling mematikan. Allah pemegang kendali, namun tidak fatalistic. Pengelolaan bumi diserahkan kepada manusia. Manusia adalah mandataris Allah di bumi. Manusia adalah kalifatullah di bumi. Keseimbangan harus dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. Kehadiran Allah menimbulkan tata tertib, kehidupan, keseimbangan. Begitu pula kehadiran kita. Tanpa usaha demikian, dunia menjadi malapetaka atau “tohu wabohu” kata bahasa Ibrani. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola bumi ini. Namun sayang manusia tidak jarang merusaknya. Kita boleh memakainya untuk kenikmatan dan kenyamanan kita, namun ada batasnya. Namun, kita beranggapan bahwa pengelolaan kita tanpa batas. Seolah-olah kekuasaan kita tanpa batas. Padahal seharusnya kita dapat mengatakan “sampai di sini saja”. Tidak boleh terus. Ada batas-batasnya. Kalau hari ketujuh ya beristirahat. Jangan kebablasan. Kalau keblabasan, berarti kita tidak menjaga diri. Kita merusak diri sendiri dan lingkungan alam kita. Ingat, kalau kita bekerja di sawah, tanah itu juga perlu istirahat. Mungkin tanah bosan akan kehadiran dan bau keringat kita. Kalau kita menebang hutan, kita juga perlu istirahat. Hutan perlu istirahat. Komputer, mobil, mesin yang kita gunakan perlu istirahat. Untuk menjaga keseimbangan. Itulah makna “pohon perbatasan” “pohon pengetahuan antara yang baik dan jahat”. Dengan menggunakan bahasa popular “itu adalah pohon apel di tengah Taman Firdaus”. Jangan makan. Jangan lewati batas itu. Bahaya. Anda hancur. Lingkungan alam juga akan hancur.Maaf, bagi para perokok juga ada batasnya, yakni di smoking areas. Batasnya tempat beribadah atau waktu beribadah. Kalau di gedung gereja ya tidak merokok. Kalau sedang bertugas sebagai penetua atau diaken, ya selesaikan dulu tugasnya. Nanti merokoknya. Jangan hanya ingin jadi penerima tamu saja, karena kalau jemaat sudah masuk semua, kan dapat merokok di luar. Kalau di keramaian, paling tidak meminta ijin orang di sebelahnya apakah Anda boleh merokok di sampingnya atau tidak. Jangan hantam krama. “Pasti semua orang mengijinkan merokok” kata hati Anda. Kan hak azasi manusia. Pembangunan rumah juga ada batasnya “tritisane aja ditibaake ing lemahing liyan”. Punya hajat, mantu, sunatan, memperbaiki rumah, dsbnya ada batasnya. Ada bulan baik. Ada bulan tidak baik. Biarkan para tetangga beristirahat memberi sumbangan. Menebang pohon ada batasnya. Menggali tambang, apa pun namanya ada batasnya. Memelihara hewan juga ada batasnya “ambune aja ngganggu tanggane”. Menghidupkan radio, menonton televisi “ya ana watese”. Dan sebagainya. Ingat televisi sendiri atau radio pun perlu beristirahat. Kalau kita tidak beristirahat, berarti kita melampaui kewenangan kita dan menyerobot kewenangan Tuhan Allah. Tuhan saja beristirahat, masak kita bablas terus. Beranak-pinak …. juga ada batasnya. Ingat P. Jawa dan bumi kita sudah penuh dan jenuh. Daya dukung bumi dan air di Jawa sudah di ambang batas. Oleh sebab itu, kita harus pintar mengatur jumlah anak. Apakah ada program KB dari BKKBN atau tidak. Ingat hubungan suami isteri juga ada batasnya. Ingat, kalau kita pacaran – ciuman juga ada batasnya, baik dari segi waktu atau tempat. Jangan cium pacar sembarangan. “Jangan main sosor aja” kata anak-anak saya.Kita bukan penguasa bumi dan manusia. Tuhan Allah-lah penguasa dan pemilik bumi. Zaman dulu nenek moyang kita, sangat berhati-hati kalau ingin menebang pohon. Napa sing nunggu pareng punapa boten nggih? Kalau boleh: kapan, hari, bulan, atau tahun apa? Sama kalau mincing ikan. Tidak setiap hari boleh mincing. Kini orang Jawa ilang jawane. Bras-bres. Orang Jawa kehilangan akarnya. Dan itu tidak jarang disebabkan oleh pemahaman teologi kita yang salah. Serba boleh. Seolah-olah sesuatu yang serba Jawa bertentangan dengan Alkitab atau teologia dari Eropa. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan, namun kita lupa menciptakan nilai-nilai baru sebagai pedoman dan tuntunan hidup bersama.3. PenutupSidang jemaat yang dikasihi Allah,Kini waktunya bagi gereja, jemaat, warga jemaat menggumuli dan menciptakan pedoman hidup sehari-hari yang memperhatikan kelestarian alam. Bagai mendirikan rumah di atas fondasi yang kukuh, sehingga tidak mudah roboh. Menciptakan tuntunan hidup sehari-hari sehingga secara bertanggungjawab ikut serta melestarikan bumi, memayu hayuning bawana. Bumi ini milik Allah yang dititipkan pada kita dan kita wariskan pada anak cucu kita.Persoalannya sesederhana harus memilih kreasionis atau evolusionis. kita harus memutuskan apa peran kita untuk ikut serta Tuhan Allah menyelamatkan bumi, baik gereja secara korporatif maupun warga secara perorangan. Bumi adalah tempat tinggal kita. Kita tidak dapat menyamakan diri sama dengan Allah. Memang tidak ada zat dari seorang manusia pun yang sama dengan zat Allah. Kesamaan Yesus Sang Kakak dan Putra Sulung dengan Allah bapanya adalah karakter: menyelamatkan bumi, alam lingkungan, dan manusia. Semoga kita mampu meneladani karakter Kak Yesus dalam kehidupan kita.Amin.

Tidak ada komentar: