07 Juli 2008

Y O H A N E S 1 7 : 2 0 – 2 6 (u/ 13 Jul pg)

Y O H A N E S 1 7 : 2 0 – 2 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Dimulai dengan perikop bacaan kita sekarang ini (Yoh 17:20 dst.), doa syafaat Tuhan Ye-
sus meluas menjangkau seantero dunia. Bagian pertama dari doaNya dibatasi untuk diriNya
saja dalam rangka menghadapi hukuman penyalibanNya. Sesudah itu Dia berdoa untuk para
muridNya agar Sang Bapa memelihara mereka. Lalu dalam penggalan/perikop bacaan kita
sekarang ini, Dia melihat ke masa depan dan ke tempat lain di luar Palestina dan berdoa juga
bagi mereka yang akan menerima kepercayaan Kristiani, sebagai hasil penginjilan dari para
murid dan pengikutNya.
Informasi: Here two great characteristics of Jesus are fully displayed. First, we see his complete
faith and his radiant certainty. At that moment his followers were few, but even with the
cross facing him, his confidence was unshaken, and he was praying for those who would
come to believe in his name. This passage should be specially precious to us, for it is
Jesus’ s prayer for us. Second, we see his confidence in his men. He knew that they did
not fully understand him; he knew that in a very short time they were going to abandon
him in his hour of sorest need. Yet to these very same men he looked with complete
confidence to spread his name throughout the world. Jesus never lost his faith in God or
his confidence in men [Sumber dan kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the
Gospel of John, Volume 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 217; huruf-hurf miring oleh NR].
Yesus berdoa untuk tiga perkara: (i) Dia berdoa agar para pengikutNya menjadi satu; (ii) Dia
berdoa untuk dunia agar menjadi sadar dan tanggap akan kasih Allah; dan (iii) Dia berdoa
untuk kelanjutan dan perampungan misiNya.
Informasi: This final section of Jesus’ prayer is a deeply moving one because it brings Jesus into
direct relationship with us. There are hints elsewhere of Jesus’ recognition that further
generations of believers would arise and express allegiance to him. Nowhere in the New
Testament, however, is that larger company (including the readers of this exposition!) so
clearly in Jesus’ direct vision as here. Jesus is poised between the conclusion of his
earthly task and the glory awaiting him at the Father’s side. . . . so Jesus gazes out
across the rolling centuries, the church of the Redeemer, gathered from every nation,
people, language and tribe. He is praying for us [Sumber dan kutipan dari Bruce Milne, The
Message of John (Leicester, England: IVP, 1993), p. 247].
2. Kesatuan
Rasanya tidaklah berkelebihan untuk beranggapan bahwa kesatuan orang-orang Kristen
merupakan pokok utama dari doa Yesus dalam perikop bacan kita sekarang ini (ayat 21, 22,
23). Ada tiga wajah kesatuan yang diketengahkan.
2.1. Kesatuan dengan Tuhan secara rohani (ayat 21, 26).
. . . Jesus prays that our unity would be like the perfect unity between the Father and the Son in
the Trinity. This is a reminder to us that our unity should be eternal and perfectly harmonious (as
God’s unity is).
But this analogy with the members of the Trinity is very important for another reason: it warns
us against thinking that union with Christ will ever swallow up our individual personalities. Even
though the Father, Son and Holy Spirit have perfect and eternal unity, yet they have distinct
persons. In the same way, even though we shall someday attain perfect unity with other
believers and with Christ, yet we shall forever remain distinct persons as well, with our own
individual gifts, abilities, interests, responsibilities, circles of personal relationships, preferences,
and desires [kutipan dari Wayne Gruden, Systematic Theology (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2000),
p. 844].
Kesatuan Roh sudah ada [ . . . Ef 2:14-16]. Tapi walaupun kesatuan Roh ini sudah ada, itu
merupakan suatu kesatuan yang rapuh, yang mudah dihancurkan. Karena itu dalam Efesus 4:2
kita diberitahu akan kualitas-kualitas yang diperlukan untuk itu [ . . . ].
Itulah maknanya disebut “kesatuan Roh”, bukan hanya pekerjaan Roh Kudus diperlukan untuk
membangun dan mempersatukan kita bersama, tapi “buah Roh” (Gal 5:22) juga diperlukan untuk
memelihara kesatuan itu. Perhatikanlah bahwa semua buah Roh itu merupakan nilai-nilai sosial
dan nilai-nilai bersama. “Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan,
kesetiaan, kelemah-lembutan dan penguasaan diri” merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam
suatu konteks jemaat [kutipan dari Michael Griffiths, Gereja dan Panggilannya Dewasa Ini, terj. (Jakarta:
BPK-GM, 1995), hlm. 52f.].
2.2. Kesatuan dalam persekutuan (ayat 23)
Di dalam pengakuan iman rasuli, kita bersama-sama mengakui “Gereja yang kudus dan am,
persekutuan orang kudus”. Berhubung dengan bunyi pengakuan iman yang demikian itu, maka
biasanya disebutkan, bahwa gereja memiliki tiga sifat: satu, kudus dan am. . . .
Di dalam rumusan yang asli tiada terdapat kata “satu”, tetapi dalam terjemahan memang
sering kata “satu” itu diselipkan. Berdasarkan doa Tuhan Yesus dalam Yoh 17:21: “Supaya
semuanya menjadi satu”, kita memang biasa mengakui adanya satu gereja. Pengakuan ini
menunjukkan, bahwa gereja yang banyak di dunia ini dipersatukan menjadi satu tubuh, yaitu
tubuh Kristus. Adapun yang menjadi dasar kesatuan gereja adalah karya penyelamatan Kristus.
Di kayu salib segala sesuatu dijadikan satu. . . . Kesatuan di dalam Kristus ini memang hanya
dapat dilihat di dalam iman. Oleh karena itu maka “gereja yang satu” tadi adalah suatu peng-
akuan iman [kutipan dari H. Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK-GM, 1973), hlm. 319].
Gagasan kesatuan sangat penting mengingat Yohanes 17:22 (“supaya mereka menjadi satu,
sama seperti Kita adalah satu”), yang pasti mendukung gagasan mengenai akan adanya suatu
perhimpunan orang percaya. Namun, penting untuk mengamati bahwa kesatuan yang dimaksud
di sini bukanlah kesatuan secara organisasi, tetapi kesatuan organis (dalam satu tubuh). [Catatan:
Kesatuan yang dimaksud di sini pasti lebih daripada kesatuan rohani saja. Kesatuan itu harus
cukup jelas kelihatan sehingga dunia ditantang untuk percaya kepada Yesus] [kutipan dari Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 44].

2.3. Kesatuan dalam misi terhadap dunia (ayat 21, 23)
Doa Yesus dalam Yohanes 17 menjelaskan maksud Yesus bagi kelompok murid-murid-Nya.
Terdapat bukti yang kuat bahwa Yesus memandang ke depan pada kesinambungan misi-Nya
melalui murid-murid itu. Kata-kata dalam Yohanes 17:18 khususnya membandingkan misi yang
diberikan kepada Anak dengan misi yang diberikan kepada murid-murid (“Sama seperti . . . “).
Murid-murid sebagai suatu kelompok ditugaskan untuk melanjutkan tugas misi. Mereka tidak
dapat mencapai tugas itu bila mereka bekerja sendiri-sendiri. Penekanan pada kesatuan dalam
Yohanes 17 memperlihatkan betapa diperlukannya perhimpunan yang bersifat lembaga untuk
kesinambungan misi Yesus. Tujuan bersama dari semua murid sangat membantu untuk mem-
buat perasaan kesatuan [kutipan dari Ibid., hlm. 47].
3. Mengapa dan Untuk Apa?
Mengapa orang-orang percaya perlu bersatu? Karena Yesus dan Sang Bapa adalah satu.
Ini harus dicerminkan oleh para murid Yesus melalui kesatuan/persatuan mereka. Nasihat
Paulus dalam Gal 5:15 perlu diperhatikan.
Ilustrasi: Suatu suku terpencil di India, yang anggotanya mencapai hampir lima juta orang, tertarik
menjadi Kristen. Kepala suku mengundang para penginjil agar mau datang membimbing
mereka. Betapa kagetnya, ketika kemudian ternyata bahwa para penginjil itu berasal dari
berbagai gereja. Diam-diam mereka ternyata saling bersaing untuk membimbing warga
suku itu untuk menjadi warga gereja mereka masing-masing. Karena khawatir bahwa su-
kunya akan terpecah-pecah ke dalam berbagai gereja yang saling bersaing, maka setelah
berunding dengan para sesepuh sukunya, akhirnya kepala suku itu merubah niatnya: ia
dan warga sukunya batal menjadi orang-orang Kristen. Para penginjil diminta mening-
galkan daerah mereka (Sumber: Anon.).
Untuk apa orang-orang Kristen perlu dan harus dapat bersatu? Baca ayat 21 dan 23.
- - - NR - - -

2 KORINTUS 9 : 6 – 15 (u/ 9 Juli mlm)

2 KORINTUS 9 : 6 – 15
Tema: “Memberi dengan Kerelaan Hati”.
N a t s: 2 Kor 9:7
Tujuan: Sesudah mendengar khotbah ini, warga jemaat diharapkan dapat terdorong
untuk mulai berupaya ber-disiplin memberi dengan kerelaan hati.




1. Pengantar
Dalam pasal terakhir dari suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus (1 Kor
16:1-4), Paulus memberi petunjuk praktis tentang cara pengumpulan dana untuk mem-
bantu jemaat/gereja [induk] di Yerusalem. Jemaat/gereja di Yerusalem sangat membu-
tuhkan bantuan. Ini disebabkan oleh penganiayaan dan tekanan dari para pemimpin
orang-orang Yahudi, yang beranggapan bahwa apa yang disebarkan oleh para rasul dan
pengikut mereka adalah ajaran sesat. Ada juga yang memperkirakan kemungkinan ada-
nya bala kelaparan di Yerusalem. Oleh karena itu para warga jemaat di sana sangat
mem butuhkan bantuan [Sumber: What does the Bible Say About? (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson,
2001), p. 168].
Masih dalam hubungan dengan pengumpulan bantuan yang disinggung di atas,
maka dalam bacaan kita hari ini (2 Kor 9:6-15) Paulus memberi “pencerahan” kepada
warga jemaat di Korintus tentang hakikat pemberian Kristiani. Mendahului bagian
bacaan kita (9:1-5), Paulus menjelaskan mengapa ia meminta Titus dan dua saudara
lainnya datang ke Korintus. Mereka ditugaskan oleh Paulus untuk membantu dan
menuntun usaha pengumpulan dana dari warga jemaat. Paulus memperkirakan bahwa
menjelang ia sendiri tiba di Korintus, dana bantuan itu sungguh-sungguh sudah ter-
kumpulkan untuk siap dibawa ke Yerusalem.
2. Uraian dan Pendalaman
Paulus memuji warga jemaat di Makedonia, yang sekali pun mengalami penderitaan
dan miskin, namun mereka “kaya dalam kemurahan” (8:1-2). Kita patut bertanya:
[a] Apakah yang mendorong orang-orang Kristen di Makedonia untuk menyumbang
kepada orang-orang Kristen lainnya yang jaraknya ribuan kilometer di Yerusalem
sana?
[b] Apa yang mendorong mereka untuk menyumbang kepada orang-orang yang sebe-
narnya mereka tidak kenal?
Dengan bercermin kepada jemaat-jemaat di Makedonia seperti yang diutarakan di atas,
mari kita mencoba memahami dua aspek dalam upaya memberi:
(i) Hal-hal apa saja yang menjadi penyebab kekurang-mampuan warga jemaat Korin-
tus [dan mungkin kita-kita juga] untuk memberi?
(ii) Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kita untuk
memberi?
2.1. Warga jemaat di Makedonia “kaya dalam kemurahan”, padahal mereka
mengalami penderitaan dan miskin. Sebaliknya warga jemaat di Korintus “kaya
dalam segala sesuatu” (8:7), tetapi tidak atau kurang “kaya dalam kemurahan”.
Ada apa di kalangan warga jemaat Korintus [dan mungkin di jemaat kita juga]?
Mari kita teliti!
[a]. Warga jemaat di Makedonia “memberikan diri mereka, pertama-tama kepada
Allah” (8:5). Dalam penyerahan kepada Allah, mereka didaya-gunakan oleh
Allah. Di kalangan warga jemaat di Korintus penyerahan diri kepada Allah ini
tidak atau kurang diwujud-nyatakan.
[b]. Ajaran/doktrin yang keliru. Karena pengaruh ajaran yang keliru (“Gnostik”),
para warga jemaat di Korintus mengutamakan “pengetahuan” dan kurang
memperhatikan nilai-nilai spiritual. Ini tercermin dalam kehidupan berke-
luarga di kalangan warga jemaat di Korintus. Perceraian dan perselisihan
dalam keluarga sering terjadi. Dalam situasi demikian betapa sulitnya untuk
mempraktekkan kemurahan hati, apalagi memberi dengan kerelaan hati.
[c]. Para warga jemaat di Korintus terbagi-bagi dalam berbagai kelompok. Ada
kelompok Paulus. Ada kelompok Apollos. Timbul persaingan dan iri hati.
Akhirnya saling berselisih. Fanatisme kelompok sedemikian ini mengalihkan
perhatian dan/atau hasrat untuk memberi dan/atau menyumbang. Kalau pun
akhirnya ada di antara mereka yang memberi, itu pun hanya sebatas bagi
sesama anggota kelompoknya saja [bagaimana dengan persekutuan etnis/
rumpun keluarga, bahkan BPK di kalangan warga jemaat kita?].
[d].Warga jemaat kurang terlatih dalam membiasakan diri untuk ber-“disiplin”
dalam memberi. Buktinya Titus diutus Paulus untuk menuntun dan meng-
kordinir mereka dalam memberi dan mengumpulkan dana bantuan. Barangkali
tidak terlalu meleset untuk membayangkan bahwa Titus pun mestinya melatih
juga “Majelis Jemaat/PHMJ” di sana bagaimana mengelola secara benar
perbendaharaan jemaat (bnd. Jemaat-jemaat yang melatih dan mendorong
warganya dengan pemberian berupa “pledge” dan/atau “perpuluhan”, atau
sumbangan “kaul”).
2.2. Berbicara tentang kemampuan para warga jemaat di Makedonia, Paulus menulis,
“Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka,
bahkan melampaui kemampuan mereka” (8:3; huruf miring oleh penulis). Tersirat
Paulus ingin menyatakan bahwa para warga jemaat di Makedonia benar-benar
menyadari pengorbanan Yesus untuk mereka. “Karena kamu telah mengenal
kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu
menjadi miskin, sekalipun ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena
kemiskinanNya (8:9).
[a]. Paulus menulis dalam ayat 6 dari bacaan kita, “Camkanlah ini: Orang yang
menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak,
akan menuai banyak juga”. Apa yang ditulis Paulus tadi sesungguhnya
merupakan salah satu azas manajemen produksi: “The measure of profit
(baca: “blessing”:berkat) equals the measure of investment (baca: “giving”:
pemberian). Jadinya upaya kita untuk memberi merupakan “God’s way for
us to keep his wealth in circulation” (kutipan dari Zondervan 2006 Pastor’s Manual, p.
288). Melalui pemberian kita, maka sesama kita yang membutuhkan bantuan
dimungkinkan juga untuk ikut menikmati berkat-berkat Allah.
[b]. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya. . .” (ayat
7; huruf miring oleh penulis). Memberi harus dimulai dengan “kerelaan hati”.
Itu berarti kita memberi dengan ketetapan hati yang bulat. Dan ini hanya
dimungkinkan oleh doa. Secara sadar Paulus memakai istilah “hati”, karena
kalau memberi dimulai dengan kesadaran “rasional”, warga jemaat di Korin-
tus, yang rata-rata “berpengetahuan”, tak akan pernah memberi. Mereka akan
berkata untuk apa menjadi repot untuk orang-orang yang jauh di Yerusalem
sana. Kita juga tidak kenal siapa mereka! Dan kalau pun akhirnya ada dari
antara mereka mau memberi, sudah bisa diterka bahwa mereka akan memberi
dengan “sedih hati atau karena paksaan”.
[c]. Dalam ayat 12-14 Paulus mengutarakan makna lain dari pemberian itu:
(i) Upaya kita dan pemberian kita menjadi suatu kesaksian (“testimony”).
(ii) Dengan itu nama Allah dipermuliakan, dan sesama kita ditopang dalam
pergumulan dan penderitaan mereka.

3. Ilustrasi
Di provinsi Mizoram, India, terdapat sebuah jemaat yang anggota-anggota PW-nya
mempunyai cara khusus untuk menunjang PELKES jemaat mereka. Setiap kali
seorang ibu rumah tangga akan menanak nasi, ia mengambil segenggam beras yang
akan dimasak itu dan menyisihkannya ke sebuat tempat khusus. Pada hari Minggu
beras yang telah disisihkannya itu di bawa ke gereja. Ibu-ibu lain yang datang ke
gereja juga membawa beras yang juga telah mereka sisihkan. Beras-beras sisihan tadi
dikumpulkan, lalu dijual. Melalui ketekunan mereka mengumpulkan dan menjual
beras sisihan itu, akhirnya terkumpul cukup dana untuk membeli sebuah komputer.
Komputer itu kemudian disumbangkan kepada sebuah lembaga penerjemahan Alkitab
di provinsi mereka. Lembaga yang dimaksud tadi memang sangat membutuhkan
komputer tambahan dalam upaya mereka merampungkan pernerjemahan Alkitab
kedalam bahasa daerah orang-orang di provinsi itu (bnd. Mrk. 12:41-44) (disadur dari Our
Daily Bread, Sunday, January 30, 2000).


- - - NR - - -

30 Juni 2008

N E H E M I A 1 0 : 3 2 – 3 9 ( 6 Juli 08)

N E H E M I A 1 0 : 3 2 – 3 9
(Beberapa Catatan dan Infromasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Kronologi
th. 586 sM : Yerusalem dan Bait Suci dihancurkan.
th. 539 sM : Babilonia ditaklukkan oleh Persia.
th. 538 sM : Rombongan pertama orang-orang Yahudi kembali ke
Yerusalem.
kr. (kira-kira) th. 520-480 sM: Masa pelayanan nabi Hagai dan Zakharia.
th. 516 sM : Pembangunan kembali Bait Suci dirampungkan.
th. 458 sM : Di bawah pimpinan Nehemia, rombongan kedua orang-orang
Yahudi kembali ke Yerusalem.
th. 445 sM : Yerusalem selesai dipugar kembali.
kr. th. 430 sM : Kitab Nehemia ditulis.
Why read this book [Nehemiah]: If you’re ever faced an overwhelming task or felt inade-
quate to meet a challenge, you’ll be able to identify with Nehemiah. He struggled with issues
still with us today: motivation, fatigue and criticism. But the book also offers inspiration and
vision. Without neglecting the practical, Nehemiah shows how to tackle God’s difficult as-
signments and survive both opposition and apathy [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest
Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 670; untuk seterusnya sumber ini dipendekkan QSB].
NEHEMIA. Satu-satunya sumber pengetahuan kita mengenai Nehemia adalah kitab yg mem-
bawakan namanya. Dialah juruminum raja Persia, Artahsasta (465-424 sM). Juruminum meru-
pakan kedudukan istimewa. Karena tidak disebut-sebut isterinya, maka mungkin dia seorang
kasim. Setelah menerima berita mengenai keadaan Yerusalem yg begitu menyedihkan (mung
-kin oleh kejadian-kejadian dlm Ezr 4:7-23), dia memohon dan memperoleh izin berangkat ke
tanah airnya sendiri dan diangkat menjadi gubernur. Biarpun ada perlawanan seru . . . dia dan
orang Yahudi membangun kembali tembok-tembok Yerusalem dalam 52 hari. Dia dan orang
Yahudi mempersilakan Ezra membaca hukum Taurat, dan [umat] berjanji akan mematuhi
perintah-perintahnya [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm. 149;
untuk seterusnya sumber ini dioendekkan EAMK ].

2. Eksposisi
Informasi: Pasal 9 : Orang Israel berpuasa dan mengaku dosa.
Pasal 10: Bangsa Israel berjanji akan hidup menurut Torah.
Pasal 11: Pengaturan penduduk Yerusalem dan daerah sekitarnya.
[kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BKP-GM, 1996), hlm.
170].
(Ay) 32: Sepertiga syikal adalah kurang dari jumlah yg diakui (bnd Kel 30:13; Mat 17:24), ka-
rena situasi ekonomi yg menjadi miskin [kutipan dari EAMK, hlm. 667].
(Ay) 33: Apa yang dimaksud dengan [masa raya] “bulan baru” (Inggris [NIV}: New Moon
Festivals)?
Perayaan bulan baru merupakan perayaan keagamaan dan masyarakat umum. Dira-
yakan pada setiap awal bulan, biasanya disebut berdampingan dengan hari Sabat
dalam Perjanjian Lama (a.l. Yes 1:13). Diberlakukan sebagai perayaan (Hos 2:11),
untuk bersantai dan istirahat (Am 8:5), untuk persembahan ekstra (Bil 28:11-15; Yeh
45:17) dan untuk ibadah (Yes 66:23; Yeh 46:1-7) [Sumber: QSB, p. 402].
(Ay) 34: Apa yang dimaksudkan dengan “membuang undi”?
Praktek ini berlaku umum saat itu. Cara melakukannya tidak jelas, tetapi rupanya
memakai batu yang diberi tanda atau memakai potongan kayu (bnd. Ams 18:18).
Informasi: Casting lots was a means used to settle disputed questions. In the
absence of clear moral justification for deciding one way or another, this
ancient equivalent of “flipping a coin” resolved the matter quickly and
decisively. Though the means might appear arbitrary, participants fully
believed God was involved: The lot is cast into the lap, but its every
decision is from the Lord [Ams 16:33]. God could certainly have directed
the results of any such process [kutipan dari QST, p. 925].
Menyediakan kayu api . . . di atas mezbah Tuhan; ketentuan ini adalah suatu per-
kembangan wajar bersumber pada perintah mempertahankan api mezbah tetap me-
nyala (bnd Im 6:12-13) [kutipan dari TAMK, loc. cit.].
(Ay) 36: Mengapa anak-anak dibawa ke para imam?
Untuk menyatakan bahwa mereka dan anak-anak mereka adalah milik Tuhan.
Membawa anak-anak ke para imam adalah wajib, sebagai simbol penyerahan
kepada Tuhan (Kel 22:29-30; 34:19). Tapi yang dipersembahkan sebagai korban
adalah anak-anak sulung ternak. “Parents offered these sacrifices in place of their
firstborn sons and then took their sons home to raise. This law reminded them of how
God spared Israel’s firstborn sons during Passover in Egypt” [Sumber dan kutipan bahasa
Inggris dari QSB, p. 686].
(Ay) 37: Perpuluhan-perpuluhan berupa ternak lembu tidak disebut di sini (bnd Im 27:32) bi-
arpun anak sulung disebut dalam ay 36 (bnd Bil 18:15-18). Mungkin ada kekurang-
an ternak lembu pada waktu kemiskinan yg membuat sedikit kelemahan akan peme-
nuhan tuntutan Taurat [kutipan dari TAMK, loc. cit.].
3. Excursus
[Memahami Fungsi “Torah” dalam PL]
Cara terbaik untuk menghampiri sistem etika Perjanjian Lama sebagai “Torah” adalah me-
ngingat maksud Perjanjian Lama yang terutama bukanlah memberikan informasi mengenai
moralitas, . . . melainkan untuk memberikan bahan-bahan yang, apabila direnungkan dan di-
resap ke dalam pikiran, akan memberikan kesan tentang pola atau bentuk cara kehidupan
yang dijalankan di hadapan Allah. Meskipun Perjanjian Lama mengandung “hukum-hukum”
atau “aturan-aturan” dalam pengertian kita, ia mengandung lebih banyak hal lainnya lagi, dan
ia tidak dapat begitu saja disamakan dengan sekumpulan aturan. Para pembaca ingin diarah-
kan pada ketaatan akan kehendak Allah dan hidup dalam persekutuan dengan Dia, bukan ha-
nya dengan jalan melaksanakan perintah-perintah hukum yang terinci (dalam pengertian yang
lebih sempit), tetapi juga dengan membaca cerita-ceritanya --- yang, demikian pendapat kami,
memang mempradugakan dan menolong menciptakan sebuah pola perilaku; dengan me-
nyembah Allah melalui bantuan Kitab Mazmur; dan dengan merenungkan ucapan-ucapan pa-
ra bijak dan para nabi. Jadi, untuk bentuk akhir Perjanjian Lama, perilaku moral praktis ber-
kaitan erat dengan apa yang barangkali kita sebut “spiritualitas”: masalah gaya hidup, bukan
saja aturan-aturan khusus dalam “urusan-urusan moral”. “Torah adalah sebuah sistem yang
dengannya kita menjalani keseluruhan hidup di hadapan Allah, dan bukan hanya serangkaian
aturan terinci untuk mencakup setiap situasi individual di mana suatu petunjuk moral mungkin
dibutuhkan. Meskipun gagasan ini dapat, dan kadang-kadang memang, membawa kepada
perhatian “jelimet” kepada rincian-rincian perilaku seperti yang disebut orang Kristen sebagai
“legalisme”, kekuatan pendorong di belakangnya adalah kehendak untuk meletakkan seluruh
kehidupan di bawah kehendak kuasa Allah --- “menerima kuk Kerajaan sorga”, sebagaimana
kadang-kadang disebutkan oleh sumber-sumber Rabinik [kutipan dari John Barton, “Berbagai Pende-
katan Etika dalam Perjanjian Lama” dalam John Rogerson (ed.), Studi Perjanjian Lama bagi Pemula, terj. (Jakar-
ta: BPK-GM, 1993), hlm. 139f.].
- - - NR - - -

I M A M A T 2 0 : 2 2 - 2 6 (2 Jul 08)

I M A M A T 2 0 : 2 2 - 2 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Undang-undang kekudusan [Inggris: Holiness Code] (Im 17-26) disusun di Yerusalem sebe-
lum pembuangan. Ketika Kitab Ulangan yang berasal dari Utara dalam persiapan penerbitan-
nya, dan segala sesuatu dipusatkan pada perjanjian dan pemilihan dari pihak Allah, imam-
imam di Yerusalem ingin menetapkan kebiasaan yang dijalankan di Bait Allah, berpusat pada
ibadah, untuk mengingatkan umat bahwa Allah adalah suci, sama sekali berbeda [kutipan dari
Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 92f.].
Ciri khas Kitab Imamat ialah: Hampir tidak ada cerita di dalamnya. Hanya ada cerita tentang
pemberontakan Nadab dan Abihu (bab 10). Tetapi cerita ini hanya mau menegaskan bahwa
siapapun juga harus berpegang teguh pada aturan ibadat, kalau tidak ia dihukum Tuhan. Lain-
lain bagian Kitab Imamat hanya memuat hukum, aturan dan undang-undang saja. Ada cukup
banyak hukum dan aturan yang serupa atau sejalan dengan yang tercantum dalam Kitab Ke-
luaran. Tetapi dalam Kitab Imamat semua disoroti dari sudut pandangan para imam. [ . . . ]
Membaca hukum dan aturan biasanya cukup membosankan. Apa lagi hukum dan aturan
dari zaman dahulu seperti yang termuat dalam Kitab Imamat. Namun justru hukum dan un-
dang-undang suatu bangsa menyingkapkan ciri-corak bangsa yang bersangkutan. Dalam hu-
kumnya menjadi nyata nilai-nilai mana dijunjung tinggi oleh suatu bangsa; mana cita-cita yang
dikejar; bagaimana anggota-anggota itu memperlakukan satu sama lain dan saling menghar-
gai. Demikian pun halnya dengan hukum dan undang-undang yang tercantum dalam Kitab
Imamat. Boleh dikatakan bahwa dalam kitab ini bangsa Israel nampak sebagai bangsa yang
seharusnya “Umat yang kudus”. Ini nampak dalam sikap dan ibadatnya kepada Allah dan
yang kudus itu, terhadap sesama anggota umat yang kudus itu, terhadap tanah milik Tuhan
dan terhadap waktu yang dikuduskan Tuhan [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian
Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 110].

2. Eksposisi
Informasi: Fasal 17-26 : Hukum Kesucian [Inggris: Holiness Code].
Fasal 19:1-37: Kudusnya hidup.
Fasal 20:1-27: Kudusnya umat TUHAN.
Fasal 21:1-33: Kudusnya para imam.
[kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.
55f.].

20:1-27 Hukum serba-serbi mengenai kejahatan yg mengerikan
(Ay) 22-26: Ay-ay ini mengingatkan kepada Israel bahwa kejahatan-kejahatan besar yg baru
saja diuraikan [dalam penggalan sebelum ini] itu adalah kejahatan-kejahatan orang-orang yg
negerinya akan mereka duduki. Negeri itu telah ‘memuntahkan’ (bnd 18:25) penduduknya ba-
gi keburukan-keburukan mereka, dan Israel akan menderita hal yg sama, jika ia melakukan
keburukan-keburukan itu (bnd 18:28). Namun negeri itu adalah warisan mereka, dan negeri
itu adalah negeri yg baik (Kel 3:8, 17).
TUHAN telah memisahkan mereka. Perhatikan pemakaian kata itu hingga 3 kali dalam
ay 24-26. Bagian ini jelas menunjukkan,bahwa tujuan pokok dari hukum-hukum yg mengenai
makanan dalam ps 11 itu adalah untuk mengadakan dan memajukan suatu pemisahan yg te-
gas antara Israel dan orang Kanaan. Karena makan dan minum penting dalam hidup sehari-
hari umat, dan karena ay 22-26 dimaksudkan sebagai kesimpulan bagi kumpulan hukum yg
besar ini, yaitu hukum upacara-upacara keagamaan dan moral, yg harus ditaati oleh umat,
maka penunjukan kembali ke ps 11 yg dengannya hukum-hukum di mulai, adalah tepat seka-
li. Supaya kamu menjadi milikKu. Di sini seluruh tujuan hukum secara singkat dirangkumkan.
Umat TUHAN harus menaati hukumNya, jika mereka benar-benar adalah milikNya [kutipan dari
Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 220f.].

Informasi: Dengan pemberian undang-undangNya itu Allah dikatakan “bermaksud” hen-
dak menertibkan kehidupan umatNya, tetapi dalam hal ini firmanNya tak boleh
disama-ratakan dengan perkataan manusia. Firman Allah memang menyatakan
maksud dan kehendakNya, sebagaimana halnya dengan tiap-tiap perintah atau
keputusan manusia juga. Tetapi dengan melebihi sifatnya sebagai pernyataan,
keputusan atau pemberitahuan itu, hukum-hukum Allah mengerjakan (melaksana-
kan) apa yang dinyatakannya . . . Allah menertibkan kehidupan umatNya; Ia tidak
menyuruh umat itu supaya hidup dengan tertib! Allah “menguduskan” mereka (Im
20:8; 22:32; 21:8; Kel 31:13; Yeh 20:12); Ia tidak hanya menyuruh mereka, supa-
ya “menjadi orang-orang kudus” (Kel 22:31; Im 19:2; 20:26). Allah “menebus” atau
“membebaskan” suatu umat bagi diriNya serta menjadikan mereka menjadi ham-
ba-hambaNya yang merdeka terhadap segala kuat-kuasa yang memperbudaknya;
Ia tidak hanya menyuruh mereka supaya hidup seperti orang-orang merdeka. Al-
lah menyatukan mereka menjadi suatu “jemaah” atau “perkumpulan” yang bersifat
persekutuan dan persaudaraan antara sesamanya sendiri; Ia tidak hanya menyu-
ruh mereka supaya hidup seperti saudara-saudara. Firman Allah mengerjakan se-
muanya ini. FirmanNya yang berupa hukum-hukum itu berkuasa untuk melaksa-
nakan maksudnya, dan sungguh-sungguh memakai kuasanya.
Adalah dengan sengaja kita tekankan sekali lagi kuasa hukum-hukum Allah itu:
sudah terlalu biasa kita menilai hukum-hukum itu semata-mata sebagai peraturan
yang sempurna sendiri, tetapi yang baru “mendapat” pengaruh dan kuasa, apabila
umat Israel sudi menaatinya. Hukum-hukum Allah memang menuntut ketaatan.
Tetapi justru bangkitnya ketaatan yang sukarela ini adalah disebabkan oleh pe-
ngaruh hukum-hukum Allah itu sendiri; hukum-hukum itu hanya menuntut apa
yang serentak diberikannya juga. Apabila umat Israel tidak menaatinya; maka itu
berarti bahwa mereka belum sampai mendengakannya, belum membuka dirinya
untuk kuasa-kuasa hukum itu. Segala puji patut diberikan kepada kuasa firman itu
sendiri, apabila manusia membuka diri untuknya. Bangkitnya ketaatan itu adalah
tidak kurang ajaib daripada “kelahiran” dan “kehidupan” Israel sebagai umat TU-
HAN --- baik pada permulaannya maupun di sepanjan masa! [kutipan dari C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 312f.].

3. Excursus
Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma”
adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian
Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara
demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya.
Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak
dapat begitu saja memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia mo-
dern. [ . . . ]
Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya
relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen
atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi terang bagi bangsa-
bangsa (bnd. Yes 49:6), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. . . . Pendekatan paradigma-
tis ini membuat Perjanjian Lama paling bermanfaat sebagai suatu sumber bagi etika sosial
Kristen [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-
GM, 1995), hlm. 42f.].
- - - NR - - -

22 Juni 2008

I M A M A T 1 9 : 1 - 1 6 (29 Jun 08)

I M A M A T 1 9 : 1 - 1 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)


1. Pengantar
Kitab ketiga dari kelima Kitab Musa disebut “Kitab Imamat”. Dalam bahasa Yunani-Latin dinamakan
“Leviticus”. Dan demikian pun dalam kebanyakan bahasa moderen. Nama dalam bahasa Indonesia itu
sangat cocok. Sebab bagian terbesar kitab ini mengenai para imam umat Israel, tugas dan kewajiban-
kewajibannya. Kaum Lewi, yaitu para pembantu imam-imam, [justru] tidak tampil dalam Kitab Imamat ini.
. . . Meskipun lama sesudah zaman Musa barulah disusun, namun dalam Pentateukh Kitab Imamat
langsung melanjutkan Kitab Keluaran. Dipikirkan bahwa isi kitab ini diumumkan waktu orang-orang Israel
tinggal di gunung Sinai [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), hlm. 115f.].
Dilihat dari isinya secara keseluruhan, Im dapat disebut ‘Kitab Kekudusan Tuhan’ [‘Holiness Code’],
dengan tuntutan-Nya yang mendasar yaitu ‘Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN adal kudus’
(20:26). . . . Kekudusan-Nya-lah yg mengharuskan adanya hukum-hukum tentang persembahan dan
makanan, pentahiran dan kesucian, Masa Raya dan upacara-upacara lainnya. Para imam adalah orang-
orang yg sangat penting sebagai perantara antara Tuhan dengan Israel. Kehidupan dalam perjanjian
[‘covenant’] adalah kehidupan yg terus-menerus diatur dengan segala macam peraturan [kutipan dari Ensi-
klopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 429].
Informasi: Sejak abad yang lalu, Imamat 17-26 dianggap oleh para ahli sebagai kumpulan hukum
terpisah, yang diberi nama “Hukum Kekudusan” (Holiness Code}, karena rujukannya yang
berulang-ulang kepada kekudusan dan tuntutan yang terus menerus untuk hidup secara
kudus. Tetapi seperti telah kita lihat dalam pasal 1, kekudusan bagi Isael adalah lebih dari
sekedar masalah ritual atau kesalehan. Imamat 17-26 berisi hukum-hukum praktis tentang
kehidupan keluarga secara seksual (Im 18 dan 20) dan kehidupan sosial secara umum
(khususnya Im 19), serta peraturan-peraturan tambahan untuk pekerjaan keimaman dan
berbagai jenis perayaan (Im 21-24) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat
Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 154].
Im 19 telah lama diakui sebagai salah satu bagian yang tertua di dalam kumpulan hukum-
hukum Im 17-26 (“Kitab Undang-Undang Kesucian”). . . . Munculnya dua kali hukum yang
itu-itu juga dalam fasal yang sama --- hormatilah orang-orang tua, Im 19:3 dan 32; memeli-
hara hari Sabat, 19:3 dan 30; jangan bertindak curang dalam pengadilan, 19:15 dan 35a,
dst. --- membenarkan dugaan bahwa fasal ini adalah “tempat persembunyian” bagi dua
buah Dekalog yang tua lagi (mis. Im 19:3-19 dengan ay 5-10, 17-18 sebagai tambahan,
dan 19:26-36 dengan ay 34 sebagai tambahan).
…………………………………………………………………………………………………….
Ketetapan-ketetapan yang terkumpul di dalam “Kitab Undang-Undang Kesucian” (Im 17-26)
sekali-kali tidak berhenti pada batas bidang “keagamaan” menurut pengertian kita. . . .
Kedua ringkasan hukum-hukum yang dipergunakan oleh penyusun Im 19 [lihat di atas]
adalah bersifat “umum”, tidak kurang dari Dekalog Kel 30/Ul 5 yang terkenal itu; rupa-
rupanya para penyusun berkeyakinan bahwa hak-hak sesama manusia --- hormat kepada
ibu-bapa (19:3,32), keamanan nyawa, nama baik dan milik orang (19:11, 13,16,18), penga-
dilan dan perdagangan yang benar (19:15,36), pergaulan dengan orang-orang kecil (19:13-
15,10,33), wajib diindahkan, tak kurang daripada hak-hak Allah [kutipan dari C. Barth, Theo-
logia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 236 dan 258].
Fasal 19 : 1 – 37 : Kudusnya hidup [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian
Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 56].

2. Eksposisi/Uraian
Informasi: Hukum-hukum ini begitu bermacam-macam sehingga sukar nuntuk menggolong-
kannya. [Ay] 2: Hukum-hukum itu disajikan dengan peringatan serius, Kuduslah
kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus. Hingga 15 kali Aku, Tuhan (Allahmu)
diulangi dalam 37 ay dari bab ini. Hukum-hukum itu mengenai ucapan keagamaan
dan hidup kesusilaan, dan keduanya termasuk kedua loh Dasa Titah. [Ay] 3, 4:
Ayat-ayat ini berisi titah ke-5, ke-4 dan ke-2 Dasa Titah. Menyegani orang tua,
memelihara Sabat, menjauhkan diri dari berhala ditempatkan di depan sebagai
sangat penting secara khusus. Bahwa kata ‘menyegani’ kadang-kadang dipakai
dalam arti ‘menghormati’ dijelaskan oleh ay 30, di mana kata-kata ‘menghormati
tempat kudusKu’ dipakai. Bnd Ul 6 di mana ‘Kasihilah Tuhan’ (ay 5) didahului (ay
2) dan diikuti (ay 13) oleh ‘takut akan Tuhan’; dan lih Ul 9:19. ‘Kasih’ kepada Allah
tidak diperintahkan dalam Im dan kasih kepada manusia hanya dalam 19:18, 34.
Tapi harus diingat bahwa hal itu ditunjukkan dalam Dasa Titah (Kel 20:6) dan
sering sekali dalam Ul.
[Ay] 5-8: Ay-ay ini mengenai hal makan daging korban keselamatan (bnd 7:15-18).
[Ay] 9, 10: Hukum mengenai memungut apa yg tertinggal dari penunaian termasuk
pada rangkuman umum dari loh kedua Dasa Titah, yg memerintahkan kasih terha-
dap sesamanya (bnd 23:22; Ul 24:9-22). [Ay] 11, 12: Ay-ay ini bersandar pada titah
ke-8 dan ke-3 Dasa Titah. [Ay] 13, 14: Kedua ay ini dihubungkan erat sekali dengan
titah ke-8 Dasa Titah dan asas kemanusiaan yg mendahuluinya. [Ay] 15, 16: Ay-ay
ini menguraikan titah ke-9 Dasa Titah [kutipan dari Tafsiran Masa Kini 1, Kejadian – Ester,
terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998], hlm. 218].
Ayat 2: Apa memang Tuhan menuntut kesempurnaan?
Hendaknya diingat bahwa kata “kudus” tidak sama dengan “sempurna”. Kata “kudus” berarti
dipisahkan (Inggris: to be set apart) --- maksudnya, dipisahkan (cf. Inggris: reserved) bagi/
untuk Tuhan dengan segala maksud baikNya.
Informasi: It was God’s insistence to his people that they must be holy because he was holy
[Im 19:2; 20:7, 26]. The word for holy is hagios whose root meaning is different.
The Temple is hagios because it is different from other buildings; the Sabbath is
hagios because it is different from other days; the Christian is hagios because he
is different from other men. The Christian is God’s man by God’s choice. He is
chosen for a task in the world and for a destiny in eternity. He is chosen to live for
God in time and with him in eternity. In the world he must obey his law and repro-
duce his life. There is laid on the Christian the task of being different [kutipan dari
William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters of James and Peter (Edinburgh: the Saint
Andrew, 1981), p. 188].
PL menggunakan kata ‘kudus’ atas orang yg dinobatkan bagi maksud-maksud
agamawi. Misalnya para imam yg ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga
seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yg disucikan bagi Allah tidak sama
dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel
satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini ‘kudus’ mengacu kepada pengung-
kapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terle-
pas dari PB, sebagaimana dalam 1 Kor 7:14, di mana suami yang tidak beriman
dikuduskan karena hubungannya dengan istri yg beriman demikian sebaliknya
[kutipan dati Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 1, hlm. 617].
God said, “You shall be holy; for I the Lord your God am Holy” [Im 19:2; bnd 20:7,
26]. He who would find fellowship with God is committed to a life of goodness
which reflects God’s goodness. C.H. Dodd writes: “The Church is a society of
people who, believing in a God of pure goodness, accept the obligation to be good
like him.” This does not mean that a man must be perfect before he can have
fellowship with God; if that were the case, all of us would be shut out. But it does
mean that he will spend his whole life in the awareness of his obligations, in the
effort to fulfil them and in penitence when he fails. It will mean that he will never
think that sin does not matter; it will mean that the nearer he comes to God, the
more terrible sin will be to him [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters
of John and Jude (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 29].

3. Excursus
BERSIFAT KUDUS, SEBAGAIMANA ALLAH KUDUS
Kekudusan adalah penting dan berguna. Kekudusan penting karena Allah itu kudus, dan
kekudusan berguna sebab kita disuruh untuk kudus. Tetapi banyak orang Kristen tidak me-
ngerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekudusan.
Sebagaian besar orang Kristen menganggap kekudusan sebagai skala pengukuran moral,
seperti catatan peringkat pada akhir masa pelajaran. Orang yang tidak kudus tercatat di bagi-
an bawah. Orang yang biasa-biasa saja tercatat di bagian tengah. Orang yang sangat baik
tercatat di atas di dekat puncak. Tetapi tidak seorang pun yang seratus persen kudus kecuali
Yesus.
Penjelasan begini menyesatkan. Kekudusan meliputi etika dan kebenaran, tetapi itu bukan-
lah hakikat kekudusan. Hakikat kekudusan adalah berada dalam keadaan tersendiri [Inggris:
set apart].
Allah itu samasekali lain, Ia tersendiri. Allah sangat berbeda. Tidak ada seorang pun yang
seperti Allah yang kudus itu. Kekudusan Allah mempunyai banyak segi. Kekudusan-Nya me-
nyerupai prisma yang memantulkan banyak warna pada waktu bersamaan.
Segi yang pertama adalah keagungan. Allah itu agung seperti seorang raja di atas takhta-
nya. Kata mulia melukiskan aspek kekudusan ini. Mereka yang dapat menangkap bayangan
Allah dalam kekudusan-Nya biasanya diliputi perasaan tentang ketidaklayakan diri mereka.
Ia begitu agung dan kita tidak. Ia kudus dan kita adalah orang-orang berdosa. Pada waktu
penulis-penulis Alkitab mencoba untuk melukiskan hebatnya kekudusan Allah, mereka harus
mengulangi kata kudus itu tiga kali, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (Yesaya
6:3).
Segi kedua adalah kehendak. Allah bukan merupakan suatu rumusan atau suatu konsepsi.
Allah adalah kehendak, suatu kehendak yang melaksanakan berbagai hal. Kehendak Allah
ditetapkan terutama untuk menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang kudus, untuk bertindak
sebagai Allah, dan untuk dikenal sebagai Allah. Oleh sebab itu Ia tidak bersifat acuh tak acuh
terhadap cara orang-orang menghormati Dia.
Segi yang ketiga adalah murka. Murka Allah bukanlah kemarahan yang ‘ngawur’. Melain-
kan merupakan pernyataan wajar tentang kekudusan Allah sebagai tanggapan terhadap dosa.
Allah tidak bisa hidup berdampingan dengan kejahatan. Kita mengetahui murka Allah, karena
kita adalah orang berdosa. [Maksudnya], pikiran dan kemauan kita ditujukan pada hal-hal
yang lain daripada kehendak Allah dan yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Segi keempat dari kekudusan Allah adalah kebenaran. Kebenaran moral Allah adalah
kehendak Allah yang sedang bekerja di dalam hidup kita. Kehendak Allah bertindak untuk
menyesuaikan dunia dengan sifat moral Allah. Hukum Allah merupakan pernyataan yang baik
tentang kebenaran moral-Nya.
Keempat segi kekudusan ini menolong kita untuk mengerti apa artinya bagi kita untuk
menjadi kudus. “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Imamat 19:2). Ayat ini
tidak mengatakan, “Jadilah Allah sebagaimana Aku ini Allah.” Firman ini tidak berbicara me-
ngenai kemuliaan dan keagungan Tuhan. Bahkan firman itu bukan berkata: “Jadilah benar se-
cara moral sebagaimana Aku benar secara moral.” Kita tidak bisa menjadi kudus dalam taraf
yang sama seperti Allah, tetapi kita bisa menjadi kudus dengan cara yang sama. Sebagaima-
na Allah itu kudus, tersendiri, kita pun harus kudus dan tersendiri. [ . . . ]
Ada tiga langkah untuk menjadi [kudus dan] tersendiri. Pertama adalah sadar akan dosa-
dosa kita. . . .
Langka kedua adalah dilahirkan kembali [Yoh 3:3]. Tidak seorang pun dapat menjadi ter-
sendiri tanpa pengalaman ini.
Langkah ketiga adalah menghasilkan “buah yang sesuai dengan pertobatan” (Matius 3:8),
yang berarti berpaling dari dosa menuju iman [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj.
(Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 175ff.].
- - - NR - - -

U L A N G A N 1 0 : 1 2 – 2 2 (25 Jun 08)

U L A N G A N 1 0 : 1 2 – 2 2
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Pembukaan Kitab Ulangan menggambarkan Israel berkemah di dataran Moab, kira-kira em-
pat puluh tahun sesudah peristiwa-peristiwa besar keluaran dan Sinai, di ambang tanah Kana-
an. Dengan demikian kitab ini adalah dokumen “pembaharuan perjanjian” (bnd. Ul 29:1) di
mana pengalaman bangsa ini diceritakan kembali (Ul 1-3) untuk mendorong pengucapan syu-
kur dan kesetiaan yang sepenuh hati (Ul 4-11). Sama dengan “Hukum Kekudusan”, kitab ini
diakhiri dengan berkat-berkat dan kutuk-kutuk (Ul 27-28). Bagian tengahnya, Ul 12-26, berisi
hukum-hukum.
Nama “Ulangan” diambil dari nama Latin kitab ini, Deuteronomium yang berarti ‘hukum
kedua’. Maksudnya bukanlah hukum yang baru, melainkan yang mengulang dan menguatkan
hukum yang lebih dahulu. Banyak hukum-hukum Kitab Perjanjian diulang kembali dalam Kitab
Ulangan dengan perubahan kecil, perluasan dan motivasi tambahan. Kitab Ulangan disebut
pula “hukum yang dikhotbahkan” dan memang itulah yang dikatakan dalam Ulangan 1:5: “Di
seberang sungai Yordan, di tanah Moab, mulailah Musa menguraikan hukum taurat ini” [kutipan
dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 155].
Perbedaan yang paling mencolok antara Ulangan dengan Keluaran, Imamat dan Bilangan
ialah: Ulangan tidak berupa kisah, melainkan wejangan. Menurut gambaran Kitab Ulangan pa-
da akhir perjalanan umat Israel di gurun, yaitu ketika berada di negeri Moab di perbatasan ne-
geri yang dijanjikan, Musa menyampaikan kepada segenap umat yang sedang berkumpul
wejangan-wejangan terakhir.
Wejangan-wejangan itu (ada tiga, yaitu 1:-4:40; 5:1-11.32 + 26:16-28:68; 29:2-30:20) me-
ngajak dan menasehati umat supaya tetap setia pada perjanjian yang diadakan di gunung Si-
nai dan yang sekarang dibaharui. Kecuali wejangan disajikan pula perintah, hukum dan aturan
yang mejadi syarat perjanjian (12:1-26:15). Hanya bagian terakhir Kitab Ulangan berupa kisah
mengenai akhir hidup Musa [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 127f.].

2. Eksposisi
Informasi: 10:12-22 Apa yg dituntut Allah dari umatNya Suatu pandangan terakhir ten-
tang sebabnya harus taat kepada TUHAN dan akibat-akibatnya. Bnd Ul 6:5; Mat
22:37 dan jawaban Mikha terhadap pertanyaan yg diajukan dalam ay 12 (Mi 6:8).
Bagi Musa penyembahan kepada Allah dengan hormat merupakan asas bagi se-
gala ungkapan keagamaan [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, terj. (Jakarta: YKBK/
OMF, 1998), hlm. 320f.].
Ayat 12: Apa yang dimaksud dengan ungkapan “takut akan Tuhan”?
Disamping di sini, Perjanjian Lama sering sekali menggunakan ungkapan ini (a.l. Ayb 28:28;
Ams 1:7, bnd. 9:10; 16:6). “Takut akan Tuhan itu suci” (Mzm 19: 10; Inggris, NIV: pure]. Ini
adalah dampak dari pengenalan orang percaya kepada Allah yang hidup.
Informasi: . . . ketakutan yang kudus adalah pemberian Allah, yang memampukan orang ta-
kut sekaligus menghormati kekuasaan Allah, menaati perintah-perintah-Nya, mem-
benci sambil menjauhkan diri dari semua bentuk kejahatan (Yer 32:40; bnd Kej 22:
12; Ibr 5:7). Lagipula takut akan Tuhan itu adalah permulaan hikmat (Mzm 111:10),
rahasia kelurusan hati (Ams 8:13), ciri umat yg disenangi Allah (Mzm 147:11), dan
kewajiban setiap orang (Pkh 12:13). Roh takut akan Tuhan adalah salah satu sifat
yg ditanamkan Allah pada Mesias-Nya (Yes 11:2-3).
Dalam PL, agama sejati sering dianggap sama dengan takut akan Tuhan (bnd
Yer 2:19; Mzm 34:10), sebagian besar penyebabnya adalah hukuman sesuai tun-
tutan hukum Taurat. Pada zaman PB ungkapan ‘hidup dalam takut akan Tuhan’ di-
gunakan berkaitan dengan orang Kristen perdana (Kis 9:31). Para warga rumah
sembahyang asal kafir disebut ‘orang-orang yang takut akan Allah’ (Kis 10:2 dst;
bnd Flp 2:12) [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm.
438f.].
Ayat 15: Sekalipun Allah menciptakan alam semesta, Ia dan hanya Dialah yg memilih Israel
dari segala bangsa. Tanggapan mereka seharusnya tingkatan penyerahan dan kasih karena
janjiNya yg kuat. Bnd. Rm 2:29 [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, hlm 321].
Informasi: “ . . . tetapi hanya oleh nenek-moyangmulah”. Kata Ibrani yang diterjemahkan de-
ngan “tetapi hanya” dapat diartikan juga “namun demikian”. Pokoknya ada kontras
yang besar sekali antara kuasaNya yang mahabesar dengan perhatianNya kepada
kelompok yang begitu rendah-kecil seperti nenek-moyang Israel [kutipan dari I.J.
Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 184].
Ayat 16: Bagaimana kita memaknai perintah “sunatlah hatimu”?
“Sunat” merupakan tanda yang menunjuk pada perjanjian (anugerah) antara Allah dan umat-
Nya (Kej 17:9-14). Ungkapan di atas merupakan kiasan yang membantu kita memahami bah-
wa umat hendaklah mengasihi dan mengabdi kepada Allah dari kemurnian hati mereka (10:
12). Jadinya, sunat di sini bermakna rohani/spiritual --- “this spiritual circumcision required a
decision and action from the people [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand
Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 262].
Informasi: “sunatlah hati” disejajarkan dengan “jangan tegar tengkuk”, sehingga artinya mirip
dengan Im 26:41. Itu berarti bahwa “hati yang bersunat” ialah hati yang menyadari
serta menerima anugerah Allah sampai masuk sebagai anggota umatNya, kemudi-
an menghasilkan buah-buah keanggotaannya itu, berupa belas-kasihan seperti
yang diperlihatkan TUHAN sendiri [kutipan dari Cairns, op.cit., hlm. 185].
Ayat 17: [Untuk DISKUSI] Dari pernyataannya di sini, apakah Musa mengakui adanya
allah(-allah) lain?
Informasi: “Allah segala allah”. Istilah ini tidak langsung menyinggung soal politeisme, mela-
inkan termasuk bahasa puitis: artinya “Allah yang mahakuasa” [kutipan dari Cairns, loc.
cit.].
This lofty language is typical of Deuteronomy. This phrase essentially means that
God is God in the most absolute sense. He transcends our understanding, leaving
us in awe of him. Moses was not acknowledging other gods (which are only false
gods). Rather, he was expressing that there is only one true God [kutipan dari Quest
Study bible, loc. cit.].
Ayat 19: Kasihmu kepada orang asing. Tuntutan terhadap Israel untuk mengasihi orang asing
ini tidak ada kesejajarannya dalam perundang-undangan Timur Dekat Purba. Sedangkan orang
Israel diperintahakan supaya menghormati dan takut kepada orang tua mereka, dan supaya
mendengarkan amanat para nabi, mereka diperintahkan juga supaya memasuki suatu hubung-
an kasih sayang dengan orang asing sebagai peringatan kepada kasih Allah selama perbudak-
an di Mesir [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kinmi 1, loc. cit.].
Ayat 21: “Dialah pokok puji-pujianmu”. Bnd Yer 17:14; Mzm 109:2. Peristilahan di sini menarik:
memang TUHAN dikenal melalui perbuatanNya yang dahsyat dan yang patut dipuji-puji (ayat
21b). Namun yang dikagumi ialah bukan perbuatan-perbuatan itu, melainkan TUHAN sendiri,
Sang Pembuat [kutipan dari Cairns, op. cit., hlm. 188].

- - - NR - - -

Ulangan 8 : 1 - 20 ( 25 Jun 08 )

U L A N G A N 8 : 1 – 2 0


Pengarang pasal 8 berusaha memperlengkapi umat TUHAN [yang sedang] berhadap- an dengan dua keadaan yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan mereka, yaitu kesusahan dan kemakmuran.


I
Orang yang berada di dalam kesusahan diundang mengambil pelajaran dari pengalaman bangsanya di bawah bimbingan TUHAN. Setelah mennggalkan negeri Mesir nenek-moyang [mereka] harus melintasi padang gurun yang luas dan gersang, di mana mereka terancam ular-ular ganas dan kalajengking.
Waktu tertimpa bahaya dan penderitaan di padang gurun itu, pasti mereka sering ber- tanya-tanya di dalam hati: jikalau TUHAN sungguh mengasihi kami, mengapa Dia mem- biarkan kami bersengsara demikian?
Jemaat yang kepadanya mazhab Ulangan mengalamatkan beritanya, dan [bagi] kita juga, dapat memahami sikap bertanya-tanya itu. Maka kepadanya dan kepada kita peng- khotbah dari mazhab Ulangan ini menghadapkan dua pokok penghiburan yaitu: ingatlah keadaan susah di mana TUHAN mula-mula mendapatkan kamu; ingatlah akan tujuan ke mana TUHAN membimbing kamu. Nenek-moyang tergoda memberontak berhadapan dengan kesusahan yang mereka alami di padang gurun, justru karena mereka belum sempat melihat warisan indah yang TUHAN sediakan untuk mereka di negeri yang dituju. Sekiranya mereka sadar akan masa depan yang gemilang itu, pastilah mereka menghadapi segala kesulitan dengan girang. Demikianlah kita juga, bukan? Namun sering terjadi bahwa TUHAN merasa perlu kita berjalan secara buta supaya kesungguhan iman kita diuji, dan rasa ketergantungan kita kepada TUHAN dipertebal. Di pihak lain, nenek-moyang diingatkan kepada keadaan buruk yang dari mana TUHAN telah melolos- kan mereka. Kesusahan berat yang sedang dihadapi, memang kembali kepada poporsi yang wajar bila dikontraskan dengan keadaan kita, sekiranya TUHAN tidak pernah turun tangan untuk membimbing kita (ay 14).
Selain ingatan akan pertolongan TUHAN pada masa lampau dan keyakinan tentang maksud baik atas diri kita yang akan dicapai TUHAN nanti, ada juga faktor ketiga yang memberi penghiburan di tengah-tengah kesusahan. Yang dimaksud dengan faktor ketiga ini, ialah tanda-tanda perhatian yang TUHAN perlihatkan justru selama kesusahan itu
sendiri berlangsung. Nenek-moyang yang menderita kelaparan di tengah perjalanan mela- lui padang gurun itu, menemukan suatu jenis makanan yang begitu luar biasa, sehingga
tidak dapat disangkal merupakan persediaan TUHAN yang khusus (ay 3). Begitu pula dalam mengalami kehausan (ay 15) dan kekurangan sandang (ay 4), mereka merasa adanya tangan yang turun kepada mereka, yang tidak dapat disangkal adalah tangan TUHAN. Tidakkah demikian dalam pengalaman hidup kita pula? Biar betapapun sulitnya keadaan yang kita hadapi, namun selalu ada-ada saja tanda-tanda penyertaan dan belas-kasihan TUHAN.
Pada tiap-tiap tahap selama hidup kita, kita perlu membaharui iman kepercayaan serta pengandalan diri kepada TUHAN, dengan berpegang teguh kepada keyakinan bahwa tiap-tiap pengalaman pahit yang TUHAN izinkan untuk kita, dimaksudkanNya supaya “berbuat baik kepada kita akhirnya” (ay 16).




II
Faktor kedua yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan kita ialah kemakmuran. Kadangkala sifat bersandar kepada TUHAN diejek di dunia modern, dengan alasan bahwa iman menjadi pelarian orang lemah. Orang dinamis katanya akan berani berusaha sendiri, serta memikul tanggung jawab atas sukses dan kegagalannya sendiri.
Pengkhotbah yang berbicara dalam pasal 8 ini memang berharap supaya orang ber- iman tampil sebagai manusia yang giat berusaha. Dia menguatkan kesan bahwa iman kepada TUHAN tidak melumpuhkan, melainkan justru membangkitkan semangat dan dinamika hidup. Hanya saja, hendaklah orang yang mencapai kemakmuran itu menyadari dengan penuh kerendahan hati bahwa semangat, kesehatan badan, dan kecerdasan akal yang melandasi suksesnya itu, adalah semuanya karunia TUHAN juga.
Bila kita tergoda untuk membanggakan keberhasilan atau kekayaan kita, hendaklah kita selalu mengingat bahwa kita berdiri melulu atas dasar anugerah TUHAN. Anugerah itu dicurahkan atas kita dengan sebebas-bebasnya, asal kita sendiri tidak menghalang-halanginya. Kita memang menghalangi anugerah TUHAN bila dalam keputus-asaan kita berpaling daripadaNya, atau bila dalam kesombongan hati kita merasa diri serba sanggup, sehingga tidak memerlukan Dia lagi.
Sekali lagi masalahnya kembali kepada soal ketaatan: lakukanlah segenap perintah- Nya dengan setia, maka kesejahteraanmu akhirnya terjamin.


Kutipan dari:
I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 155ff.


- - - NR - - -