U L A N G A N 8 : 1 – 2 0
Pengarang pasal 8 berusaha memperlengkapi umat TUHAN [yang sedang] berhadap- an dengan dua keadaan yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan mereka, yaitu kesusahan dan kemakmuran.
I
Orang yang berada di dalam kesusahan diundang mengambil pelajaran dari pengalaman bangsanya di bawah bimbingan TUHAN. Setelah mennggalkan negeri Mesir nenek-moyang [mereka] harus melintasi padang gurun yang luas dan gersang, di mana mereka terancam ular-ular ganas dan kalajengking.
Waktu tertimpa bahaya dan penderitaan di padang gurun itu, pasti mereka sering ber- tanya-tanya di dalam hati: jikalau TUHAN sungguh mengasihi kami, mengapa Dia mem- biarkan kami bersengsara demikian?
Jemaat yang kepadanya mazhab Ulangan mengalamatkan beritanya, dan [bagi] kita juga, dapat memahami sikap bertanya-tanya itu. Maka kepadanya dan kepada kita peng- khotbah dari mazhab Ulangan ini menghadapkan dua pokok penghiburan yaitu: ingatlah keadaan susah di mana TUHAN mula-mula mendapatkan kamu; ingatlah akan tujuan ke mana TUHAN membimbing kamu. Nenek-moyang tergoda memberontak berhadapan dengan kesusahan yang mereka alami di padang gurun, justru karena mereka belum sempat melihat warisan indah yang TUHAN sediakan untuk mereka di negeri yang dituju. Sekiranya mereka sadar akan masa depan yang gemilang itu, pastilah mereka menghadapi segala kesulitan dengan girang. Demikianlah kita juga, bukan? Namun sering terjadi bahwa TUHAN merasa perlu kita berjalan secara buta supaya kesungguhan iman kita diuji, dan rasa ketergantungan kita kepada TUHAN dipertebal. Di pihak lain, nenek-moyang diingatkan kepada keadaan buruk yang dari mana TUHAN telah melolos- kan mereka. Kesusahan berat yang sedang dihadapi, memang kembali kepada poporsi yang wajar bila dikontraskan dengan keadaan kita, sekiranya TUHAN tidak pernah turun tangan untuk membimbing kita (ay 14).
Selain ingatan akan pertolongan TUHAN pada masa lampau dan keyakinan tentang maksud baik atas diri kita yang akan dicapai TUHAN nanti, ada juga faktor ketiga yang memberi penghiburan di tengah-tengah kesusahan. Yang dimaksud dengan faktor ketiga ini, ialah tanda-tanda perhatian yang TUHAN perlihatkan justru selama kesusahan itu
sendiri berlangsung. Nenek-moyang yang menderita kelaparan di tengah perjalanan mela- lui padang gurun itu, menemukan suatu jenis makanan yang begitu luar biasa, sehingga
tidak dapat disangkal merupakan persediaan TUHAN yang khusus (ay 3). Begitu pula dalam mengalami kehausan (ay 15) dan kekurangan sandang (ay 4), mereka merasa adanya tangan yang turun kepada mereka, yang tidak dapat disangkal adalah tangan TUHAN. Tidakkah demikian dalam pengalaman hidup kita pula? Biar betapapun sulitnya keadaan yang kita hadapi, namun selalu ada-ada saja tanda-tanda penyertaan dan belas-kasihan TUHAN.
Pada tiap-tiap tahap selama hidup kita, kita perlu membaharui iman kepercayaan serta pengandalan diri kepada TUHAN, dengan berpegang teguh kepada keyakinan bahwa tiap-tiap pengalaman pahit yang TUHAN izinkan untuk kita, dimaksudkanNya supaya “berbuat baik kepada kita akhirnya” (ay 16).
II
Faktor kedua yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan kita ialah kemakmuran. Kadangkala sifat bersandar kepada TUHAN diejek di dunia modern, dengan alasan bahwa iman menjadi pelarian orang lemah. Orang dinamis katanya akan berani berusaha sendiri, serta memikul tanggung jawab atas sukses dan kegagalannya sendiri.
Pengkhotbah yang berbicara dalam pasal 8 ini memang berharap supaya orang ber- iman tampil sebagai manusia yang giat berusaha. Dia menguatkan kesan bahwa iman kepada TUHAN tidak melumpuhkan, melainkan justru membangkitkan semangat dan dinamika hidup. Hanya saja, hendaklah orang yang mencapai kemakmuran itu menyadari dengan penuh kerendahan hati bahwa semangat, kesehatan badan, dan kecerdasan akal yang melandasi suksesnya itu, adalah semuanya karunia TUHAN juga.
Bila kita tergoda untuk membanggakan keberhasilan atau kekayaan kita, hendaklah kita selalu mengingat bahwa kita berdiri melulu atas dasar anugerah TUHAN. Anugerah itu dicurahkan atas kita dengan sebebas-bebasnya, asal kita sendiri tidak menghalang-halanginya. Kita memang menghalangi anugerah TUHAN bila dalam keputus-asaan kita berpaling daripadaNya, atau bila dalam kesombongan hati kita merasa diri serba sanggup, sehingga tidak memerlukan Dia lagi.
Sekali lagi masalahnya kembali kepada soal ketaatan: lakukanlah segenap perintah- Nya dengan setia, maka kesejahteraanmu akhirnya terjamin.
Kutipan dari:
I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 155ff.
- - - NR - - -
22 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar