06 Juni 2008

Rm 2 : 2 5 – 2 9

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Bagi orang Yahudi, pastilah kata-kata Paulus dalam bagian ini [2:17-29] menjadi suatu pengalaman yang menghancurkan hati. Ia yakin, bahwa Allah memilih dan mengasihinya hanya karena ia adalah keturunan Abraham dan karena ia membawa meterai sunat. Tetapi, Paulus memperkenalkan suatu pendapat yang lain, yang nanti ia terus-menerus akan ulang kembali. Keyahudian, ia menegaskan, bukan masalah rasial sama sekali; bahkan tidak ada hubungannya dengan sunat. Karena itu masalah tingkah laku.Jika demikian halnya, banyak orang Yahudi yang benar-benar keturunan Abraham dan bersunat, pastilah tak dapat disebut Yahudi; dan sebaliknya, banyak orang bukan Yahudi yang tidak pernah mendengar tentang Abraham dan yang tidak pernah memikirkan untuk bersunat, adalah Yahudi yang sebenarnya dalam pengertian ini. Tentu saja, kata-kata Paulus ini bagi orang-orang Yahudi, merupakan ajaran sesat yang akan membangkitkan luapan kemarahan mereka [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma, terj. ( Jakarta : BPK-GM, 2001), hlm. 75f.]. Informasi: Dalam pasal 1:18-32 Paulus tidak menyatakan secara langsung bahwa mereka yang dibicarakannya adalah orang bukan Yahudi. Demikian juga sampai di sini ia belum menyatakan secara langsung bahwa ia membicarakan orang Yahudi. Teta- pi sekarang ia berkata jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi . . . . [ayat 17]. Apa yang dikatakannya dalam bagian ini [2:17-24] dapat juga diterapkan pada semua orang yang dengan setia memeluk agama yang mempunyai standar etis yang tinggi. Hal-hal ini berlaku bagi pemeluk agama lainnya, dan juga bagi orang yang memeluk agama Kristen hanya sebagai standar etis semata-mata. Semua- nya di dalam aion [masa] lama, dan semuanya layak dimurkai [kutipan dari Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani ( Bandung : KH, 2000), hlm. 49f.].

2. Eksposisi

2:25 Sama seperti pengertian akan hukum Taurat dihargai dalam pasal 2:17-20, demikian juga sunat dihargai di sini, dan persyaratan yang sama masih berlaku: ketaatan. Dalam tulisan-tulisan Yahudi pada zaman itu ada ajaran yang berkata bahwa sunat dapat menyela- matkan orang dari neraka. . . . Kata pelanggar dipakai juga dalam Yakobus 2:9, di mana orang yang berdosa disebut “pelanggar” hukum Taurat. Dalam ayat ini Paulus menegaskan bahwa bagi pelanggar hukum Taurat, sunat mereka sudah menjadi tidak bersunat. Di sini ia berbicara keras, karena justru istilah tidak bersunat dipakai untuk menceritakan orang bukan Yahudi! Dengan kata lain, ia berkata, “Kalau kamu yang bersunat berdosa, maka kamu menjadi bukan Yahudi!” Rasul Paulus dapat mengatakan ini karena arti yang sesungguhnya dari sunat adalah “penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11) [kutipan dari Ibid.]. Informasi: We may perhaps express Paul’s double assertion in terms of two simple equations. Circumcision minus equals uncircumcision, while uncircumcision plus obedience equals circumcision [kutipan dari John R.W. Stott, The Message of Romans (Leicester, England, IVP, 1994), p. 93]. 2:26 Sebaliknya seandainya ada orang bukan Yahudi yang menaati hukum Taurat, maka ia sudah mempunyai “sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11). Istilah memperhatikan dapat berarti “menjaga” atau “melindungi” orang, tetapi kalau objek kata ini adalah hukum atau peraturan seperti ayat ini, maka kata ini berarti “menaati”. [ . . . ] . . . Penulis tidak memberi kesan bahwa sungguh ada orang seperti itu, dari golong- an tak bersunat yang memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat; dan ia juga tidak memberi kesan bahwa tidak ada orang yang demikian. Dengan kata lain, ini suatu pengan- daian yang netral. 2:27 Mengingat kesombongan orang Yahudi yang selalu siap menghakimi orang bukan Yahudi (2:1), pernyataan [dalam ayat] ini sangat menusuk; pernyataan ini keras sekali. “Bu- kan kamu yang boleh menghakimi mereka, tetapi justru mereka[lah] yang akan menghakimi kamu! (asalkan ada di antara mereka yang melakukan hukum Taurat!) [kutipan dari Hagelberg, op.cit.]. Informasi: ‘Condemn’ [LAI: menghakimi] in 27 does not mean that the judgment will be carried out by the good Gentiles but that at God’s judgment they will show up the errant Jews (cf. Mt. 12:41f.) [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible ( London : Nelson, 1972), p. 943]. The consequence Paul infers from this will have been profoundly shocking to Jewish people. In contrast to their traditional picture of themselves sitting in judg- ment on the uncircumcised pagans (cf. 2:1-3), the roles will be reversed . . . The ultimate sign, the bona fide evidence, of membership of the covenant of God is neither circumcision nor possession of the law, but the obedience which both circumcision and the law demand. Their circumcision did not make them what their obedience proved they were not. This is not salvation by obedience, but obedience as the evidence of salvation. The corollary is that Jews are just as much exposed to the judgment of God as Gentiles [kutipan dari Stott, op. cit.]. 2:28 Sudah dijelaskan (dalam 2:25-27) bahwa suatu upacara lahiriah yang tidak disertai ketaatan (seperti sunat) tidak memiliki arti, karena kenyataan batin adalah intisari dari agama sejati. Kalau begitu, maka Rasul Paulus dapat berkata bahwa sunat yang tidak disertai de- ngan ketaatan pada hukum Taurat sudah menjadi bukan sunat [lagi], dan orang Yahudi yang tidak taat dapat dikatakan bukan Yahudi [lagi]. Upacara hanya dapat memiliki nilai kalau upa- cara tersebut disertai dengan keadaan batin yang benar. Pentingnya keadaan hati bukan suatu tema yang baru bagi Rasul Paulus. Hal ini su- dah ditegaskan dalam Perjanjian Lama [Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; Yeh 44:9) [kutipan dari Hagelberg, op. cit.]

Informasi:

Pengertian dari bagian ini ialah, bahwa janji Allah bukan ditujukan bagi orang-orang dari ras tertentu dan bagi orang yang mempunyai tanda tertentu pada tubuhnya saja. Janji Allah adalah bagi mereka yang hidup dengan cara hidup ter- tentu, terlepas dari sangkut pautnya dengan kesukuannya. Orang Yahudi yang se- jati bukanlah masalah keturunaan, melainkan masalah watak; oleh sebab itu, se- ringkali orang yang secara rasial bukan Yahudi, mungkin lebih bersifat [justru] Yahudi daripada orang Yahudi sendiri [kutipan dari Barclay, op. cit., hlm. 76]. 2:29 Ayat terakhir . . . ini berisi suatu permainan kata-kata yang tak dapat diterjemahkan secara utuh. . . . Kata Yunani untuk “pujian”, ialah epainos. Apabila kita kembali pada Per- janjian Lama (Kej 29:35; 49:8), kita akan menemukan bahwa arti yang asli dan tradisional dari kata “Yehuda” juga “pujian” (epainos). Oleh karena itu ungkapan ini mempunyai dua arti. (a) Berarti, pujian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah. (b) Berarti, keyahudian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah [kuipan dari Ibid.]. Informasi: What Paul looks for is something more than this, however, namely ‘a circumcision of the heart that completely replaces the physical rite and does not merely complement it’. It will also be the Spirit, not by the written code (29b). That is, it will be an inward work of the Holy Spirit, such as the law as an external written code could never effect. This contrast between gramma (letter or code) and pneuma (the Spirit) sums up for Paul the difference between the old covenant (an external law) and the new (the gift of the Spirit) [kutipan dari Stott, op. cit., p. 94].

3. Excursus

Old Testament circumcision was not simply a badge of ethnic identity; like New Testament baptism it signified and sealed the removal of sin’s defilement and the imputation of the righteousness of faith, having as its basic import union with God. This is not simply a Pauline perception (see Rom. 4:11) being read back into the Old Testament. Already in Old Testament times the import of the rite began to be transferred metaphorically into the spiritual realm, and it came to be understood as conveying symbolically the removal of sin’s defilement through salvation (Exod. 6:13, 30; Lev. 19:23; 26:41; Deut. 10:16; Jer. 4:4; 6:10; 9:25-26; . . .) [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith ( Nashville , Tenn. : Thomas Nelson, 1988), p. 937]. Bagaimanakah bisa terjadi bahwa Paulus yang dahulu begitu menekuni hukum Taurat, kini mengganti kesetiannya pada Taurat dengan pengandalan pada Kristus? Perubahan yang mendalam ini pasti dimulai pada saat ia mendengar dari mulut Yesus yang telah bangkit per- kataan-Nya “Akulah Yesus yang engkau aniaya” (Kis 9:5 BIS). Mengapa pengalaman dalam perjalanannya ke Damsyik ini demikian menimpa Paulus sehingga seluruh pandangan hidup- nya dijungkir-balikkan? Semata-mata karena Yesus menampakkan diri kepada Paulus seba- gai yang hidup kembali, karena itu berarti bahwa Ia dibenarkan Allah. Sebelum pengalaman ini Paulus beranggapan bahwa gejala serupa itu mustahuil terjadi, karena justru Taurat me- nyatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” (Gal 3:13)! Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh cara hidup Yesus (sebagai sahabat orang berdosa) menimbulkan heboh bagi setiap orang yang setia pada Taurat. Pada hal orang itulah yang Allah benarkan dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Dengandemikian, Paulus menginsafi bahwa ke- rajinannya dalam memelihara hukum Taurat-lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah. Hukum Taurat bertindak sebagai tabir yang menutupi wajah utusan Allah (2 Kor 3:14- 16). Selain itu, Paulus menjadi sadar akan kekhilafannya dalam hal menaniaya pengikut- pengikut Yesus. Tadinya ia yakin bahwa atas nama hukum Taurat mereka harus dianiaya karena mereka sedang memberitakan Mesias yang palsu. Lagi pula mereka tidak layak menerima utusan Allah karena kurang tekun dalam memelihara hukum Taurat. Umum mengetahui bahwa dalam perjalanan Yesus mereka sering melanggar Taurat. Tetapi kini Yesus menampakkan diri kepada Paulus serta mengatakan: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, ‘dengan menindas para pengikut-Ku engkau sedang menganiaya Aku yang telah diutus dan dibenarkan Allah’. Jadi bukan hanya Yesus tetapi pengikut-pengikut-Nya juga dibenarkan. Sekarang kita mempunyai jawaban pada soal mengapa secara begitu mendadak Taurat dalam pemikiran Paulus digeser dan diganti dengan pribadi Yesus. Mesiasnya Allah dinyata- kan terlebih dahulu kepada kalangan yang tidak setia pada Taurat dan Ia pun disalibkan. Ma- ka Paulus berani menarik kesimpulan bahwa hukum Taurat tak dapat diandalkan lagi melain- kan telah diganti dengan Ia-yang-disalibkan. Wewenang yang dahulu melekat pada Taurat, kini dianmbilalih oleh Kristus. Ternyatalah, bagi Paulus kematian Kristus (dan pasti harus ditambahkan kebangkitan Kristus pula) merupakan garis batas antara dua zaman [aion] [ku- tipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 168f.].

- - - NR - - -

Tidak ada komentar: