I M A M A T 1 9 : 1 - 1 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Kitab ketiga dari kelima Kitab Musa disebut “Kitab Imamat”. Dalam bahasa Yunani-Latin dinamakan
“Leviticus”. Dan demikian pun dalam kebanyakan bahasa moderen. Nama dalam bahasa Indonesia itu
sangat cocok. Sebab bagian terbesar kitab ini mengenai para imam umat Israel, tugas dan kewajiban-
kewajibannya. Kaum Lewi, yaitu para pembantu imam-imam, [justru] tidak tampil dalam Kitab Imamat ini.
. . . Meskipun lama sesudah zaman Musa barulah disusun, namun dalam Pentateukh Kitab Imamat
langsung melanjutkan Kitab Keluaran. Dipikirkan bahwa isi kitab ini diumumkan waktu orang-orang Israel
tinggal di gunung Sinai [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), hlm. 115f.].
Dilihat dari isinya secara keseluruhan, Im dapat disebut ‘Kitab Kekudusan Tuhan’ [‘Holiness Code’],
dengan tuntutan-Nya yang mendasar yaitu ‘Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN adal kudus’
(20:26). . . . Kekudusan-Nya-lah yg mengharuskan adanya hukum-hukum tentang persembahan dan
makanan, pentahiran dan kesucian, Masa Raya dan upacara-upacara lainnya. Para imam adalah orang-
orang yg sangat penting sebagai perantara antara Tuhan dengan Israel. Kehidupan dalam perjanjian
[‘covenant’] adalah kehidupan yg terus-menerus diatur dengan segala macam peraturan [kutipan dari Ensi-
klopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 429].
Informasi: Sejak abad yang lalu, Imamat 17-26 dianggap oleh para ahli sebagai kumpulan hukum
terpisah, yang diberi nama “Hukum Kekudusan” (Holiness Code}, karena rujukannya yang
berulang-ulang kepada kekudusan dan tuntutan yang terus menerus untuk hidup secara
kudus. Tetapi seperti telah kita lihat dalam pasal 1, kekudusan bagi Isael adalah lebih dari
sekedar masalah ritual atau kesalehan. Imamat 17-26 berisi hukum-hukum praktis tentang
kehidupan keluarga secara seksual (Im 18 dan 20) dan kehidupan sosial secara umum
(khususnya Im 19), serta peraturan-peraturan tambahan untuk pekerjaan keimaman dan
berbagai jenis perayaan (Im 21-24) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat
Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 154].
Im 19 telah lama diakui sebagai salah satu bagian yang tertua di dalam kumpulan hukum-
hukum Im 17-26 (“Kitab Undang-Undang Kesucian”). . . . Munculnya dua kali hukum yang
itu-itu juga dalam fasal yang sama --- hormatilah orang-orang tua, Im 19:3 dan 32; memeli-
hara hari Sabat, 19:3 dan 30; jangan bertindak curang dalam pengadilan, 19:15 dan 35a,
dst. --- membenarkan dugaan bahwa fasal ini adalah “tempat persembunyian” bagi dua
buah Dekalog yang tua lagi (mis. Im 19:3-19 dengan ay 5-10, 17-18 sebagai tambahan,
dan 19:26-36 dengan ay 34 sebagai tambahan).
…………………………………………………………………………………………………….
Ketetapan-ketetapan yang terkumpul di dalam “Kitab Undang-Undang Kesucian” (Im 17-26)
sekali-kali tidak berhenti pada batas bidang “keagamaan” menurut pengertian kita. . . .
Kedua ringkasan hukum-hukum yang dipergunakan oleh penyusun Im 19 [lihat di atas]
adalah bersifat “umum”, tidak kurang dari Dekalog Kel 30/Ul 5 yang terkenal itu; rupa-
rupanya para penyusun berkeyakinan bahwa hak-hak sesama manusia --- hormat kepada
ibu-bapa (19:3,32), keamanan nyawa, nama baik dan milik orang (19:11, 13,16,18), penga-
dilan dan perdagangan yang benar (19:15,36), pergaulan dengan orang-orang kecil (19:13-
15,10,33), wajib diindahkan, tak kurang daripada hak-hak Allah [kutipan dari C. Barth, Theo-
logia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 236 dan 258].
Fasal 19 : 1 – 37 : Kudusnya hidup [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian
Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 56].
2. Eksposisi/Uraian
Informasi: Hukum-hukum ini begitu bermacam-macam sehingga sukar nuntuk menggolong-
kannya. [Ay] 2: Hukum-hukum itu disajikan dengan peringatan serius, Kuduslah
kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus. Hingga 15 kali Aku, Tuhan (Allahmu)
diulangi dalam 37 ay dari bab ini. Hukum-hukum itu mengenai ucapan keagamaan
dan hidup kesusilaan, dan keduanya termasuk kedua loh Dasa Titah. [Ay] 3, 4:
Ayat-ayat ini berisi titah ke-5, ke-4 dan ke-2 Dasa Titah. Menyegani orang tua,
memelihara Sabat, menjauhkan diri dari berhala ditempatkan di depan sebagai
sangat penting secara khusus. Bahwa kata ‘menyegani’ kadang-kadang dipakai
dalam arti ‘menghormati’ dijelaskan oleh ay 30, di mana kata-kata ‘menghormati
tempat kudusKu’ dipakai. Bnd Ul 6 di mana ‘Kasihilah Tuhan’ (ay 5) didahului (ay
2) dan diikuti (ay 13) oleh ‘takut akan Tuhan’; dan lih Ul 9:19. ‘Kasih’ kepada Allah
tidak diperintahkan dalam Im dan kasih kepada manusia hanya dalam 19:18, 34.
Tapi harus diingat bahwa hal itu ditunjukkan dalam Dasa Titah (Kel 20:6) dan
sering sekali dalam Ul.
[Ay] 5-8: Ay-ay ini mengenai hal makan daging korban keselamatan (bnd 7:15-18).
[Ay] 9, 10: Hukum mengenai memungut apa yg tertinggal dari penunaian termasuk
pada rangkuman umum dari loh kedua Dasa Titah, yg memerintahkan kasih terha-
dap sesamanya (bnd 23:22; Ul 24:9-22). [Ay] 11, 12: Ay-ay ini bersandar pada titah
ke-8 dan ke-3 Dasa Titah. [Ay] 13, 14: Kedua ay ini dihubungkan erat sekali dengan
titah ke-8 Dasa Titah dan asas kemanusiaan yg mendahuluinya. [Ay] 15, 16: Ay-ay
ini menguraikan titah ke-9 Dasa Titah [kutipan dari Tafsiran Masa Kini 1, Kejadian – Ester,
terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998], hlm. 218].
Ayat 2: Apa memang Tuhan menuntut kesempurnaan?
Hendaknya diingat bahwa kata “kudus” tidak sama dengan “sempurna”. Kata “kudus” berarti
dipisahkan (Inggris: to be set apart) --- maksudnya, dipisahkan (cf. Inggris: reserved) bagi/
untuk Tuhan dengan segala maksud baikNya.
Informasi: It was God’s insistence to his people that they must be holy because he was holy
[Im 19:2; 20:7, 26]. The word for holy is hagios whose root meaning is different.
The Temple is hagios because it is different from other buildings; the Sabbath is
hagios because it is different from other days; the Christian is hagios because he
is different from other men. The Christian is God’s man by God’s choice. He is
chosen for a task in the world and for a destiny in eternity. He is chosen to live for
God in time and with him in eternity. In the world he must obey his law and repro-
duce his life. There is laid on the Christian the task of being different [kutipan dari
William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters of James and Peter (Edinburgh: the Saint
Andrew, 1981), p. 188].
PL menggunakan kata ‘kudus’ atas orang yg dinobatkan bagi maksud-maksud
agamawi. Misalnya para imam yg ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga
seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yg disucikan bagi Allah tidak sama
dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel
satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini ‘kudus’ mengacu kepada pengung-
kapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terle-
pas dari PB, sebagaimana dalam 1 Kor 7:14, di mana suami yang tidak beriman
dikuduskan karena hubungannya dengan istri yg beriman demikian sebaliknya
[kutipan dati Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 1, hlm. 617].
God said, “You shall be holy; for I the Lord your God am Holy” [Im 19:2; bnd 20:7,
26]. He who would find fellowship with God is committed to a life of goodness
which reflects God’s goodness. C.H. Dodd writes: “The Church is a society of
people who, believing in a God of pure goodness, accept the obligation to be good
like him.” This does not mean that a man must be perfect before he can have
fellowship with God; if that were the case, all of us would be shut out. But it does
mean that he will spend his whole life in the awareness of his obligations, in the
effort to fulfil them and in penitence when he fails. It will mean that he will never
think that sin does not matter; it will mean that the nearer he comes to God, the
more terrible sin will be to him [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters
of John and Jude (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 29].
3. Excursus
BERSIFAT KUDUS, SEBAGAIMANA ALLAH KUDUS
Kekudusan adalah penting dan berguna. Kekudusan penting karena Allah itu kudus, dan
kekudusan berguna sebab kita disuruh untuk kudus. Tetapi banyak orang Kristen tidak me-
ngerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekudusan.
Sebagaian besar orang Kristen menganggap kekudusan sebagai skala pengukuran moral,
seperti catatan peringkat pada akhir masa pelajaran. Orang yang tidak kudus tercatat di bagi-
an bawah. Orang yang biasa-biasa saja tercatat di bagian tengah. Orang yang sangat baik
tercatat di atas di dekat puncak. Tetapi tidak seorang pun yang seratus persen kudus kecuali
Yesus.
Penjelasan begini menyesatkan. Kekudusan meliputi etika dan kebenaran, tetapi itu bukan-
lah hakikat kekudusan. Hakikat kekudusan adalah berada dalam keadaan tersendiri [Inggris:
set apart].
Allah itu samasekali lain, Ia tersendiri. Allah sangat berbeda. Tidak ada seorang pun yang
seperti Allah yang kudus itu. Kekudusan Allah mempunyai banyak segi. Kekudusan-Nya me-
nyerupai prisma yang memantulkan banyak warna pada waktu bersamaan.
Segi yang pertama adalah keagungan. Allah itu agung seperti seorang raja di atas takhta-
nya. Kata mulia melukiskan aspek kekudusan ini. Mereka yang dapat menangkap bayangan
Allah dalam kekudusan-Nya biasanya diliputi perasaan tentang ketidaklayakan diri mereka.
Ia begitu agung dan kita tidak. Ia kudus dan kita adalah orang-orang berdosa. Pada waktu
penulis-penulis Alkitab mencoba untuk melukiskan hebatnya kekudusan Allah, mereka harus
mengulangi kata kudus itu tiga kali, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (Yesaya
6:3).
Segi kedua adalah kehendak. Allah bukan merupakan suatu rumusan atau suatu konsepsi.
Allah adalah kehendak, suatu kehendak yang melaksanakan berbagai hal. Kehendak Allah
ditetapkan terutama untuk menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang kudus, untuk bertindak
sebagai Allah, dan untuk dikenal sebagai Allah. Oleh sebab itu Ia tidak bersifat acuh tak acuh
terhadap cara orang-orang menghormati Dia.
Segi yang ketiga adalah murka. Murka Allah bukanlah kemarahan yang ‘ngawur’. Melain-
kan merupakan pernyataan wajar tentang kekudusan Allah sebagai tanggapan terhadap dosa.
Allah tidak bisa hidup berdampingan dengan kejahatan. Kita mengetahui murka Allah, karena
kita adalah orang berdosa. [Maksudnya], pikiran dan kemauan kita ditujukan pada hal-hal
yang lain daripada kehendak Allah dan yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Segi keempat dari kekudusan Allah adalah kebenaran. Kebenaran moral Allah adalah
kehendak Allah yang sedang bekerja di dalam hidup kita. Kehendak Allah bertindak untuk
menyesuaikan dunia dengan sifat moral Allah. Hukum Allah merupakan pernyataan yang baik
tentang kebenaran moral-Nya.
Keempat segi kekudusan ini menolong kita untuk mengerti apa artinya bagi kita untuk
menjadi kudus. “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Imamat 19:2). Ayat ini
tidak mengatakan, “Jadilah Allah sebagaimana Aku ini Allah.” Firman ini tidak berbicara me-
ngenai kemuliaan dan keagungan Tuhan. Bahkan firman itu bukan berkata: “Jadilah benar se-
cara moral sebagaimana Aku benar secara moral.” Kita tidak bisa menjadi kudus dalam taraf
yang sama seperti Allah, tetapi kita bisa menjadi kudus dengan cara yang sama. Sebagaima-
na Allah itu kudus, tersendiri, kita pun harus kudus dan tersendiri. [ . . . ]
Ada tiga langkah untuk menjadi [kudus dan] tersendiri. Pertama adalah sadar akan dosa-
dosa kita. . . .
Langka kedua adalah dilahirkan kembali [Yoh 3:3]. Tidak seorang pun dapat menjadi ter-
sendiri tanpa pengalaman ini.
Langkah ketiga adalah menghasilkan “buah yang sesuai dengan pertobatan” (Matius 3:8),
yang berarti berpaling dari dosa menuju iman [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj.
(Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 175ff.].
- - - NR - - -
22 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar