I M A M A T 2 0 : 2 2 - 2 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Undang-undang kekudusan [Inggris: Holiness Code] (Im 17-26) disusun di Yerusalem sebe-
lum pembuangan. Ketika Kitab Ulangan yang berasal dari Utara dalam persiapan penerbitan-
nya, dan segala sesuatu dipusatkan pada perjanjian dan pemilihan dari pihak Allah, imam-
imam di Yerusalem ingin menetapkan kebiasaan yang dijalankan di Bait Allah, berpusat pada
ibadah, untuk mengingatkan umat bahwa Allah adalah suci, sama sekali berbeda [kutipan dari
Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 92f.].
Ciri khas Kitab Imamat ialah: Hampir tidak ada cerita di dalamnya. Hanya ada cerita tentang
pemberontakan Nadab dan Abihu (bab 10). Tetapi cerita ini hanya mau menegaskan bahwa
siapapun juga harus berpegang teguh pada aturan ibadat, kalau tidak ia dihukum Tuhan. Lain-
lain bagian Kitab Imamat hanya memuat hukum, aturan dan undang-undang saja. Ada cukup
banyak hukum dan aturan yang serupa atau sejalan dengan yang tercantum dalam Kitab Ke-
luaran. Tetapi dalam Kitab Imamat semua disoroti dari sudut pandangan para imam. [ . . . ]
Membaca hukum dan aturan biasanya cukup membosankan. Apa lagi hukum dan aturan
dari zaman dahulu seperti yang termuat dalam Kitab Imamat. Namun justru hukum dan un-
dang-undang suatu bangsa menyingkapkan ciri-corak bangsa yang bersangkutan. Dalam hu-
kumnya menjadi nyata nilai-nilai mana dijunjung tinggi oleh suatu bangsa; mana cita-cita yang
dikejar; bagaimana anggota-anggota itu memperlakukan satu sama lain dan saling menghar-
gai. Demikian pun halnya dengan hukum dan undang-undang yang tercantum dalam Kitab
Imamat. Boleh dikatakan bahwa dalam kitab ini bangsa Israel nampak sebagai bangsa yang
seharusnya “Umat yang kudus”. Ini nampak dalam sikap dan ibadatnya kepada Allah dan
yang kudus itu, terhadap sesama anggota umat yang kudus itu, terhadap tanah milik Tuhan
dan terhadap waktu yang dikuduskan Tuhan [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian
Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 110].
2. Eksposisi
Informasi: Fasal 17-26 : Hukum Kesucian [Inggris: Holiness Code].
Fasal 19:1-37: Kudusnya hidup.
Fasal 20:1-27: Kudusnya umat TUHAN.
Fasal 21:1-33: Kudusnya para imam.
[kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.
55f.].
20:1-27 Hukum serba-serbi mengenai kejahatan yg mengerikan
(Ay) 22-26: Ay-ay ini mengingatkan kepada Israel bahwa kejahatan-kejahatan besar yg baru
saja diuraikan [dalam penggalan sebelum ini] itu adalah kejahatan-kejahatan orang-orang yg
negerinya akan mereka duduki. Negeri itu telah ‘memuntahkan’ (bnd 18:25) penduduknya ba-
gi keburukan-keburukan mereka, dan Israel akan menderita hal yg sama, jika ia melakukan
keburukan-keburukan itu (bnd 18:28). Namun negeri itu adalah warisan mereka, dan negeri
itu adalah negeri yg baik (Kel 3:8, 17).
TUHAN telah memisahkan mereka. Perhatikan pemakaian kata itu hingga 3 kali dalam
ay 24-26. Bagian ini jelas menunjukkan,bahwa tujuan pokok dari hukum-hukum yg mengenai
makanan dalam ps 11 itu adalah untuk mengadakan dan memajukan suatu pemisahan yg te-
gas antara Israel dan orang Kanaan. Karena makan dan minum penting dalam hidup sehari-
hari umat, dan karena ay 22-26 dimaksudkan sebagai kesimpulan bagi kumpulan hukum yg
besar ini, yaitu hukum upacara-upacara keagamaan dan moral, yg harus ditaati oleh umat,
maka penunjukan kembali ke ps 11 yg dengannya hukum-hukum di mulai, adalah tepat seka-
li. Supaya kamu menjadi milikKu. Di sini seluruh tujuan hukum secara singkat dirangkumkan.
Umat TUHAN harus menaati hukumNya, jika mereka benar-benar adalah milikNya [kutipan dari
Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 220f.].
Informasi: Dengan pemberian undang-undangNya itu Allah dikatakan “bermaksud” hen-
dak menertibkan kehidupan umatNya, tetapi dalam hal ini firmanNya tak boleh
disama-ratakan dengan perkataan manusia. Firman Allah memang menyatakan
maksud dan kehendakNya, sebagaimana halnya dengan tiap-tiap perintah atau
keputusan manusia juga. Tetapi dengan melebihi sifatnya sebagai pernyataan,
keputusan atau pemberitahuan itu, hukum-hukum Allah mengerjakan (melaksana-
kan) apa yang dinyatakannya . . . Allah menertibkan kehidupan umatNya; Ia tidak
menyuruh umat itu supaya hidup dengan tertib! Allah “menguduskan” mereka (Im
20:8; 22:32; 21:8; Kel 31:13; Yeh 20:12); Ia tidak hanya menyuruh mereka, supa-
ya “menjadi orang-orang kudus” (Kel 22:31; Im 19:2; 20:26). Allah “menebus” atau
“membebaskan” suatu umat bagi diriNya serta menjadikan mereka menjadi ham-
ba-hambaNya yang merdeka terhadap segala kuat-kuasa yang memperbudaknya;
Ia tidak hanya menyuruh mereka supaya hidup seperti orang-orang merdeka. Al-
lah menyatukan mereka menjadi suatu “jemaah” atau “perkumpulan” yang bersifat
persekutuan dan persaudaraan antara sesamanya sendiri; Ia tidak hanya menyu-
ruh mereka supaya hidup seperti saudara-saudara. Firman Allah mengerjakan se-
muanya ini. FirmanNya yang berupa hukum-hukum itu berkuasa untuk melaksa-
nakan maksudnya, dan sungguh-sungguh memakai kuasanya.
Adalah dengan sengaja kita tekankan sekali lagi kuasa hukum-hukum Allah itu:
sudah terlalu biasa kita menilai hukum-hukum itu semata-mata sebagai peraturan
yang sempurna sendiri, tetapi yang baru “mendapat” pengaruh dan kuasa, apabila
umat Israel sudi menaatinya. Hukum-hukum Allah memang menuntut ketaatan.
Tetapi justru bangkitnya ketaatan yang sukarela ini adalah disebabkan oleh pe-
ngaruh hukum-hukum Allah itu sendiri; hukum-hukum itu hanya menuntut apa
yang serentak diberikannya juga. Apabila umat Israel tidak menaatinya; maka itu
berarti bahwa mereka belum sampai mendengakannya, belum membuka dirinya
untuk kuasa-kuasa hukum itu. Segala puji patut diberikan kepada kuasa firman itu
sendiri, apabila manusia membuka diri untuknya. Bangkitnya ketaatan itu adalah
tidak kurang ajaib daripada “kelahiran” dan “kehidupan” Israel sebagai umat TU-
HAN --- baik pada permulaannya maupun di sepanjan masa! [kutipan dari C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 312f.].
3. Excursus
Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma”
adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian
Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara
demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya.
Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak
dapat begitu saja memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia mo-
dern. [ . . . ]
Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya
relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen
atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi terang bagi bangsa-
bangsa (bnd. Yes 49:6), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. . . . Pendekatan paradigma-
tis ini membuat Perjanjian Lama paling bermanfaat sebagai suatu sumber bagi etika sosial
Kristen [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-
GM, 1995), hlm. 42f.].
- - - NR - - -
30 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar