07 Oktober 2007

Kearifan:Membiarkan dan Memberi Waktu

Tindakan represif tidak selamanya berguna menyikapi kelompok sempalan dalam komunitas agama.Menurut anggota Komisi Teologi di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Edy Kristyanto dari pengalaman Gereja Katolik menangani kelompok yang dianggap sesat atau sempalan, ada kalanya teknik membiarkan dan memberi tenggat waktu merupakan kearifan yang perlu ditempuh. Inilah penuturannya kepada Novriantonodari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK),Kamis (5/1/2006)
Menurut Anda, bagaimana pengalaman Gereja Katolik menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap sesat atau sempalan?Dulu, Gereja Katolik Roma membentuk lembaga berupa inkuisisi yang menimbang-nimbang ajaran dan doktrin mereka; apakah ini murni atau sudah tercampur berbagai keyakinan dan unsur-unsur lain.Lembaga inkusisi itulah yang berkembang menjadi kongregasi yang disebut congregatio pro doctrina fidae atau kongregasi untuk doktrin dan iman. Komisi tersebut yang menilai latar bela- kangnya, bagaimana pertimbangan kitab sucinya, bentuk ajaran teologisnya, dan apakah ada kesaksian-kesaksian dari masyarakat setempat.Jadi, selalu ada kajian yang utuh, bukan hanya dari aspek teologis suatu kelompok. Meski kepedulian gereja pertama-tama adalah bidang moral dan iman, unsur-unsur lain yang perlu diteliti tetap diperhatikan juga. Makanya, diundanglah sosiolog, psikolog agama, dan ahli kitab suci untuk menimbang segala sesuatu yang berkenaan dengan kelompok sempalan tersebut.Nah, sejauh yang dicatat sejarah, terutama pada Abad Pertengahan, komisi itulah yang akan mempertimbangkan. Misalnya, ditetapkan, kelompok sempalan tersebut tidak sejalan dengan arus umum gereja karena tafsiran Alkitabnya seperti ini dan itu.Pertimbangan tersebut lalu diarahkan kepada suatu lembaga yang bekerja sama dengan pemerintahan sipil untuk mengejar dan terus mengintai. Kalau perlu, menangkap dan menangani mereka. Selanjutnya, kelompok itu dieksekusi atau dikenai sanksi macam-macam. Tapi, sejak abad ke-17, lembaga inkuisisi tersebut sudah lenyap.
Apakah gereja selalu merekomendasikan pelarangan atau pelenyapan eksistensi kelompok-kelompok yang dianggap sesat?Pada awal sejarah, rekomendasi lembaga inkuisisi --- atau lembaga jagal itu --- memang sangat jelas. Bahkan, misalnya, pada Konsili Konstan abad ke-15, ditetapkan Johan Huss dari Bohemia telah sesat. Dan, lembaga atau konsili ekumenis memvonis dia mati bakar. Jadi, rekomendasi lembaga inkuisisi tersebut sangat jelas. Meski, eksekusinya dibebankan pada pemerintah sipil berdasarkan pada penyimpangan-penyimpangannya dari dalil-dalil teologis Alkitab dan sebagainya.
Jadi, tampaknya, agamawan selalu ingin lepas tangan, tapi mendesak pemerintah untuk menjalankan eksekusi?Tidak selalu begitu, sebetulnya. Hal tersebut hanya selalu terjadi ketika di Eropa saat itu, agama dan kekuasaan pemerintah sipil atau negara/aparat bersatu sedemikian rupa. Namun, ketika ada seperasi atau pemisahan kutub-kutub kekuasaan, masalah agama ditangani agamawan sendiri. Termasuk, cara memurnikan ajaran agamanya.
Apa standar yang biasa digunakan gereja untuk menetapkan suatu kelompok itu sesat atau tidak sesat?Kalau berbicara standar, berarti kita juga harus berbicara tentang lembaga yang menciptakan standar. Tapi, biasanya, standar umumnya adalah Alkitab, teologi yang umum, logis dan masuk akal, sudah teruji dalam tradisi yang begitu lama, serta terbukti ngefek atau tidak.Artinya, apakah dari suatu kelompok itu ada buah-buah roh atau tidak. Intinya, ada tidaknya kemaslahatan bagi banyak orang. Dan, standar ini memang ditetapkan [oleh] sebuah lembaga berdasar dogma-dogma sesuai arus umum.Jadi, standar tersebut ditetapkan [oleh] lembaga khusus yang memegang kekuasaan. Di situ ada hierarki dan tidak semua orang berwenang menilai. Dalam struktur agama Katolik Roma, hierarkinya sangat jelas. Ada usukup, imam, dan diakon menyangkut siapa yang harus meng- hadapi persoalan-persoalan tersebut.Jadi, soal ini tidak diserahkan pada orang-orang biasa atau awam. Sebab, ini masalah iman. Petinggi gereja harus terlibat dalam menentukan benar atau tidaknya. Akhirnya, kepada kelom- pok sempalan, sering dikatakan,”Kalau Anda tidak setuju dengan ketetapan kami, silakan keluar!”
Di Indonesia, apakah Gereja Katolik atau Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pernah menghadapui kasus-kasus seperti itu?Akhir-akhir ini, KWI memang sering mendapatkan surat dan informasi tentang sejumlah kelompok yang konon mendapatkan bisikan dari santa perawan Maria atau Siti Maryam. Ada buku yang menyebutkan bahwa salah seorang diantara ketua kelompok tersebut merasa telah mendapatkan bisikan terus-menerus dari Ibunya Yesus itu.Dari bisikan tersebut, dikabarkan bahwa akan ada nabi atau penghibur yang hadir di tengah-tengah mereka. Bisikan itu terus-menerus dialami ibu yang tidak perlu saya sebutkan namanya tersebut. Kasus ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan KWI. Lantas, ibu itu selalu menulis buku yang berisi nasihat-nasihat.Pada awal 2000, di Surabaya juga ada kelompok Bapak Thomas yang konon dianggap memperoleh penglihatan-penglihatan dari sang perawan Maria. Dalam bisikan-bisikan tersebut, misalnya, disebutkan, suatu ketika nanti, antara pukul 2 lebih 3 menit, dia akan menampakkan diri. Kita bertanya-tanya: “Santa Maria kok dikencani?” Tapi, justru banyak orang berbondong-bondong keheranan melihat mukjizat tersebut.Dalam kasus-kasus seperti itu, KWI biasanya sangat berhati-hati dengan cara membiarkannya. Pedoman kearifan membiarkan dalam arti tetap memantau sekaligus memberikan waktu tersebut, [sesuai dengan] Injil Lukas pasal 6 ayat 40-an [tepatnya Luk 6:43 dst., NR]. Disitu dinyatakan, segala sesuatu diukur atau bisa dilihat dari buahnya. Kalau sesuatu itu baik, ia akan mendatangkan hal yang berguna bagi orang lain.
- - - o0o - - -
Dikutip dari Jawa Pos, Kajian,Jumat, 13 Januari 2006, hlm. 10.
Disalin oleh Nazarius Rumpak<ranteballa@yahoo.com>P.S. Bermanfaat untuk membaca buku Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta: Kanisius, 2002). Penulis buku (ibid., hlm. 10) sangat kritis terhadap buku H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1995) [NR].

Tidak ada komentar: