(Beberapa Catatan, Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengaruh Positif dari Keluarga Seorang pakar psikologi keluarga menyatakan bahwa “kehidupan kita dibentuk sejak dini oleh orang tua kita. Sesudah dilahirkan citra diri kita muncul dari pandangan mata pengasuh pertama [i.e. ibu] kita. Bagaimana saya memahami dan merasakan mengenai diri saya adalah persis sama dengan apa yang saya lihat dari tatapan pengasuh pertama itu. Bagaimana pribadi pengasuh merasa tentang diri saya pada tahun-tahun awal ini, begitulah juga saya akan mera- sakan tentang diri saya sendiri” [seperti yang dikutip dalam Eugene C. Roehlkepartain, The Teaching Church (Nashville, Tenn.: Abingdon, 1993), p. 168; terjemahan bebas oleh NR].
2. Tiga Asas Pokok Apa ciri sebuah keluarga Kristen? Tanpa menghiraukan gaya atau struktur khusus keluarga itu, ada tiga asas yang perlu diperhatikan: kasih, kesetiaan (antara kedua mitra pernikahan) dan tanggung jawab (teristimewa untuk mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang) [ . . . ] Rumah tangga tempat kasih, kesetiaan, dan tanggung jawab Kristiani diajarkan mendatangkan kemu- liaan kepada Allah. Dengan latar belakang sepeti ini maka lebih mudah untuk mengerti konsepsi- konsepsi Alktabiah. Alkitab menggunakan lukisan bapa untuk menggambarkan Allah; dan istilah-istilah keluarga (kedudukan sebagai anak, saudara laki-laki, saudara perempuan, dilahirkan, diangkat sebagai anak) untuk menerangkan hubungan di antara orang-orang Kristen. Bagaimana Anda dapat mengerti gagasan-gagasan ini jika Anda tidak pernah mengalaminya? Tanpa acuan, gambaran-gambaran ini menjadi konsepsi yang abstrak. Banyak orang yang tidak pernah mengalami hubungan yang hangat dan penuh kasih saying de- ngan ayah mereka. Dengan latar belakang yang demikian, tidaklah mengherankan bahwa begitu banyak orang Kristen tidak memahami konsepsi Alkitab mengenai Allah [kutipan dari Ted Ward, Nilai Hidup Dimulai dari Keluarga, terj. (Malang: Gandum Mas, 1979), hlm. 16f.].
3. Gereja dan Keluarga Gereja perlu melayani keluarga dan meningkatkan pelayanan itu demi kepentingan gereja sendiri. Kehidupan keluarga, yang baik maupun yang buruk, mempengaruhi kehidupan gereja. Seperti dikata- kan oleh Budiyanto “’Kesehatan’ sebuah jemaat bergantung kepada ‘kesehatan’ keluarga pemimpinnya serta warga jemaatnya . . . keluarga saat ini menentukan mutu, nilai dan gambar masyarakat generasi mendatang . . . Di dalam keluarga yang harmonis, yang takut dan taqwa kepada Allah dihasilkan ma- nusia yang positip citra diri dan kehormatannya, bagus etos kerjanya, berkobar semangatnya untuk maju, untuk mengabbdi dan untuk berkorban” . . . Dengan pelayanan keluarga gereja akan mewujud- kan potensi keluarga untuk menolong gereja . . . “ . . . Namun kedua lembaga ini tidak selalu bersaha- bat seperti yang seharusnya, tidak saling membantu kesejahteraan masing-masing seperti yang seha- rusnya . . . banyak anggota gereja telah mengorbankan kehidupan keluarga untuk membangun kehi- dupan gereja . . . banyak gereja gagal meningkatkan mutu keluarga anggotanya”. . . .
Memang ada yang berkeberatan terhadap pelayanan keluarga. Ada yang khawatir bahwa berkat pelayanan keluarga, keluarga akan kurang setia lagi kepada kegiatan gereja karena mereka tidak mau lagi mengorbankan keluarga untuk kegiatan gereja. Dikhawatirkan bahwa jika anggota mementingkan keluarga, maka program-program pokok di gereja akan ambruk. Ada juga yang khawatir bahwa pelayanan keluarga akan menambah beban gereja yang sudah sarat dengan tugas-tugasnya dalam bidang penginjilan [PELKES], pendidikan Kristen, penyembahan [ibadah], dan pengajaran Alkitab [a.l. katekisasi]. Bahkan ada yang dengan keras mengatakan bahwa pelayanan keluarga adalah berhala baru yang akan menjadikan gereja mengabaikan misinya untuk mempengaruhi tatanan masyarakat. Sesungguhnya pelayanan keluarga tidak perlu menghambat gereja dalam melaksanakan tugas dan misinya. Yang diperlukan ialah kepekaan gereja akan keperluan keluarga anggota gereja sehingga program gereja tidak berakibat buruk bagi keluarga. Program gereja dapat diperbaiki supaya gereja dapat mewujudkan tugas-tugasnya dan juga dapat memelihara keluarga. Sebaliknya pelayanan keluarga hendaknya tidak menghambat pelaksanaan tugas gereja malahan mendukungnya. Program gereja dapat disusun sedemikian rupa agar gereja bekerjasama, bukannya bersaing dengan keluarga [kutipan dari Gary H. Hauk, Peningkatan Mutu Keluarga di Gereja Anda, terj. (Semarang: STT BI, 1997), hlm. 6f.].
4. Informasi dan Kasus: Pendeta dan Keluarganya [kutipan dari Lucille Lavender, Mereka Juga Manusia, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989). Ironisnya salah satu kebutuhan utama isteri pendeta Anda adalah pelayanan seorang pendeta. Ba- rangkali ia tidak menyadari hal itu. Suaminya boleh jadi seorang pendeta yang terhebat di dunia, tapi ia tidak dapat menjadi pendeta untuk isterinya. Meskipun isterinya mengira ia dapat, tetapi yang terutama ia adalah seorang suami. Jika ia menyenangkan hati isterinya ketika datang kepadanya untuk berkon- sultasi, kemungkinan ia akan memperlakukannya sebagai pendeta. Namun kalau ia merasa dipaksa untukmemberikan nasihat, maka ia tiba-tiba akan menjadi suami. Pada kenyataannya, isteri pendeta tidak mempunyai pendeta. Kepada siapa ia seharusnya pergi un- tuk menceritakan secara rahasia tentang perasaannya, kesedihannya atau tekanan batinnya? Dari sia- pakah ia dapat memperoleh pertolongan spiritual? Tidak ada, kecuali jika ia merasa tidak kikuk untuk pergi kepada pendeta lain di sekitarnya. Karena para isteri pendeta tahu benar tuntutan waktu pendeta, hanya sedikit di antara mereka yang mencari pertolongan dari para pendeta. Mungkin juga mereka sa- dar dan merasa malu minta pertolongan. Jika demikian, maka yang perlu mereka hadapi secara menda- sar adalah suatu bentuk kesombongan [tersamar] [hlm. 110f.]. Tekanan yang dirasakan pendeta dan keluarganya tidak dapat disembunyikan atau diabaikan. Te- kanan itu tidak hilang begitu saja. Harus ada tempat untuk membebaskan tekanan ini. Karena tidak ada tempat lain, maka rumah Pak Pendeta --- istananya --- menjadi benteng pertempuran! Salah seorang, entah pendeta atau isterinya, dapat marah atas suatu hal yang dikatakannya, meski keduanya tahu bahwa bukan ucapan itu yang menjadi penyebabnya, melainkan tekanan yang dirasakan selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Meskipun penderitaan itu ditanggung oleh pihak isteri atau suami, tetapi karena mereka saling mencintai, maka keduanya menderita. Mereka berada di dalam keadaan seperti ini, karena tidak pernah ada waktu bagi mereka sendiri untuk tumbuh bersama dalam apa yang pernah menjadi janji utama mereka --- perkawinan mereka [hlm. 121f.]. Jemaat sering tergoda untuk menjadikan anak-anak pendeta sebagai idola, ketika masih kecil dan lucu. Namun ketika mereka bertumbuh besar dan melakukan apa yang dilakukan anak-anak lain, mere- ka pun disoroti secara khusus. Jika mereka anak-anak biasa, tampaknya mereka boleh berbicara lebih keras, berlari-lari atau apa saja. Pokoknya, jika mereka tidak dapat melihat banyak teladan dari ayah mereka, seharusnya mereka meniru ibu mereka dalam masa perkembangan anak yang sukar ini. Orangtua-pendeta kadang-kadang sudah terlambat sekali ketika menyadari bahwa anak-anak mereka jauh lebih memerlukan mereka daripada rapat komisi dan pertemuan-pertemuan yang manapun Beberapa anak pendeta sama sekali sudah memadamkan imannya dan beberapa di antaranya ti- dak berbalik lagi, karena mereka merasa tidak punya waktu bersama dengan orangtuanya. Seringkali mereka amat dikecewakan oleh orang-orang di antara warga jemaat mereka yang tidak peka dan suka mengkritik hal-hal terutama berhubungan dengan orangtuanya. Secara naluri mereka mengetahui orang- orang yang dapat dipercaya dan mereka yang suka atau tidak suka pada orang tua mereka [hlm. 126f.].
5. Beberapa Pertanyaan Bagaimanakah caranya saya dapat sekaligus menjadi seorang gembala sidang [pendeta] yang setia, seorang suami yang setia, dan seorang ayah yang setia? Bagaimana caranya saya dapat mencegah friksi antara rumah tangga dengan gereja? Friksi itu dapat dicegah bila Saudara tetap ingat bahwa Saudara hanya satu orang saja, dan tidak mungkin menjadi lebih daripada itu. Rumah tangga yang bahagia dan gereja yang berbahagia itu terdiri dari unsur-unsur yang sama, yakni: kasih, penguasaan diri, pengorbanan, Firman Allah, dan doa. Hen- daknya kita mengasihi dengan cara yang sama di gereja seperti di rumah; hendaknya kita mendisiplin- kan diri dengan cara yang sama seperti di gereja. Sebenarnya masalah-masalah mulai timbul jika sang pendeta berusaha membeda-bedakan kehi- dupannya di gereja dari kehidupannya di rumah. Gembala sidang harus tetap menjadi satu orang saja, dan bukan lebih [ . . . ] Seorang gembala sidang harus menyediakan waktu untuk keluarganya. Dr. Henry Brandt meng- ingatkan kita bahwa yang paling menentukan, bukanlah kuantitas waktu melainkan kualitas waktu itu. Untung, kebanyakan gembala sidang dapat mengatur sendiri pembagian waktu. Kadang-kadang kita harus mengorbankan sesuatu jika akan menyediakan waktu untuk keluarga kita, tetapi kehiduoan di dunia ini memang sering terdiri dari pengorbanan. . . . Tidak harus Saudara ikut rapat atau pertemuan di gereja setiap sore atau setiap malam sepanjang minggu
[kutipan dari Warren W. Wiersbe dan Howard F. Sugden, Memimpin Gereja Secara Mantap, terj. (Bandung:LLB, 1994), hlm. 204f.]. - - - NR - - -
07 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar