(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Banyak para ahli berpendapat bahwa Mzm 40 dalam bentuknya sekarang ini merupakan penggabungan dua buah mazmur yang seelumnya masing-masing berdiri sendiri. Alasan mereka ialah bahwa ay. 1-10 merupakan mazmur ucapan syukur, sedangkan ayat 11-17 merupakan sebuah mazmur yang berisi doa minta tolong. Menurut mereka, susunan tadi adalah tidak logis --- “the supplication (vv. 11-17) ought to lead into thanksgiving, not the vice versa” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Robert Davidson, The Vitality of Worship, A Commentary on the Book of Psalms (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1998), p. 133]. Informasi: Berdasarkan kenyataan bahwa Mzm 40:14-18 pernah berdiri sendiri sebagai Mzm 70, maka timbul pertanyaan apakah 40:1-12 juga pernah berdiri sendiri dan mengapa dua doa yang begitu berlainan nada dipersatukan. Pertanyaan ini diper- tajam bila isi diperhatikan. Ay. 1 judul A. Doa ucapan syukur Ay. 2-4 pemberitaan tentang tindakan Tuhan yang menyelamatkan pemazmur. Ay. 5-6 bahagia orang yang percaya dan puji-pujian bersama pada Tuhan. Ay. 7-9 melakukan kehendak Tuhan, itulah ucapan syukur yang sejati. Ay. 10-11 keadilan Tuhan diberitakan di jemaah yang besar. Ay. 12 penutup: kiranya penyertaan Tuhan berlangsung terus. B. Doa minta tolong Ay. 12-13 Tolonglah karena penderitaan yang disebabkan dosa. Ay. 14-16 = Mzm 70:2-4 Tolonglah, karena penderitaan yang disebabkan musuh. Ay. 17-18 = Mzm 70:5-6 bahagia orang yang ditolong Allah. Besar kemungkinan bahwa ay. 2-12 pernah berdiri sendiri . . ., meskipun harus dicatat bahwa Mzm 40 A tidak merupakan suatu doa ucapan syukur dalam bentuk yang lazim . . ., melainkan bersifat pengakuan percaya berdasarkan rasa syukur itu. Karena pengakuan akan kebesaran Tuhan itu dan keinginan untuk membe- ritakan keadilan-Nya berakhir dengan suatu permohonan - ay. 12 – maka ia di- persatukan dengan suatu doa minta tolong yang berpuncak pada pengakuan percaya dan pemberitaan bahwa: “Tuhan itu besar” [kutipan dari Marie C. Barth dan B.A. Pareira, Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 1-72 (Jakarta: BPK-GM, 1998), hlm. 419f.].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 3: Dalam “lobang kebinasaan” (NIV: “slimy pit”) apakah Daud berada? Bisa lubang sumur, bisa juga diartikan sebagai ruang gelap dibawah tanah seba- gai penjara (“liang tutupan”, Kel 12:29), pelobang (Mzm 9:16), atau sebagai metafor untuk kematian (“liang kubur”, Mzm 28:1). Dalam pengertian manapun, adalah jelas bahwa “God rescued him out of a desperate, hopeless situation” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 793. Penjelasan-penjelasan dibawah ini juga dari sumber yang sama]. Informasi: “Life in Crisis” [ . . . ] . . . practices and disciplines emerge when the human person is left in “the Pit” (cf. Pss 28:1, 30:3, 40:3, 88:6). A common image in the life of human prayer, “the Pit” refers to any diminishment or impairment of human well-being. Thus it may refer to sickness, imprisonment, social isolation and rejection, or, in extremity physical death. In its realism, Israel knows that the disciplines of equilibrium --- obedience, discernment, and trust --- are not first of all appropriate to such human crises. Thus the human person, according to Israelite testimony, undertakes raw and insistent disciplines in the pit, practices that are constitutive of humanness and commensurate with Israel’s counter-testimony concerning Yahweh. These activities correspond to the evidence and conviction of Yahweh’s hiddenness, unreliability, and negativity [kutipan dari Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament (Minneapolis: Fortress, 1997), p. 470].
2.2. Ayat 7: Mengapa Allah “tidak berkenan” kepada kepada persembahan Daud? Karena Allah menghendaki ibadah dan ketaatan yang tulus, lebih dari sekedar persembahan korban belaka. Dan ini muncul dari hati yang dalam dan murni (bnd. ayat 9b). Informasi: In its essence sacrifice was a noble thing. It meant that a man was taking something dear to him and giving it to God to show his love. But the human nature being what it is it was easy for the idea to degenerate and for sacrifice to be thought of as a way of buying God’s forgiveness [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Letter to the Hebrews (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p.114]. Mengapa Tuhan “membuka telinga” (NIV: “pierced”) Daud? NIV memilih istilah “pierced” sebagai tanda kesetiaan dan kepatuhan para budak orang Ibrani. Tuannya membawanya ke pintu atau tiang pintu dan tuannya itu menusuk telinganya dengan penusuk, dan budak itu bekerja pada tuannya untuk seumur hidup (Kel 21:5-6). Begitulah juga Daud terhadap Tuhan. Di sini LAI memilih istilah “membuka telinga” yang menyiratkan kesediaan untuk mendengarkan (bnd. Yer 6:10).
2.3. Ayat 8: Apakah yang tertulis tentang Daud? Daud tidak merujuk kepada suatu nubuatan. Dia mengingat salinan Taurat yang diberikan kepadanya ketika ia dinobatkan sebagai raja. Dan ini menyiratkan tanggung jawab besar yang diberikan Allah kepadanya. Di sini Daud menya- takan bahwa ia tunduk terhadap Taurat yang diterimanya itu (bnd. Ul 17:18- 20). Informasi: Penulis Ibrani menafsirkan ucapan Daud di sini sebagai ramalan datangnya sang Mesias (Ibr 10:5-7) Hebrew 10:5-7 quotes these verses [6-8] following the Greek (LXX) text. It provides them with a new context in which they refer to the incarnation of Christ who through his perfect obedience to God offered the one, eternal sacrifice which supersedes all other sacrifices and makes them irrelevant. Hebrews as a whole provides an interesting example of the way in which the coinage of the Old Testament can be reminted with the image of Christ stamped upon it [kutipan dari Davidson, op. cit., p. 135].
3. Excursus “SUKACITA DAN KEHIDUPAN KRISTEN”
Sukacita adalah istilah Alkitab yang asli dan unik. Banyak orang yang mengacaukan sukacita dan kebahagiaan, tetapi ada perbedaan yang besar di antara keduanya. Kebahagiaan bergantung pada keadaan sekitar, sedangkan sukacita tidak demikian. Kebahagiaan merupakan tanggapan yang dangkal terhadap hal-hal yang baik; sukacita merupakan tanggapan yang jauh mendalam yang tetap bertahan apakah yang terjadi di sekitarnya itu buruk atau baik. [ . . . ] Dalam autobiografinya, Surprised by Joy, C.S. Lewis memeriksa usahanya untuk memperoleh sukacita. Ia berusaha untuk mendapakannya di dalam humanisme, komunisme, erotisme, dan filsafat serta ikhtiar manusiawi lainnya. Akan tetapi, semuanya itu hanya memperlihatkan bekas-bekas sukacita. Ia tidak menemukan sukacita bagi dirinya sendiri sebelum ia menyadari bahwa sukacita hanya akan datang bila mengutamakan Kristus di dalam hidupnya. Sukacita sendiri tidak pernah menjadi tujuan akhir. Hanya ketika saudara menjadikan Kristus prioritas utama, maka hampir tanpa disadari sukacita itu datang. Bila saudara mencari sukacita saudara akan kehilangan, sebab sukacita tidak dapat ditangkap. Orang duniawi tidaklah mencari sukacita melainkan kebahagiaan. Sukacita adalah sesuatu yang diberikan Kristus. [ . . . ] Yesus berdoa agar para murid-Nya memiliki sukacita-Nya, “Aku memngatakan semuanya ini sementara Aku masih ada di dalam dunia, supaya penuhlah sukacita-Ku di dalam diri mereka” (Yoh 17:13). Sukacita Kristus disalurkan kepada kita sementara kita melakukan tugas untuk memberitakan kepada dunia tentang Dia [kutipan dari David McKenna, “Sukacita dan Kehidupan Kristen” dalam Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 719f.]. “KEPADA SIAPA KITA HARUS BERDOA?” Banyak bukti di dalam Alkitab bahwa kita dapat menujukan doa kita kepada masing- masing Oknum dari Trinitas. Yesus dan Bapa sama-sama menerima penyembahan di dalam Perjanjian Baru, dan Yesus berbicara tentang Penolong yang akan datang dengan penyataan yang menghubungkan Bapa dan Anak dengan Roh Kudus (lihat Yohanes 14:15-16:16). Allah telah menyatakan diri dalam tiga Oknum, jadi sesuai dengan tempat kita berada dan hal-hal yang kita doakan, kita dapat menujukan doa kita kepada Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tentu saja kepada Oknum mana pun kita berdoa, Trinitas secara utuh tercakup di dalam doa kita. Kita tidak hanya dapat berbicara kepadsa Allah seperti dengan Oknum yang berbeda- beda; kita dapat juga menyapa Dia dengan nama yang berbeda-beda. Di dalam Alkitab Allah disebuty dengan banyak nama. Setiap nama adalah jendelaab itu sebagaimana diperguna- kan di dalam Mazmur, dan nama-nama itu merupakan pembimbing dalam kita berdoa. Jika saya menyebut-Nya Gembala yang baik, fokus saya agak berbeda daripada bila saya menye- but-Nya Imam Besar. Allah yang Esa berbeda fokusnya dengan Bapa kami. Setiap nama itu benar, tetapi masing-masing memusatkan pada aspek berbeda mengenai siapa Allah itu. Penyataan Allah mengenai diri-Nya dalam tiga Oknum, dan dengan banyak nama, mem- beri kita berbagai cara untuk menghampiri Dia, sesuai dengan berbagai keperluan dan pang- gilan kita [kutipan dari Larry Christensen, “Kepada Siapa Kita Harus Berdoa?” dalam Ibid., hlm. 655f.].
- - - NR - - -
22 Desember 2007
Yesaya 66 : 18 – 24
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Kita sampai pada penggalan terakhir dari kitab nabi (Trito-)Yesaya. Penggalan ini berisi program misi sejagat. Ini tersirat dalam ayat 18. Tujuan misi ini ialah untuk meluhurkan Tuhan, agar Ia dikenal dan dihormati sebagai Allah yang sejati. Informasi: Dari isi Trito-Yesaya kita dapat mengambil kesimpulan mengenai keadaan historis: rupa-rupanya bangsa Israel hidup kembali di Palestina dan Yerusalem sudah dibangun lagi. Pokok-inti nubuat-nubuat . . . bukanlah kelepasan dari Babylon, tetapi keadaan yang kurang baik pada masa sesudah pembuangan di Babylon, misalnya kesalahan para pemimpin bangsa itu (fasal 56:9 dst), sinkret- isme (fasal 57:3 dst; 65:1 dst; 66:3 dst), alasan-alasan terhadap pembangunan Bait Allah (fasal 66:1 dst) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BOK-GM, 1996), hlm. 116].
2. Eksposisi
Dalam ayat 19 dicatat sebuah tempat: “Tarsis”. Diperkirakan ini sebuah kota atau wilayah di Sepanyol (bnd. Yun 1:3). Bersama dengan nama tempat-tempat lainnya, kesemuanya mewakili “ujung bumi”. Di tempat-tempat ini nama Tuhan belum diketahui. Juga belum pernah menyaksikan tindakan nyata dari Allah. Untuk itu Tuhan akan mengutus orang-orangNya ke tempat-tempat tsb. Para utusan ini akan mengerahkan para wakil dari tempat-tempat tersebut untuk datang menyembah Tuhan di “gunung . . . yang kudus, . . . Yerusalem” (ayat 20). Informasi: The place names in the last part of verse 19 are drawn from Isaiah’s own world, but as the farthest outposts they stand symbolically for the whole earth. Mission is to know no geographical or national boundaries. It is to extend everywhere [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England, IVP, 1996), p. 78]. Visi Yesaya ini adalah menarik, lebih-lebih kalau kita melihatnya dari perspektif Perjanjian Baru. Yesus mengutus para muridNya untuk menjadi saksiNya “di Yerusa- lem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Yesus mengutus mereka ke tempat-tempat ini adalah untuk menjadikan “semua bangsa “ muridNya (Mat 28:19). Dengan itu visi Yesaya terpenuhi dan terwujud. Paling tidak visi Yesaya dan misi Yesus yang dilakukan para muridNya, dan kelak diteruskan oleh gereja perdana, masih berlangsung terus. Tidak berubah! [Sumber: What does the Bible Say About . . . ? (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2001]. Informasi: In Isaiah 66:22-23 there is a . . . reference to the new earth: “For as the new heavens and the new earth which I will make . . .” In the previous verses of chapter 66 Isaiah has been predicting copious future blessings for the people of God: God will give his people great prosperity (v. 12), will comfort his people (v. 13), will cause his people to rejoice (v. 14), and will gather them from all the nations (v. 20). In verse 22 God tells us through Isaiah that his people will remain before him as everlastingly as the new heavens and the new earth which he will create. From verse 23 we learn that the inhabitants of that new earth will faithfully and regularly worship God. Though this worship is described in terms borrowed from the time when Isaiah wrote [“bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat”] these words must not be understood in a strictly literal way. What is predicted here is the perpetual worship of all the people of God, gathered from all nations, in ways which will be suitable to the glorious new existence they will enjoy on the new earth [kutipan dari Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1979), p283].
3. Excursus: “Penglihatan Universal”
Perjanjian Lama mempunyai penglihatan tentang masuknya semua bangsa dalam rencana penebusan Allah. Dalam panggilan Abraham, pencerai-beraian dan keka- cauan di Babel secara tidak langsung telah dibalikkan. Namun, dinyatakan lebih jelas dalam kitab Nabi Zefanya. Setelah penghukuman murka Allah atas kejahatan bangsa- bangsa, dikatakan: “Tetapi sesudah itu Aku akan memberikan bibir lain kepada bangsa-bangsa, yakni bibir yang bersih, supaya sekaliannya mereka memanggil nama Tuhan, beribadah kepada-Nya dengan bahu-membahu” (Zef 3:9) Tetapi kesatuan eskatologis dalam peribadatan kepada Allah itu tidak mengha- puskan jati diri masing-masing bangsa. Sebaliknya, kemuliaan pemerintahan Allah yang akan datang itu ialah masuknya keanekawarnaan segala bangsa. Inilah sukacita yang besar dalam Yesaya 60 dan peringatan-peringatan dalam Zakharia 14:16 dan seterusnya. Selain itu, tidak hanya bangsa-bangsa, tetapi segala hasil, kekayaan dan kemuliaan mereka akan dibawa, dikuduskan, di Yerusalem Baru dalam pemerintahan Allah. Penglihatan ini terdapat dalam Yesaya 60:5-11, Hagai 2:6-8, dan dalam kesim- pulan ucapan ilahi yang mengagumkan terhadap Tirus dalam Yesaya 23:18. Dalam nats ini dinyatakan bahwa semua keuntungan pedagangan bangsa itu “akan kudus bagi Tuhan” demi kesejahteraan umat-Nya. [ . . . ] Allah bermaksud “mempersatukan di dalam Kristus sebagai kepala segala sesuatu, baik yang ada di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:10) dan “oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diriNya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol 1:20) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 132f.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Kita sampai pada penggalan terakhir dari kitab nabi (Trito-)Yesaya. Penggalan ini berisi program misi sejagat. Ini tersirat dalam ayat 18. Tujuan misi ini ialah untuk meluhurkan Tuhan, agar Ia dikenal dan dihormati sebagai Allah yang sejati. Informasi: Dari isi Trito-Yesaya kita dapat mengambil kesimpulan mengenai keadaan historis: rupa-rupanya bangsa Israel hidup kembali di Palestina dan Yerusalem sudah dibangun lagi. Pokok-inti nubuat-nubuat . . . bukanlah kelepasan dari Babylon, tetapi keadaan yang kurang baik pada masa sesudah pembuangan di Babylon, misalnya kesalahan para pemimpin bangsa itu (fasal 56:9 dst), sinkret- isme (fasal 57:3 dst; 65:1 dst; 66:3 dst), alasan-alasan terhadap pembangunan Bait Allah (fasal 66:1 dst) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BOK-GM, 1996), hlm. 116].
2. Eksposisi
Dalam ayat 19 dicatat sebuah tempat: “Tarsis”. Diperkirakan ini sebuah kota atau wilayah di Sepanyol (bnd. Yun 1:3). Bersama dengan nama tempat-tempat lainnya, kesemuanya mewakili “ujung bumi”. Di tempat-tempat ini nama Tuhan belum diketahui. Juga belum pernah menyaksikan tindakan nyata dari Allah. Untuk itu Tuhan akan mengutus orang-orangNya ke tempat-tempat tsb. Para utusan ini akan mengerahkan para wakil dari tempat-tempat tersebut untuk datang menyembah Tuhan di “gunung . . . yang kudus, . . . Yerusalem” (ayat 20). Informasi: The place names in the last part of verse 19 are drawn from Isaiah’s own world, but as the farthest outposts they stand symbolically for the whole earth. Mission is to know no geographical or national boundaries. It is to extend everywhere [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England, IVP, 1996), p. 78]. Visi Yesaya ini adalah menarik, lebih-lebih kalau kita melihatnya dari perspektif Perjanjian Baru. Yesus mengutus para muridNya untuk menjadi saksiNya “di Yerusa- lem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Yesus mengutus mereka ke tempat-tempat ini adalah untuk menjadikan “semua bangsa “ muridNya (Mat 28:19). Dengan itu visi Yesaya terpenuhi dan terwujud. Paling tidak visi Yesaya dan misi Yesus yang dilakukan para muridNya, dan kelak diteruskan oleh gereja perdana, masih berlangsung terus. Tidak berubah! [Sumber: What does the Bible Say About . . . ? (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2001]. Informasi: In Isaiah 66:22-23 there is a . . . reference to the new earth: “For as the new heavens and the new earth which I will make . . .” In the previous verses of chapter 66 Isaiah has been predicting copious future blessings for the people of God: God will give his people great prosperity (v. 12), will comfort his people (v. 13), will cause his people to rejoice (v. 14), and will gather them from all the nations (v. 20). In verse 22 God tells us through Isaiah that his people will remain before him as everlastingly as the new heavens and the new earth which he will create. From verse 23 we learn that the inhabitants of that new earth will faithfully and regularly worship God. Though this worship is described in terms borrowed from the time when Isaiah wrote [“bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat”] these words must not be understood in a strictly literal way. What is predicted here is the perpetual worship of all the people of God, gathered from all nations, in ways which will be suitable to the glorious new existence they will enjoy on the new earth [kutipan dari Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1979), p283].
3. Excursus: “Penglihatan Universal”
Perjanjian Lama mempunyai penglihatan tentang masuknya semua bangsa dalam rencana penebusan Allah. Dalam panggilan Abraham, pencerai-beraian dan keka- cauan di Babel secara tidak langsung telah dibalikkan. Namun, dinyatakan lebih jelas dalam kitab Nabi Zefanya. Setelah penghukuman murka Allah atas kejahatan bangsa- bangsa, dikatakan: “Tetapi sesudah itu Aku akan memberikan bibir lain kepada bangsa-bangsa, yakni bibir yang bersih, supaya sekaliannya mereka memanggil nama Tuhan, beribadah kepada-Nya dengan bahu-membahu” (Zef 3:9) Tetapi kesatuan eskatologis dalam peribadatan kepada Allah itu tidak mengha- puskan jati diri masing-masing bangsa. Sebaliknya, kemuliaan pemerintahan Allah yang akan datang itu ialah masuknya keanekawarnaan segala bangsa. Inilah sukacita yang besar dalam Yesaya 60 dan peringatan-peringatan dalam Zakharia 14:16 dan seterusnya. Selain itu, tidak hanya bangsa-bangsa, tetapi segala hasil, kekayaan dan kemuliaan mereka akan dibawa, dikuduskan, di Yerusalem Baru dalam pemerintahan Allah. Penglihatan ini terdapat dalam Yesaya 60:5-11, Hagai 2:6-8, dan dalam kesim- pulan ucapan ilahi yang mengagumkan terhadap Tirus dalam Yesaya 23:18. Dalam nats ini dinyatakan bahwa semua keuntungan pedagangan bangsa itu “akan kudus bagi Tuhan” demi kesejahteraan umat-Nya. [ . . . ] Allah bermaksud “mempersatukan di dalam Kristus sebagai kepala segala sesuatu, baik yang ada di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:10) dan “oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diriNya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol 1:20) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 132f.].
- - - NR - - -
Keluaran 33 : 12 – 23
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
1.1. Sinopsis
Fasal 33 . . . Allah memberi perintah kepada Musa untuk ke Kanaan. Malaekat Tuhan akan berjalan di depan bangsa itu. Musa mendirikan kemah pertemuan, di mana Tuhan dapat berbicara dengan dia (ayat 1-11). Musa meminta untuk melihat kemuliaan Allah. Waktu dia berdiri di dalam lekuk gunung, dia hanya diizinkan melihat bagian belakang Tuhan [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK- GM, 1996), hlm. 50]. 1.2. Latar Belakang dan Konteks Penggalan/Perikop Bacaan . . . Kel 32 [s/d] 34 ini tersusun dari tiga macam bahan: cerita lembu emas dalam Kel 32, undang-undang yang mengatur kehidupan di tanah Kanaan, lengkap dengan kisah peresmian perjanjian, dalam Kel 34, dan ditengah-tengahnya Kel 33 dengan tiga bagian kecil (ay 1-6, 7-11, 12-23), yang semuanya berkisar pada pertemuan Musa dengan Tuhan. Lembu emas --- pertemuan Musa dengan Tuhan --- pembaruan perjanjian: ketiga fasal ini [Kel 32, 33, 34] memberi kesaksian tentang krisis [oleh karena penyembahan berhala ke- pada lembu emas] di dalam persekutuan yang mesra antara Tuhan dengan umatnya. [ …] Penelitian kita tentang Kel 33 akan menunjukkan, betapa erat perhubungan ketiga fasal ini dengan soal penyertaan ilahi di padang gurun. Mengenai Kel 34, di dalam upacara penye- rahan undang-undang baru inipun terdengar suara Musa meminta “kiranya Tuhan berjalan di tengah-tengah kami” (34:8-9) [jadi bukan hanya sekedar malaikat (33: 2) yang berjalan di depan umat] [kutipan dari C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2002), hlm. 231f.].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 12-13: Musa ikut merasa gelisah/khawatir, sama seperti yang dirasakan umat, di sekitar isyu tentang penyertaan dan ketidak-ikut-sertaan Tuhan dalam perjalanan melewati padang gurun. Dalam hubungan inilah, maka Musa ingin merasa pasti apakah Allah tetap bisa ditemuinya. Bagaimana memaknai pernyataan Tuhan kepada Musa: “Aku mengenal namamu (NIV: “I know you by name”) dalam ayat 12 dan 17? Ini adalah cara lain untuk mengatakan, “Engkau berkenan bagiKu” dan “Aku telah memilih- mu untuk suatu misi khusus”. Dalam Yoh 10: 3 Yesus memakai ungkapan yang sama [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan,2002), p. 128]. Informasi: Musa telah meminta dan kini ia mencari (ay 13), lalu mengetuk pintu (ay 15, 18). Allah telah berjanji akan menyertai bangsa ini dan akan membawa mereka masuk ke negeri yg dijanjikan, tapi dosa mereka, walaupun itu tidak meniadakan janji ini (bnd ay 2), telah membatasi kasih karunia dan perke- nanan Allah (bnd ay 3). Adalah pelemahan perkenanan Allah ini yg mendo- rong Musa berdoa bukan hanya minta cara masuk badani, tapi juga minta kehadiran Allah dalam kemuliaan di tengah-tengah bangsa itu. Ia tidak menghendaki tanah perjanjian itu tanpa Allah (ay 14), dan tanah perjanjian itu tidak berarti apa-apa bagi bangsa itu tanpa kehadiran yg sama (ay 16). Adalah kehadiran Allah yg melimpahkan perkenanan dan kepastian yg nyata ke atas umatNya, dan menandai mereka sebagai milikNya, untuk kemuliaanNya. Sebab itu Musa menyimpulkan atas dasar perjanjian: Allah tak dapat tidak berjalan bersama kami. Doa semacam itu dijawab. Allah mau menyertai Musa dan bangsa itu, dan ketenteraman tanah Kanaan akan diberikan kepada mereka (ay 14). Jawab semacam itu memberanikan Musa untuk memohon malahan lebih banyak lagi, sebab ia sekarang yakin bahwa memang kasih karunia Allah telah ia dapatkan dan bahwa bangsa itu pada asasnya telah dipulihkan kepada kasih karunia sepenuhnya berdasarkan perjanjian. Ia berdoa supaya ia boleh melihat kemuliaan Allah . . . Ia berhasrat supaya kepadanya diperlihatkan Allah secara khusus --- bukan melihat secara jasmani yg ia rindukan, sebab ia tahu bahwa tidak ada manusia yg dapat melihat Allah lalu tetap hidup, melainkan ia berhasrat menanggapi secara rohani siapa Allah itu dan apa yg nanti Ia akan lakukan dan menjadi untuknya dan untuk bangsanya [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 181].
2.2. Ayat 18: Musa memohon kehadiran Tuhan tidak hanya secara spiritual. Ia memohon me- nyaksikan sekilas kehadiran Sang Mahakudus. Jelas manusia tak mungkin bertatap muka (‘face to face”) dengan Allah. Jadi untuk permohonan Musa tadi, Allah menjawab: “Engkau tidak akan tahan mmemandang wajahKu, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup” (ayat 20). Namun Tuhan berkenan memenuhi permo- honan Musa, walaupun hanya sekilas.
2.3. Ayat 20-23: Musa diperkenankan untuk menyaksikan sekilas kemuliaan Allah. Excursus : Dalam mengulas Wahyu 22:3-5, William Barclay menulis sebagai berikut: God’s servants shall see his face. The promise will come true that the pure in heart will see God (Matthew 5:8). We may best understand the greatness of that promise by remembering that the Christian is promised a privilege which was denied even to Moses to whom God’s word was: “You cannot see my face; for man shall not see me and live” (Exodus 33:20, 23). It is in Christ alone that men can see God [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Revela- tion of John, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 222]. 3. Rancangan/Kerangka Khotbah Topik: Melihat/Menyaksikan Allah Teks: Keluaran 33:12-23 (1) Musa berdoa kepada Tuhan. (2) Musa memohon bimbingan dan kasih karunia Tuhan bagi bangsanya disamping bagi dirinya sendiri. (3) Musa dijanjikan penyertaan dan kehadiran Tuhan. (4) Janji tersebut diwujudnyatakan dalam perjalanan umat ke tanah perjanjian. (5) Allah berkenan dan memberkati apa yang diprakarsai-Nya. (6) Allah berkenan menyatakan diri sekilas kepada Musa, tetapi cukup bagi Musa untuk meyakini janji Allah [Saduran/terjemahan bebas dari “Sermon Suggestions” dalam James W. Cox (ed.), The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey - Bass, 2004), p. 237].
- - - NR - - -
1. Pengantar
1.1. Sinopsis
Fasal 33 . . . Allah memberi perintah kepada Musa untuk ke Kanaan. Malaekat Tuhan akan berjalan di depan bangsa itu. Musa mendirikan kemah pertemuan, di mana Tuhan dapat berbicara dengan dia (ayat 1-11). Musa meminta untuk melihat kemuliaan Allah. Waktu dia berdiri di dalam lekuk gunung, dia hanya diizinkan melihat bagian belakang Tuhan [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK- GM, 1996), hlm. 50]. 1.2. Latar Belakang dan Konteks Penggalan/Perikop Bacaan . . . Kel 32 [s/d] 34 ini tersusun dari tiga macam bahan: cerita lembu emas dalam Kel 32, undang-undang yang mengatur kehidupan di tanah Kanaan, lengkap dengan kisah peresmian perjanjian, dalam Kel 34, dan ditengah-tengahnya Kel 33 dengan tiga bagian kecil (ay 1-6, 7-11, 12-23), yang semuanya berkisar pada pertemuan Musa dengan Tuhan. Lembu emas --- pertemuan Musa dengan Tuhan --- pembaruan perjanjian: ketiga fasal ini [Kel 32, 33, 34] memberi kesaksian tentang krisis [oleh karena penyembahan berhala ke- pada lembu emas] di dalam persekutuan yang mesra antara Tuhan dengan umatnya. [ …] Penelitian kita tentang Kel 33 akan menunjukkan, betapa erat perhubungan ketiga fasal ini dengan soal penyertaan ilahi di padang gurun. Mengenai Kel 34, di dalam upacara penye- rahan undang-undang baru inipun terdengar suara Musa meminta “kiranya Tuhan berjalan di tengah-tengah kami” (34:8-9) [jadi bukan hanya sekedar malaikat (33: 2) yang berjalan di depan umat] [kutipan dari C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2002), hlm. 231f.].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 12-13: Musa ikut merasa gelisah/khawatir, sama seperti yang dirasakan umat, di sekitar isyu tentang penyertaan dan ketidak-ikut-sertaan Tuhan dalam perjalanan melewati padang gurun. Dalam hubungan inilah, maka Musa ingin merasa pasti apakah Allah tetap bisa ditemuinya. Bagaimana memaknai pernyataan Tuhan kepada Musa: “Aku mengenal namamu (NIV: “I know you by name”) dalam ayat 12 dan 17? Ini adalah cara lain untuk mengatakan, “Engkau berkenan bagiKu” dan “Aku telah memilih- mu untuk suatu misi khusus”. Dalam Yoh 10: 3 Yesus memakai ungkapan yang sama [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan,2002), p. 128]. Informasi: Musa telah meminta dan kini ia mencari (ay 13), lalu mengetuk pintu (ay 15, 18). Allah telah berjanji akan menyertai bangsa ini dan akan membawa mereka masuk ke negeri yg dijanjikan, tapi dosa mereka, walaupun itu tidak meniadakan janji ini (bnd ay 2), telah membatasi kasih karunia dan perke- nanan Allah (bnd ay 3). Adalah pelemahan perkenanan Allah ini yg mendo- rong Musa berdoa bukan hanya minta cara masuk badani, tapi juga minta kehadiran Allah dalam kemuliaan di tengah-tengah bangsa itu. Ia tidak menghendaki tanah perjanjian itu tanpa Allah (ay 14), dan tanah perjanjian itu tidak berarti apa-apa bagi bangsa itu tanpa kehadiran yg sama (ay 16). Adalah kehadiran Allah yg melimpahkan perkenanan dan kepastian yg nyata ke atas umatNya, dan menandai mereka sebagai milikNya, untuk kemuliaanNya. Sebab itu Musa menyimpulkan atas dasar perjanjian: Allah tak dapat tidak berjalan bersama kami. Doa semacam itu dijawab. Allah mau menyertai Musa dan bangsa itu, dan ketenteraman tanah Kanaan akan diberikan kepada mereka (ay 14). Jawab semacam itu memberanikan Musa untuk memohon malahan lebih banyak lagi, sebab ia sekarang yakin bahwa memang kasih karunia Allah telah ia dapatkan dan bahwa bangsa itu pada asasnya telah dipulihkan kepada kasih karunia sepenuhnya berdasarkan perjanjian. Ia berdoa supaya ia boleh melihat kemuliaan Allah . . . Ia berhasrat supaya kepadanya diperlihatkan Allah secara khusus --- bukan melihat secara jasmani yg ia rindukan, sebab ia tahu bahwa tidak ada manusia yg dapat melihat Allah lalu tetap hidup, melainkan ia berhasrat menanggapi secara rohani siapa Allah itu dan apa yg nanti Ia akan lakukan dan menjadi untuknya dan untuk bangsanya [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 181].
2.2. Ayat 18: Musa memohon kehadiran Tuhan tidak hanya secara spiritual. Ia memohon me- nyaksikan sekilas kehadiran Sang Mahakudus. Jelas manusia tak mungkin bertatap muka (‘face to face”) dengan Allah. Jadi untuk permohonan Musa tadi, Allah menjawab: “Engkau tidak akan tahan mmemandang wajahKu, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup” (ayat 20). Namun Tuhan berkenan memenuhi permo- honan Musa, walaupun hanya sekilas.
2.3. Ayat 20-23: Musa diperkenankan untuk menyaksikan sekilas kemuliaan Allah. Excursus : Dalam mengulas Wahyu 22:3-5, William Barclay menulis sebagai berikut: God’s servants shall see his face. The promise will come true that the pure in heart will see God (Matthew 5:8). We may best understand the greatness of that promise by remembering that the Christian is promised a privilege which was denied even to Moses to whom God’s word was: “You cannot see my face; for man shall not see me and live” (Exodus 33:20, 23). It is in Christ alone that men can see God [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Revela- tion of John, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 222]. 3. Rancangan/Kerangka Khotbah Topik: Melihat/Menyaksikan Allah Teks: Keluaran 33:12-23 (1) Musa berdoa kepada Tuhan. (2) Musa memohon bimbingan dan kasih karunia Tuhan bagi bangsanya disamping bagi dirinya sendiri. (3) Musa dijanjikan penyertaan dan kehadiran Tuhan. (4) Janji tersebut diwujudnyatakan dalam perjalanan umat ke tanah perjanjian. (5) Allah berkenan dan memberkati apa yang diprakarsai-Nya. (6) Allah berkenan menyatakan diri sekilas kepada Musa, tetapi cukup bagi Musa untuk meyakini janji Allah [Saduran/terjemahan bebas dari “Sermon Suggestions” dalam James W. Cox (ed.), The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey - Bass, 2004), p. 237].
- - - NR - - -
Mazmur 119 : 105 – 112
(Beberapa Catatan dan informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
“Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatanNya, yang mencari Dia dengan segenap hati” (Mzm 119:2). Kutipan tadi menunjukkan bahwa masih sejak bagian awal dari Mazmur bacaan kita sekarang ini (Mzm 119) telah diketengahkan faedah/manfaat firman/perintah Allah: a.l. memberi kebahagiaan bagi yang menaatinya.. Dalam ayat 105, yang merupakan ayat pembukaan untuk perikop bacaan kita sekarang ini, faedah/manfaat firman Allah, khususnya sebagai petunjuk dan sumber kebijaksanaan, kembali diketengahkan lagi (bnd. ayat 24, 66, 130, 176). Informasi: Kalau dalam Mazmur Daud di 2 Samuel 22:29 kita dengar: “Engkaulah pelitaku, ya TUHAN, dan TUHAN menyinari kegelapanku” (bnd. juga Ayb 29:3), maka dalam mazmur ini hal yang sama dikatakan tentang firman Allah (bnd. Ams 6:23 tentang perintah dan ajaran). Dalam hubungan dengan Allah firman yang tertulis dan firman yang langsung diterima daripadanya berhubungan: merenungkan Kitab Suci membuka pengertian untuk menerima firman hidup dan menghindari salah paham berdasarkan keinginan hati sendiri. [kutipan dari Marie C. Barth dan B.A. Pereira, Tafsiran Alkitab Kitab Mazmur 73-150 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 366f.].
2. Uraian/Eksposisi
2.1. Ayat 105, 106: Bagi si pemazmur firman Allah menerangi perjalanan kehidupannya. What kind of lamp was this (119:105) The ancient lamp was small and flat with a wick and oil. It gave just enough light to see a short distance ahead. Similarly, God’s word gives sufficient light for each step in making moral decisions [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 874]. Together, these verses [105, 106] show what kind of light and path are in mind, and verse 104 makes it doubly clear. This is not convenient guidance for one’s career, but truth for moral choices . . . [kutipan dari Derek Kidner, Psalms 73-150 [Leicester, England: IVP, 1975), p. 427]. . . . it is, in other words, a clear guide for all he does. For the first time, he make reference [dalam ayat 106: “bersumpah”] to having sworn and made binding an oath to give careful attention to Yahweh’s just judgments. The allusion is probably to a public commitment to Yahweh’s instruction, in Yahweh’s presence in the Temple and before the congregation [bnd. pengakuan sidi]. Such an act would be both a logical outcome of the poet’s devotion to Torah and also a further incentive to that devotion [kutipan dari The Broadman Bible Commentary, Volume 4 (London: Marshall, Morgan & Scott, 1972), p. 416]. Refleksi: Orang yang percaya menempatkan diri dalam rentetan orang percaya secara turun- menurun dan yakin bahwa firman yang disampaikan kepada angkatan yang lampau sama dengan yang kini Tuhan berikan. Inilah pola iman yang ditekankan dalam reformasi; itulah sebabnya ay. 105 ini menentukan dalam hidup rohani orang Kristen Protestan dan sering terdengar dalam kebaktian. Bahaya yang terkandung dalam tradisi ini ialah bahwa orang tidak lagi mengharapkan firman baru yang diberikan Allah menurut kebebasannya dalam situasi yang baru. [kutipan dari Barth dan Pareira, loc. cit.; huruf-huruf miring oleh NR].
2.2. Ayat 107: (bnd. ayat 65-72.). Si pemazmur kembali mengeluh. Kali ini mungkin karena suatu penyakit baru, tetapi mungkin juga tekanan dari musuhnya yang muncul kembali. His life is in constant danger . . ., and the wicked have set a trap for him. He asks that his life be restored, that is spared, in accord to Yahweh’s word [kutipan dari The Broadman . . ., loc. cit.]. 2.3. Ayat 108: Mazmur puji-pujian menjadi persembahan menggantikan korban syukur. Ps 119:108 speaks of prayer as a voluntary offering, and God is praised for his own generous voluntary offerings to man (Ps 68:9), even when his people have not been faithful to their covenant commitments (Hos 14:4) [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 308].
3. Excursus: Renungan untuk Anak-Anak
Alat Peraga: Senter kecil dan Alkitab. Bayangkan! Adik [bisa menunjuk salah seorang anak] akan bepergian dengan ayah. Kebetulan ayah adik punya mobil [atau sepeda motor]. Cuma sudah malam dan gelap. Dibatalkan saja, karena gelap? Tetap jadi! Mobil/motor juga bisa berjalan dalam kegelapan. Di pabriknya, mobil-mobil [atau sepeda-sepeda motor] ketika dibuat, diperlengkapi dengan lampu. Sehingga kalau pun malam dan gelap, mobil/motor tetap bisa jalan. Pernahkah lampu listrik di rumah adik padam? Jadinya bagaimana adik berjalan kesana- kemari untuk mengambil barang-barang yang mungkin dibutuhkan? Apa di rumah adik ada senter, seperti ini? [Tunjukkan senternya!]. Senter ini haruslah diletakkan di tempat yang gampang dicapai untuk mengambilnya. Dalam kegelapan, senter ini sangat membantu. Coba bayangkan! Ada seorang yang sakit keras di rumahmu. Tiba waktunya dia harus meminum obatnya. Lampu listrik tiba-tiba padam! [Kalau memungkinkan lampu dalam ruangan dipadamkan, agar gelap]. Perlu ada senter [nyalakan senternya!] untuk berjalan ke lemari obat. Juga perlu senter untuk memilih obat yang tepat. Juga perlu senter untuk bisa membaca petunjuk penggunaannya pada bagian luar kemasan obat itu. Senter ini [tunjukkan lagi!] memberi terang dalam kegelapan,.agar kita dapat melakukan itu semua. [Lampu ruangan dinyalakan lagi] Pada waktunya kalian akan menjadi orang-orang dewasa. Kalian akan membutuhkan alat penerang dalam menjalani kehidupam kalian masing-masing. Untuk itu, senter atau lampu seperti yang ada di mobil tidak bisa menolong kalian. Yang kalian butuhkan adalah INI! [tunjukkan Alkitab-nya]. Seorang satrawan bangsa Israel pernah menulis: “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105). Firman Tuhan yang tertulis dalam buku ini adalah seperti senter tadi. Kita perlu membacanya dan menghafal ayat-ayat tertentu. Seperti senter tadi, Firman Tuhan akan menuntun kita dalam hidup ini. Ketika kehidupan kita terasa gelap, firman Tuhan menjadi penerang bagi kita. Itu berarti bahwa selama kita rajin membaca Alkitab dan melakukan dengan taat perintah Tuhan yang disampaikan melalui buku ini [tunjukkan lagi Alkitab-nya!], percayalah, kita tak akan berjalan dalam kegelapan [disadur dari The Ministers Manual , Doran’s (San Francisco: Harper & Row, the 1989 edition), p. 13].
- - - NR - - -
1. Pengantar
“Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatanNya, yang mencari Dia dengan segenap hati” (Mzm 119:2). Kutipan tadi menunjukkan bahwa masih sejak bagian awal dari Mazmur bacaan kita sekarang ini (Mzm 119) telah diketengahkan faedah/manfaat firman/perintah Allah: a.l. memberi kebahagiaan bagi yang menaatinya.. Dalam ayat 105, yang merupakan ayat pembukaan untuk perikop bacaan kita sekarang ini, faedah/manfaat firman Allah, khususnya sebagai petunjuk dan sumber kebijaksanaan, kembali diketengahkan lagi (bnd. ayat 24, 66, 130, 176). Informasi: Kalau dalam Mazmur Daud di 2 Samuel 22:29 kita dengar: “Engkaulah pelitaku, ya TUHAN, dan TUHAN menyinari kegelapanku” (bnd. juga Ayb 29:3), maka dalam mazmur ini hal yang sama dikatakan tentang firman Allah (bnd. Ams 6:23 tentang perintah dan ajaran). Dalam hubungan dengan Allah firman yang tertulis dan firman yang langsung diterima daripadanya berhubungan: merenungkan Kitab Suci membuka pengertian untuk menerima firman hidup dan menghindari salah paham berdasarkan keinginan hati sendiri. [kutipan dari Marie C. Barth dan B.A. Pereira, Tafsiran Alkitab Kitab Mazmur 73-150 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 366f.].
2. Uraian/Eksposisi
2.1. Ayat 105, 106: Bagi si pemazmur firman Allah menerangi perjalanan kehidupannya. What kind of lamp was this (119:105) The ancient lamp was small and flat with a wick and oil. It gave just enough light to see a short distance ahead. Similarly, God’s word gives sufficient light for each step in making moral decisions [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 874]. Together, these verses [105, 106] show what kind of light and path are in mind, and verse 104 makes it doubly clear. This is not convenient guidance for one’s career, but truth for moral choices . . . [kutipan dari Derek Kidner, Psalms 73-150 [Leicester, England: IVP, 1975), p. 427]. . . . it is, in other words, a clear guide for all he does. For the first time, he make reference [dalam ayat 106: “bersumpah”] to having sworn and made binding an oath to give careful attention to Yahweh’s just judgments. The allusion is probably to a public commitment to Yahweh’s instruction, in Yahweh’s presence in the Temple and before the congregation [bnd. pengakuan sidi]. Such an act would be both a logical outcome of the poet’s devotion to Torah and also a further incentive to that devotion [kutipan dari The Broadman Bible Commentary, Volume 4 (London: Marshall, Morgan & Scott, 1972), p. 416]. Refleksi: Orang yang percaya menempatkan diri dalam rentetan orang percaya secara turun- menurun dan yakin bahwa firman yang disampaikan kepada angkatan yang lampau sama dengan yang kini Tuhan berikan. Inilah pola iman yang ditekankan dalam reformasi; itulah sebabnya ay. 105 ini menentukan dalam hidup rohani orang Kristen Protestan dan sering terdengar dalam kebaktian. Bahaya yang terkandung dalam tradisi ini ialah bahwa orang tidak lagi mengharapkan firman baru yang diberikan Allah menurut kebebasannya dalam situasi yang baru. [kutipan dari Barth dan Pareira, loc. cit.; huruf-huruf miring oleh NR].
2.2. Ayat 107: (bnd. ayat 65-72.). Si pemazmur kembali mengeluh. Kali ini mungkin karena suatu penyakit baru, tetapi mungkin juga tekanan dari musuhnya yang muncul kembali. His life is in constant danger . . ., and the wicked have set a trap for him. He asks that his life be restored, that is spared, in accord to Yahweh’s word [kutipan dari The Broadman . . ., loc. cit.]. 2.3. Ayat 108: Mazmur puji-pujian menjadi persembahan menggantikan korban syukur. Ps 119:108 speaks of prayer as a voluntary offering, and God is praised for his own generous voluntary offerings to man (Ps 68:9), even when his people have not been faithful to their covenant commitments (Hos 14:4) [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 308].
3. Excursus: Renungan untuk Anak-Anak
Alat Peraga: Senter kecil dan Alkitab. Bayangkan! Adik [bisa menunjuk salah seorang anak] akan bepergian dengan ayah. Kebetulan ayah adik punya mobil [atau sepeda motor]. Cuma sudah malam dan gelap. Dibatalkan saja, karena gelap? Tetap jadi! Mobil/motor juga bisa berjalan dalam kegelapan. Di pabriknya, mobil-mobil [atau sepeda-sepeda motor] ketika dibuat, diperlengkapi dengan lampu. Sehingga kalau pun malam dan gelap, mobil/motor tetap bisa jalan. Pernahkah lampu listrik di rumah adik padam? Jadinya bagaimana adik berjalan kesana- kemari untuk mengambil barang-barang yang mungkin dibutuhkan? Apa di rumah adik ada senter, seperti ini? [Tunjukkan senternya!]. Senter ini haruslah diletakkan di tempat yang gampang dicapai untuk mengambilnya. Dalam kegelapan, senter ini sangat membantu. Coba bayangkan! Ada seorang yang sakit keras di rumahmu. Tiba waktunya dia harus meminum obatnya. Lampu listrik tiba-tiba padam! [Kalau memungkinkan lampu dalam ruangan dipadamkan, agar gelap]. Perlu ada senter [nyalakan senternya!] untuk berjalan ke lemari obat. Juga perlu senter untuk memilih obat yang tepat. Juga perlu senter untuk bisa membaca petunjuk penggunaannya pada bagian luar kemasan obat itu. Senter ini [tunjukkan lagi!] memberi terang dalam kegelapan,.agar kita dapat melakukan itu semua. [Lampu ruangan dinyalakan lagi] Pada waktunya kalian akan menjadi orang-orang dewasa. Kalian akan membutuhkan alat penerang dalam menjalani kehidupam kalian masing-masing. Untuk itu, senter atau lampu seperti yang ada di mobil tidak bisa menolong kalian. Yang kalian butuhkan adalah INI! [tunjukkan Alkitab-nya]. Seorang satrawan bangsa Israel pernah menulis: “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105). Firman Tuhan yang tertulis dalam buku ini adalah seperti senter tadi. Kita perlu membacanya dan menghafal ayat-ayat tertentu. Seperti senter tadi, Firman Tuhan akan menuntun kita dalam hidup ini. Ketika kehidupan kita terasa gelap, firman Tuhan menjadi penerang bagi kita. Itu berarti bahwa selama kita rajin membaca Alkitab dan melakukan dengan taat perintah Tuhan yang disampaikan melalui buku ini [tunjukkan lagi Alkitab-nya!], percayalah, kita tak akan berjalan dalam kegelapan [disadur dari The Ministers Manual , Doran’s (San Francisco: Harper & Row, the 1989 edition), p. 13].
- - - NR - - -
'Santa Claus Is Coming To Town' Theology
Dave Burchett
I am a little too old and lot too cynical to be swept away by the latest fad in Christendom. I have sat on the sidelines while Jabez prayed, millions were purpose driven and others found their best life. I guess I was just left behind. Others were incredibly excited by one or all of these phenomenons. So I was more than a little surprised to find that God has rocked my world through a ministry I knew little about just a few months ago. Their books and materials have not become an entire section at your local Christian superstore. And that is a shame. Because they have a message that needs to be heard by most of us. The organization is called Leadership Catalyst and they have an incredible book called TrueFaced. I don’t think I have ever had a book (not included in the original 66) impact me as much as this one. Here is how strongly I feel about this book and ministry. I have written two books. I have a son who attends Baylor University and I can tell you the good Baptists at Baylor are very proud of their education. So selling a few books would be awesome as spring semester tution looms. But if you only have the budget to buy one book in the near future I would tell you to buy TrueFaced. (That gives you a hint as to why I rarely am asked to do marketing seminars). I am borrowing one little bit of content that is very timely during this month. John Lynch is one of the authors of the book and in this section he addresses how we are programmed from childhood to default to performance theology. He calls it the “Santa Claus is Coming to Town theology.” You better watch out Better not cry Better not pout I am telling you why Santa Claus is comin’ to town He's making a list…checking it twice…three times…every day Gonna find out who's naughty and nice Santa Claus is comin’ to town He sees you when your sleeping, nows when your awake, he knows when you've been bad or good so be good for goodness sake. Oh, he's watching. Waiting for you to screw up so you will get coal instead of a bicycle. You had better please him. And we teach our kids to put on the mask and be something they are not. Because Santa Claus is comin’ to town. This omniscient being who is judging our every deed is coming to town…and we learn to do the dance early. Buck up…be good. Don't cry. Don't pout. Santa Claus is coming to town (© Copyright 2003, William Thrall, Bruce McNicol, John Lynch. All rights reserved. Unauthorized duplication prohibited). He is exactly right. We learn that we get good things and receive love only when we are good. Santa is pleased (and we later substitute God) when we obey. So we learn early. We had better be good. Or least fool everyone around us to think that we are being good. Ask any child this Christmas if they are being good and I will wager you will never hear this response. “Well, to be honest, I am really struggling with the whole being nice thing. I have actually been pouty and I cried yesterday. It just isn’t working out this Christmas so I suspect the video game system will have to wait.” Nope. What you hear is the lie that we learn early and too often keep handy in our arsenal for a lifetime. “Oh yeah. I am being really good!” I remember (vaguely) the tension of the Santa Claus years. I knew I hadn’t really changed much. I tried to modify my behavior for a week or two leading up to Christmas but I knew I had failed to really be good. I learned a couple of things early. I learned how hard it is to change behavior by sheer willpower and I learned that I could fool Santa by living a lie. I learned that that he would bring me presents in spite of my failures. I did not learn about grace. That maybe Santa gave me gifts because of who I was and maybe he came to my house because I was lovable instead of rewarding me for what I had done to please him. I figured I had fooled him and to get the good stuff I would have to continue to hide the little boy who broke an ornament and then hid it. Isn’t that too often how we view God? We had better not cry. Better not sin. I’m telling you why. Jesus is coming to town. He’s making a list and He is checking it not once or twice but every moment of every day. God knows if you’ve been bad or good so if you want to be healed or happy or prosperous you had better be good for goodness sake. If I do mess up I am scared to death that I will get a bad life or miss all that God has for me. So I put on the mask and try to be really good for Jesus. If I can fool those around me maybe, just maybe, I can fool God too. Satan sells the lie so convincingly. And we buy it for months and years and even decades. But God and Santa are very different in their approach. God does not keep a list. He is not impressed by our hernia inducing straining to control sin. What God sees is Jesus in Dave Burchett when I sin. Jesus offers us so many gifts. But the one we seem to have the hardest time unwrapping is the gift of grace. The gift that allows us to become who God desires us to become as we simply trust Him and quit trying to be “good” for goodness sake. We are saved by grace and faith in Christ. We become like Him by the same radical strategy. Faith that He has changed us into a new creation. And understanding the grace that gives us good gifts even when we don’t deserve them. Don’t let the Santa Claus theology live into the New Year. Go straight to the gift of grace that Jesus left under the Cross. Open it. And clothe yourself in His salvation, acceptance and love. It may be the best gift you have ever given yourself. Dave Burchett is an Emmy Award winning television sports director, author, and Christian speaker. He is the author of When Bad Christians Happen to Good People and Bring'em Back Alive: A Healing Plan for those Wounded by the Church. You can reply by linking through daveburchett.com.
Find this article at: http://www.crosswalk.com/spirituallife/11561774/
I am a little too old and lot too cynical to be swept away by the latest fad in Christendom. I have sat on the sidelines while Jabez prayed, millions were purpose driven and others found their best life. I guess I was just left behind. Others were incredibly excited by one or all of these phenomenons. So I was more than a little surprised to find that God has rocked my world through a ministry I knew little about just a few months ago. Their books and materials have not become an entire section at your local Christian superstore. And that is a shame. Because they have a message that needs to be heard by most of us. The organization is called Leadership Catalyst and they have an incredible book called TrueFaced. I don’t think I have ever had a book (not included in the original 66) impact me as much as this one. Here is how strongly I feel about this book and ministry. I have written two books. I have a son who attends Baylor University and I can tell you the good Baptists at Baylor are very proud of their education. So selling a few books would be awesome as spring semester tution looms. But if you only have the budget to buy one book in the near future I would tell you to buy TrueFaced. (That gives you a hint as to why I rarely am asked to do marketing seminars). I am borrowing one little bit of content that is very timely during this month. John Lynch is one of the authors of the book and in this section he addresses how we are programmed from childhood to default to performance theology. He calls it the “Santa Claus is Coming to Town theology.” You better watch out Better not cry Better not pout I am telling you why Santa Claus is comin’ to town He's making a list…checking it twice…three times…every day Gonna find out who's naughty and nice Santa Claus is comin’ to town He sees you when your sleeping, nows when your awake, he knows when you've been bad or good so be good for goodness sake. Oh, he's watching. Waiting for you to screw up so you will get coal instead of a bicycle. You had better please him. And we teach our kids to put on the mask and be something they are not. Because Santa Claus is comin’ to town. This omniscient being who is judging our every deed is coming to town…and we learn to do the dance early. Buck up…be good. Don't cry. Don't pout. Santa Claus is coming to town (© Copyright 2003, William Thrall, Bruce McNicol, John Lynch. All rights reserved. Unauthorized duplication prohibited). He is exactly right. We learn that we get good things and receive love only when we are good. Santa is pleased (and we later substitute God) when we obey. So we learn early. We had better be good. Or least fool everyone around us to think that we are being good. Ask any child this Christmas if they are being good and I will wager you will never hear this response. “Well, to be honest, I am really struggling with the whole being nice thing. I have actually been pouty and I cried yesterday. It just isn’t working out this Christmas so I suspect the video game system will have to wait.” Nope. What you hear is the lie that we learn early and too often keep handy in our arsenal for a lifetime. “Oh yeah. I am being really good!” I remember (vaguely) the tension of the Santa Claus years. I knew I hadn’t really changed much. I tried to modify my behavior for a week or two leading up to Christmas but I knew I had failed to really be good. I learned a couple of things early. I learned how hard it is to change behavior by sheer willpower and I learned that I could fool Santa by living a lie. I learned that that he would bring me presents in spite of my failures. I did not learn about grace. That maybe Santa gave me gifts because of who I was and maybe he came to my house because I was lovable instead of rewarding me for what I had done to please him. I figured I had fooled him and to get the good stuff I would have to continue to hide the little boy who broke an ornament and then hid it. Isn’t that too often how we view God? We had better not cry. Better not sin. I’m telling you why. Jesus is coming to town. He’s making a list and He is checking it not once or twice but every moment of every day. God knows if you’ve been bad or good so if you want to be healed or happy or prosperous you had better be good for goodness sake. If I do mess up I am scared to death that I will get a bad life or miss all that God has for me. So I put on the mask and try to be really good for Jesus. If I can fool those around me maybe, just maybe, I can fool God too. Satan sells the lie so convincingly. And we buy it for months and years and even decades. But God and Santa are very different in their approach. God does not keep a list. He is not impressed by our hernia inducing straining to control sin. What God sees is Jesus in Dave Burchett when I sin. Jesus offers us so many gifts. But the one we seem to have the hardest time unwrapping is the gift of grace. The gift that allows us to become who God desires us to become as we simply trust Him and quit trying to be “good” for goodness sake. We are saved by grace and faith in Christ. We become like Him by the same radical strategy. Faith that He has changed us into a new creation. And understanding the grace that gives us good gifts even when we don’t deserve them. Don’t let the Santa Claus theology live into the New Year. Go straight to the gift of grace that Jesus left under the Cross. Open it. And clothe yourself in His salvation, acceptance and love. It may be the best gift you have ever given yourself. Dave Burchett is an Emmy Award winning television sports director, author, and Christian speaker. He is the author of When Bad Christians Happen to Good People and Bring'em Back Alive: A Healing Plan for those Wounded by the Church. You can reply by linking through daveburchett.com.
Find this article at: http://www.crosswalk.com/spirituallife/11561774/
Christmas Traditions
by Ted Olsen, former assistant editor of Christian History
The following article is located at: http://www.christianitytoday.com/history/newsletter/christmas/trad.html
When my parents were getting ready to celebrate Christmas in their new home in Denver after moving from Seattle several years ago, they tried to make a list of all our family's Christmas traditions. They wanted to make sure Christmas, even though it was in a new place, still felt exactly like Christmas. So my whole family sat down to share Christmas memories and discuss customs we carried out year after year, knowingly and unknowingly. It took a long time, especially since many of our traditions were detailed: how many presents to open on Christmas Eve (one), what to eat on Christmas morning (scrambled eggs, bacon, and Pillsbury orange rolls), etc. It was a fascinating experience, because we all had "traditions" that were obvious to us, but which other family members had never even considered. Even more surprising, my brothers and I had considered some practices "traditions" when in reality we had only done them once or twice.
As I've been reading about Christmas traditions this week, I've wondered how many of them have such dubious backgrounds. I can't recount all the histories here, but several books available at your library have already done so. The stories are fascinating. Christmas cards began instead as New Year's greetings. The Christmas tree was associated with the Edenic Tree of Knowledge and decorated with apples, a forbidden fruit. Holly was thought to be the tree from which the cross was made. Hanging mistletoe comes from an old Scandinavian military custom: enemies encountering each other under the plant laid down their arms in truce until the next day. What has also surprised me is how many times Francis of Assisi (c. 1181-1226) has come up in these traditions. Apparently, Francis's friars (and perhaps Francis himself) were the first to write simple, happy, Gospel-based songs. These were much lighter and festive than hymns and are considered by historians as the first carols. Francis also is the first person on record to create a Christmas nativity scene. On Christmas Eve 1223, in order to "Set before our bodily eyes รข€| how he [Jesus] lay in a manger," Francis and his companions worshiped in a cave near Greccio, Italy, surrounded by the traditional oxen, sheep, and donkeys. An early Francis biographer recounted, "Neighborhood people prepared with joy according to their capacity, bringing candles and torches to illumine the night that has been the light of the world through its star. Finally, the saint of God arrived and saw it and was glad. The manger was ready, hay was spread, and the ox and ass led in. "Thus, simplicity was honored, poverty exalted, humility praised. Greccio was made a new Bethlehem. The night became as day to the joy of men and animals. The people were happy at this great mystery. the forest echoed with the voices of the congregation; the rocks cried out in jubilation. The friars sang their debt of praise to God, and the night echoed with their hymns. The saint of God stood near the manger, overwhelmed with love and swelling with happiness."
* Christian History issue 42: Francis of Assisi
The following article is located at: http://www.christianitytoday.com/history/newsletter/christmas/trad.html
When my parents were getting ready to celebrate Christmas in their new home in Denver after moving from Seattle several years ago, they tried to make a list of all our family's Christmas traditions. They wanted to make sure Christmas, even though it was in a new place, still felt exactly like Christmas. So my whole family sat down to share Christmas memories and discuss customs we carried out year after year, knowingly and unknowingly. It took a long time, especially since many of our traditions were detailed: how many presents to open on Christmas Eve (one), what to eat on Christmas morning (scrambled eggs, bacon, and Pillsbury orange rolls), etc. It was a fascinating experience, because we all had "traditions" that were obvious to us, but which other family members had never even considered. Even more surprising, my brothers and I had considered some practices "traditions" when in reality we had only done them once or twice.
As I've been reading about Christmas traditions this week, I've wondered how many of them have such dubious backgrounds. I can't recount all the histories here, but several books available at your library have already done so. The stories are fascinating. Christmas cards began instead as New Year's greetings. The Christmas tree was associated with the Edenic Tree of Knowledge and decorated with apples, a forbidden fruit. Holly was thought to be the tree from which the cross was made. Hanging mistletoe comes from an old Scandinavian military custom: enemies encountering each other under the plant laid down their arms in truce until the next day. What has also surprised me is how many times Francis of Assisi (c. 1181-1226) has come up in these traditions. Apparently, Francis's friars (and perhaps Francis himself) were the first to write simple, happy, Gospel-based songs. These were much lighter and festive than hymns and are considered by historians as the first carols. Francis also is the first person on record to create a Christmas nativity scene. On Christmas Eve 1223, in order to "Set before our bodily eyes รข€| how he [Jesus] lay in a manger," Francis and his companions worshiped in a cave near Greccio, Italy, surrounded by the traditional oxen, sheep, and donkeys. An early Francis biographer recounted, "Neighborhood people prepared with joy according to their capacity, bringing candles and torches to illumine the night that has been the light of the world through its star. Finally, the saint of God arrived and saw it and was glad. The manger was ready, hay was spread, and the ox and ass led in. "Thus, simplicity was honored, poverty exalted, humility praised. Greccio was made a new Bethlehem. The night became as day to the joy of men and animals. The people were happy at this great mystery. the forest echoed with the voices of the congregation; the rocks cried out in jubilation. The friars sang their debt of praise to God, and the night echoed with their hymns. The saint of God stood near the manger, overwhelmed with love and swelling with happiness."
* Christian History issue 42: Francis of Assisi
Yesaya 12: 1-6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Terjemahan Indonesia jelas membagi kitab nabi Yesaya menjadi dua. Bagian pertama mencakup bab 1-39, sedangkan bagian kedua melingkupi bab 40-66. Pembagian itu tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Tetapi berdasarkan berbagai petunjuk dan pertimbangan, pembagian tersebut memang perlu. [ . . . ] Dalam Yes 1-35 terkumpul sejumlah nubuat yang pada pokoknya berasal dari nabi Yesaya yang tampil di wilayah Yehuda sekitar th. 740-700 seb. Mas. [ . . . ] Meskipun nubuat-nubuat yang terkumpul dalam Yes 1-35 sungguh berasal dari nabi Yesa- ya, namun ada kekecualiaan juga. Terdapatlah beberapa tambahan yang cukup penting yang di kemudian hari barulah disisipkan ke dalam kumpulan nubuat-nubuat nabi Yesaya. Begitu misalnya bab 13-14; 24-27; 33; 34-35. Semua bagian cukup besar ini berasal dari nabi-nabi yang tampildi zaman pembuangan atau sesudahnya. [ . . . ] Kitab nabi Yesaya seperti tercantum dalam Alkitab memuat tiga macam kumpulan nubuat. Dalam bab 1-12 terhimpun sejumlah nubuat yang berupa ancaman ditujukan kepada umat Allah di Yehuda. Dalam bab 13-23 terkumpul sejumlah nubuat berupa ancaman tertuju kepada berbagai bangsa yang memusuhi umat Tuhan . . . [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 245ff.]. Informasi: Fasal 1-12 Fasal 1 merupakan Pendahuluan untuk seluruh kitab Yesaya. Jadi sebenar- nya bagian pertama dimulai dengan fasal
2:1. Di dalam fasal 12 terdapat suatu mazmur yang merupakan penutup liturgis untuk bagian pertama [ . . . ] Fasal 12: Nyanyian syukur atas keselamatan (ayat 1-6). [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 108 dan 110]. 2. Eksposisi 2.1. Mengapa orang-orang diminta untuk berkata: “Aku mau bersyukur . . .”? Karena mereka hanya terpaku pada derita yang mereka sedang alami saat itu, maka sang nabi mendorong mereka untuk mempunyai perspektif yang lebih luas. Ia mendorong mereka untuk menaruh pengharapan mereka kepada Tuhan. Dimulai dengan pengungkapan niat (”Aku mau bersyukur”), diikuti dengan alasan (“murkamu telah surut dan Engkau menghibur aku”), dan ditutup dengan pernyataan iman (“Allah itu keselamatanku”).
2.2. Mengapa emosi Allah nampaknya berubah-rubah(“murka telah surut . . . menghibur”)? Karena kasihNya sedemikian besar bagi umatNya, yang justru “plin-plan” dalam kese- tiaannya kepada Tuhan Juga karena Tuhan sungguh-sungguh berusaha memelihara hubungan dengan umatNya. “If he were indifferent about our sin, for example, his apathy would show he didn’t care about us as his people”. Yesaya secara sengaja menggambar- kan Tuhan ber-emosi untuk memberi “impact” terhadap seruannya dan sekaligus me- mungkinkan umat memahami spektrum dari pihak Allah. Dalam ay. 2 terdapat suatu [“glorius”] paradoks. Allah yang murka pada akhirnya malah menjadi sumber “keselamatan” satu-satunya. “In the end, ‘comfort’ (= salvation) can be found only by fleeing into the arms of the righteous God whose wrath we have incurred” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), p. 78]. Informasi: [Ayat 2] It is noteworthy that trust [LAI: “percaya”] , in many . . . cases, is the alternative to fear [LAI: “gementar”] which might render as elemental anxiety [ . . . ] Human person, as Erikson saw well, are finally confronted with the options of trust and fear. The celebrated human person, in Israel’s horizon, is embedd- ed deeply in trust. This trust is not vague and amorphous; it focuses on Yah- weh as an active agent who sustains and intervenes. From that personal and intimate focus, however, Israel is able to generalize, so that one may come to trust the world over which Yahweh presides as a safe and reliable place in which to live [kutipan dari Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament (Minnea- polis: Fortress, 1997), p. 468].
2.3. Ayat 4 – 6 Penggalan ini merupakan suatu nyanyian jemaat, di mana para pengunjung ibadah menyampaikan seruan satu kepada yang lain secara berbalasan untuk “bersyukur . . . kepada Tuhan” (4a), untuk memberitahukan perbuatanNya kepada “bangsa-bangsa” (4b), dan menyatakannya itu semua dengan penuh kesukacitaan dan dengan suara lantang (5-6). Ada dua alasan mengapa layak untuk bersyukur: [1] “perbuatanNya yang mulia” (5a), dan [2] kehadiranNya di Sion (6b). KehadiranNya itu adalah konsekwensi dari perbuatan- Nya yang mulia itu. “It is the LORD’s glorious deeds in judgment and salvation that have established his presence in Zion as the great and Holy One, terms which point unequivo- cally to his kingship” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Webb, op. cit., p. 79]. 3. Refleksi Sesuai dengan konteksnya, nyanyian syukur ini berfungsi sebagai penutup terhadap gambaran pemerintahan dan kekuasaan sang Mesias yang dimulai dalam 11:1. Di pihak lain dalam hu- bungannya dengan pasal 13, maka pasal 12 ini juga sekaligus menjadi klimaks dari bagian pertama kitab nabi Yesaya. Ini tersirat dalam ayat penutup: “Berserulah dan bersorak-sorailah hai penduduk Sion, sebab Yang Mahakudus, Allah Israel, agung ditengah-tengahmu” (12:6). Bukankah ayat ini analog atau paling tidak sejajar dengan pujian para malaikat dalam Luk 2:14: “Kemulian bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya”? Jadinya bacaan kita dari Yes 12 ini meminta perhatian dan mengingatkan kita pada rasa bersyukur dan bagaimana seharusnya peranannya dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Bersana dengan George Herbert, seorang penyair Inggris abad ke-17, kita memohon: “O Engkau yang telah memberi kami sekian banyak anugerah, sudilah memberi kami satu hal lagi, yaitu hati yang tahu berterima kasih”. Semoga pada hari Natal ini, Roh Kudus menumbuhkan dalam hati kita suatu keinginan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan beberapa cara yang konkret dan nyata. Pikirkanlah apa yang mungkin dapat menjadi ungkapan rasa syukur Anda pada hari Natal ini. Ilustrasi: Seorang pria telah mengambil risiko mati dengan terjun ke dalam sebuah sungai yang sangat deras untuk menyelamatkan seorang anak laki-laki yang hanyut diba- wa arus. Sesudah anak ini diselamatkan, ia lalu berkata kepada pria itu, “Terima kasih. Bapak telah menyelamatkan hidup saya.” Orang itu lalu merangkul anak itu sambil berkata, “Sudahlah, anakku! Sadarlah bahwa hidupmu itu bernilai sehingga layak diselamatkan.” [Sumber dan kutipan sajak dan ilustrasi dari Mark Link SJ, Challenge/ Tantangan, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 140 dan 147].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Terjemahan Indonesia jelas membagi kitab nabi Yesaya menjadi dua. Bagian pertama mencakup bab 1-39, sedangkan bagian kedua melingkupi bab 40-66. Pembagian itu tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Tetapi berdasarkan berbagai petunjuk dan pertimbangan, pembagian tersebut memang perlu. [ . . . ] Dalam Yes 1-35 terkumpul sejumlah nubuat yang pada pokoknya berasal dari nabi Yesaya yang tampil di wilayah Yehuda sekitar th. 740-700 seb. Mas. [ . . . ] Meskipun nubuat-nubuat yang terkumpul dalam Yes 1-35 sungguh berasal dari nabi Yesa- ya, namun ada kekecualiaan juga. Terdapatlah beberapa tambahan yang cukup penting yang di kemudian hari barulah disisipkan ke dalam kumpulan nubuat-nubuat nabi Yesaya. Begitu misalnya bab 13-14; 24-27; 33; 34-35. Semua bagian cukup besar ini berasal dari nabi-nabi yang tampildi zaman pembuangan atau sesudahnya. [ . . . ] Kitab nabi Yesaya seperti tercantum dalam Alkitab memuat tiga macam kumpulan nubuat. Dalam bab 1-12 terhimpun sejumlah nubuat yang berupa ancaman ditujukan kepada umat Allah di Yehuda. Dalam bab 13-23 terkumpul sejumlah nubuat berupa ancaman tertuju kepada berbagai bangsa yang memusuhi umat Tuhan . . . [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 245ff.]. Informasi: Fasal 1-12 Fasal 1 merupakan Pendahuluan untuk seluruh kitab Yesaya. Jadi sebenar- nya bagian pertama dimulai dengan fasal
2:1. Di dalam fasal 12 terdapat suatu mazmur yang merupakan penutup liturgis untuk bagian pertama [ . . . ] Fasal 12: Nyanyian syukur atas keselamatan (ayat 1-6). [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 108 dan 110]. 2. Eksposisi 2.1. Mengapa orang-orang diminta untuk berkata: “Aku mau bersyukur . . .”? Karena mereka hanya terpaku pada derita yang mereka sedang alami saat itu, maka sang nabi mendorong mereka untuk mempunyai perspektif yang lebih luas. Ia mendorong mereka untuk menaruh pengharapan mereka kepada Tuhan. Dimulai dengan pengungkapan niat (”Aku mau bersyukur”), diikuti dengan alasan (“murkamu telah surut dan Engkau menghibur aku”), dan ditutup dengan pernyataan iman (“Allah itu keselamatanku”).
2.2. Mengapa emosi Allah nampaknya berubah-rubah(“murka telah surut . . . menghibur”)? Karena kasihNya sedemikian besar bagi umatNya, yang justru “plin-plan” dalam kese- tiaannya kepada Tuhan Juga karena Tuhan sungguh-sungguh berusaha memelihara hubungan dengan umatNya. “If he were indifferent about our sin, for example, his apathy would show he didn’t care about us as his people”. Yesaya secara sengaja menggambar- kan Tuhan ber-emosi untuk memberi “impact” terhadap seruannya dan sekaligus me- mungkinkan umat memahami spektrum dari pihak Allah. Dalam ay. 2 terdapat suatu [“glorius”] paradoks. Allah yang murka pada akhirnya malah menjadi sumber “keselamatan” satu-satunya. “In the end, ‘comfort’ (= salvation) can be found only by fleeing into the arms of the righteous God whose wrath we have incurred” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), p. 78]. Informasi: [Ayat 2] It is noteworthy that trust [LAI: “percaya”] , in many . . . cases, is the alternative to fear [LAI: “gementar”] which might render as elemental anxiety [ . . . ] Human person, as Erikson saw well, are finally confronted with the options of trust and fear. The celebrated human person, in Israel’s horizon, is embedd- ed deeply in trust. This trust is not vague and amorphous; it focuses on Yah- weh as an active agent who sustains and intervenes. From that personal and intimate focus, however, Israel is able to generalize, so that one may come to trust the world over which Yahweh presides as a safe and reliable place in which to live [kutipan dari Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament (Minnea- polis: Fortress, 1997), p. 468].
2.3. Ayat 4 – 6 Penggalan ini merupakan suatu nyanyian jemaat, di mana para pengunjung ibadah menyampaikan seruan satu kepada yang lain secara berbalasan untuk “bersyukur . . . kepada Tuhan” (4a), untuk memberitahukan perbuatanNya kepada “bangsa-bangsa” (4b), dan menyatakannya itu semua dengan penuh kesukacitaan dan dengan suara lantang (5-6). Ada dua alasan mengapa layak untuk bersyukur: [1] “perbuatanNya yang mulia” (5a), dan [2] kehadiranNya di Sion (6b). KehadiranNya itu adalah konsekwensi dari perbuatan- Nya yang mulia itu. “It is the LORD’s glorious deeds in judgment and salvation that have established his presence in Zion as the great and Holy One, terms which point unequivo- cally to his kingship” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Webb, op. cit., p. 79]. 3. Refleksi Sesuai dengan konteksnya, nyanyian syukur ini berfungsi sebagai penutup terhadap gambaran pemerintahan dan kekuasaan sang Mesias yang dimulai dalam 11:1. Di pihak lain dalam hu- bungannya dengan pasal 13, maka pasal 12 ini juga sekaligus menjadi klimaks dari bagian pertama kitab nabi Yesaya. Ini tersirat dalam ayat penutup: “Berserulah dan bersorak-sorailah hai penduduk Sion, sebab Yang Mahakudus, Allah Israel, agung ditengah-tengahmu” (12:6). Bukankah ayat ini analog atau paling tidak sejajar dengan pujian para malaikat dalam Luk 2:14: “Kemulian bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya”? Jadinya bacaan kita dari Yes 12 ini meminta perhatian dan mengingatkan kita pada rasa bersyukur dan bagaimana seharusnya peranannya dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Bersana dengan George Herbert, seorang penyair Inggris abad ke-17, kita memohon: “O Engkau yang telah memberi kami sekian banyak anugerah, sudilah memberi kami satu hal lagi, yaitu hati yang tahu berterima kasih”. Semoga pada hari Natal ini, Roh Kudus menumbuhkan dalam hati kita suatu keinginan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan beberapa cara yang konkret dan nyata. Pikirkanlah apa yang mungkin dapat menjadi ungkapan rasa syukur Anda pada hari Natal ini. Ilustrasi: Seorang pria telah mengambil risiko mati dengan terjun ke dalam sebuah sungai yang sangat deras untuk menyelamatkan seorang anak laki-laki yang hanyut diba- wa arus. Sesudah anak ini diselamatkan, ia lalu berkata kepada pria itu, “Terima kasih. Bapak telah menyelamatkan hidup saya.” Orang itu lalu merangkul anak itu sambil berkata, “Sudahlah, anakku! Sadarlah bahwa hidupmu itu bernilai sehingga layak diselamatkan.” [Sumber dan kutipan sajak dan ilustrasi dari Mark Link SJ, Challenge/ Tantangan, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 140 dan 147].
- - - NR - - -
17 Desember 2007
Yesaya 40 : 1 – 5
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipam Lepas)
1. Pengantar
Si penulis (Deutro Yesaya) menyampaikan berita gembira dalam perikop kita hari ini kepada orang-orang yang indentitasnya telah berantakan dan yang hampir-hampir telah kehilangan pengharapan sama sekali. Untuk orang-orang yang berada dalam situasi demikian, berita gembira yang “murahan” tidak saja percuma, tetapi juga kejam. Penghiburan yang tidak ditopang oleh kebenaran dan/atau kenyataan yang sesungguhnya adalah penghiburan hampa. Maklumat yang disampaikan nabi [Deutro] Yesaya semuanya adalah sungguh-sungguh ditopang dengan kebenaran yang disinggung tadi. Informasi: . . . by the later years of the exile it seemed that many had abandoned hope. The Israelites accused Yahweh of having forgotten and forsaken them (e.g. Is. 40:27, 49:14) --- a rich irony in view of the fact that it was they who for centuries had treated Him that way. Into this lethargic despair came the message of Isaiah 40-55, either the preserved words of Isaiah himself from the eighth century now at last relevant, or, as many scholars believe, the words of an anonymous prophet of the calibre of Isaiah (and greatly influenced him) who lived at the time of the exile itself and addressed his stirring message to the exiles. At a time when all they could see was the threatening rise of yet another empire (the Persians), this prophet calls on them to lift up their eyes and hearts once more to see their God on the move bringing liberation at last [kutipan dari Chris Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (London: Mashall Pickering, 1992), p. 21 f.]. Nabi Deutro-Yesaya hanya membawakan berita keselamatan saja. Dia tidak bernubuat bahwa keselamatan itu akan datang, melainkan bahwa keselamatan itu sudah datang. Masa pembuangan di Babel sudah selesai, masa penderitaan sudah berakhir [kutipan dari A. Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 84].
2. Eksposisi
Kebenaran apakah itu?
2.1. Yang pertama ialah bahwa mereka tetap merupakan umat Allah (ayat 1: “umatKu”). Kenapa demikian? Karena Yahweh menghargai dan tetap setia terhadap perjanjian anugerah (“covenant’) yang dulu diadakan antara Dia dengan leluhur mereka. Walaupun memang sudah hancur, namun Yerusalem tidak akan diterlantarkan oleh Tuhan. Dengan itu Allah punya rencana yang membebaskan bagi mereka, justru karena mereka masih tetap mendapat perhatian khusus dari Allah (ayat 2).
2.2. Kebenaran kedua ialah bahwa pendurhakaan dan dosa mereka telah diampuni (ayat 2). Excursus: The penalty for their sins has been paid in full, and consequently they are to be released forthwith from hard labour. The royal pardon has come, the prison doors are flung wide open, and they are free! What good news this is --- but how unexpected! No doubt the inner circle of Isaiah’s disciples long treasured these words. But others, hearing them for the first time in exile, must have been startled by them, as a prisoner emerging from a dungeon blinks at the light. How could this be? What was the explanation for it? Could fifty, sixty, or seventy years of exile pay for rebellion that had gone on for scores of generations? Could it atone even for the sins of those directly affected, let alone for those of their ancestors? The fact of the matter is that there is far more to this announcement of pardon that first meets the eye. There is mystery here that will not be explained fully until chapter 53. But for now the simple announcement is allowed to stand alone in all its stark and bold splendour. You are forgiven! Your sins have been paid for! What more comforting truth could there be for shattered people than that? [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), pp. 162 f.]. The following . . . verses . . . have often been cited against the idea that God deals in strict justice with man: Isaiah 40:2 --- “Speak tenderly to Jerusalem . . ., that she has received from the Lord’s hand double [. . . kiplayim] for all her sins.” Jeremiah 16:18 . . . Psalm 7:11 . . . Romans 3:5-6 . . . [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), pp. 196 f.].
2.3. Kebenaran ketiga ialah bahwa Allah akan bertindak untuk mewujud-nyatakan akta pengampunan yang telah diberlakukanNya. “He will not leave them where they are; he will bring them home” (Webb, loc. cit.) [ayat 3-5]. Tersirat dalam ayat 3 bahwa pembe- basan dilihat sebagai peristiwa “keluaran” yang lebih hebat dari “keluaran” pertama. “The return from exile is in some sense a return of Yahweh himself, bringing his flock with him [ayat 11], and involves a theophany” [ayat 5, 9] (kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible [London: Nelson, 1972], p. 517). Excursus: How were these promises fulfilled [ayat 3-5 dan 9]? Those who heard Isaiah’s prophecy associated it with the return of the exiles from Babylon to Jerusalem. We can see another fulfillment, however, because of the New Testament. Isaiah’s word anticipated John the Baptist and the good news announcing the coming Messiah [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1035). . . . as the watching world looks on, it will learn what kind of God he is; his glory . . . will be revealed, and all humankind will see it (5). A note is struck here which will recur more and more clearly as the book moves to its climax. The Lord is a missionary God; what he does for his own, he does not for their sake alone, but that all may come to know him. For the moment the focus is on the people of God themselves. ‘Aliens and exiles’ they might be, but not forever. There is solid comfort in that [kutipan dari Webb, op. cit.].
2.4. Walaupun tidak termasuk dalam perikop bacaan kita hari ini, kebenaran terakhir terdapat dalam ayat 6-8. Kebenaran yang dimaksud ialah bahwa janji dan Firman Allah dapat dipercayai seutuhnya (ayat 8: “firman Allah . . . tetap untuk selama-lamanya”). Excursus: Reliance on the word of God is not fatalistic or superstitious. It is trust in something impersonal like the stars or good-luck charm. It is trust in a person who is committed to us and has all the resources necessary to care for us. It is the word of our God that Isaiah speaks of, a word or message that arises from a relationship. And the truth is that God’s word has the same character as God himself. It is as unchanging and reliable as the God who speaks it [kutipan dari Webb, loc. cit.]. “Suara” siapakah yang dimaksudkan dalam ayat 3 dan 6? Dalam konteks bacaan kita, “suara” di sini berfungsi sebagai pengganti ungkapan “demikianlah firman Tuhan”. Bisa juga: “it emphasises that the message is not the prophet’s own word , but given; and it introduces the primary theme of a highway for Yahweh” [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible, loc. cit.]. We know from the New Testament that this prophecy looked ahead to the voice of John the Baptist (Matt. 3:3). John, a cousin of Jesus, helped prepare the way for Jesus’ ministry by preaching about the need for repentance. As people became aware of their sin, the stage was set for Christ’s saving work [kutipan dari Quest Study Bible, loc. cit.].
3. Refleksi dan Aplikasi
Di sini ada sesuatu yang mengagumkan! Dibuang, diejek, direndahkan, kehilangan segalanya, kerja keras tanpa pengharapan, pekerja asing . . . , lalu mulai memuji Allah yang membuat mujizat dalam suara yang begitu meyakinkan, sehingga memberi pengharapan kepada semua orang. Dimanakah [Deutro] Yesaya, yang bersembunyi di belakang misinya dan hanya menye- but dirinya “suara yang berseru-seru”, mendapatkan kekuatan serupa itu? Dalam imannya kepada Allah. Allah yang “membawa kita keluar dari rumah perhambaan” seperti dalam Kitab Keluaran, tetap dapat membebaskan kita. Ia mempunyai kuasa untuk melakukan hal itu, sebab Ia adalah Pencipta. Dan Ia akan berbuat demikian, sebab Ia setia dan mengasihi kita lebih daripada kasih seorang ibu [kutipan dari Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 90]. Dengan nada yang mendesak [Deutro] Yesaya berseru: “Persiapkanlah . . . jalan untuk TUHAN” (Yes 40:3). Yohanes Pembaptis berseru: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis . . . akan datang [seseorang] yang lebih berkuasa dari padaku . . .” (Mrk 1:4, 7). Kedua-duanya menyerukan tema pokok yang sama: persiapan menjelang Tuhan tiba. Untuk kita yang kini berada dalam Minggu Advent IV, bagaimana bentuk dan wujud persiapan kita? Apakah itu dalam wujud nyata atau simbolis, kita terpanggil untuk menaati seruan Yohannes Pembaptis: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis . . . [saduran dan terjemahan bebas dari sumber: Abingdon Preacher’s Annual (Nashville, Tenn.: Abingdon, 1993), p. 378]. [Aplikasi yang relevan diserahkan kepada masing-masing Pelayan Firman sesuai dengan “sikon” jemaat masing-masing].
4. Ilustrasi
Ketika Nelson Mandela menjadi presiden Afrika Selatan, ia menunjuk sebuah komisi untuk membawa orang-orang yang telah bersalah atas kekejaman selama masa“apartheid” (perbe- daan rasial) ke ruang pengadilan. Setiap opsir kulit putih yang secara sukarela menghadapi para penuduhnya dan mengakui kesalahannya, tidak akan dihukum. Suatu hari seorang wanita lanjut usia diperhadapkan secara tatap muka dengan opsir yang secara brutal membunuh putra tunggal dan suami tercintanya. Ketika ditanya apa yang wanita itu inginkan dari opsir itu, ia berkata, “Meskipun saya tidak mempunyai keluarga lagi, saya tetap memiliki banyak cinta untuk diberikan.” Ia meminta agar opsir itu mengunjunginya secara teratur, sehingga ia dapat menjadi ibu baginya. Lalu katanya, “Saya ingin memeluknya sehingga ia dapat mengetahui pengampunan saya adalah sungguh-sungguh tulus.” Selagi wanita tua itu berjalan menuju tempat saksi, opsir itu diliputi oleh rasa malu dan penyesalan yang begitu dalam, sehingga ia pingsan. Kesedihan yang wanita itu timbulkan bukanlah balas dendam yang keji, tetapi api yang menyucikan dari kasih karunia Allah yang dapat memimpin kepada pertobatan dan pendamaian. Itulah pembalasan yang menyelamatkan [kutipan dari Santapan Rohani (Grand Rapids, Mich.: RBC Ministries), Jumat, 28 Oktober 2005]. Kisah tadi hampir-hampir identik dengan tindakan pengampunan dan penyelamatan Tuhan bagi umat Israel menjelang akhir masa pembuangan mereka di Babilonia.
- - - NR - - -
1. Pengantar
Si penulis (Deutro Yesaya) menyampaikan berita gembira dalam perikop kita hari ini kepada orang-orang yang indentitasnya telah berantakan dan yang hampir-hampir telah kehilangan pengharapan sama sekali. Untuk orang-orang yang berada dalam situasi demikian, berita gembira yang “murahan” tidak saja percuma, tetapi juga kejam. Penghiburan yang tidak ditopang oleh kebenaran dan/atau kenyataan yang sesungguhnya adalah penghiburan hampa. Maklumat yang disampaikan nabi [Deutro] Yesaya semuanya adalah sungguh-sungguh ditopang dengan kebenaran yang disinggung tadi. Informasi: . . . by the later years of the exile it seemed that many had abandoned hope. The Israelites accused Yahweh of having forgotten and forsaken them (e.g. Is. 40:27, 49:14) --- a rich irony in view of the fact that it was they who for centuries had treated Him that way. Into this lethargic despair came the message of Isaiah 40-55, either the preserved words of Isaiah himself from the eighth century now at last relevant, or, as many scholars believe, the words of an anonymous prophet of the calibre of Isaiah (and greatly influenced him) who lived at the time of the exile itself and addressed his stirring message to the exiles. At a time when all they could see was the threatening rise of yet another empire (the Persians), this prophet calls on them to lift up their eyes and hearts once more to see their God on the move bringing liberation at last [kutipan dari Chris Wright, Knowing Jesus through the Old Testament (London: Mashall Pickering, 1992), p. 21 f.]. Nabi Deutro-Yesaya hanya membawakan berita keselamatan saja. Dia tidak bernubuat bahwa keselamatan itu akan datang, melainkan bahwa keselamatan itu sudah datang. Masa pembuangan di Babel sudah selesai, masa penderitaan sudah berakhir [kutipan dari A. Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 84].
2. Eksposisi
Kebenaran apakah itu?
2.1. Yang pertama ialah bahwa mereka tetap merupakan umat Allah (ayat 1: “umatKu”). Kenapa demikian? Karena Yahweh menghargai dan tetap setia terhadap perjanjian anugerah (“covenant’) yang dulu diadakan antara Dia dengan leluhur mereka. Walaupun memang sudah hancur, namun Yerusalem tidak akan diterlantarkan oleh Tuhan. Dengan itu Allah punya rencana yang membebaskan bagi mereka, justru karena mereka masih tetap mendapat perhatian khusus dari Allah (ayat 2).
2.2. Kebenaran kedua ialah bahwa pendurhakaan dan dosa mereka telah diampuni (ayat 2). Excursus: The penalty for their sins has been paid in full, and consequently they are to be released forthwith from hard labour. The royal pardon has come, the prison doors are flung wide open, and they are free! What good news this is --- but how unexpected! No doubt the inner circle of Isaiah’s disciples long treasured these words. But others, hearing them for the first time in exile, must have been startled by them, as a prisoner emerging from a dungeon blinks at the light. How could this be? What was the explanation for it? Could fifty, sixty, or seventy years of exile pay for rebellion that had gone on for scores of generations? Could it atone even for the sins of those directly affected, let alone for those of their ancestors? The fact of the matter is that there is far more to this announcement of pardon that first meets the eye. There is mystery here that will not be explained fully until chapter 53. But for now the simple announcement is allowed to stand alone in all its stark and bold splendour. You are forgiven! Your sins have been paid for! What more comforting truth could there be for shattered people than that? [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), pp. 162 f.]. The following . . . verses . . . have often been cited against the idea that God deals in strict justice with man: Isaiah 40:2 --- “Speak tenderly to Jerusalem . . ., that she has received from the Lord’s hand double [. . . kiplayim] for all her sins.” Jeremiah 16:18 . . . Psalm 7:11 . . . Romans 3:5-6 . . . [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), pp. 196 f.].
2.3. Kebenaran ketiga ialah bahwa Allah akan bertindak untuk mewujud-nyatakan akta pengampunan yang telah diberlakukanNya. “He will not leave them where they are; he will bring them home” (Webb, loc. cit.) [ayat 3-5]. Tersirat dalam ayat 3 bahwa pembe- basan dilihat sebagai peristiwa “keluaran” yang lebih hebat dari “keluaran” pertama. “The return from exile is in some sense a return of Yahweh himself, bringing his flock with him [ayat 11], and involves a theophany” [ayat 5, 9] (kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible [London: Nelson, 1972], p. 517). Excursus: How were these promises fulfilled [ayat 3-5 dan 9]? Those who heard Isaiah’s prophecy associated it with the return of the exiles from Babylon to Jerusalem. We can see another fulfillment, however, because of the New Testament. Isaiah’s word anticipated John the Baptist and the good news announcing the coming Messiah [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1035). . . . as the watching world looks on, it will learn what kind of God he is; his glory . . . will be revealed, and all humankind will see it (5). A note is struck here which will recur more and more clearly as the book moves to its climax. The Lord is a missionary God; what he does for his own, he does not for their sake alone, but that all may come to know him. For the moment the focus is on the people of God themselves. ‘Aliens and exiles’ they might be, but not forever. There is solid comfort in that [kutipan dari Webb, op. cit.].
2.4. Walaupun tidak termasuk dalam perikop bacaan kita hari ini, kebenaran terakhir terdapat dalam ayat 6-8. Kebenaran yang dimaksud ialah bahwa janji dan Firman Allah dapat dipercayai seutuhnya (ayat 8: “firman Allah . . . tetap untuk selama-lamanya”). Excursus: Reliance on the word of God is not fatalistic or superstitious. It is trust in something impersonal like the stars or good-luck charm. It is trust in a person who is committed to us and has all the resources necessary to care for us. It is the word of our God that Isaiah speaks of, a word or message that arises from a relationship. And the truth is that God’s word has the same character as God himself. It is as unchanging and reliable as the God who speaks it [kutipan dari Webb, loc. cit.]. “Suara” siapakah yang dimaksudkan dalam ayat 3 dan 6? Dalam konteks bacaan kita, “suara” di sini berfungsi sebagai pengganti ungkapan “demikianlah firman Tuhan”. Bisa juga: “it emphasises that the message is not the prophet’s own word , but given; and it introduces the primary theme of a highway for Yahweh” [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible, loc. cit.]. We know from the New Testament that this prophecy looked ahead to the voice of John the Baptist (Matt. 3:3). John, a cousin of Jesus, helped prepare the way for Jesus’ ministry by preaching about the need for repentance. As people became aware of their sin, the stage was set for Christ’s saving work [kutipan dari Quest Study Bible, loc. cit.].
3. Refleksi dan Aplikasi
Di sini ada sesuatu yang mengagumkan! Dibuang, diejek, direndahkan, kehilangan segalanya, kerja keras tanpa pengharapan, pekerja asing . . . , lalu mulai memuji Allah yang membuat mujizat dalam suara yang begitu meyakinkan, sehingga memberi pengharapan kepada semua orang. Dimanakah [Deutro] Yesaya, yang bersembunyi di belakang misinya dan hanya menye- but dirinya “suara yang berseru-seru”, mendapatkan kekuatan serupa itu? Dalam imannya kepada Allah. Allah yang “membawa kita keluar dari rumah perhambaan” seperti dalam Kitab Keluaran, tetap dapat membebaskan kita. Ia mempunyai kuasa untuk melakukan hal itu, sebab Ia adalah Pencipta. Dan Ia akan berbuat demikian, sebab Ia setia dan mengasihi kita lebih daripada kasih seorang ibu [kutipan dari Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 90]. Dengan nada yang mendesak [Deutro] Yesaya berseru: “Persiapkanlah . . . jalan untuk TUHAN” (Yes 40:3). Yohanes Pembaptis berseru: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis . . . akan datang [seseorang] yang lebih berkuasa dari padaku . . .” (Mrk 1:4, 7). Kedua-duanya menyerukan tema pokok yang sama: persiapan menjelang Tuhan tiba. Untuk kita yang kini berada dalam Minggu Advent IV, bagaimana bentuk dan wujud persiapan kita? Apakah itu dalam wujud nyata atau simbolis, kita terpanggil untuk menaati seruan Yohannes Pembaptis: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis . . . [saduran dan terjemahan bebas dari sumber: Abingdon Preacher’s Annual (Nashville, Tenn.: Abingdon, 1993), p. 378]. [Aplikasi yang relevan diserahkan kepada masing-masing Pelayan Firman sesuai dengan “sikon” jemaat masing-masing].
4. Ilustrasi
Ketika Nelson Mandela menjadi presiden Afrika Selatan, ia menunjuk sebuah komisi untuk membawa orang-orang yang telah bersalah atas kekejaman selama masa“apartheid” (perbe- daan rasial) ke ruang pengadilan. Setiap opsir kulit putih yang secara sukarela menghadapi para penuduhnya dan mengakui kesalahannya, tidak akan dihukum. Suatu hari seorang wanita lanjut usia diperhadapkan secara tatap muka dengan opsir yang secara brutal membunuh putra tunggal dan suami tercintanya. Ketika ditanya apa yang wanita itu inginkan dari opsir itu, ia berkata, “Meskipun saya tidak mempunyai keluarga lagi, saya tetap memiliki banyak cinta untuk diberikan.” Ia meminta agar opsir itu mengunjunginya secara teratur, sehingga ia dapat menjadi ibu baginya. Lalu katanya, “Saya ingin memeluknya sehingga ia dapat mengetahui pengampunan saya adalah sungguh-sungguh tulus.” Selagi wanita tua itu berjalan menuju tempat saksi, opsir itu diliputi oleh rasa malu dan penyesalan yang begitu dalam, sehingga ia pingsan. Kesedihan yang wanita itu timbulkan bukanlah balas dendam yang keji, tetapi api yang menyucikan dari kasih karunia Allah yang dapat memimpin kepada pertobatan dan pendamaian. Itulah pembalasan yang menyelamatkan [kutipan dari Santapan Rohani (Grand Rapids, Mich.: RBC Ministries), Jumat, 28 Oktober 2005]. Kisah tadi hampir-hampir identik dengan tindakan pengampunan dan penyelamatan Tuhan bagi umat Israel menjelang akhir masa pembuangan mereka di Babilonia.
- - - NR - - -
Yesaya 7: 10 – 19
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
[Aram dan Israel Utara mengajak Yehuda memberontak terhadap Asyur. Tetapi Yehuda menolak. Jadinya Aram dan Israel Utara balik menyerang Yehuda. Itulah “perang Syro- Efraemi’] Yesaya 7:1-25 menggambarkan keadaan di Yehuda selama perang Syro-Efraemi [Aram- Israel Utara] (734-733 sM). Pada mulanya perang itu “ . . . hati Ahaz dan hati rakyatnya gemetar ketakutan seperti pohon-pohon hutan bergoyang ditiup angin” (Yes 7:2b). Nabi Yesaya diperintahkan Tuhan untuk menemui Ahaz. Dan Yesaya harus membawa anaknya Sear Yasyub (= sisa akan kembali) sebagai tanda pengharapan! Si nabi menegaskan kepada Ahaz bahwa dia tidak usah takut terhadap serangan Aram[“Syro”] dan Israel Utara [“Efraemi”], “kedua puntung kayu api berasap ini” (Yes 7:4). Ahaz harus bersandar kepada Tuhan saja dan tidak boleh bersandar kepada Asyur atau kepada kekuatan sendiri. “Jika kamu tidak percaya, sungguh kamu tidak teguh jaya” (Yes. 7:9). Ahaz diperbolehkan meminta pertanda bahwa Tuhan menyertainya. Tetapi Ahaz menolak dengan alasan munafik: “aku tidak mau mencobai Tuhan” (Yes 7:12). Kemudian Yesaya memberi tanda, walaupun tidak diminta. “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengan- dung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Imanuel” (Yes 7:14). Kata yang dipakai dalam bahasa Ibrani ialah ‘alemah’, yang berarti ‘perempuan muda’, dan bukan perawan atau anak dara (dalam bah. Ibr. ‘betulah’). Dalam hal ini Septuaginta menim- bulkan banyak kesalahan dalam tafsiran dengan terjemahan: ‘parthenos’, yaitu anak dara. Terjemahan Septuaginta ini dikutip dalam Mat 1:21. Mungkin sekali isteri-muda raja Ahaz atau seorang perempuan lain dari kalangan istana yang dimaksudkan dengan ‘perempuan muda’ itu. Anak yang dilahirkan oleh perempuan muda itu diberi nama simbolis: Imanuel (= Allah menyertai kita)., sebagai tanda bahwa Tuhan menyertai Ahaz dalam perang Syro-Efraemi itu. Sebelum anak Imanuel itu tahu membedakan yang baik dari pada yang jahat (setelah dua atau tiga tahun), Tuhan akan menghukum Aram dan Israel Utara. Ahaz menolak tanda-penyertaan oleh Tuhan itu. Menurut keterangan dari 2 Raj 16:7, Ahaz meminta bantuan Asyur, dan bukan dari Tuhan, terhadap ancaman dari Aram dan Israel Uta- ra itu. Dalam Kitab Raja-Raja, Ahaz digambarkan sebagai raja “yang tidak melakukan apa yang benar di mata Tuhan”. Dia mempersembahkan anaknya kepada dewa Molokh. Di Yeru- salem didirikannya sebuah mezbah sesuai dengan bagan dalam agama Asyur (2 Raj 16:10- 11) [kutipan dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm 42ff.].
2. Eksposisi
Bagian-bagian terpenting Yesaya tentang mesias adalah 7:13-17; 9:5-6 dan 11:1-9. Ada pan- dapat yang menggabungkan 7:14-16; (8:5-10); 9:1-16 dan 11:1-9 menjadi nubuat Imanuel, karena menyinggung orang yang sama: Imanuel. Kesamaan jati diri dari pribadi tersebut dapat kita lihat dari kenyataan, bahwa kedatangannya selalu di masa akhir. [ . . . ] Dalam penelitian eksegetis, nubuat kelahiran Imanuel ini termasuk bagian Perjanjian Lama yang paling banyak dipertentangkan maknanya. Interpretasi itu antara lain: Imanuel adalah anak Raja Ahaz Imanuel adalah anak Yesaya Imanuel adalah tokoh dari suatu mite Imanuel adalah nama gabungan untuk beberapa anak-anak dari ibu yang berbeda Imanuel adalah suatu rahasia Imanuel adalah mesias (penulis [i.e. Dr. S.M. Siahaan] setuju dengan pendapat terakhir ini) [ . . . ] Dari Yesaya 7; 9 dan 11 jelas dapat kita lihat pertumbuhan pemahaman pengharapan mesia- nis ini, yang akan terus bertumbuh hingga masa-masa nabi pembuangan. Seperti dalam Ye- saya 7:14 dst. Masa keselamatan itu didahului masa penderitaan. Kegelapan yang dinubuat- kan Amos (Am 5:13 dst.) telah tiba. Yesaya tidak merasa perlu menjelaskan lagi jati diri anak dimaksud, karena sudah jelas bagi bangsa Israel dari masa Yesaya hidup. Namanya juga sudah tidak menjadi masalah. Bangsa Israel sudah menunggu pembawa keselamatan yang memunyai predikat Anak Allah. Dengan menunjuk pada proses kelahiran, maka Yesaya menunjuk pada hubungan dengan 7:14 karena mesias yang akan datang itu adalah Imanuel yang kelahirannya dinubuatkan dalam 7:14 [kutipan dari S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GN, 1991), hlm. 18f.].
3 Informasi:
. . . the Immanuel sign contained a promise as well as a threat. For Isaiah and his followers it meant the promise of God’s protecting presence and the eventual fulfillment of God’s good purpose for his people. The preservation of the remnant in Isaiah’s day was part of a process which led finally to the coming of Jesus, the perfectly faithful and righteous one, in whom all God’s promise come to fulfillment. So Matthew was right to see the ultimate fulfillment of the Immanuel saying in Jesus Christ. What was death to Ahaz is life to us who believe [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1997), p. 63].
4. Excursus:
“Mesianisme” Banyak nabi tidak membuat pernyataan apapun tentang mesias (Amos, Hosea, Yoel, Obaja, Zefanya, Maleakhi), sedang yang lain tidak begitu memperhatikan hal ini (Yeremia, Yehezki- el). Kesimpulan seperti itu mengharuskan kita semua menghindari kekaburan dalam menggu- nakan istilah. Warta tentang raja benar dan penyelamat tidak berarti bahwa teks tertentu berbicara tentang mesias dalam arti sempit. Bahkan pernyataan Hagai dan Zakharia bila mereka itu melihat janji lama terpenuhi pada masanya, tidak berarti bahwa itu janji mesias. Mesias dan mesianis hanya dikenakan pada tokoh zaman akhir. Ternyata hanya sedikit teks yang berbicara tentang hal ini. Mutu ilahi dan kurnia istimewa yang tampak dalam seorang raja, ternyata bisa menjadi biasa sekali dalam lingkungan tradisi Timur Tenga kuno. Maka bisa dikatakan bahwa pada zaman kerajaan tidak terdapat nubuat mesianis dalam arti sempit. Baru dalam masa pembuangan – dan dalam lingkungan tertentu, dan bukan dalam lingkungan umat pada umumnya – ada harapan bahwa Allah akan menumbuhkan dinasti Daud. Tetapi harapan seperti itu tidak harus dimengerti mesianis. Dan dengan perjalanan waktu harapan seperti itu berkembang, sejalan dengan harapan keselamatan yang penuh. Dengan demikian maka rumusan yang semula tidak harus dimengerti secara mesianis lambat laun dibaca kembali dalam terang mesias itu. Itu dilakukan oleh beberapa penafsir Yahudi, tetapi juga oleh penafsir Kristen awal. Mereka tidak memperhatikan hubung- an antara pewartaan dan kenyataan, dan tidak pula memperhatikan arti sebenarnya dari suatu rumusan, melainkan menggunakannya sebagai dukungan iman, kutipan susastra, mengideal- kan dan merohanikan sejarah. [ . . . ] Itu tentu tidakberarti bahwa rumusan yang dulu sama sekali kurang artinya. Tetapi harus dikatakan bahwa lebih daripada nubuat yang terpenuhi, rumusan lama itu harus dimengerti sebagai isyarat yang bisa saja terpenuhi kapan dan di mana pun. Kita bisa menerima bahwa sudah lahir seorang mesias, tetapi itu tidak berarti bahwa peperangan segera akan hilang, prajurit tidak lagi berarti, penindasan dan penjajahan lenyap. Itu berarti bahwa hal yang penuh misteri sedang berkembang, dan memberikan harapan pembaharuan yang semestinya. Umat yang berjalan dalam kegelapan lalu melihat terang, lih. Mat 4:15-16. Kita harapkan bahwa terang itu demikian cerah . . . [agar] mengusir kegelapan [kutipan dari St. Darmawijaya Pr., Jiwa & Semangat Perjanjian Lama 2, Warisan Para Nabi (Yogyakarta; Kanisius,1992), hlm. 139ff.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
[Aram dan Israel Utara mengajak Yehuda memberontak terhadap Asyur. Tetapi Yehuda menolak. Jadinya Aram dan Israel Utara balik menyerang Yehuda. Itulah “perang Syro- Efraemi’] Yesaya 7:1-25 menggambarkan keadaan di Yehuda selama perang Syro-Efraemi [Aram- Israel Utara] (734-733 sM). Pada mulanya perang itu “ . . . hati Ahaz dan hati rakyatnya gemetar ketakutan seperti pohon-pohon hutan bergoyang ditiup angin” (Yes 7:2b). Nabi Yesaya diperintahkan Tuhan untuk menemui Ahaz. Dan Yesaya harus membawa anaknya Sear Yasyub (= sisa akan kembali) sebagai tanda pengharapan! Si nabi menegaskan kepada Ahaz bahwa dia tidak usah takut terhadap serangan Aram[“Syro”] dan Israel Utara [“Efraemi”], “kedua puntung kayu api berasap ini” (Yes 7:4). Ahaz harus bersandar kepada Tuhan saja dan tidak boleh bersandar kepada Asyur atau kepada kekuatan sendiri. “Jika kamu tidak percaya, sungguh kamu tidak teguh jaya” (Yes. 7:9). Ahaz diperbolehkan meminta pertanda bahwa Tuhan menyertainya. Tetapi Ahaz menolak dengan alasan munafik: “aku tidak mau mencobai Tuhan” (Yes 7:12). Kemudian Yesaya memberi tanda, walaupun tidak diminta. “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengan- dung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Imanuel” (Yes 7:14). Kata yang dipakai dalam bahasa Ibrani ialah ‘alemah’, yang berarti ‘perempuan muda’, dan bukan perawan atau anak dara (dalam bah. Ibr. ‘betulah’). Dalam hal ini Septuaginta menim- bulkan banyak kesalahan dalam tafsiran dengan terjemahan: ‘parthenos’, yaitu anak dara. Terjemahan Septuaginta ini dikutip dalam Mat 1:21. Mungkin sekali isteri-muda raja Ahaz atau seorang perempuan lain dari kalangan istana yang dimaksudkan dengan ‘perempuan muda’ itu. Anak yang dilahirkan oleh perempuan muda itu diberi nama simbolis: Imanuel (= Allah menyertai kita)., sebagai tanda bahwa Tuhan menyertai Ahaz dalam perang Syro-Efraemi itu. Sebelum anak Imanuel itu tahu membedakan yang baik dari pada yang jahat (setelah dua atau tiga tahun), Tuhan akan menghukum Aram dan Israel Utara. Ahaz menolak tanda-penyertaan oleh Tuhan itu. Menurut keterangan dari 2 Raj 16:7, Ahaz meminta bantuan Asyur, dan bukan dari Tuhan, terhadap ancaman dari Aram dan Israel Uta- ra itu. Dalam Kitab Raja-Raja, Ahaz digambarkan sebagai raja “yang tidak melakukan apa yang benar di mata Tuhan”. Dia mempersembahkan anaknya kepada dewa Molokh. Di Yeru- salem didirikannya sebuah mezbah sesuai dengan bagan dalam agama Asyur (2 Raj 16:10- 11) [kutipan dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm 42ff.].
2. Eksposisi
Bagian-bagian terpenting Yesaya tentang mesias adalah 7:13-17; 9:5-6 dan 11:1-9. Ada pan- dapat yang menggabungkan 7:14-16; (8:5-10); 9:1-16 dan 11:1-9 menjadi nubuat Imanuel, karena menyinggung orang yang sama: Imanuel. Kesamaan jati diri dari pribadi tersebut dapat kita lihat dari kenyataan, bahwa kedatangannya selalu di masa akhir. [ . . . ] Dalam penelitian eksegetis, nubuat kelahiran Imanuel ini termasuk bagian Perjanjian Lama yang paling banyak dipertentangkan maknanya. Interpretasi itu antara lain: Imanuel adalah anak Raja Ahaz Imanuel adalah anak Yesaya Imanuel adalah tokoh dari suatu mite Imanuel adalah nama gabungan untuk beberapa anak-anak dari ibu yang berbeda Imanuel adalah suatu rahasia Imanuel adalah mesias (penulis [i.e. Dr. S.M. Siahaan] setuju dengan pendapat terakhir ini) [ . . . ] Dari Yesaya 7; 9 dan 11 jelas dapat kita lihat pertumbuhan pemahaman pengharapan mesia- nis ini, yang akan terus bertumbuh hingga masa-masa nabi pembuangan. Seperti dalam Ye- saya 7:14 dst. Masa keselamatan itu didahului masa penderitaan. Kegelapan yang dinubuat- kan Amos (Am 5:13 dst.) telah tiba. Yesaya tidak merasa perlu menjelaskan lagi jati diri anak dimaksud, karena sudah jelas bagi bangsa Israel dari masa Yesaya hidup. Namanya juga sudah tidak menjadi masalah. Bangsa Israel sudah menunggu pembawa keselamatan yang memunyai predikat Anak Allah. Dengan menunjuk pada proses kelahiran, maka Yesaya menunjuk pada hubungan dengan 7:14 karena mesias yang akan datang itu adalah Imanuel yang kelahirannya dinubuatkan dalam 7:14 [kutipan dari S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GN, 1991), hlm. 18f.].
3 Informasi:
. . . the Immanuel sign contained a promise as well as a threat. For Isaiah and his followers it meant the promise of God’s protecting presence and the eventual fulfillment of God’s good purpose for his people. The preservation of the remnant in Isaiah’s day was part of a process which led finally to the coming of Jesus, the perfectly faithful and righteous one, in whom all God’s promise come to fulfillment. So Matthew was right to see the ultimate fulfillment of the Immanuel saying in Jesus Christ. What was death to Ahaz is life to us who believe [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1997), p. 63].
4. Excursus:
“Mesianisme” Banyak nabi tidak membuat pernyataan apapun tentang mesias (Amos, Hosea, Yoel, Obaja, Zefanya, Maleakhi), sedang yang lain tidak begitu memperhatikan hal ini (Yeremia, Yehezki- el). Kesimpulan seperti itu mengharuskan kita semua menghindari kekaburan dalam menggu- nakan istilah. Warta tentang raja benar dan penyelamat tidak berarti bahwa teks tertentu berbicara tentang mesias dalam arti sempit. Bahkan pernyataan Hagai dan Zakharia bila mereka itu melihat janji lama terpenuhi pada masanya, tidak berarti bahwa itu janji mesias. Mesias dan mesianis hanya dikenakan pada tokoh zaman akhir. Ternyata hanya sedikit teks yang berbicara tentang hal ini. Mutu ilahi dan kurnia istimewa yang tampak dalam seorang raja, ternyata bisa menjadi biasa sekali dalam lingkungan tradisi Timur Tenga kuno. Maka bisa dikatakan bahwa pada zaman kerajaan tidak terdapat nubuat mesianis dalam arti sempit. Baru dalam masa pembuangan – dan dalam lingkungan tertentu, dan bukan dalam lingkungan umat pada umumnya – ada harapan bahwa Allah akan menumbuhkan dinasti Daud. Tetapi harapan seperti itu tidak harus dimengerti mesianis. Dan dengan perjalanan waktu harapan seperti itu berkembang, sejalan dengan harapan keselamatan yang penuh. Dengan demikian maka rumusan yang semula tidak harus dimengerti secara mesianis lambat laun dibaca kembali dalam terang mesias itu. Itu dilakukan oleh beberapa penafsir Yahudi, tetapi juga oleh penafsir Kristen awal. Mereka tidak memperhatikan hubung- an antara pewartaan dan kenyataan, dan tidak pula memperhatikan arti sebenarnya dari suatu rumusan, melainkan menggunakannya sebagai dukungan iman, kutipan susastra, mengideal- kan dan merohanikan sejarah. [ . . . ] Itu tentu tidakberarti bahwa rumusan yang dulu sama sekali kurang artinya. Tetapi harus dikatakan bahwa lebih daripada nubuat yang terpenuhi, rumusan lama itu harus dimengerti sebagai isyarat yang bisa saja terpenuhi kapan dan di mana pun. Kita bisa menerima bahwa sudah lahir seorang mesias, tetapi itu tidak berarti bahwa peperangan segera akan hilang, prajurit tidak lagi berarti, penindasan dan penjajahan lenyap. Itu berarti bahwa hal yang penuh misteri sedang berkembang, dan memberikan harapan pembaharuan yang semestinya. Umat yang berjalan dalam kegelapan lalu melihat terang, lih. Mat 4:15-16. Kita harapkan bahwa terang itu demikian cerah . . . [agar] mengusir kegelapan [kutipan dari St. Darmawijaya Pr., Jiwa & Semangat Perjanjian Lama 2, Warisan Para Nabi (Yogyakarta; Kanisius,1992), hlm. 139ff.].
- - - NR - - -
Yesaya 60 : 1 - 5
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
“Trito-Yesaya” Kitab Trito-Yesaya terdiri dari Yes. 56-66. Sejarah terjadinya sangat sulit ditentukan. Nama Trito-Yesaya dapat menimbulkan salah pengertian bahwa Kitab ini berasal dari satu orang saja. Sebenarnya Kitab Trito-Yesaya berasal dari berbagai tangan dan berbagai zaman. Yang pasti ialah, bahwa intisari Kitab ini, yaitu Yes. 60-62 dikarang oleh nabi Trito-Yesaya, yang hidup setelah pembuangan di Yehuda. Sekitar inti ini ditempatkan beberapa berita dan nubuat lain dari berbagai tangan dan berbagai zaman. Dari Yes 56:7 misalnya, kita memperoleh kesan bahwa (bertentangan dengan Yes 60:13) Bait Suci di Yerusalem dibangun kembali. Sejarah terjadinya Kitab Trito-Yesaya dapat diperbandingkan dengan tumbuhnya sebuah taruk: pusatnya (Yes 60-62) diperbesar dengan beberapa lapisan yang lain, yang tumbuh sekitarnya [kutipan dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 90f.]. Informasi: Chapter 56 launches us into the . . . final part of Isaiah’s vision. It relates to the period following the arrival of the first returnees from Babylon. Isaiah saw the time in prophetic vision . . . It was a time of high expectations and immense difficulties [ . . . ]. But the most serious problems arose from the fact that this small community lived ‘between the times’ [= masa antara; bnd. masa adventus], so to speak. . . . The community lived in the tension between the ‘now’ and the ‘not yet’. They had the beginnings of what God had promised but not the fullness of it. It was a time in many respects like our own, between the first and second comings of Christ. The Kingdom of God has come, but is yet to come. It is an exciting time but also a difficult one, when (as Paul puts it) ‘we ourselves, who have the firstfruits of the Spirit, groan inwardly as we await eagerly for . . . the redemption of our bodies’ [Rm 8:23] [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), p. 219].
2. Rancangan/Garis Besar Khotbah
Topic: God’s Blessing of His People
TEXT: Isa. 60:1-6 Comes in the fullness of time. Brings obligation to reflect God’s glory. Is rewarded with astounding influence. [kutipan dari James W. Cox (ed.), The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey-Bass, 2004), p. 159].
3. Eksposisi
Kesuraman dan kekelaman yang melatarbelakangi Yes 59 kini telah berlalu. Kalau pun sisa-sisanya masih ada (60:2,12), itu sudah jauh dan tak berperan lagi. Kini “terang” tiba. Si penulis mestinya telah berulang kali menyaksikan terbitnya sang surya di Yerusalem. Mula-mula muncul dari timur, melewati Bukit Zaitun, lalu melewati dan menyinari kota Yerusalem dan dengan itu mengusir kekelaman dari setiap ruang dan cela yang ada dibawahnya. Hingga kini para turis tetap menikmati pemandangan indah ini ketika mengunjungi Yerusalem [Sumber: Webb, op. cit., p. 231]. Informasi : Its relation to [chapter] 49 discloses the main theme which is the coming of the nations to Zion, the centre of revelation (light-glory-name) (1-3); bringing back the Jews of the dispersion (4, 9); offering their wealth (5b-7); building the walls and beautifying the Temple (10-14). The result is glory and prosperity for Zion [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (London Thomas Nelson: 1972), p. 532].
3.1. Ayat 3: Bagaimanakah Israel menjadi “cahaya” bagi bangsa-bangsa? Dengan gambaran bagaikan sang surya yang muncul dan menyinari Bukit Sion, begitulah juga kemuliaan Allah ketika Ia mendatangi umatNya. Lalu mereka yang masih berada dalam “lembah kekelaman” akan ikut menikmati “cahaya” itu melalui [bnd. refleksi] umatNya [bnd. pernyataan Yesus dalam Mat 5:14; juga bnd. Yes 58:8,10].
3.2. Ayat 4: Mengapa anak-anak Israel “datang dari jauh”? Dengan diduduki dan dihancurkannya Yerusalem, umat Israel hidup dalam pembuangan dan terserak-serak di berbagai tempat. Di sini Yesaya memba- yangkan kesukacitaan anak-anak laki-laki dan perempuan, ketika mereka kelak kembali ke Yerusalem dari tempat/negeri pembuangan.
3.3. Ayat 5: Bagaimanakah “kelimpahan” dan “kekayaan” itu datang bersama? Mereka yang kembali dari pembuangan membawa serta banyak pemberian berharga (Ezr 1:6-7; 7:15-22). Kelimpahan dan kekayaan tsb. menunjukkan cara Tuhan yang mengherankan dalam memperlengkapi dan menopang umatNya dalam rangka kepulangan mereka ke Yerusalem. Termasuk dalam kelimpahan dan kekayaan tsb. adalah yang bersifat spiritual. Dan ini sekaligus mencermin- kan pulihnya kembali hubungan yang benar antara Allah dan umatNya. [Sumber bacaan utama untuk 3.1-3: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1069].
4. Excursus:
“Israel sebagai Paradigma Allah” Pemilihan istilah “paradigma” membutuhkan penjelasan dan alasan. Paradigma berarti sesuatu yang dipergunakan sebagai contoh untuk kasus-kasus lain di mana ada satu prinsip dasar yang tidak berubah, meskipun rinciannya berbeda-beda. [ . . . ] Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma” adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya. Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak dapat memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia modern. [ . . . ] Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi “terang/cahaya” bagi bangsa-bangsa [bnd. Yes 49:6; 60:1), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. [Penelitian yang mendalam membuka mata kita] bagaimana aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan sosial Israel dapat berlaku sebagai kritik dan koreksi bagi asek-aspek yang serupa dari za- man kita. Pendekatan paradigmatis ini membuat Perujanjian Lama paling bermanfaat sebagai sumber bagi etika sosial Kristen. [ . . . ] Tentu saja bentuk dan ciri-ciri itu bukanlah paradigma satu-satunya bagi etika sosial. Orang Kristen melihat paradigma itu maupun segi-segi Perjanjian Lama lainnya dalam terang zaman baru dan kerajaan Allah yang dimulai oleh Kristus. [Orang Kristen] menempat- kan paradigma sosial Perjanjian Lama berdampingan dengan paradigma kehidupan sosial jemaat Kristen mula-mula maupun ajaran Yesus dan para rasul tentang kehidupam sosial. Hanya dengan demikian ia mulai merumuskan suatu etika sosial Alkitab yang menyeluruh [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 42ff.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
“Trito-Yesaya” Kitab Trito-Yesaya terdiri dari Yes. 56-66. Sejarah terjadinya sangat sulit ditentukan. Nama Trito-Yesaya dapat menimbulkan salah pengertian bahwa Kitab ini berasal dari satu orang saja. Sebenarnya Kitab Trito-Yesaya berasal dari berbagai tangan dan berbagai zaman. Yang pasti ialah, bahwa intisari Kitab ini, yaitu Yes. 60-62 dikarang oleh nabi Trito-Yesaya, yang hidup setelah pembuangan di Yehuda. Sekitar inti ini ditempatkan beberapa berita dan nubuat lain dari berbagai tangan dan berbagai zaman. Dari Yes 56:7 misalnya, kita memperoleh kesan bahwa (bertentangan dengan Yes 60:13) Bait Suci di Yerusalem dibangun kembali. Sejarah terjadinya Kitab Trito-Yesaya dapat diperbandingkan dengan tumbuhnya sebuah taruk: pusatnya (Yes 60-62) diperbesar dengan beberapa lapisan yang lain, yang tumbuh sekitarnya [kutipan dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 90f.]. Informasi: Chapter 56 launches us into the . . . final part of Isaiah’s vision. It relates to the period following the arrival of the first returnees from Babylon. Isaiah saw the time in prophetic vision . . . It was a time of high expectations and immense difficulties [ . . . ]. But the most serious problems arose from the fact that this small community lived ‘between the times’ [= masa antara; bnd. masa adventus], so to speak. . . . The community lived in the tension between the ‘now’ and the ‘not yet’. They had the beginnings of what God had promised but not the fullness of it. It was a time in many respects like our own, between the first and second comings of Christ. The Kingdom of God has come, but is yet to come. It is an exciting time but also a difficult one, when (as Paul puts it) ‘we ourselves, who have the firstfruits of the Spirit, groan inwardly as we await eagerly for . . . the redemption of our bodies’ [Rm 8:23] [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), p. 219].
2. Rancangan/Garis Besar Khotbah
Topic: God’s Blessing of His People
TEXT: Isa. 60:1-6 Comes in the fullness of time. Brings obligation to reflect God’s glory. Is rewarded with astounding influence. [kutipan dari James W. Cox (ed.), The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey-Bass, 2004), p. 159].
3. Eksposisi
Kesuraman dan kekelaman yang melatarbelakangi Yes 59 kini telah berlalu. Kalau pun sisa-sisanya masih ada (60:2,12), itu sudah jauh dan tak berperan lagi. Kini “terang” tiba. Si penulis mestinya telah berulang kali menyaksikan terbitnya sang surya di Yerusalem. Mula-mula muncul dari timur, melewati Bukit Zaitun, lalu melewati dan menyinari kota Yerusalem dan dengan itu mengusir kekelaman dari setiap ruang dan cela yang ada dibawahnya. Hingga kini para turis tetap menikmati pemandangan indah ini ketika mengunjungi Yerusalem [Sumber: Webb, op. cit., p. 231]. Informasi : Its relation to [chapter] 49 discloses the main theme which is the coming of the nations to Zion, the centre of revelation (light-glory-name) (1-3); bringing back the Jews of the dispersion (4, 9); offering their wealth (5b-7); building the walls and beautifying the Temple (10-14). The result is glory and prosperity for Zion [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (London Thomas Nelson: 1972), p. 532].
3.1. Ayat 3: Bagaimanakah Israel menjadi “cahaya” bagi bangsa-bangsa? Dengan gambaran bagaikan sang surya yang muncul dan menyinari Bukit Sion, begitulah juga kemuliaan Allah ketika Ia mendatangi umatNya. Lalu mereka yang masih berada dalam “lembah kekelaman” akan ikut menikmati “cahaya” itu melalui [bnd. refleksi] umatNya [bnd. pernyataan Yesus dalam Mat 5:14; juga bnd. Yes 58:8,10].
3.2. Ayat 4: Mengapa anak-anak Israel “datang dari jauh”? Dengan diduduki dan dihancurkannya Yerusalem, umat Israel hidup dalam pembuangan dan terserak-serak di berbagai tempat. Di sini Yesaya memba- yangkan kesukacitaan anak-anak laki-laki dan perempuan, ketika mereka kelak kembali ke Yerusalem dari tempat/negeri pembuangan.
3.3. Ayat 5: Bagaimanakah “kelimpahan” dan “kekayaan” itu datang bersama? Mereka yang kembali dari pembuangan membawa serta banyak pemberian berharga (Ezr 1:6-7; 7:15-22). Kelimpahan dan kekayaan tsb. menunjukkan cara Tuhan yang mengherankan dalam memperlengkapi dan menopang umatNya dalam rangka kepulangan mereka ke Yerusalem. Termasuk dalam kelimpahan dan kekayaan tsb. adalah yang bersifat spiritual. Dan ini sekaligus mencermin- kan pulihnya kembali hubungan yang benar antara Allah dan umatNya. [Sumber bacaan utama untuk 3.1-3: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1069].
4. Excursus:
“Israel sebagai Paradigma Allah” Pemilihan istilah “paradigma” membutuhkan penjelasan dan alasan. Paradigma berarti sesuatu yang dipergunakan sebagai contoh untuk kasus-kasus lain di mana ada satu prinsip dasar yang tidak berubah, meskipun rinciannya berbeda-beda. [ . . . ] Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma” adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya. Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak dapat memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia modern. [ . . . ] Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi “terang/cahaya” bagi bangsa-bangsa [bnd. Yes 49:6; 60:1), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. [Penelitian yang mendalam membuka mata kita] bagaimana aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan sosial Israel dapat berlaku sebagai kritik dan koreksi bagi asek-aspek yang serupa dari za- man kita. Pendekatan paradigmatis ini membuat Perujanjian Lama paling bermanfaat sebagai sumber bagi etika sosial Kristen. [ . . . ] Tentu saja bentuk dan ciri-ciri itu bukanlah paradigma satu-satunya bagi etika sosial. Orang Kristen melihat paradigma itu maupun segi-segi Perjanjian Lama lainnya dalam terang zaman baru dan kerajaan Allah yang dimulai oleh Kristus. [Orang Kristen] menempat- kan paradigma sosial Perjanjian Lama berdampingan dengan paradigma kehidupan sosial jemaat Kristen mula-mula maupun ajaran Yesus dan para rasul tentang kehidupam sosial. Hanya dengan demikian ia mulai merumuskan suatu etika sosial Alkitab yang menyeluruh [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 42ff.].
- - - NR - - -
10 Desember 2007
Silsilah Yesus Kristus
SILSILAH YESUS KRISTUS
TULISLAH SEJARAH GEREJA/JEMAAT SEBELUM TERLAMBAT
Injil Matius 1: 1 – 17
Pembukaan
Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Allah, Hari ini kita merayakan Minggu Advent ke II. Bolehkah saya bertanya “Apakah sejarah GKJ Danareja sudah ditulis?” Kalau belum, pernahkah terpikirkan untuk menulis sejarah GKJ Danareja? Termasuk peranan Jemaat Danareja dalam memayu hayuning bawana atau menyejahterakan dan menyelamatkan mesyarakat sekitarnya? Tentang tokoh dan perintisnya? Bagaimana peranan Bapak/Ibu Lamtara Hadisunarya, misalnya? Sering keberadaan jemaat tidak diperhitungkan oleh masyarakat luas, karena tidak ada catatan tertulis tentang kehadiran dan peranannya dalam menyejahterakan masyarakat sekitarnya. Atau jemaat memang tidak memiliki sesuatu yang berarti untuk ditulis? Karena tidak memiliki peranan apa pun dalam memayu hayuning bawana?
Isi
Menulis sejarah gereja/jemaat berarti menulis kehadiran Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus sudah datang dan bekarya di Danareja. Gusti Yesus sudah dan sedang menyelamatkan Bapak/Ibu yang pagi ini bersekutu di tempat ini. Oh betapa indahnya. Yesus datang membebaskan masyarakat di sini dari segala kemungkaran. Menulis sejarah gereja berarti bukan hanya menulis karya penyelamatan Allah, melainkan juga karya penyelamatan manusia, karya penyelamatan konkret yang pernah dilakukan oleh jemaat/gereja sebagai persekutuan. Dalam hal ini, termasuk karya penyelamatan yang Bapak/Ibu, lakukan. Hari ini, kita bersyukur, penulis Kitab Injil Matius mewariskan karyanya yang agung. Dia bekerja keras, penuh kesabaran mengumpulkan cerita lisan tentang Yesus dari banyak sumber, khususnya cerita lisan dari Rasul Matius dan para cantrik-nya. Kemudian meramunya menjadi tulisan yang terpadu dan indah. Kitab Iniil Matius memiliki 3 bagian utama, yakni Pendahuluan, Isi dan Penutup. Yang kita baca pagi ini masuk dalam pendahuluan. Pendahuluan berisi silsilah Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Peresmian Yesus sebagai utusan dan nabi Allah. Sedangkan Bagian Isi – dapat dibagi ke dalam 5 bagian. Pertama, dia mulai berkarya di kampungnya, ditolak, maka hanya sebentar. Kedua, karena ditolak, dia hijrah ke Utara, cukup lama. Kemudian ketiga, dia coba balik lagi ke kampung halamannya – ditolak, jadi hanya sebentar. Terus yang keempat, pindah lagi ke Utara, cukup lama. Kelima, kembali ke Selatan, namun bukan ke kampung halamannya, melainkan ke Yerusalem dan meninggal. Sedangkan bagian ketiga: Penutup, yakni berupa pengutusan Matius menjadi rasul untuk mengabarkan dan melakukan Injil di seluruh dunia, sampai ke ujung bumi, daerah yang belum pernah mendengar Injil atau bidang-bidang baru yang belum dijamah oleh karya penyelamatan Allah. Setelah itu, diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menjadi warisan rohani yang tidak ternilai harganya. Sebuah buku sorga sekaligus buku manusia. Coba bayangkan, kalau penulis Injil Matius itu tidak bersedia menulis Injil Matius. Apa yang akan terjadi? Silsilah Yesus Kristus dalam Kitab Injil Matius merupakan bukti nyata, bahwa Yesus adalah manusia, seperti kita. Yesus tidak turun dari langit jleg, ujug-ujug. Dia memiliki asal-usul. Yesus orang Ibrani, karena keturunan Ibrani asli. Dia orang Ibrani pribumi. Garis keturunannya jelas – sampai Rama Abraham. Meskipun Yesus orang miskin, wong cilik, tetapi berdarah biru, nenek dan kakek moyangnya adalah raja, rasul, dan nabi Ibrani. Yesus orang Ibrani asli dan bekarya untuk orang Ibrani. Dia memakai bahasa dan budaya Ibrani dalam berkarya. Dia bukan orang asing bagi lingkungannya. Dia adalah sah sebagai utusan Allah bagi orang Ibrani. Kalau menggunakan istilah Jawa “Gusti Yesus kuwi ya Jawa tenan”. Bukan berarti bahasa Ibrani lebih suci daripada bahasa Jawa, Batak, Ambon, Indonesia atau Inggris. Tidak ada bahasa mana pun yang lebih tinggi daripada bahasa lain di dunia ini.
Penutup
Marilah kita mengikuti teladan Rasul Matius. Coba kita renungkan dan rencanakan untuk menulis sejarah Injil di Danareja dan sumbangan GKJ Danareja untuk memayu hayuning bawana. Mumpung para sepuh taksih wonten. Para saksi mata masih ada. Menulis sejarah gereja jauh lebih penting dalam memperingati Natal 2007 daripada segala kegiatan lain yang mungkin selama ini biasa kita lakukan. Sebagai hamba masyarakat dan Allah, saya yakin, bahwa pemilik dunia dan gereja yang sejati akan memberi kemampuan pada kita untuk melakukan tugas yang mulia itu. Ikutilah teladan mulia penulis Kitab Injil Matius. Dan kita akan meninggalkan warisan yang lebih mulia daripada segala warisan yang lain yang dapat Bapak/Ibu wariskan. Nama Yesus akan tertulis di sana. Juga nama-nama Bapak/Ibu, sdr dan saudari, satu per satu tertulis dengan tinta emas sorgawi, karena ikut menyelamatkan dunia dan manusia, memayu hayuning bawana. Amin
* Kotbah ini dipersiapkan oleh: Totok S. Wiryasaputra, untuk Ibadah GKJ Danareja, Kaligesing, Purwareja, Jateng, 9 Desember 2007.
Totok S. Wiryasaputra Grief Psychology Counselor GEPOI Foundation Executive Director
Jl. Banteng Utama 38 Jakal Km. 8.5 Yogyakarta 55581
TULISLAH SEJARAH GEREJA/JEMAAT SEBELUM TERLAMBAT
Injil Matius 1: 1 – 17
Pembukaan
Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Allah, Hari ini kita merayakan Minggu Advent ke II. Bolehkah saya bertanya “Apakah sejarah GKJ Danareja sudah ditulis?” Kalau belum, pernahkah terpikirkan untuk menulis sejarah GKJ Danareja? Termasuk peranan Jemaat Danareja dalam memayu hayuning bawana atau menyejahterakan dan menyelamatkan mesyarakat sekitarnya? Tentang tokoh dan perintisnya? Bagaimana peranan Bapak/Ibu Lamtara Hadisunarya, misalnya? Sering keberadaan jemaat tidak diperhitungkan oleh masyarakat luas, karena tidak ada catatan tertulis tentang kehadiran dan peranannya dalam menyejahterakan masyarakat sekitarnya. Atau jemaat memang tidak memiliki sesuatu yang berarti untuk ditulis? Karena tidak memiliki peranan apa pun dalam memayu hayuning bawana?
Isi
Menulis sejarah gereja/jemaat berarti menulis kehadiran Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus sudah datang dan bekarya di Danareja. Gusti Yesus sudah dan sedang menyelamatkan Bapak/Ibu yang pagi ini bersekutu di tempat ini. Oh betapa indahnya. Yesus datang membebaskan masyarakat di sini dari segala kemungkaran. Menulis sejarah gereja berarti bukan hanya menulis karya penyelamatan Allah, melainkan juga karya penyelamatan manusia, karya penyelamatan konkret yang pernah dilakukan oleh jemaat/gereja sebagai persekutuan. Dalam hal ini, termasuk karya penyelamatan yang Bapak/Ibu, lakukan. Hari ini, kita bersyukur, penulis Kitab Injil Matius mewariskan karyanya yang agung. Dia bekerja keras, penuh kesabaran mengumpulkan cerita lisan tentang Yesus dari banyak sumber, khususnya cerita lisan dari Rasul Matius dan para cantrik-nya. Kemudian meramunya menjadi tulisan yang terpadu dan indah. Kitab Iniil Matius memiliki 3 bagian utama, yakni Pendahuluan, Isi dan Penutup. Yang kita baca pagi ini masuk dalam pendahuluan. Pendahuluan berisi silsilah Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Peresmian Yesus sebagai utusan dan nabi Allah. Sedangkan Bagian Isi – dapat dibagi ke dalam 5 bagian. Pertama, dia mulai berkarya di kampungnya, ditolak, maka hanya sebentar. Kedua, karena ditolak, dia hijrah ke Utara, cukup lama. Kemudian ketiga, dia coba balik lagi ke kampung halamannya – ditolak, jadi hanya sebentar. Terus yang keempat, pindah lagi ke Utara, cukup lama. Kelima, kembali ke Selatan, namun bukan ke kampung halamannya, melainkan ke Yerusalem dan meninggal. Sedangkan bagian ketiga: Penutup, yakni berupa pengutusan Matius menjadi rasul untuk mengabarkan dan melakukan Injil di seluruh dunia, sampai ke ujung bumi, daerah yang belum pernah mendengar Injil atau bidang-bidang baru yang belum dijamah oleh karya penyelamatan Allah. Setelah itu, diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menjadi warisan rohani yang tidak ternilai harganya. Sebuah buku sorga sekaligus buku manusia. Coba bayangkan, kalau penulis Injil Matius itu tidak bersedia menulis Injil Matius. Apa yang akan terjadi? Silsilah Yesus Kristus dalam Kitab Injil Matius merupakan bukti nyata, bahwa Yesus adalah manusia, seperti kita. Yesus tidak turun dari langit jleg, ujug-ujug. Dia memiliki asal-usul. Yesus orang Ibrani, karena keturunan Ibrani asli. Dia orang Ibrani pribumi. Garis keturunannya jelas – sampai Rama Abraham. Meskipun Yesus orang miskin, wong cilik, tetapi berdarah biru, nenek dan kakek moyangnya adalah raja, rasul, dan nabi Ibrani. Yesus orang Ibrani asli dan bekarya untuk orang Ibrani. Dia memakai bahasa dan budaya Ibrani dalam berkarya. Dia bukan orang asing bagi lingkungannya. Dia adalah sah sebagai utusan Allah bagi orang Ibrani. Kalau menggunakan istilah Jawa “Gusti Yesus kuwi ya Jawa tenan”. Bukan berarti bahasa Ibrani lebih suci daripada bahasa Jawa, Batak, Ambon, Indonesia atau Inggris. Tidak ada bahasa mana pun yang lebih tinggi daripada bahasa lain di dunia ini.
Penutup
Marilah kita mengikuti teladan Rasul Matius. Coba kita renungkan dan rencanakan untuk menulis sejarah Injil di Danareja dan sumbangan GKJ Danareja untuk memayu hayuning bawana. Mumpung para sepuh taksih wonten. Para saksi mata masih ada. Menulis sejarah gereja jauh lebih penting dalam memperingati Natal 2007 daripada segala kegiatan lain yang mungkin selama ini biasa kita lakukan. Sebagai hamba masyarakat dan Allah, saya yakin, bahwa pemilik dunia dan gereja yang sejati akan memberi kemampuan pada kita untuk melakukan tugas yang mulia itu. Ikutilah teladan mulia penulis Kitab Injil Matius. Dan kita akan meninggalkan warisan yang lebih mulia daripada segala warisan yang lain yang dapat Bapak/Ibu wariskan. Nama Yesus akan tertulis di sana. Juga nama-nama Bapak/Ibu, sdr dan saudari, satu per satu tertulis dengan tinta emas sorgawi, karena ikut menyelamatkan dunia dan manusia, memayu hayuning bawana. Amin
* Kotbah ini dipersiapkan oleh: Totok S. Wiryasaputra, untuk Ibadah GKJ Danareja, Kaligesing, Purwareja, Jateng, 9 Desember 2007.
Totok S. Wiryasaputra Grief Psychology Counselor GEPOI Foundation Executive Director
Jl. Banteng Utama 38 Jakal Km. 8.5 Yogyakarta 55581
08 Desember 2007
Wolf and Lamb at Peace
Isaiah 11:1-10 Romans 15:4-9 Matthew 3:1-12
This is one of Aesop’s best known fables: A Wolf meets a Lamb straying from the flock. The wolf decides not to pounce on the Lamb right away but first to give the Lamb a reason why he, the Wolf, should eat him. So he says to the Lamb: “Hi, it was you who insulted me last year.”
“Actually,” replies the Lamb in a mournful voice, “I was not born then.”
Then says the Wolf, “But you feed in my pasture.”
“No, sir,” replies the Lamb, “I have not yet tasted grass.”
“Besides,” says the Wolf, “You drink at my well.”
“No,” exclaims the Lamb, “I never yet drank water, for as yet my mother's milk is both food and drink to me.” At that the Wolf seized him and ate him, saying, “Well! I won't stay without supper, even if you refute every one of my accusations.”
Aesop is not the only one who sees human relationships in terms of wolves and lambs. The philosopher, Thomas Hobbes, said about the human condition that “man is wolf to man.” An African Igbo proverb says that “A fish grows big by eating other fish.” Observing the human community and human relationships, one gets the impression that there are two kinds of people, the oppressors and the oppressed. The dividing line between the two groups runs through gender, ethnicity and race, social class and religious affiliation. Invariably one group appears to be the wolf and the other the lamb. Isaiah in the 1st reading today is aware of this state of affairs among humans. He speaks of the human community in terms of wolves and lambs, leopards and kids, lions and calves, bears and cows. He sees that the wolf eats the lamb, the leopard the goat kid, the lion eats the calf and the bear the cow. Isaiah’s interest, however, is not simply in the way things are or have always been but in the way things can be. Isaiah is a man of vision. And here he recounts his vision of the day of the Lord, “the days to come” when God will manifest his glory on all humankind.
The wolf shall live with the lamb, the leopard shall lie down with the kid,
the calf and the lion and the fatling together, and a little child shall lead them. (Isaiah 11:6)
“Impossible,” some people will say on reading this. “He is dreaming. The wolf can never live in peace with the lamb because it is in the nature of the wolf to eat the lamb.” But that is exactly the point. Just as it is impossible, naturally speaking, for the wolf to live in peace with the lamb, so it is impossible for us to live the life of harmonious coexistence in the new world order as envisioned by Isaiah and all the prophets. A radical transformation of our human nature is required. We need a completely new heart. This radical transformation of human nature is possible only by God’s grace.
Grace transforms nature. God’s grace transforms human nature so radically that one needs to experience it to believe it. Grace working in nature accomplishes so much more than we could ever imagine. This is what Isaiah goes on to describe:
The cow and the bear shall graze, their young shall lie down together;
and the lion shall eat straw like the ox. (11:7)
The flesh-eating lion and bear now eat grass like the cow. They lose their hunger for flesh, their thirst for blood. Transformed by grace, it is only then that the wolf can live in peace with the lamb. Only then can the ferocious animals learn to accept their weaker colleagues as equals who have an equal right to life and well-being. And only then can the weaker animals learn to trust the ferocious ones and forgive and forget all the violence they had been made to suffer in the past.
Note that Isaiah is not talking here of “tolerating” or putting up with” the other. The peace of this new world order is not merely an absence of war or friction. No. It is a peace of harmonious live-and-let-live based on justice and the mutual recognition that everyone has got the right not only to life but also to the good life. It is only when the lion and the wolf give up their “natural privileges” and begin to eat grass like the cow that one can truly say that “all animals are equal.” As long as some animals lay claim to being “more equal” than others there can be no justice and no peace.
In our personal and business life do we consciously or unconsciously operate on the principle that for us to win someone else has to lose? The vision of the new world order to which the prophets invite us today is founded on the principle that we can all be winners. The story of the Wolf and the Lamb as told by Aesop and Hobbes is not the full story. The full story of the Wolf and the Lamb, as Isaiah tells us today, will end with “and the lived happily ever after.” We pray for the coming of this new world order, the kingdom of God.
This is one of Aesop’s best known fables: A Wolf meets a Lamb straying from the flock. The wolf decides not to pounce on the Lamb right away but first to give the Lamb a reason why he, the Wolf, should eat him. So he says to the Lamb: “Hi, it was you who insulted me last year.”
“Actually,” replies the Lamb in a mournful voice, “I was not born then.”
Then says the Wolf, “But you feed in my pasture.”
“No, sir,” replies the Lamb, “I have not yet tasted grass.”
“Besides,” says the Wolf, “You drink at my well.”
“No,” exclaims the Lamb, “I never yet drank water, for as yet my mother's milk is both food and drink to me.” At that the Wolf seized him and ate him, saying, “Well! I won't stay without supper, even if you refute every one of my accusations.”
Aesop is not the only one who sees human relationships in terms of wolves and lambs. The philosopher, Thomas Hobbes, said about the human condition that “man is wolf to man.” An African Igbo proverb says that “A fish grows big by eating other fish.” Observing the human community and human relationships, one gets the impression that there are two kinds of people, the oppressors and the oppressed. The dividing line between the two groups runs through gender, ethnicity and race, social class and religious affiliation. Invariably one group appears to be the wolf and the other the lamb. Isaiah in the 1st reading today is aware of this state of affairs among humans. He speaks of the human community in terms of wolves and lambs, leopards and kids, lions and calves, bears and cows. He sees that the wolf eats the lamb, the leopard the goat kid, the lion eats the calf and the bear the cow. Isaiah’s interest, however, is not simply in the way things are or have always been but in the way things can be. Isaiah is a man of vision. And here he recounts his vision of the day of the Lord, “the days to come” when God will manifest his glory on all humankind.
The wolf shall live with the lamb, the leopard shall lie down with the kid,
the calf and the lion and the fatling together, and a little child shall lead them. (Isaiah 11:6)
“Impossible,” some people will say on reading this. “He is dreaming. The wolf can never live in peace with the lamb because it is in the nature of the wolf to eat the lamb.” But that is exactly the point. Just as it is impossible, naturally speaking, for the wolf to live in peace with the lamb, so it is impossible for us to live the life of harmonious coexistence in the new world order as envisioned by Isaiah and all the prophets. A radical transformation of our human nature is required. We need a completely new heart. This radical transformation of human nature is possible only by God’s grace.
Grace transforms nature. God’s grace transforms human nature so radically that one needs to experience it to believe it. Grace working in nature accomplishes so much more than we could ever imagine. This is what Isaiah goes on to describe:
The cow and the bear shall graze, their young shall lie down together;
and the lion shall eat straw like the ox. (11:7)
The flesh-eating lion and bear now eat grass like the cow. They lose their hunger for flesh, their thirst for blood. Transformed by grace, it is only then that the wolf can live in peace with the lamb. Only then can the ferocious animals learn to accept their weaker colleagues as equals who have an equal right to life and well-being. And only then can the weaker animals learn to trust the ferocious ones and forgive and forget all the violence they had been made to suffer in the past.
Note that Isaiah is not talking here of “tolerating” or putting up with” the other. The peace of this new world order is not merely an absence of war or friction. No. It is a peace of harmonious live-and-let-live based on justice and the mutual recognition that everyone has got the right not only to life but also to the good life. It is only when the lion and the wolf give up their “natural privileges” and begin to eat grass like the cow that one can truly say that “all animals are equal.” As long as some animals lay claim to being “more equal” than others there can be no justice and no peace.
In our personal and business life do we consciously or unconsciously operate on the principle that for us to win someone else has to lose? The vision of the new world order to which the prophets invite us today is founded on the principle that we can all be winners. The story of the Wolf and the Lamb as told by Aesop and Hobbes is not the full story. The full story of the Wolf and the Lamb, as Isaiah tells us today, will end with “and the lived happily ever after.” We pray for the coming of this new world order, the kingdom of God.
03 Desember 2007
Ratapan 5:1-22
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Isi --- Pasal 5: Nyanyian Ratapan mengenai keadaan orang-orang yang masih tinggal di
Yerusalem sesudah jatuhnya kota tersebut. Penulis berdoa dan berseru, agar Tuhan meno-
longnya [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.
161].
Informasi: Chapter 5 may be from somewhat later in the Exile, when the sharp pains of
defeat had dulled into the chronic ache of captivity [kutipan dari William S LaSor et al.,
Old Testament Survey (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1990), p. 617.
2. Eksposisi
2.1. Ayat 2: Siapakah “orang lain” (NIV: “aliens”) itu ?
Bisa menunjuk pada para pendatang, tetapi bisa juga para pemukim sementara.
Biasanya orang-orang ini berasal dari suku-suku seketurunan dan orang-orang
dari para bangsa tetangga (Im 25:45-55 berbicara tentang pembebasan orang-
orang sejenis ini) [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p.
1186; seterusnya sumber ini dipendekkan QSB].
2.2. Ayat 6: Kapankah Yehuda takluk kepada Mesir dan Asyur?
Beberapa penafsir berpendapat bahwa kedua-duanya menyiratkan mata angin
ke arah mana para pengungsi pergi untuk mendapatkan makanan. Jadinya Mesir
menyiratkan arah “barat” dan Asyur “timur”. Yang lain menafsirkannya sebagai
yang menyiratkan peristiwa historis ketika Yehuda membuat pakta militer pada
abad ke-18 sM (Hos 7:11; 12:1). Masih ada yang lagi yang menafsirkannya seba-
gai yang menyiratkan penyembahan berhala terhadap dewa-dewa yang dipuja di
Mesir dan Asyur (Yer 2:13,18) [Sumber: QSB, loc. cit.].
2.3. Ayat 10-13: Kekejaman apa saja yang telah dilakukan?
Bala tentara Babilonia terkenal sangat kejam dalam menyiksa para musuhnya
yang dikalahkan. “Turning Judah’s society upside down, they raped the women,
hanged the nobles and left their bodies to twist in the sun, forced children into
hard labor and murdered citizens at random”. Pertempuran untuk memperebutkan
Yerusalem mengakibatkan tindakan-tindakan buas, a.l. para ibu, karena sudah
lupa ingatan karena kelaparan yang amat sangat, membantai anak-anaknya untuk
disantap (2:20) [Sumber: Ibid.].
2.4. Ayat 18: Bagaimana memahami pernyataan “anjing-anjing hutan berkeliaran”
di bukit Sion?
Sedemikian hancur luluhnya kota Yerusalem dan bait suci, sehingga tidak layak
lagi untuk dihuni. Jadinya bekas kota itu menjadi daerah “tak bertuan”, tempat
binatang-binatang kecil, a.l. tikus dan sejenisnya, bermukim. Lalu binatang-
binatang kecil ini menarik “anjing-anjing hutan”, yang merupakan binatang yang
dianggap paling mengganggu bagi orang-orang Israel. Jadinya pernyataan di
atas menyiratkan bahwa tak ada lagi orang yang bertempat tinggal di situ [Sumber:
Ibid.].
2.5. Ayat 21: Mengapa orang-orang Yehuda tak dapat kembali sebelum Tuhan memba-
ngun kembali Yerusalem?
Pertama-tama mereka harus bertobat. Itu berarti mengakui kedaulatan mutlak
dari Allah dan dengan itu pula pendamaian (rekonsiliasi) dapat diciptakanNya.
Ini berarti pula bahwa hanya karena kasih karunia Allah, maka Yehuda dapat
“survive to make things right again” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid.].
Informasi: Jelas bahwa ada paralel antara ayat 21 ini dengan Mzm 80: 4,8,20 dan Yer
31:18. Kenyataan ini menolong kita untuk mengetahui suasana/keadaan ketika
doa/permohonan ini disampaikan. “It is clear from Ps. 80 and Jer. that a congre-
gational prayer for restoration formed a normal part of the cult liturgy. It is possi-
ble that such a prayer formed part of he national act of penitence at the new
year.” Ritus ini hanya dapat dilaksanakan di bait suci [yang telah dibangun kem-
bali]. Jadinya ayat ini meng-indikasi-kan zaman sesudah pembuangan sebelum
bait suci dibangun kembali di Yerusalem (baca Informasi pada Pengantar di
atas) [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Peake’s Commentary on the Bible (London:
Thomas Nelson, 1972), p. 737].
2.6. Ayat 22: Apa memang tak ada lagi harapam sama sekali untuk pulih kembali?
Tersirat bahwa si penulis mengakhiri bagian ini dengan emosional. Juga tersirat
adanya pertanyaan si penulis, “What if God doesn’t give Judah another chance?”
Semua ini bisa dimengerti sebagai ungkapan keprihatinan yang amat dalam
terhadap punahnya sebuah negeri dan umat. “But God specializes in second
chances. No sin is too great for God. Only if we reject God and his provision for
our sin, Jesus Christ, will we go beyond the point of no return (Romans 8:35-39)”
[Sumber dan kutipan bahasa Inggeris dari QSB, loc. cit.].
3. Excursus
3.1. How can we hope in a God who abandons us?
Jeremiah steadfastly recognized that the Lord had not abandoned his people, painful as
the present situation was. Jeremiah, the weeping prophet, is also called the prophet of
hope because he foresaw a day when the Lord would reign in the midst of restored, re-
newed and reconciled people.
Jesus knew this paradox between abandonment and hope. In the midst of his suffering
and death on the cross, he cried, My God, my God why have you forsaken me? (Matt. 27:
46). Yet he also knew that he would be resurrected on the third day, opening the gate of
eternal life to all believers. The despair of the cross now has become the gift of life to
perishing sinners.
Abandonment, sorrow, struggle and pain all are transitory. Wholeness, healing, joy and
peace are permanent, for they are part of the very nature of God. That is what sustains the
believer through difficult times. Although Jeremiah grieved over Jerusalem’s destruction,
he knew God would prevail [kutipan dari QSB, p. 1181].
3.2. Israel dan bangsa-bangsa
Dengan peristiwa pembuangan dan berakhirnya kerajaan, Israel tidak lagi merupakan
Negara dan bangsa yang merdeka, melainkan menjadi bangsa yang bergantung pada
bangsa lain, tercerai berai dan dijajah. Persoalan-persoalan baru yang harus digumuli
pada saat itu mencakup soal menanggulangi pengalaman penghukuman. Antara lain,
bagaimana memelihara tradisi-tradisi iman mereka tanpa lambang dan lembaga lahiriah
seperti Rumah Allah dan kerajaan, bagaimana bisa tetap hidup sebagai bangsa kudus dan
bagaimana mempertahankan pengharapan akan masa depan. Tetapi terutama sekali,
Israel menghadapi lagi masalah hubungan umat Allah dengan penguasa Negara asing.
Kata “lagi” sengaja dipergunakan, karena meskipun persoalan itu sangat penting bagi
angkatan pembuangan, namun bukanlah masalah baru dalam sejarah Israel. Bapak-
bapak leluhur Israel menjadi pengembara yang tinggal di negeri yang bukan milik mereka.
Peristiwa keluaran didahului penindasan oleh orang asing selama berabad-abad yang
masih menyala-nyala dalam ingatan bawah sadar bangsa Israel.
Dengan demikian, jelaslah “kekudusan” umat Allah tidak berarti mereka harus memi-
sahkan diri secara total dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Israel yang terpilih demi bangsa-
bangsa lain, selalu sadar dan terjun dalam peristiwa-peristiwa internasional di sekitar me-
re-ka [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 124f.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Isi --- Pasal 5: Nyanyian Ratapan mengenai keadaan orang-orang yang masih tinggal di
Yerusalem sesudah jatuhnya kota tersebut. Penulis berdoa dan berseru, agar Tuhan meno-
longnya [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.
161].
Informasi: Chapter 5 may be from somewhat later in the Exile, when the sharp pains of
defeat had dulled into the chronic ache of captivity [kutipan dari William S LaSor et al.,
Old Testament Survey (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1990), p. 617.
2. Eksposisi
2.1. Ayat 2: Siapakah “orang lain” (NIV: “aliens”) itu ?
Bisa menunjuk pada para pendatang, tetapi bisa juga para pemukim sementara.
Biasanya orang-orang ini berasal dari suku-suku seketurunan dan orang-orang
dari para bangsa tetangga (Im 25:45-55 berbicara tentang pembebasan orang-
orang sejenis ini) [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p.
1186; seterusnya sumber ini dipendekkan QSB].
2.2. Ayat 6: Kapankah Yehuda takluk kepada Mesir dan Asyur?
Beberapa penafsir berpendapat bahwa kedua-duanya menyiratkan mata angin
ke arah mana para pengungsi pergi untuk mendapatkan makanan. Jadinya Mesir
menyiratkan arah “barat” dan Asyur “timur”. Yang lain menafsirkannya sebagai
yang menyiratkan peristiwa historis ketika Yehuda membuat pakta militer pada
abad ke-18 sM (Hos 7:11; 12:1). Masih ada yang lagi yang menafsirkannya seba-
gai yang menyiratkan penyembahan berhala terhadap dewa-dewa yang dipuja di
Mesir dan Asyur (Yer 2:13,18) [Sumber: QSB, loc. cit.].
2.3. Ayat 10-13: Kekejaman apa saja yang telah dilakukan?
Bala tentara Babilonia terkenal sangat kejam dalam menyiksa para musuhnya
yang dikalahkan. “Turning Judah’s society upside down, they raped the women,
hanged the nobles and left their bodies to twist in the sun, forced children into
hard labor and murdered citizens at random”. Pertempuran untuk memperebutkan
Yerusalem mengakibatkan tindakan-tindakan buas, a.l. para ibu, karena sudah
lupa ingatan karena kelaparan yang amat sangat, membantai anak-anaknya untuk
disantap (2:20) [Sumber: Ibid.].
2.4. Ayat 18: Bagaimana memahami pernyataan “anjing-anjing hutan berkeliaran”
di bukit Sion?
Sedemikian hancur luluhnya kota Yerusalem dan bait suci, sehingga tidak layak
lagi untuk dihuni. Jadinya bekas kota itu menjadi daerah “tak bertuan”, tempat
binatang-binatang kecil, a.l. tikus dan sejenisnya, bermukim. Lalu binatang-
binatang kecil ini menarik “anjing-anjing hutan”, yang merupakan binatang yang
dianggap paling mengganggu bagi orang-orang Israel. Jadinya pernyataan di
atas menyiratkan bahwa tak ada lagi orang yang bertempat tinggal di situ [Sumber:
Ibid.].
2.5. Ayat 21: Mengapa orang-orang Yehuda tak dapat kembali sebelum Tuhan memba-
ngun kembali Yerusalem?
Pertama-tama mereka harus bertobat. Itu berarti mengakui kedaulatan mutlak
dari Allah dan dengan itu pula pendamaian (rekonsiliasi) dapat diciptakanNya.
Ini berarti pula bahwa hanya karena kasih karunia Allah, maka Yehuda dapat
“survive to make things right again” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid.].
Informasi: Jelas bahwa ada paralel antara ayat 21 ini dengan Mzm 80: 4,8,20 dan Yer
31:18. Kenyataan ini menolong kita untuk mengetahui suasana/keadaan ketika
doa/permohonan ini disampaikan. “It is clear from Ps. 80 and Jer. that a congre-
gational prayer for restoration formed a normal part of the cult liturgy. It is possi-
ble that such a prayer formed part of he national act of penitence at the new
year.” Ritus ini hanya dapat dilaksanakan di bait suci [yang telah dibangun kem-
bali]. Jadinya ayat ini meng-indikasi-kan zaman sesudah pembuangan sebelum
bait suci dibangun kembali di Yerusalem (baca Informasi pada Pengantar di
atas) [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Peake’s Commentary on the Bible (London:
Thomas Nelson, 1972), p. 737].
2.6. Ayat 22: Apa memang tak ada lagi harapam sama sekali untuk pulih kembali?
Tersirat bahwa si penulis mengakhiri bagian ini dengan emosional. Juga tersirat
adanya pertanyaan si penulis, “What if God doesn’t give Judah another chance?”
Semua ini bisa dimengerti sebagai ungkapan keprihatinan yang amat dalam
terhadap punahnya sebuah negeri dan umat. “But God specializes in second
chances. No sin is too great for God. Only if we reject God and his provision for
our sin, Jesus Christ, will we go beyond the point of no return (Romans 8:35-39)”
[Sumber dan kutipan bahasa Inggeris dari QSB, loc. cit.].
3. Excursus
3.1. How can we hope in a God who abandons us?
Jeremiah steadfastly recognized that the Lord had not abandoned his people, painful as
the present situation was. Jeremiah, the weeping prophet, is also called the prophet of
hope because he foresaw a day when the Lord would reign in the midst of restored, re-
newed and reconciled people.
Jesus knew this paradox between abandonment and hope. In the midst of his suffering
and death on the cross, he cried, My God, my God why have you forsaken me? (Matt. 27:
46). Yet he also knew that he would be resurrected on the third day, opening the gate of
eternal life to all believers. The despair of the cross now has become the gift of life to
perishing sinners.
Abandonment, sorrow, struggle and pain all are transitory. Wholeness, healing, joy and
peace are permanent, for they are part of the very nature of God. That is what sustains the
believer through difficult times. Although Jeremiah grieved over Jerusalem’s destruction,
he knew God would prevail [kutipan dari QSB, p. 1181].
3.2. Israel dan bangsa-bangsa
Dengan peristiwa pembuangan dan berakhirnya kerajaan, Israel tidak lagi merupakan
Negara dan bangsa yang merdeka, melainkan menjadi bangsa yang bergantung pada
bangsa lain, tercerai berai dan dijajah. Persoalan-persoalan baru yang harus digumuli
pada saat itu mencakup soal menanggulangi pengalaman penghukuman. Antara lain,
bagaimana memelihara tradisi-tradisi iman mereka tanpa lambang dan lembaga lahiriah
seperti Rumah Allah dan kerajaan, bagaimana bisa tetap hidup sebagai bangsa kudus dan
bagaimana mempertahankan pengharapan akan masa depan. Tetapi terutama sekali,
Israel menghadapi lagi masalah hubungan umat Allah dengan penguasa Negara asing.
Kata “lagi” sengaja dipergunakan, karena meskipun persoalan itu sangat penting bagi
angkatan pembuangan, namun bukanlah masalah baru dalam sejarah Israel. Bapak-
bapak leluhur Israel menjadi pengembara yang tinggal di negeri yang bukan milik mereka.
Peristiwa keluaran didahului penindasan oleh orang asing selama berabad-abad yang
masih menyala-nyala dalam ingatan bawah sadar bangsa Israel.
Dengan demikian, jelaslah “kekudusan” umat Allah tidak berarti mereka harus memi-
sahkan diri secara total dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Israel yang terpilih demi bangsa-
bangsa lain, selalu sadar dan terjun dalam peristiwa-peristiwa internasional di sekitar me-
re-ka [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 124f.].
- - - NR - - -
Mazmur 105: 1-11
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Mazmur ini men-cerita-kan sejarah Israel dari masa Abraham hingga dengan waktu
didudukinya Tanah Kanaan (sebagai cerita/narasi lihat penjelasan pada point 3 di ba-
wah). Pendudukan Kanaan (ay. 44) ini merupakan pemenuhan janji Tuhan kepada
Yakub (ay. 11), walaupun sebenarnya janji ini pertama kali disampaikan kepada
Abraham. Pemaparan ini disuguhkan sedemikian rupa, sehingga para pembaca dapat
menyimak bahwa dalam rangka dipenuhinya janji tsb. nyata sekali tangan Tuhan
bekerja, betapapun banyak tantangan dan kendala yang harus diatasi.
Sama seperti Mzm 78, kisah dituturkan dalam konteks ibadah. Ini di-indikasi-kan
oleh ayat 1-6, yang merupakan panggilan beribadah. Lalu bersama-sama dengan Mzm
98, maka ke-15 ayat pertama dari Mazmur bacaan kita ini juga didapati dalam 1 Taw
16. Di situ ayat-ayat tsb. merupakan bagian dari pujian yang dikaitkan dengan peristi-
wa ketika Daud membawa tabut Allah ke Yerusalem.
2. Eksposisi
[Sumber bacaan utama: Robert Davidson, The Vitality of Worship (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1998),
pp. 342ff.].
2.1. Ayat 1-6: Panggilan beribadah
Panggilan ini dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan: “Bersyukurlah . . . perkenalkan-
lah . . .” (ay. 1), “Bernyanyilah . . . bermazmurlah . . .” (ay. 2), Bermegahlah . . . bersuka
hati . . .” (ay. 3), Carilah . . . carilah” (ay. 4), “Ingatlah . . .” (ay. 5). Inilah sebuah ibadah
yang diwarnai dan disirami oleh sukacita dan syukur untuk segala sesuatu yang Allah
telah lakukan: “perbuatanNya yang ajaib” (ay. 2, 5), “kekuatanNya . . . wajahNya” (ay. 4).
Beribadah berarti hadir untuk “bernyanyilah . . . bermazmurlah” (ay. 2). “Penghukuman-
penghukuman” yang diucapkanNya (ay. 5) adalah keputusan-keputusan yang diambilnya
dalam rangka melawan orang-orang dan hal-hal yang menindas umatNya. Ibadah ini di-
persembahkan oleh mereka yang merasa sebagai keturunan langsung dari Abraham,
“anak-anak Yakub” , “orang-orang pilihanNya” (ay. 6).
2.2. Ayat 7-11: Hakikat umat Allah
Itu berarti bahwa “the God whose writ runs throughout the world” adalah Allah yang
memiliki kita. “Allah kita” (ay. 7) menyatakan suatu relasi. Ini diungkapkan dalam istilah
“perjanjian” (ay. 8 dan 10; NIV: “covenant”). Perjanjian ini “diikatnya dengan Abraham”
(ay. 9; bnd. Kej 15 dan 17), diteruskan ke Ishak (bnd. Kej 26:3-5), dan Yakub yang ke-
mudian bernama Israel (Kej 28:13-17), dan merupakan “perjanjian kekal bagi Israel” (ay.
10; bnd. Kej 35:10 dst.). Di sini bobot perjanjian tsb. adalah pada “tanah Kanaan” (ay.
11). Ungkapan “selama-lamanya/kekal” dimunculkan dalam ay. 8 dan 10 dan yang
dipadukan dengan ungkapan “seribu angkatan [generasi]” (ay. 8). Ini menyiratkan bahwa
perjanjian ini tidak batal oleh waktu maupun keadaan. Untuk ini umat perlu selalu
didorong untuk mengingat perjanjian tsb. Sedangkan untuk Tuhan sendiri hal ini tidak
perlu, karena “Ia ingat selama-lamanya” (ay. 8) dan oleh karena itu Ia selalu memelihara
perjanjian tsb.
3. Excursus: Penafsiran Naratif
Apakah narasi itu?
Kata “narasi” berasal dari bahasa Latin narrare (kata kerja), yang berarti bercerita, mencerita-
kan, mengisahkan, dan narratus (kata benda), yang berarti cerita. Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia merumuskan narasi sebagai: penceritaan suatu cerita atau kejadian, deskripsi dari sua-
tu kejadian atau peristiwa, kisah, tema suatu karya seni. Kata “naratif” merupakan kata sifat,
yang berarti: bersifat narasi, bersifat nenguraikan (menjelaskan); prosa yang subjeknya ada-
lah rangkaian kejadian. Jadi, menurut informasi dari kamus, narasi itu berarti suatu cerita.
Menurut Gorys Keraf ada dua unsur dasar dari suatu karangan yang disebut narasi, yakni
rangkaian perbuatan dan terjadi dalam rangkaian waktu . . . Selain kedua unsur dasar terse-
but, suatu narasi juga memiliki alur. Alur dibentuk oleh tiga unsur, yakni kejadian, tokoh, dan
konflik.
Gabriel Fackre merumuskan cerita sebagai sejumlah karakter dan kejadian dalam sebuah
alur yang bergerak dalam ruang dan waktu melalui konflik menuju penyelesaian. Dengan de-
mikian unsur konflik penting. Tanpa adanya konflik, suatu narasi menjadi tidak tuntas. Sebab
konflik memungkinkan hidup manusia digambarkan dengan warna yang serba indah. Suatu
narasi tidak menggambarkan kehidupan secara hitam putih, tetapi penuh dengan tantangan
dan usaha menemukan keselarasan antara cita-cita ajaran moral dan kenyataan hidup [kutipan
dari F.X. Didik Bagiyowinadi, Pewartaan Naratif (Yogyakarta, Pusat Pastoral, 2000/No 7), hlm. 5f.].
. . . Berbeda dengan uraian ilmiah, cerita justru mampu menyimpan sejumlah ketidakjelasan
makna yang pada gilirannya mengundang berbagai tafsiran. Karena sifat uniknya ini, [bisa di-]
asumsikan bahwa si penulis cerita memang sengaja menyampaikan “suatu” berita atau mak-
na melalui sarana cerita, supaya pendengarnya lebih terlibat dalam memberi makna. Bentuk
keterlibatan si pendengar ialah bahwa untuk memahami cerita itu ia harus menafsir: “melihat
tanda-tanda yang saling berkait”, “memberi makna” kepada cerita yang didengarnya. [ . . . ]
Didalam penyampaian cerita, terjadi “estafet” berita atau makna. Pertama Si Pencerita
menyerahkan tongkat berita/maknanya kepada Sang Cerita, lalu Sang Cerita menyerahkan
tongkat itu kepada Si Pendengar(/Pembaca). Namun, berhubung sarana yang digunakan
dalam penyampaian berita/makna itu adalah suatu Cerita, maka terjadi perubahan berita/
makna. Hal ini terjadi karena Cerita mempunyai dinamika uniknya, yaitu bahwa ia dapat
menjadikan “suatu” berita/makna menjadi “beberapa” berita/makna. Keunikan ini, bila diung-
kapkan dengan cara lain, ialah bahwa suatu Cerita --- pada saat ia telah selesai ditulis oleh
penulisnya --- mempunyai kehidupannya sendiri yang tidak lagi tergantung kepada si penulis.
Dunia cerita adalah dunia yang mandiri atau utuh pada dirinya [ . . . ]
Munculnya berbagai makna itu selain disebabkan oleh dinamika Cerita, juga disebabkan
oleh sifat hakikinya yang lain, yaitu Cerita itu senantiasa hidup di dalam pertalian segitiga:
Pencerita-Cerita-Pendengar. Tak ada Pencerita tanpa Pendengar: Dalam bercerita, si penulis
mau tak mau menciptakan seorang pencerita di dalam dunia ceritanya (entah sebagai “orang
Ketiga” entah sebagai “Aku”). . . . Kitab Injil Markus belum bercerita apa-apa sampai ada
Pendengar kongkrit yang mau membacanya.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa peristiwa membaca adalah peristiwa bersisi ganda.
Pada saat membaca atau memberi makna, si pembaca/penafsir sebenarnya sudah diundang
oleh cerita itu untuk terlibat. . . . Apalagi bila kita memperhitungkan fakta bahwa cerita-cerita
Kitab Suci digunakan dalam konteks umat sebagai pendengar, maka ada kemungkinan bah-
wa cerita-cerita ini disusun bukan hanya untuk menyampaikan “hasil” (makna), tetapi juga
agar “proses”-nya (pemaknaan) dihayati pembaca. Jelasnya si penulis (/orang percaya) mela-
lui cerita Kitab Suci yang disusunnya mengundang umat untuk ikut terlibat dalam “pergumulan
iman”-nya dalam mencari dan memberi makna di dalam cerita itu, maupun di luar cerita itu:
dalam kehidupan mereka di hadapan Tuhan [kutipan dari Adji A. Sutama, “Pembaca Diundang untuk
Terlibat”, dalam Majalah Gema Duta Wacana, Yogyakarta, No. 45 Tahun 1993, hlm. 86ff.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Mazmur ini men-cerita-kan sejarah Israel dari masa Abraham hingga dengan waktu
didudukinya Tanah Kanaan (sebagai cerita/narasi lihat penjelasan pada point 3 di ba-
wah). Pendudukan Kanaan (ay. 44) ini merupakan pemenuhan janji Tuhan kepada
Yakub (ay. 11), walaupun sebenarnya janji ini pertama kali disampaikan kepada
Abraham. Pemaparan ini disuguhkan sedemikian rupa, sehingga para pembaca dapat
menyimak bahwa dalam rangka dipenuhinya janji tsb. nyata sekali tangan Tuhan
bekerja, betapapun banyak tantangan dan kendala yang harus diatasi.
Sama seperti Mzm 78, kisah dituturkan dalam konteks ibadah. Ini di-indikasi-kan
oleh ayat 1-6, yang merupakan panggilan beribadah. Lalu bersama-sama dengan Mzm
98, maka ke-15 ayat pertama dari Mazmur bacaan kita ini juga didapati dalam 1 Taw
16. Di situ ayat-ayat tsb. merupakan bagian dari pujian yang dikaitkan dengan peristi-
wa ketika Daud membawa tabut Allah ke Yerusalem.
2. Eksposisi
[Sumber bacaan utama: Robert Davidson, The Vitality of Worship (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1998),
pp. 342ff.].
2.1. Ayat 1-6: Panggilan beribadah
Panggilan ini dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan: “Bersyukurlah . . . perkenalkan-
lah . . .” (ay. 1), “Bernyanyilah . . . bermazmurlah . . .” (ay. 2), Bermegahlah . . . bersuka
hati . . .” (ay. 3), Carilah . . . carilah” (ay. 4), “Ingatlah . . .” (ay. 5). Inilah sebuah ibadah
yang diwarnai dan disirami oleh sukacita dan syukur untuk segala sesuatu yang Allah
telah lakukan: “perbuatanNya yang ajaib” (ay. 2, 5), “kekuatanNya . . . wajahNya” (ay. 4).
Beribadah berarti hadir untuk “bernyanyilah . . . bermazmurlah” (ay. 2). “Penghukuman-
penghukuman” yang diucapkanNya (ay. 5) adalah keputusan-keputusan yang diambilnya
dalam rangka melawan orang-orang dan hal-hal yang menindas umatNya. Ibadah ini di-
persembahkan oleh mereka yang merasa sebagai keturunan langsung dari Abraham,
“anak-anak Yakub” , “orang-orang pilihanNya” (ay. 6).
2.2. Ayat 7-11: Hakikat umat Allah
Itu berarti bahwa “the God whose writ runs throughout the world” adalah Allah yang
memiliki kita. “Allah kita” (ay. 7) menyatakan suatu relasi. Ini diungkapkan dalam istilah
“perjanjian” (ay. 8 dan 10; NIV: “covenant”). Perjanjian ini “diikatnya dengan Abraham”
(ay. 9; bnd. Kej 15 dan 17), diteruskan ke Ishak (bnd. Kej 26:3-5), dan Yakub yang ke-
mudian bernama Israel (Kej 28:13-17), dan merupakan “perjanjian kekal bagi Israel” (ay.
10; bnd. Kej 35:10 dst.). Di sini bobot perjanjian tsb. adalah pada “tanah Kanaan” (ay.
11). Ungkapan “selama-lamanya/kekal” dimunculkan dalam ay. 8 dan 10 dan yang
dipadukan dengan ungkapan “seribu angkatan [generasi]” (ay. 8). Ini menyiratkan bahwa
perjanjian ini tidak batal oleh waktu maupun keadaan. Untuk ini umat perlu selalu
didorong untuk mengingat perjanjian tsb. Sedangkan untuk Tuhan sendiri hal ini tidak
perlu, karena “Ia ingat selama-lamanya” (ay. 8) dan oleh karena itu Ia selalu memelihara
perjanjian tsb.
3. Excursus: Penafsiran Naratif
Apakah narasi itu?
Kata “narasi” berasal dari bahasa Latin narrare (kata kerja), yang berarti bercerita, mencerita-
kan, mengisahkan, dan narratus (kata benda), yang berarti cerita. Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia merumuskan narasi sebagai: penceritaan suatu cerita atau kejadian, deskripsi dari sua-
tu kejadian atau peristiwa, kisah, tema suatu karya seni. Kata “naratif” merupakan kata sifat,
yang berarti: bersifat narasi, bersifat nenguraikan (menjelaskan); prosa yang subjeknya ada-
lah rangkaian kejadian. Jadi, menurut informasi dari kamus, narasi itu berarti suatu cerita.
Menurut Gorys Keraf ada dua unsur dasar dari suatu karangan yang disebut narasi, yakni
rangkaian perbuatan dan terjadi dalam rangkaian waktu . . . Selain kedua unsur dasar terse-
but, suatu narasi juga memiliki alur. Alur dibentuk oleh tiga unsur, yakni kejadian, tokoh, dan
konflik.
Gabriel Fackre merumuskan cerita sebagai sejumlah karakter dan kejadian dalam sebuah
alur yang bergerak dalam ruang dan waktu melalui konflik menuju penyelesaian. Dengan de-
mikian unsur konflik penting. Tanpa adanya konflik, suatu narasi menjadi tidak tuntas. Sebab
konflik memungkinkan hidup manusia digambarkan dengan warna yang serba indah. Suatu
narasi tidak menggambarkan kehidupan secara hitam putih, tetapi penuh dengan tantangan
dan usaha menemukan keselarasan antara cita-cita ajaran moral dan kenyataan hidup [kutipan
dari F.X. Didik Bagiyowinadi, Pewartaan Naratif (Yogyakarta, Pusat Pastoral, 2000/No 7), hlm. 5f.].
. . . Berbeda dengan uraian ilmiah, cerita justru mampu menyimpan sejumlah ketidakjelasan
makna yang pada gilirannya mengundang berbagai tafsiran. Karena sifat uniknya ini, [bisa di-]
asumsikan bahwa si penulis cerita memang sengaja menyampaikan “suatu” berita atau mak-
na melalui sarana cerita, supaya pendengarnya lebih terlibat dalam memberi makna. Bentuk
keterlibatan si pendengar ialah bahwa untuk memahami cerita itu ia harus menafsir: “melihat
tanda-tanda yang saling berkait”, “memberi makna” kepada cerita yang didengarnya. [ . . . ]
Didalam penyampaian cerita, terjadi “estafet” berita atau makna. Pertama Si Pencerita
menyerahkan tongkat berita/maknanya kepada Sang Cerita, lalu Sang Cerita menyerahkan
tongkat itu kepada Si Pendengar(/Pembaca). Namun, berhubung sarana yang digunakan
dalam penyampaian berita/makna itu adalah suatu Cerita, maka terjadi perubahan berita/
makna. Hal ini terjadi karena Cerita mempunyai dinamika uniknya, yaitu bahwa ia dapat
menjadikan “suatu” berita/makna menjadi “beberapa” berita/makna. Keunikan ini, bila diung-
kapkan dengan cara lain, ialah bahwa suatu Cerita --- pada saat ia telah selesai ditulis oleh
penulisnya --- mempunyai kehidupannya sendiri yang tidak lagi tergantung kepada si penulis.
Dunia cerita adalah dunia yang mandiri atau utuh pada dirinya [ . . . ]
Munculnya berbagai makna itu selain disebabkan oleh dinamika Cerita, juga disebabkan
oleh sifat hakikinya yang lain, yaitu Cerita itu senantiasa hidup di dalam pertalian segitiga:
Pencerita-Cerita-Pendengar. Tak ada Pencerita tanpa Pendengar: Dalam bercerita, si penulis
mau tak mau menciptakan seorang pencerita di dalam dunia ceritanya (entah sebagai “orang
Ketiga” entah sebagai “Aku”). . . . Kitab Injil Markus belum bercerita apa-apa sampai ada
Pendengar kongkrit yang mau membacanya.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa peristiwa membaca adalah peristiwa bersisi ganda.
Pada saat membaca atau memberi makna, si pembaca/penafsir sebenarnya sudah diundang
oleh cerita itu untuk terlibat. . . . Apalagi bila kita memperhitungkan fakta bahwa cerita-cerita
Kitab Suci digunakan dalam konteks umat sebagai pendengar, maka ada kemungkinan bah-
wa cerita-cerita ini disusun bukan hanya untuk menyampaikan “hasil” (makna), tetapi juga
agar “proses”-nya (pemaknaan) dihayati pembaca. Jelasnya si penulis (/orang percaya) mela-
lui cerita Kitab Suci yang disusunnya mengundang umat untuk ikut terlibat dalam “pergumulan
iman”-nya dalam mencari dan memberi makna di dalam cerita itu, maupun di luar cerita itu:
dalam kehidupan mereka di hadapan Tuhan [kutipan dari Adji A. Sutama, “Pembaca Diundang untuk
Terlibat”, dalam Majalah Gema Duta Wacana, Yogyakarta, No. 45 Tahun 1993, hlm. 86ff.].
- - - NR - - -
Making Ready for the Lord's Coming
SUNDAY HOMILIES FOR YEAR A
By Fr Munachi E. Ezeogu, cssp
Homily for 1st Sunday of Advent
Isaiah 2:1-5 Romans 13:11-14 Matthew 24:37-44
John F. Kennedy is said to be very fond of a particular story. During his 1960 presidential campaign he often used it to close his speeches. It is the story of Colonel Davenport, Speaker of the Connecticut House of Representatives back in 1789. One day, while the House was in session, the sky of Hartford suddenly grew dark and gloomy. Some of the representatives looked out the windows and thought this was a sign that the end of the world had come. An uproar ensued with the representatives calling for immediate adjournment. But Davenport rose and said, “Gentlemen, the Day of Judgment is either approaching or it is not. If it is not, there is no cause for adjournment. If it is, I choose to be found doing my duty. Therefore, I wish that candles be brought.” Candles were brought and the session continued.
Today’s gospel speaks about the coming of the Lord at the end of the world and how to prepare for it. In our world today, there are two big mistakes people make with regard to the coming of the Lord. One is to prepare for it with paranoid anxiety. The other is to dismiss it with nonchalant abandon and do nothing about it. What does the gospel tell us about the end of the world and how to prepare for it?
The gospel uses two images to make the point that “you do not know on what day your Lord is coming” (Matthew 24:42b). One is the flood which overtook the unprepared people of Noah’s time. The other is the analogy of a thief in the night, who always comes unannounced. The Lord’s coming and the end of the world as we know it will occur suddenly and unexpectedly. It will come unannounced, springing a surprise on an unsuspecting world. Like a wise householder, therefore, we are urged to be watchful and ready.
What does it mean to be watchful and ready? It does not mean to go about listening to and getting excited over the end-of-time prophecies and visions that have multiplied in our day. Rather it is, as Colonel Davenport rightly says, to be more assiduous and faithful to our duties as responsible children of the world and of God. The early Christians used sleep as figurative language for the life of sinful indulgence. Paul says in 1Thessalonians 5:6-8
So then let us not fall asleep as others do, but let us keep awake and be sober; for those who sleep sleep at night, and those who are drunk get drunk at night. But since we belong to the day, let us be sober, and put on the breastplate of faith and love, and for a helmet the hope of salvation.
To be awake, therefore, is to live a life of faithful service to the Lord, following the Lord’s commands and abiding in his grace. In fact, our gospel story today is followed by the Parable of the Wise Servant who faithfully carries out his master’s instructions while his master is on a journey. His master returns unexpectedly and finds the servant still following the instructions he gave him. In the same way, there is no better way for us to ready ourselves for the unexpected coming of the Lord at the end of time than faithfully carrying out his commands in our daily lives.
Why is it futile for us to run about in search of a calendar for the end-times and the Lord’s coming? Because actually the great Day of the Lord can overtake us individually any day, any time. The day we die is the day we appear before God. Why should I be stockpiling for the Day of the Lord in two or three years time when I am not even sure of tomorrow? For everyone of us there is an individual Day of the Lord, the day we appear in personal judgment before God and there is the general Day of the Lord, the day of general judgment of all humankind. The Day of the Lord is as near to each of us as the day of our death, which could be any day.
As we begin today a new cycle of the church’s year of grace, let us resolve to shun the doomsday paranoia on the one hand and reckless complacency on the other. Let us resolve to be always awake in the spirit by living a life of faith and love in service to the Lord so that whenever he comes we shall be ready to follow him into the glory of eternity.
By Fr Munachi E. Ezeogu, cssp
Homily for 1st Sunday of Advent
Isaiah 2:1-5 Romans 13:11-14 Matthew 24:37-44
John F. Kennedy is said to be very fond of a particular story. During his 1960 presidential campaign he often used it to close his speeches. It is the story of Colonel Davenport, Speaker of the Connecticut House of Representatives back in 1789. One day, while the House was in session, the sky of Hartford suddenly grew dark and gloomy. Some of the representatives looked out the windows and thought this was a sign that the end of the world had come. An uproar ensued with the representatives calling for immediate adjournment. But Davenport rose and said, “Gentlemen, the Day of Judgment is either approaching or it is not. If it is not, there is no cause for adjournment. If it is, I choose to be found doing my duty. Therefore, I wish that candles be brought.” Candles were brought and the session continued.
Today’s gospel speaks about the coming of the Lord at the end of the world and how to prepare for it. In our world today, there are two big mistakes people make with regard to the coming of the Lord. One is to prepare for it with paranoid anxiety. The other is to dismiss it with nonchalant abandon and do nothing about it. What does the gospel tell us about the end of the world and how to prepare for it?
The gospel uses two images to make the point that “you do not know on what day your Lord is coming” (Matthew 24:42b). One is the flood which overtook the unprepared people of Noah’s time. The other is the analogy of a thief in the night, who always comes unannounced. The Lord’s coming and the end of the world as we know it will occur suddenly and unexpectedly. It will come unannounced, springing a surprise on an unsuspecting world. Like a wise householder, therefore, we are urged to be watchful and ready.
What does it mean to be watchful and ready? It does not mean to go about listening to and getting excited over the end-of-time prophecies and visions that have multiplied in our day. Rather it is, as Colonel Davenport rightly says, to be more assiduous and faithful to our duties as responsible children of the world and of God. The early Christians used sleep as figurative language for the life of sinful indulgence. Paul says in 1Thessalonians 5:6-8
So then let us not fall asleep as others do, but let us keep awake and be sober; for those who sleep sleep at night, and those who are drunk get drunk at night. But since we belong to the day, let us be sober, and put on the breastplate of faith and love, and for a helmet the hope of salvation.
To be awake, therefore, is to live a life of faithful service to the Lord, following the Lord’s commands and abiding in his grace. In fact, our gospel story today is followed by the Parable of the Wise Servant who faithfully carries out his master’s instructions while his master is on a journey. His master returns unexpectedly and finds the servant still following the instructions he gave him. In the same way, there is no better way for us to ready ourselves for the unexpected coming of the Lord at the end of time than faithfully carrying out his commands in our daily lives.
Why is it futile for us to run about in search of a calendar for the end-times and the Lord’s coming? Because actually the great Day of the Lord can overtake us individually any day, any time. The day we die is the day we appear before God. Why should I be stockpiling for the Day of the Lord in two or three years time when I am not even sure of tomorrow? For everyone of us there is an individual Day of the Lord, the day we appear in personal judgment before God and there is the general Day of the Lord, the day of general judgment of all humankind. The Day of the Lord is as near to each of us as the day of our death, which could be any day.
As we begin today a new cycle of the church’s year of grace, let us resolve to shun the doomsday paranoia on the one hand and reckless complacency on the other. Let us resolve to be always awake in the spirit by living a life of faith and love in service to the Lord so that whenever he comes we shall be ready to follow him into the glory of eternity.
Mazmur 130
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Garis Besar: Susunan dan Sinopsis
Ay. 1-2 : meminta perhatian Tuhan dari dalam jurang;
3-4 : hanya Tuhan saja dapat mengatasi pemisahan yang disebabkan dosa;
5-6 : menanti-nantikan TUHAN;
7-8 : yang membebaskan umat-Nya
[kutipan dari Marie C. Barth dan B.A. Pareira, Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm.
408].
Informasi: Mazmur ini mempunyai ke-khas-an sendiri. Dibandingkan dengan Mzm 51, maka
Mzm 130 mempunyai nuansa permohonan tobat yang lebih kental. Sedangkan
Mzm 51 mengetengahkan bobot pengakuan dosa. Namun terlepas dari perbeda-
an penekanan tadi, kedua Mazmur ini mencerminkan konteks unsur pengakuan
dosa dalam tata ibadah. Perlu juga diperhatikan bahwa ayat 7a dan 8, di mana
dosa umat Israel dimohonkan untuk diampuni, merupakan tambahan kemudian
[Sumber: Claus Westermann, The Living Psalms, trans. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans,
1989), p. 117].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 1 : Tersirat di sini bahwa Allah mau mendengarkan doa orang-orang yang dengan
“ketulusan dan kejujuran” mengakui kegagalan dan keterpurukan mereka diha-
dapanNya. Sekaligus ini menjadi suatu “model for how we might express our-
selves to Him” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari What does the Bible Say About . . .
(Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2002), p. 82].
2.2. Ayat 3-4: Apa Tuhan memangnya punya sejenis ‘buku catatan’ (Inggris: book of
record)?
Ya (bnd. Mzm 56:9: “menghitung-hitung”; “Kaudaftarkan”). Namun dalam
PL juga disaksikan bahwa untuk catatan-catatan [dosa] ini, Tuhan rela meng-
hapusnya. “God’s mercy provided a means for his people to start over again
with a clean record” --- asal mereka dengan “tulus dan jujur” mengakui dosa-
dosanya dan sungguh-sungguh bertobat [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest
Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 881; untuk seterusnya sumber ini dipen-
dekkan QSB].
Informasi: God’s motive in forgiving is clear in the OT, and there is celebration
of God’s character as a forgiving Person [Kel 34:7; Bil 14:18; Neh 9:
17; Mzm 86:5; 99:8; 130:3-4; Dan 9:9] [kutipan bahasa Inggris dari New
International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan,
1991), p. 289].
2.3. Ayat 5-6: Mengapa si pemazmur sebegitu mendambakan Tuhan?
Dengan menyadari bahwa Allah rela mengampuni, maka ini menimbulkan
hasrat dan niat yang dalam dari pemazmur untuk lebih mengenal Allah. Juga
dengan meyakini kasih setia Allah, maka si pemazmur tidak ragu-ragu men-
curahkan isi hatinya kepada Allah. Keyakinannya ini melebihi keyakinan
seorang pengawal akan kepastian berlalunya malam dan terbitnya surya pagi
2.4. Ayat 7-8: Bagaimana Perjanjian Lama memahami “pembebasan” [NIV: “redemp-
tion” = “penebusan”]?
Dengan latar belakang tindakan pembebasan Allah bagi Israel, baik dari
perhambaan di Mesir, maupun dari pembuangan di Babel, maka pembebasan/
penyelamatan adalah untuk seluruh umat, yakni secara kolektif, bukan secara
pribadi. Walaupun di sana-sini ada tersirat dalam PL (a.l. Yeh 18:14-20) tentang
pembebasan/penyelamatan pribadi, baru kelak dalam PB gagasan penyelamatan
pribadi berkembang penuh dalam hubungannya dengan tindakan pembebasan/
penyelamatan/penebusan Yesus Kristus [Sumber: QSB, loc. cit.].
Informasi: Perlu diperhatikan bahwa dalam keseluruhan PL, hanyalah dalam Mzm
130:7-8 inilah istilah “pembebasan” (Ibrani: padah] dikaitkan dengan pembe-
basan dari dosa. Gagasan ini baru kelak dikembangkan secara penuh dalam
PB [Sumber: New International Encyclopedia . . ., p. 516].
Ungkapan “berharap” [Ibrani: yahal] sering sekali muncul dalam Mazmur-
Mazmur. Dengan seruan “berharaplah”, maka kita diundang untuk sekarang ini
berharap dalam hubungan kita dengan Allah. Pendek kata, “harapan” menyirat-
kan relasi. Dalam pemahaman inilah, maka PL beranggapan bahwa [1] Allah
adalah Pembebas yang akan membebaskan seseorang yang berharap kepa-
daNya, dan oleh karena itu [2] adalah patut bahwa kita menanti dengan “tawak-
kal” sampai Allah bertindak [Sumber: Ibid., p. 343f.].
“Kasih setia” (Ibrani: khesed) dalam Mazmur-Mazmur dikaitkan dengan (1)
ibadah (5:8; 26:3); dengan (2) diluputkan dari musuh (6:5; 17:7; dsb.); dengan
(3) perlindungan (21:8; 32:10; 6 dsb.); dengan (4) pengampunan (25:7; 51:3;
86:5; 130: 7; dsb.) [Sumber: Ibid., p. 419].
Kasih setia merupakan padanan kata Ibrani khesed. Paling banyak muncul
dalam Mzm. Di tempat-tempat lain khesed diterjemahkan ‘belas kasihan’,
‘kemurahan hati’, dan ‘kebaikan’. . . . Asal usul etimologisnya tidak jelas. Suatu
penyelidikan mengenai ay-ay di mana kata itu dijumpai (mis Mzm 89), meng-
ungkapkan bahwa kata itu sangat erat hubungannya dengan dua pengertian,
yaitu ‘perjanjian [anugerah]’ dan ‘kesetiaan’. Artinya mungkin dapat dirangkum
sebagai ‘kasih yang mantap teguh atas dasar perjanjian yg telah dibuat’. Arti ini
digunakan untuk menggambarkan baik sikap Allah terhadap umat-Nya maupun
sikap umat Allah terhadap Dia; penggunaan yg kedua khususnya dalam Hos.
[kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jild 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, t.t.), hlm. 528].
3. Refleksi
C a t a t a n D o s a K i t a
Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-
kesalahan,Tuhan, siapakah yang dapat tahan?
(Mzm 130:3)
“Dari jurang yang dalam”, pemazmur berseru kepada Allah (Mzm 130:1). Lalu, masalahnya dikemuka-
kan, yaitu rasa bersalah yang luar biasa karena berbagai hal yang telah ia lakukan dan tidak lakukan di
masa lalu. “Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat
tahan?” (ayat 3).
Namun, puji Tuhan, Allah mengampuni. Dia tak menyimpan catatan dosa masa lalu, entah betapa
banyak atau menyedihkannya dosa itu. “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka
yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1). Pengampunan Allah membuat kita takut akan Dia (Mzm
130:4). Kita menyembah dan mengagungkan Allah, karena anugerah dan pengampunan yang membu-
at kita mengasihi Dia.
Namun bagaimana jika kita terpeleset lagi ke dosa lama? Bagaimana jika dosa itu masih ada? Kita
harus bertobat dan “menanti-nantikan Tuhan” (Mzm 130:5). Dan, bersabar saat Allah bekerja. Kita bu-
kan orang sakit yang tak berpengharapan. Kita bisa “berharap” kepada Pribadi yang akan melepaskan
sesuai waktu-Nya.
Kita tahu dua kepastian: Kasih Allah tak pernah gagal, yaitu bahwa Dia tak akan pernah meninggal-
kan kita atau mengabaikan kita (Ibrani 13:5). Dan, janji Allah tentang penebusan total akan berlangsung
pada waktunya --- Dia akan menebus kita dari semua pelanggaran kita (Mzm 130:8), lalu membawa ki-
ta ke dalam kemuliaan-Nya tanpa noda dan penuh sukacita (Yudas 24).
Kita diampuni! Kita bebas! Bersama pemazmur, mari kita menyembah Tuhan saat menantikan keda-
tangan-Nya ---DHR [kutipan dari Renungan Harian, Kamis, 30 Agustus 2007 (Yogyakarta: Yayasan
Gloria/RBC Ministries)].
4. Excursus: “Kesalahan [dan Rasa Bersalah] . . .”
Banyak ahli psikologi mencatat kesalahan [yakni rasa bersalah] sebagai salah satu masalah utama
para klien mereka. Seringkali kesalahan mempengaruhi sebagian besar orang beragama. Mengapa
ajaran Kristen, yang menjanjikan pengampunan dan perbaikan terhadap kesalahan, kadang-kadang
seakan-akan menjadi penyebab persoalan lebih besar?
Sarana yang menyatakan kepada Anda bahwa Anda bersalah biasanya disebut kesadaran. Kesa-
daran berkomunkasi melalui emosi Anda dan memberi peringatan kepada Anda apabila ada masalah
di dalam kehidupan Anda. [ . . . ]
Kalau Anda Benar-Benar Bersalah
[ . . . ] Bagaimana kalau kesalahan Anda ternyata kesalahan yang sesungguhnya? Apakah yang
akan Anda lakukan kemudian? Saya dapat memperkirakan tiga tindakan yang memungkinkan untuk
dilaksanakan.
Yang pertama adalah menghukum diri Anda sendiri. “Saya tentulah orang yang buruk laku. Oh, be-
tapa bersalahnya saya! Wah, saya sangat menyakiti Tuhan!” [ . . . ]
Tindakan lainnya adalah menyangkali bahwa kesalahan akan menampakkan diri. “Kesalahan adalah
getaran perasaan saja. Ia melumpuhkan dan menekan perasaan banyak orang yang hebat serta mem-
buat mereka tidak menikmati kehidupan mereka. Tuhan menghendaki agar saya merasa bahagia. Ka-
rena itu saya tidak membiarkan diri saya merasa bersalah.” [ . . . ]
Tindakan ketiga ialah berusaha menemukan alasannya mengapa Anda merasa bersalah dan beru-
saha menghentikannya. Secara analogi, hal ini sama seperti Anda merasa sakit sekali pada kaki Anda,
kemudian Anda melepas sepatu Anda serta mencari sumber rasa sakit itu. Itulah cara terbaik untuk
menghadapi rasa sakit. Pada kenyataannya, tujuan rasa sakit itu adalah untuk menarik perhatian Anda.
Sama saja, rasa bersalah dimaksudkan supaya Anda menemukan sumber perasaan Anda. [ . . . ]
Dengan ini, saya tidak bermaksud untuk mulai mendorong seseorang menilik dirinya. Itu tidak sehat.
Kita dapat menemukan banyak sekali dosa kalau kita mau berusaha cukup keras untuk menemukan-
nya, dan beberapa di antara kita bahkan menemukan dosa-dosa yang sama sekali bukan hasil perbuat-
an mereka. Jangan lakukan hal itu! Cukup Anda bertanya: Adakah Tuhan menghendaki saya melaku-
kan sesuatu yang telah saya abaikan selama ini? Adakah hal itu benar-benar dikehendaki Tuhan untuk
saya lakukan, sesuatu yang akan disetujui oleh orang Kristen lain? Kalau benar demikian, lakukanlah.
Jangan terlalu lama berdoa, mendoakan sambil menangis untuk mendapatkan pengampunan. Cukup
ubahlah perilaku Anda.
Mengobati Luka
Namun Anda juga perlu penyembuhan. Ketika Anda jatuh, Anda dapat segera membuat keputusan
untuk tidak berlari dan lebih berhati-hati lagi, tetapi Anda masih harus memperhatikan lutut Anda yang
terluka yang memerlukan obat. [Rasa bersalah] juga memerlukan obat: obat yang berupa pengampun-
an dan pemeliharaan Tuhan. Sekali lagi, 1 Yohanes menolong: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia
adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala
kejahatan” (1:9). Janganlah hal ini kita jadikan pokok persoalan besar dengan memeriksa diri secara
berlebihan. Firman ini sederhana bunyinya. Satu-satunya harapannya ialah bahwa pengakuan Anda
hendaknya tulus: “Tuhan, saya menyadari bahwa saya salah dan Engkau benar. Saya bingung, saya
menyesal. Apakah Engkau berkenan mengampuni saya dan menempatkan saya di jalan yang benar
lagi?” Sudah cukup, dan Yohanes berkata dengan jelas bahwa setelah Anda melakukan tindakan
berdoa itu, Tuhan akan membersihkan Anda dari semua dosa Anda. Tuhan tidak [sekedar] member-
sihkan sampai mencapai kebersihan 80 % [saja] atau melalui proses pengampunan yang memerlukan
bertahun-tahun lamanya. Saat itu juga, Ia membersihkan Anda dari dosa tersebut [kutipan dari Verne
Becker et al., Muda-Mudi, Inilah Jawabannya, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2000), hlm. 34ff.].
- - - NR - - -
1. Garis Besar: Susunan dan Sinopsis
Ay. 1-2 : meminta perhatian Tuhan dari dalam jurang;
3-4 : hanya Tuhan saja dapat mengatasi pemisahan yang disebabkan dosa;
5-6 : menanti-nantikan TUHAN;
7-8 : yang membebaskan umat-Nya
[kutipan dari Marie C. Barth dan B.A. Pareira, Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm.
408].
Informasi: Mazmur ini mempunyai ke-khas-an sendiri. Dibandingkan dengan Mzm 51, maka
Mzm 130 mempunyai nuansa permohonan tobat yang lebih kental. Sedangkan
Mzm 51 mengetengahkan bobot pengakuan dosa. Namun terlepas dari perbeda-
an penekanan tadi, kedua Mazmur ini mencerminkan konteks unsur pengakuan
dosa dalam tata ibadah. Perlu juga diperhatikan bahwa ayat 7a dan 8, di mana
dosa umat Israel dimohonkan untuk diampuni, merupakan tambahan kemudian
[Sumber: Claus Westermann, The Living Psalms, trans. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans,
1989), p. 117].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 1 : Tersirat di sini bahwa Allah mau mendengarkan doa orang-orang yang dengan
“ketulusan dan kejujuran” mengakui kegagalan dan keterpurukan mereka diha-
dapanNya. Sekaligus ini menjadi suatu “model for how we might express our-
selves to Him” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari What does the Bible Say About . . .
(Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2002), p. 82].
2.2. Ayat 3-4: Apa Tuhan memangnya punya sejenis ‘buku catatan’ (Inggris: book of
record)?
Ya (bnd. Mzm 56:9: “menghitung-hitung”; “Kaudaftarkan”). Namun dalam
PL juga disaksikan bahwa untuk catatan-catatan [dosa] ini, Tuhan rela meng-
hapusnya. “God’s mercy provided a means for his people to start over again
with a clean record” --- asal mereka dengan “tulus dan jujur” mengakui dosa-
dosanya dan sungguh-sungguh bertobat [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest
Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 881; untuk seterusnya sumber ini dipen-
dekkan QSB].
Informasi: God’s motive in forgiving is clear in the OT, and there is celebration
of God’s character as a forgiving Person [Kel 34:7; Bil 14:18; Neh 9:
17; Mzm 86:5; 99:8; 130:3-4; Dan 9:9] [kutipan bahasa Inggris dari New
International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan,
1991), p. 289].
2.3. Ayat 5-6: Mengapa si pemazmur sebegitu mendambakan Tuhan?
Dengan menyadari bahwa Allah rela mengampuni, maka ini menimbulkan
hasrat dan niat yang dalam dari pemazmur untuk lebih mengenal Allah. Juga
dengan meyakini kasih setia Allah, maka si pemazmur tidak ragu-ragu men-
curahkan isi hatinya kepada Allah. Keyakinannya ini melebihi keyakinan
seorang pengawal akan kepastian berlalunya malam dan terbitnya surya pagi
2.4. Ayat 7-8: Bagaimana Perjanjian Lama memahami “pembebasan” [NIV: “redemp-
tion” = “penebusan”]?
Dengan latar belakang tindakan pembebasan Allah bagi Israel, baik dari
perhambaan di Mesir, maupun dari pembuangan di Babel, maka pembebasan/
penyelamatan adalah untuk seluruh umat, yakni secara kolektif, bukan secara
pribadi. Walaupun di sana-sini ada tersirat dalam PL (a.l. Yeh 18:14-20) tentang
pembebasan/penyelamatan pribadi, baru kelak dalam PB gagasan penyelamatan
pribadi berkembang penuh dalam hubungannya dengan tindakan pembebasan/
penyelamatan/penebusan Yesus Kristus [Sumber: QSB, loc. cit.].
Informasi: Perlu diperhatikan bahwa dalam keseluruhan PL, hanyalah dalam Mzm
130:7-8 inilah istilah “pembebasan” (Ibrani: padah] dikaitkan dengan pembe-
basan dari dosa. Gagasan ini baru kelak dikembangkan secara penuh dalam
PB [Sumber: New International Encyclopedia . . ., p. 516].
Ungkapan “berharap” [Ibrani: yahal] sering sekali muncul dalam Mazmur-
Mazmur. Dengan seruan “berharaplah”, maka kita diundang untuk sekarang ini
berharap dalam hubungan kita dengan Allah. Pendek kata, “harapan” menyirat-
kan relasi. Dalam pemahaman inilah, maka PL beranggapan bahwa [1] Allah
adalah Pembebas yang akan membebaskan seseorang yang berharap kepa-
daNya, dan oleh karena itu [2] adalah patut bahwa kita menanti dengan “tawak-
kal” sampai Allah bertindak [Sumber: Ibid., p. 343f.].
“Kasih setia” (Ibrani: khesed) dalam Mazmur-Mazmur dikaitkan dengan (1)
ibadah (5:8; 26:3); dengan (2) diluputkan dari musuh (6:5; 17:7; dsb.); dengan
(3) perlindungan (21:8; 32:10; 6 dsb.); dengan (4) pengampunan (25:7; 51:3;
86:5; 130: 7; dsb.) [Sumber: Ibid., p. 419].
Kasih setia merupakan padanan kata Ibrani khesed. Paling banyak muncul
dalam Mzm. Di tempat-tempat lain khesed diterjemahkan ‘belas kasihan’,
‘kemurahan hati’, dan ‘kebaikan’. . . . Asal usul etimologisnya tidak jelas. Suatu
penyelidikan mengenai ay-ay di mana kata itu dijumpai (mis Mzm 89), meng-
ungkapkan bahwa kata itu sangat erat hubungannya dengan dua pengertian,
yaitu ‘perjanjian [anugerah]’ dan ‘kesetiaan’. Artinya mungkin dapat dirangkum
sebagai ‘kasih yang mantap teguh atas dasar perjanjian yg telah dibuat’. Arti ini
digunakan untuk menggambarkan baik sikap Allah terhadap umat-Nya maupun
sikap umat Allah terhadap Dia; penggunaan yg kedua khususnya dalam Hos.
[kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jild 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, t.t.), hlm. 528].
3. Refleksi
C a t a t a n D o s a K i t a
Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-
kesalahan,Tuhan, siapakah yang dapat tahan?
(Mzm 130:3)
“Dari jurang yang dalam”, pemazmur berseru kepada Allah (Mzm 130:1). Lalu, masalahnya dikemuka-
kan, yaitu rasa bersalah yang luar biasa karena berbagai hal yang telah ia lakukan dan tidak lakukan di
masa lalu. “Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat
tahan?” (ayat 3).
Namun, puji Tuhan, Allah mengampuni. Dia tak menyimpan catatan dosa masa lalu, entah betapa
banyak atau menyedihkannya dosa itu. “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka
yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1). Pengampunan Allah membuat kita takut akan Dia (Mzm
130:4). Kita menyembah dan mengagungkan Allah, karena anugerah dan pengampunan yang membu-
at kita mengasihi Dia.
Namun bagaimana jika kita terpeleset lagi ke dosa lama? Bagaimana jika dosa itu masih ada? Kita
harus bertobat dan “menanti-nantikan Tuhan” (Mzm 130:5). Dan, bersabar saat Allah bekerja. Kita bu-
kan orang sakit yang tak berpengharapan. Kita bisa “berharap” kepada Pribadi yang akan melepaskan
sesuai waktu-Nya.
Kita tahu dua kepastian: Kasih Allah tak pernah gagal, yaitu bahwa Dia tak akan pernah meninggal-
kan kita atau mengabaikan kita (Ibrani 13:5). Dan, janji Allah tentang penebusan total akan berlangsung
pada waktunya --- Dia akan menebus kita dari semua pelanggaran kita (Mzm 130:8), lalu membawa ki-
ta ke dalam kemuliaan-Nya tanpa noda dan penuh sukacita (Yudas 24).
Kita diampuni! Kita bebas! Bersama pemazmur, mari kita menyembah Tuhan saat menantikan keda-
tangan-Nya ---DHR [kutipan dari Renungan Harian, Kamis, 30 Agustus 2007 (Yogyakarta: Yayasan
Gloria/RBC Ministries)].
4. Excursus: “Kesalahan [dan Rasa Bersalah] . . .”
Banyak ahli psikologi mencatat kesalahan [yakni rasa bersalah] sebagai salah satu masalah utama
para klien mereka. Seringkali kesalahan mempengaruhi sebagian besar orang beragama. Mengapa
ajaran Kristen, yang menjanjikan pengampunan dan perbaikan terhadap kesalahan, kadang-kadang
seakan-akan menjadi penyebab persoalan lebih besar?
Sarana yang menyatakan kepada Anda bahwa Anda bersalah biasanya disebut kesadaran. Kesa-
daran berkomunkasi melalui emosi Anda dan memberi peringatan kepada Anda apabila ada masalah
di dalam kehidupan Anda. [ . . . ]
Kalau Anda Benar-Benar Bersalah
[ . . . ] Bagaimana kalau kesalahan Anda ternyata kesalahan yang sesungguhnya? Apakah yang
akan Anda lakukan kemudian? Saya dapat memperkirakan tiga tindakan yang memungkinkan untuk
dilaksanakan.
Yang pertama adalah menghukum diri Anda sendiri. “Saya tentulah orang yang buruk laku. Oh, be-
tapa bersalahnya saya! Wah, saya sangat menyakiti Tuhan!” [ . . . ]
Tindakan lainnya adalah menyangkali bahwa kesalahan akan menampakkan diri. “Kesalahan adalah
getaran perasaan saja. Ia melumpuhkan dan menekan perasaan banyak orang yang hebat serta mem-
buat mereka tidak menikmati kehidupan mereka. Tuhan menghendaki agar saya merasa bahagia. Ka-
rena itu saya tidak membiarkan diri saya merasa bersalah.” [ . . . ]
Tindakan ketiga ialah berusaha menemukan alasannya mengapa Anda merasa bersalah dan beru-
saha menghentikannya. Secara analogi, hal ini sama seperti Anda merasa sakit sekali pada kaki Anda,
kemudian Anda melepas sepatu Anda serta mencari sumber rasa sakit itu. Itulah cara terbaik untuk
menghadapi rasa sakit. Pada kenyataannya, tujuan rasa sakit itu adalah untuk menarik perhatian Anda.
Sama saja, rasa bersalah dimaksudkan supaya Anda menemukan sumber perasaan Anda. [ . . . ]
Dengan ini, saya tidak bermaksud untuk mulai mendorong seseorang menilik dirinya. Itu tidak sehat.
Kita dapat menemukan banyak sekali dosa kalau kita mau berusaha cukup keras untuk menemukan-
nya, dan beberapa di antara kita bahkan menemukan dosa-dosa yang sama sekali bukan hasil perbuat-
an mereka. Jangan lakukan hal itu! Cukup Anda bertanya: Adakah Tuhan menghendaki saya melaku-
kan sesuatu yang telah saya abaikan selama ini? Adakah hal itu benar-benar dikehendaki Tuhan untuk
saya lakukan, sesuatu yang akan disetujui oleh orang Kristen lain? Kalau benar demikian, lakukanlah.
Jangan terlalu lama berdoa, mendoakan sambil menangis untuk mendapatkan pengampunan. Cukup
ubahlah perilaku Anda.
Mengobati Luka
Namun Anda juga perlu penyembuhan. Ketika Anda jatuh, Anda dapat segera membuat keputusan
untuk tidak berlari dan lebih berhati-hati lagi, tetapi Anda masih harus memperhatikan lutut Anda yang
terluka yang memerlukan obat. [Rasa bersalah] juga memerlukan obat: obat yang berupa pengampun-
an dan pemeliharaan Tuhan. Sekali lagi, 1 Yohanes menolong: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia
adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala
kejahatan” (1:9). Janganlah hal ini kita jadikan pokok persoalan besar dengan memeriksa diri secara
berlebihan. Firman ini sederhana bunyinya. Satu-satunya harapannya ialah bahwa pengakuan Anda
hendaknya tulus: “Tuhan, saya menyadari bahwa saya salah dan Engkau benar. Saya bingung, saya
menyesal. Apakah Engkau berkenan mengampuni saya dan menempatkan saya di jalan yang benar
lagi?” Sudah cukup, dan Yohanes berkata dengan jelas bahwa setelah Anda melakukan tindakan
berdoa itu, Tuhan akan membersihkan Anda dari semua dosa Anda. Tuhan tidak [sekedar] member-
sihkan sampai mencapai kebersihan 80 % [saja] atau melalui proses pengampunan yang memerlukan
bertahun-tahun lamanya. Saat itu juga, Ia membersihkan Anda dari dosa tersebut [kutipan dari Verne
Becker et al., Muda-Mudi, Inilah Jawabannya, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2000), hlm. 34ff.].
- - - NR - - -
Langganan:
Postingan (Atom)