17 Desember 2007

Yesaya 60 : 1 - 5

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

“Trito-Yesaya” Kitab Trito-Yesaya terdiri dari Yes. 56-66. Sejarah terjadinya sangat sulit ditentukan. Nama Trito-Yesaya dapat menimbulkan salah pengertian bahwa Kitab ini berasal dari satu orang saja. Sebenarnya Kitab Trito-Yesaya berasal dari berbagai tangan dan berbagai zaman. Yang pasti ialah, bahwa intisari Kitab ini, yaitu Yes. 60-62 dikarang oleh nabi Trito-Yesaya, yang hidup setelah pembuangan di Yehuda. Sekitar inti ini ditempatkan beberapa berita dan nubuat lain dari berbagai tangan dan berbagai zaman. Dari Yes 56:7 misalnya, kita memperoleh kesan bahwa (bertentangan dengan Yes 60:13) Bait Suci di Yerusalem dibangun kembali. Sejarah terjadinya Kitab Trito-Yesaya dapat diperbandingkan dengan tumbuhnya sebuah taruk: pusatnya (Yes 60-62) diperbesar dengan beberapa lapisan yang lain, yang tumbuh sekitarnya [kutipan dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 90f.]. Informasi: Chapter 56 launches us into the . . . final part of Isaiah’s vision. It relates to the period following the arrival of the first returnees from Babylon. Isaiah saw the time in prophetic vision . . . It was a time of high expectations and immense difficulties [ . . . ]. But the most serious problems arose from the fact that this small community lived ‘between the times’ [= masa antara; bnd. masa adventus], so to speak. . . . The community lived in the tension between the ‘now’ and the ‘not yet’. They had the beginnings of what God had promised but not the fullness of it. It was a time in many respects like our own, between the first and second comings of Christ. The Kingdom of God has come, but is yet to come. It is an exciting time but also a difficult one, when (as Paul puts it) ‘we ourselves, who have the firstfruits of the Spirit, groan inwardly as we await eagerly for . . . the redemption of our bodies’ [Rm 8:23] [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1996), p. 219].

2. Rancangan/Garis Besar Khotbah

Topic: God’s Blessing of His People
TEXT: Isa. 60:1-6 Comes in the fullness of time. Brings obligation to reflect God’s glory. Is rewarded with astounding influence. [kutipan dari James W. Cox (ed.), The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey-Bass, 2004), p. 159].

3. Eksposisi

Kesuraman dan kekelaman yang melatarbelakangi Yes 59 kini telah berlalu. Kalau pun sisa-sisanya masih ada (60:2,12), itu sudah jauh dan tak berperan lagi. Kini “terang” tiba. Si penulis mestinya telah berulang kali menyaksikan terbitnya sang surya di Yerusalem. Mula-mula muncul dari timur, melewati Bukit Zaitun, lalu melewati dan menyinari kota Yerusalem dan dengan itu mengusir kekelaman dari setiap ruang dan cela yang ada dibawahnya. Hingga kini para turis tetap menikmati pemandangan indah ini ketika mengunjungi Yerusalem [Sumber: Webb, op. cit., p. 231]. Informasi : Its relation to [chapter] 49 discloses the main theme which is the coming of the nations to Zion, the centre of revelation (light-glory-name) (1-3); bringing back the Jews of the dispersion (4, 9); offering their wealth (5b-7); building the walls and beautifying the Temple (10-14). The result is glory and prosperity for Zion [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (London Thomas Nelson: 1972), p. 532].

3.1. Ayat 3: Bagaimanakah Israel menjadi “cahaya” bagi bangsa-bangsa? Dengan gambaran bagaikan sang surya yang muncul dan menyinari Bukit Sion, begitulah juga kemuliaan Allah ketika Ia mendatangi umatNya. Lalu mereka yang masih berada dalam “lembah kekelaman” akan ikut menikmati “cahaya” itu melalui [bnd. refleksi] umatNya [bnd. pernyataan Yesus dalam Mat 5:14; juga bnd. Yes 58:8,10].

3.2. Ayat 4: Mengapa anak-anak Israel “datang dari jauh”? Dengan diduduki dan dihancurkannya Yerusalem, umat Israel hidup dalam pembuangan dan terserak-serak di berbagai tempat. Di sini Yesaya memba- yangkan kesukacitaan anak-anak laki-laki dan perempuan, ketika mereka kelak kembali ke Yerusalem dari tempat/negeri pembuangan.

3.3. Ayat 5: Bagaimanakah “kelimpahan” dan “kekayaan” itu datang bersama? Mereka yang kembali dari pembuangan membawa serta banyak pemberian berharga (Ezr 1:6-7; 7:15-22). Kelimpahan dan kekayaan tsb. menunjukkan cara Tuhan yang mengherankan dalam memperlengkapi dan menopang umatNya dalam rangka kepulangan mereka ke Yerusalem. Termasuk dalam kelimpahan dan kekayaan tsb. adalah yang bersifat spiritual. Dan ini sekaligus mencermin- kan pulihnya kembali hubungan yang benar antara Allah dan umatNya. [Sumber bacaan utama untuk 3.1-3: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1069].

4. Excursus:

“Israel sebagai Paradigma Allah” Pemilihan istilah “paradigma” membutuhkan penjelasan dan alasan. Paradigma berarti sesuatu yang dipergunakan sebagai contoh untuk kasus-kasus lain di mana ada satu prinsip dasar yang tidak berubah, meskipun rinciannya berbeda-beda. [ . . . ] Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma” adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya. Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak dapat memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia modern. [ . . . ] Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi “terang/cahaya” bagi bangsa-bangsa [bnd. Yes 49:6; 60:1), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. [Penelitian yang mendalam membuka mata kita] bagaimana aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan sosial Israel dapat berlaku sebagai kritik dan koreksi bagi asek-aspek yang serupa dari za- man kita. Pendekatan paradigmatis ini membuat Perujanjian Lama paling bermanfaat sebagai sumber bagi etika sosial Kristen. [ . . . ] Tentu saja bentuk dan ciri-ciri itu bukanlah paradigma satu-satunya bagi etika sosial. Orang Kristen melihat paradigma itu maupun segi-segi Perjanjian Lama lainnya dalam terang zaman baru dan kerajaan Allah yang dimulai oleh Kristus. [Orang Kristen] menempat- kan paradigma sosial Perjanjian Lama berdampingan dengan paradigma kehidupan sosial jemaat Kristen mula-mula maupun ajaran Yesus dan para rasul tentang kehidupam sosial. Hanya dengan demikian ia mulai merumuskan suatu etika sosial Alkitab yang menyeluruh [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 42ff.].

- - - NR - - -

Tidak ada komentar: