03 Desember 2007

Mazmur 105: 1-11

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Mazmur ini men-cerita-kan sejarah Israel dari masa Abraham hingga dengan waktu
didudukinya Tanah Kanaan (sebagai cerita/narasi lihat penjelasan pada point 3 di ba-
wah). Pendudukan Kanaan (ay. 44) ini merupakan pemenuhan janji Tuhan kepada
Yakub (ay. 11), walaupun sebenarnya janji ini pertama kali disampaikan kepada
Abraham. Pemaparan ini disuguhkan sedemikian rupa, sehingga para pembaca dapat
menyimak bahwa dalam rangka dipenuhinya janji tsb. nyata sekali tangan Tuhan
bekerja, betapapun banyak tantangan dan kendala yang harus diatasi.
Sama seperti Mzm 78, kisah dituturkan dalam konteks ibadah. Ini di-indikasi-kan
oleh ayat 1-6, yang merupakan panggilan beribadah. Lalu bersama-sama dengan Mzm
98, maka ke-15 ayat pertama dari Mazmur bacaan kita ini juga didapati dalam 1 Taw
16. Di situ ayat-ayat tsb. merupakan bagian dari pujian yang dikaitkan dengan peristi-
wa ketika Daud membawa tabut Allah ke Yerusalem.

2. Eksposisi
[Sumber bacaan utama: Robert Davidson, The Vitality of Worship (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1998),
pp. 342ff.].
2.1. Ayat 1-6: Panggilan beribadah
Panggilan ini dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan: “Bersyukurlah . . . perkenalkan-
lah . . .” (ay. 1), “Bernyanyilah . . . bermazmurlah . . .” (ay. 2), Bermegahlah . . . bersuka
hati . . .” (ay. 3), Carilah . . . carilah” (ay. 4), “Ingatlah . . .” (ay. 5). Inilah sebuah ibadah
yang diwarnai dan disirami oleh sukacita dan syukur untuk segala sesuatu yang Allah
telah lakukan: “perbuatanNya yang ajaib” (ay. 2, 5), “kekuatanNya . . . wajahNya” (ay. 4).
Beribadah berarti hadir untuk “bernyanyilah . . . bermazmurlah” (ay. 2). “Penghukuman-
penghukuman” yang diucapkanNya (ay. 5) adalah keputusan-keputusan yang diambilnya
dalam rangka melawan orang-orang dan hal-hal yang menindas umatNya. Ibadah ini di-
persembahkan oleh mereka yang merasa sebagai keturunan langsung dari Abraham,
“anak-anak Yakub” , “orang-orang pilihanNya” (ay. 6).

2.2. Ayat 7-11: Hakikat umat Allah
Itu berarti bahwa “the God whose writ runs throughout the world” adalah Allah yang
memiliki kita. “Allah kita” (ay. 7) menyatakan suatu relasi. Ini diungkapkan dalam istilah
“perjanjian” (ay. 8 dan 10; NIV: “covenant”). Perjanjian ini “diikatnya dengan Abraham”
(ay. 9; bnd. Kej 15 dan 17), diteruskan ke Ishak (bnd. Kej 26:3-5), dan Yakub yang ke-
mudian bernama Israel (Kej 28:13-17), dan merupakan “perjanjian kekal bagi Israel” (ay.
10; bnd. Kej 35:10 dst.). Di sini bobot perjanjian tsb. adalah pada “tanah Kanaan” (ay.
11). Ungkapan “selama-lamanya/kekal” dimunculkan dalam ay. 8 dan 10 dan yang
dipadukan dengan ungkapan “seribu angkatan [generasi]” (ay. 8). Ini menyiratkan bahwa
perjanjian ini tidak batal oleh waktu maupun keadaan. Untuk ini umat perlu selalu
didorong untuk mengingat perjanjian tsb. Sedangkan untuk Tuhan sendiri hal ini tidak
perlu, karena “Ia ingat selama-lamanya” (ay. 8) dan oleh karena itu Ia selalu memelihara
perjanjian tsb.


3. Excursus: Penafsiran Naratif
Apakah narasi itu?
Kata “narasi” berasal dari bahasa Latin narrare (kata kerja), yang berarti bercerita, mencerita-
kan, mengisahkan, dan narratus (kata benda), yang berarti cerita. Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia merumuskan narasi sebagai: penceritaan suatu cerita atau kejadian, deskripsi dari sua-
tu kejadian atau peristiwa, kisah, tema suatu karya seni. Kata “naratif” merupakan kata sifat,
yang berarti: bersifat narasi, bersifat nenguraikan (menjelaskan); prosa yang subjeknya ada-
lah rangkaian kejadian. Jadi, menurut informasi dari kamus, narasi itu berarti suatu cerita.
Menurut Gorys Keraf ada dua unsur dasar dari suatu karangan yang disebut narasi, yakni
rangkaian perbuatan dan terjadi dalam rangkaian waktu . . . Selain kedua unsur dasar terse-
but, suatu narasi juga memiliki alur. Alur dibentuk oleh tiga unsur, yakni kejadian, tokoh, dan
konflik.
Gabriel Fackre merumuskan cerita sebagai sejumlah karakter dan kejadian dalam sebuah
alur yang bergerak dalam ruang dan waktu melalui konflik menuju penyelesaian. Dengan de-
mikian unsur konflik penting. Tanpa adanya konflik, suatu narasi menjadi tidak tuntas. Sebab
konflik memungkinkan hidup manusia digambarkan dengan warna yang serba indah. Suatu
narasi tidak menggambarkan kehidupan secara hitam putih, tetapi penuh dengan tantangan
dan usaha menemukan keselarasan antara cita-cita ajaran moral dan kenyataan hidup [kutipan
dari F.X. Didik Bagiyowinadi, Pewartaan Naratif (Yogyakarta, Pusat Pastoral, 2000/No 7), hlm. 5f.].

. . . Berbeda dengan uraian ilmiah, cerita justru mampu menyimpan sejumlah ketidakjelasan
makna yang pada gilirannya mengundang berbagai tafsiran. Karena sifat uniknya ini, [bisa di-]
asumsikan bahwa si penulis cerita memang sengaja menyampaikan “suatu” berita atau mak-
na melalui sarana cerita, supaya pendengarnya lebih terlibat dalam memberi makna. Bentuk
keterlibatan si pendengar ialah bahwa untuk memahami cerita itu ia harus menafsir: “melihat
tanda-tanda yang saling berkait”, “memberi makna” kepada cerita yang didengarnya. [ . . . ]
Didalam penyampaian cerita, terjadi “estafet” berita atau makna. Pertama Si Pencerita
menyerahkan tongkat berita/maknanya kepada Sang Cerita, lalu Sang Cerita menyerahkan
tongkat itu kepada Si Pendengar(/Pembaca). Namun, berhubung sarana yang digunakan
dalam penyampaian berita/makna itu adalah suatu Cerita, maka terjadi perubahan berita/
makna. Hal ini terjadi karena Cerita mempunyai dinamika uniknya, yaitu bahwa ia dapat
menjadikan “suatu” berita/makna menjadi “beberapa” berita/makna. Keunikan ini, bila diung-
kapkan dengan cara lain, ialah bahwa suatu Cerita --- pada saat ia telah selesai ditulis oleh
penulisnya --- mempunyai kehidupannya sendiri yang tidak lagi tergantung kepada si penulis.
Dunia cerita adalah dunia yang mandiri atau utuh pada dirinya [ . . . ]
Munculnya berbagai makna itu selain disebabkan oleh dinamika Cerita, juga disebabkan
oleh sifat hakikinya yang lain, yaitu Cerita itu senantiasa hidup di dalam pertalian segitiga:
Pencerita-Cerita-Pendengar. Tak ada Pencerita tanpa Pendengar: Dalam bercerita, si penulis
mau tak mau menciptakan seorang pencerita di dalam dunia ceritanya (entah sebagai “orang
Ketiga” entah sebagai “Aku”). . . . Kitab Injil Markus belum bercerita apa-apa sampai ada
Pendengar kongkrit yang mau membacanya.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa peristiwa membaca adalah peristiwa bersisi ganda.
Pada saat membaca atau memberi makna, si pembaca/penafsir sebenarnya sudah diundang
oleh cerita itu untuk terlibat. . . . Apalagi bila kita memperhitungkan fakta bahwa cerita-cerita
Kitab Suci digunakan dalam konteks umat sebagai pendengar, maka ada kemungkinan bah-
wa cerita-cerita ini disusun bukan hanya untuk menyampaikan “hasil” (makna), tetapi juga
agar “proses”-nya (pemaknaan) dihayati pembaca. Jelasnya si penulis (/orang percaya) mela-
lui cerita Kitab Suci yang disusunnya mengundang umat untuk ikut terlibat dalam “pergumulan
iman”-nya dalam mencari dan memberi makna di dalam cerita itu, maupun di luar cerita itu:
dalam kehidupan mereka di hadapan Tuhan [kutipan dari Adji A. Sutama, “Pembaca Diundang untuk
Terlibat”, dalam Majalah Gema Duta Wacana, Yogyakarta, No. 45 Tahun 1993, hlm. 86ff.].
- - - NR - - -

Tidak ada komentar: