24 Maret 2008

Roma 6 : 1 – 1 1

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Seperti yang sering Paulus lakukan dalam surat Roma ini, di sini sekali lagi ia memberikan suatu argumentasi dalam perdebatannya melawan penentang yang dikhayalkan. Pokok per- debatan itu timbul dari kalimat terakhir dari pasal yang lalu: “. . . di mana dosa bertambah ba- nyak [5:20], di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” Perdebatan [khayalan] itu ber- langsung demikian: Penentang: Kamu baru saja mengatakan, bahwa kasih karunia Allah cukup besar untuk memberi pengampunan untuk setiap dosa. Paulus : Begitulah. Penentang: Dengan demikian kamu mengatakan, bahwa kasih karunia Allah adalah sesuatu yang amat ajaib di bumi ini. Paulus : Begitulah. Penentang: Baiklah, marilah kita berbuat dosa. Makin banyak kita berbuat dosa, makin ber- tambahlah kasih karunia itu dilimpahkan. Berdosa itu tidak apa, karena Allah akan selalu mengampuni. Selanjutnya bisa kita katakan, bahwa dosa adalah hal yang baik, karena itu memberi kesempatan kasih karunia Allah dinyatakan. Ke- simpulan dari argumentasimu ialah, dosa menghasilkan sesuatu yng termulia di dalam dunia ini. Paulus sangat menentang pandangan seperti itu. Ia bertanya: “Apakah kamu berpendapat, bahwa seharusnya kita tetap berbuat dosa agar supaya memberikan lebih banyak kesempat- an kasih karunia dinyatakan? Allah melarang kita melakukan jalan yang seperti itu” [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Roma, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 127f.]. Informasi: Some people misunderstand this good news about a new life. They say that if God forgives us freely, then we can live as we like. But they do not know what it means to be “in Christ”. It means that what happened to Christ has happened also to us. He died on the cross --- we also died, we were buried, we have been raised with Him to a new kind of life, as our baptism shows us. We are not what we were. Now we belong to God, not to sin. Sin, which used to control us without our realizing it, has been conquered. Christians need to know this and to fight against anything of sin which remains in them [kutipan dari Roger Bowen, A Guide to Romans (London: SPCK, 1978), p. 81].

2. Eksposisi

Seperti sudah disinggung sedikit di muka, pasal ini dikaitkan dengan pasal-pasal sebelumnya dalam tiga pokok: [1] Pertanyaan dalam ayat 1 muncul dari pandangan yang diketengahkan dalam 5:20b: “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah”. Dalam pasal 6 inilah Paulus meluruskan kembali salah paham yang muncul dari pernyataan tadi. Jadinya 5: 20b dapat dianggap sebagai jembatan penghubung ke pasal 6 sekarang ini. [2] 5:12-21 menjadi landasan untuk ajaran Paulus tentang berada di “dalam Kristus”. Da- lam pasal 6 ini Paulus kembali menjelaskan pokok ini secara panjang-lebar. Jadinya tanpa membaca penggalan dari pasal 5 di atas, kita akan agak tersendat-sendat mengikuti uraian Paulus dalam pasal 6 ini. [3] Dalam 5:15-19 Paulus menguraikan bagaimana kita telah menjadi suatu keluarga baru dalam Kristus, bahkan menjadi “ciptaan baru”. Hubungan kekerabatan yang lama, ‘oleh A- dam’, telah berakhir. Dalam pasal 6 sekarang ini kenyataan tadi diutarakan dalam ungkapan- ungkapan “manusia lama kita telah turut disalibkan” (6:6) dan “kita telah mati” (6:2).Di sisi lain Paulus juga menyatakan bahwa kita terikut-serta dalam pembangkitan Kristus (ayat 4) dan bahwa kita “hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (ayat 11). Sebagaimana kita terikut-serta dalam dosa dan penghukuman Adam, maka sekarang kita pun terikut-serta dalam kematian dan hidup baru dengan Kristus. Melalui ungkapan “mati bagi dosa” (ayat 2) kita diantar masuk ke pasal 6 sekarang ini. De- ngan itu pula Paulus mengetengahkan kebebasan yang kedua: kebebasan dari dosa [kebebas- an pertama ialah dari hukum/Taurat]. Pokok ini sangat penting dipahami, kalau kita mau hidup sebagai orang Kristen [Sumber: Ibid.]. Informasi: Agar kita memahami ayat-ayat ini [6:1-14] dengan tepat, harus kita perhatikan bahwa istilah ‘mati’ dan ‘bangkit’ itu dipakai dengan pengertian yang berbeda- beda. Pembedaan itu akan membantu kita mencegah salah paham bila kita mengartikan perkataan Paulus dalam ayat-ayat yang menyusul. (1) Orang Kristen telah mati bagi dosa dalam pandangan Allah, yaitu saat Kristus mati bagi mereka pada salib. Begitu pula mereka telah bangkit bersama Kristus ketika Ia bangkit pada hari ketiga (bnd. Kol 3:1). (2) Mereka telah mati dan dibangkitkan dalam pembaptisan yang telah mereka terima. Dalam pembaptisan itu Allah memeteraikan bahwa Dia memandang kema- tian Kristus sebagai kematian mereka, dan kebangkitan Kristus sebagai kebangkit- an mereka. Di dalamnya orang Kristen menyatakan kepercayaan mereka akan ka- sih karunia Tuhan itu. (3) Orang Kristen dipanggil untuk dalam kehidupan sehari-hari ‘mematikan’ tabi- at mereka yang tetap cenderung pada dosa, dan menempuh kehidupan yang baru dalam ketaatan kepada Tuhan. (4) Mereka akhirnya akan sepenuhnya ‘mati bagi dosa’ pada saat kematian me- reka, dan akan bangkit untuk menerima kehidupan yang baru, yang tak dapat di- ganggu-gugat lagi, pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Keempat sudut pandangan ini berbeda-beda, namun terjalin, sebab sama-sama bertolak dari karya keselamatan Tuhan. Karya keselamatan itu berpangkal dalam kematian dan kebangkitan Kristus dan akan berakhir dengan kedatangan-Nya kem- bali, yang disusul oleh kebangkitan kita dalam kemuliaan yang baru (1 Kor 15) [ku- tipan dari Th. Van den End, Tafsiran Alkitab, Surat Roma (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 297f.]. 2.1. Ayat 4: Ayat ini menggambarkan persekutuan antara orang percaya dengan Kristus, yang telah tercipta oleh ‘baptisan ke dalam kematian-Nya’ (ayat 3). Persekutuan itu diungkapkan dengan kata-kata kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia. Dalam penafsiran kiasan singkat . . . seorang yang telah meninggal . . . [sanak- saudara dan handai taulan] menurunkannya ke dalam liang kubur, lalu [mereka] meninggalkan tempat itu --- pada sat itulah kita mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa si mati itu tidak lagi bersama kita. Begitu pula pembaptisan, yang menurut ayat 3 adalah baptisan (ke) dalam kematian, sekaligus merupakan perpi- sahan yang tuntas dengan kehidupan kita yang lama, manusia kita yang lama [kutipan dari Ibid., hlm. 303f.]. 2.2. Ayat 11: “memandang” merupakan terjemahan dari kata Yunani logizesthai. Istilah ini dipakai juga dalam 4:3 dan diterjemahkan “memperhitungkan”. Dalam 2 Kor 10:2 diterjemahkan “berpendapat”. Dalam ayat 11 ini artinya tidak sekedar “berpenda- pat”, tetapi “memperhitungkan” (Inggris: consider, understand). “Christian’s first duty is to understand what has happened to us . . . what [we] are in Christ. Kita telah mati bagi dosa bersama Kristus dan kita hidup bagi Allah, juga bersama Kristus. Ini adalah keyakinan iman. Dan keyakinan iman tersebut diungkapkan oleh kata kerja “memandang/memperhitungkan” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Bo- wen, op. cit., p. 85].

3. Excursus

Jangan Simpan John Geddie, misionaris dari Kanada, memberi diri untk memberitakan Injil di Kepulauan Vanuatu, Samudra Pasifik bagian Selatan. Sejak ia datang, hanya satu hal yang dilakukannya setiap hari: berbagi tentang Kristus yang telah mati dan bangkit bagi orang-orang Vanuatu yang belum pernah mendengarnya! Perjuangannya berpuluh-puluh tahun di sana berbuah nyata. Geddie yang mempelajari bahasa mereka dari nol, akhirnya berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Vanuatu. Dengan itu, ia telah membawa ribuan orang untuk mengenal, percaya, serta mengikut Kristus. Geddie setia melayani di pulau itu hingga akhir hayatnya. Saat ia meninggal, orang-orang memasang plakat peringatan bagi Geddie di gereja mereka, yang bertuliskan: “Ketika Geddie datang dan mendarat pada tahun 1848, di sini tidak ada orang kristiani. Ketika ia berpulang pa- da tahun 1872, di sini tak ada orang yang tidak mengenal Kristus”. Percaya bahwa Kristus menyelamatkan kita lewat pengurbanan-Nya, adalah langkah pen- ting yang pertama (Rm 10:9). Lalu, bila jiwa kita sudah diselamatkan, pantaskah kita berdiam diri? Paulus dan Geddie telah merasakan anugerah yang tak terukur melimpahi dan membaha- rui hidup mereka. Itu sebabnya dengan yakin mereka mengambil langkah kedua: menceritera- kan kebangkitan Kristus kepada mereka yang belum mendengar tentang Kristus (Rm 10:14, 15), agar mereka menemukan pengharapan bagi jiwa. Setiap hari, pasti ada seseorang yang perlu mendengar kabar baik tentang Kristus. Yesus telah mati untuk semua orang (Rm 10:12). Adakah kita hendak menyimpannya untuk diri sendiri? --- AW [kutipan dari Renungan Harian (Yog- yakarta: Yayasan Gloria, Rabu, 26 Maret 2008]. -

- - NR - - -

Kis 22 : 30 – 23 : 11

Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Latar Belakang Perikop

Sampai dengan ayat 20 dari fasal 22, kita disuguhi dengan pidato Paulus kepada orang-orang Yahudi yang justru berniat membunuh dia. Dalam garis besarnya pidato Paulus tsb. dapat di- bagi ke dalam tiga bagian: [1] Ayat 3-5 : Asal-usul dan pendidikan Paulus. [2] Ayat 6-16 : Pertobatan Paulus. [3] Ayat 17-21: Panggilan Tuhan untuk menginjili orang-orang bukan-Yahudi. Paulus diamankan oleh kepala pasukan Romawi di dalam markas sampai dia dapat diadili (ayat 23-29). Setelah kepala pasukan tahu bahwa Paulus adalah warga negara Roma, ia jadinya ditahan secara wajar dan sopan. Komandan itu belum mengetahui apa persoalan Paulus sebenarnya. Ketika sebelum ini Paulus berbicara kepada khalayak ramai, Paulus berbicara dalam bahasa Ibrani. Bahasa ini tidak dipahami oleh si komandan. Didorong oleh keinginan untuk mengetahuinya, si koman- dan menyuruh Paulus dan orang Yahudi berhadapan muka dengan muka. Memenuhi perintah tsb. diadakanlah Mahkamah Agama. Informasi: Pada akhir fasal 21 Paulus ditahan oleh serdadu-serdadu Roma itu agar ia dapat diaman- kan dari tangan orang Yahudi. Dari situ sampai akhir Kisah Para Rasul ini Paulus tetap berada dalam tahanan. Diduga bahwa peristiwa dalam fasal 21 terjadi kira-kira pada permulaan tahun 57 Masehi. Pada akhir fasal 28 Paulus sudah tiba di Roma dan tinggal di situ selama 2 tahun. Maka Kisah Para Rasul ini berakhir kira-kira pada tahun 61 Masehi. Jadi Paulus ditahan paling sedikit 4 tahun dan kemungkinan besar hampir 5 tahun ia ditahan. Selama tahanan ini Paulus bersaksi kepada: 1) Rakyat Yerusalem, 2) Kepala pasukan dan prajurit-prajurit Roma, 3) Mahkamah Agama orang Yahudi bersama Imam Besarnya, 4) Gubernur daerah Yudea --- Feliks, 5) Gubernur yang menggantikan gubernur itu --- Festus, 6) Agrippa II, raja propinsi Iturea, Trakhonitis dan Abilene, 7) Perwira dan pasukan Roma beserta penumpang-penumpang di kapal-kapal laut yang membawa Paulus ke Roma, 8) Kepala pulau Malta, 9) dan lain-lain. (Sumber dan kutipan dari R. Dixon, Tafsiran Kisah Para Rasul (Malang: Gandum Mas, 1997), hlm. 164].

2. Eksposisi

Dari fasal 23 bacaan kita sekarang ini, kita disuguhkan dengan pembelaan Paulus di depan Mahkamah Agung, berikut akibat-akibatnya. Ayat 1 --- Paulus mengatakan bahwa ia hidup dengan hati nurani yang murni. Dalam fasal 24:16 Paulus mengulangi kesaksian itu. Maksudnya: bukan Paulus sempurna dalam wataknya tetapi menurut Filipi 3:6 “dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercacat . . . .” Menurut 1 Korintus 4:4 dan ayat-ayat lainnya kita lihat bahwa Paulus masih merasa dirinya sebagai orang berdosa [kutipan dari Ibid.]. Refleksi: Free to Be Honest The foundation of a believer’s witness must be honesty. If we can be open with God about our own sinfulness (Ps. 51) and our continuing struggle with sin (Rom. 7:14-8:1), we won’t be prone to mislead others about sin and faith. God knows we aren’t sinless and He calls us to be honest (1 John 1:8). As Paul stood before the hostile Jewish council, he could honestly declare that he had a clear conscience (Acts 23:1). He said the same thing later when he and his accusers appeared before Governor Felix (Acts 24:16). That gave him tremendous freedom and boldness, even though his powerful opponents were hostile and wrong. Honesty and a clear conscience are not the same as perfection. Paul was by no means perfect, just honest about his failures. He apologized, for example, after lashing out in anger (Acts 23:5). But he was real. He didn’t cover up in an attempt to look good as a Christian witness. Jesus does not ask us to project an impossibly perfect image. That would be a lie. Instead, He challenges us to admit our failures. He also delights in forgiving us when we do (Mark 11:25). If we can be honest about ourselves with others, it can give them hope for their own failings and turn them toward our gracious God [kutipan dari What Does the Bible Say About . . .? (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2001), p. 202]. Ayat 2 --- Ananias, Imam Besar, A.D. 47-58/9. Informasi: Imam Besar itu dikenal sebagai seorang yang buruk wataknya dan sangat dibenci rakyat. Mahkamah agama ini tidak lain dari majelis yang menjatuhkan hukuman mati atas Tuhan Yesus dan Stefanus. Sejak kematian Tuhan Yesus itu telah berlalu 28 tahun dan oknum- oknum yang berkuasa di Mahkamah Agama ini tentu sudah banyak berobah. Akan tetapi sifat dewan ini masih buruk. . . . Pada tahun 66 [Ananias] dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang memberontak terhadap Roma. Nubuat Paulus dalam ayat ketiga digenapi [kutipan dari Dixon, op. cit.]. Ayat 3-5 --- “tembok yang dikapur putih-putih” (Inggris: “whitewashed wall” [NIV]), sebuah ungkapan yang menuduh/memaki Imam Besar sebagai seorang yang munafik (bnd. Mat 23:27). Rupanya Paulus tidak tahu siapa Imam Besar itu. Soalnya Paulus sudah lama tidak ada di Yerusalem dan pemerintah Roma suka menggantikan Imam Besar dari waktu ke waktu. Oleh karena pertemuan ini disuruh oleh kepala pasukan barangkali Imam Besar tidak berpakaian resmi [Sumber: Dixon, ibid.].

Refleksi:

Tentulah timbul pertanyaan, apakah Paulus tidak melanggar batas. Bahwa ia kemudian minta maaf ternyata bahwa memang ia telah melewati batas. Dalam hubungan ini kita teringat juga kepada perkara terhadap Juruselamat kita, yang tentangnya Petrus menulis dalam 1 Pet 2:23. Secara manusia dapat dimengerti ketajaman [mulut] Paulus. Tetapi menyumpah dan memaki tidaklah termasuk kewenangan Paulus [kutipan dati H. v. d. Brink, Tafsiran Alkitab: Kisah Para Rasul (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 359f.]. Ayat 6-10 --- Sehabis ditampar Paulus tidak melanjutkan pembelaannya. Ia mengapungkan doktrin “kebangkitan orang mati”, seperti yang diyakininya, yang membuat persidangan itu pecah terbelah. Orang-orang Farisi memihak Paulus, sedangkan orang-orang Saduki menolak dan menentang ajaran itu. Informasi: At all events two things stand out in the sequel: (i) Paul henceforth addresses the Pharisees by appealing to a doctrine which they and he as a Christian shared --- the resurrection of the dead (denied by Sadducees, the high-priestly party, 4.1,2; Mark 12,18, etc.), and in response he gains the approval of this part of the Jewish legislature (9). (ii) In the subsequent outworking of his relations with the Jewish leaders, his main enemies are the Sadducees (23.14) [kutipan dari R.P. Martin, Bible Study Books: Acts (London: Scripture Union, 1967), p. 75].

4. Refleksi

Ada sesuatu mengenai Injil Yesus Kristus yang terkadang menimbulkan ketakutan dalam diri orang-orang yang kepadanya Injil itu hendak membawa pengharapan. Yesus membawa kabar baik ke Yerusalem dan akibatnya, Ia pun dibunuh. Orang Kristen yang mengikuti teladan-Nya [a.l. Paulus] mendapati bahwa perkerjaan mereka yang baik dibalas dengan aniaya, penderitaan, dan bahkan kematian. Keberadaan kita yang penuh kemenangan di tengah umat Allah bisa menimbulkan rasa takjub, takut, aniaya, dan suka cita [cuplikan dari Saat Teduh, Minggu, 9 Apr 2006 (Jakarta: BPK-GM)].

- - - NR - - -

19 Maret 2008

Yesaya 2 6 : 1 9

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Konteks:

Yes 26:7-19 (“A Prayer of Entreaty and Trust”) Penggalan ini dimulai dengan pernyataan/seruan keyakinan akan kebenaran/keadilan Yahweh (ayat 7). Lalu dimulai dengan ayat 8 tersirat keluhan, bahkan protes, dari umat dan memohon Yahweh agar bertindak tegas (ayat 9, 11b) dalam mewujudkan kebenaran/ keadilan. Ini muncul dari apa yang mereka lihat dan alami, seperti yang diketengahkan dalam ayat 10-11 --- “Seandainya orang fasik dikasihani, ia tidak akan belajar apa yang benar . . . Ya Tuhan, tanganMu dinaikkan, tetapi mereka tidak melihatnya.” Dalam ayat 12-15 kembali disuarakan keyakinan mereka bahwa Allah akan memberikan mereka damai sejahtera. Walaupun mereka pernah tunduk pada tuan-tuan/ilah-ilah lain, tetapi hanya Yahwehlah yang mereka akui dan masyhurkan. Dalam ayat 16-18 kembali disua- rakan keluhan kesesakan umat. Mereka merasakan kesakitan bagaikan seorang perempuan yang akan bersalin. Akhirnya ayat 19 menyuguhkan jawaban: “Ya, Tuhan, orang-orangMu yang mati akan hidup pula, mayat-mayat mereka akan bangkit pula.” Tersirat dalam ayat ini pertanyaan tentang bagaimana “nasib” orang-orang yang telah mati dalam masa penantian, yang menaruh pengharapan kepada Tuhan, namun tak sempat terpenuhi semasa hidup mereka. Apakah “nasib” mereka akan sama dengan orang-orang yang tak benar? Berdasarkan ayat 19 ini, jawabannya jelas: Tidak! Jadinya ayat ini memaklumatkan kebangkitan orang-orang yang benar dan dengan itu merupakan pernyataan paling dini tentang kebangkitan orang mati dalam Alkitab [Sumber: Peake’s Commentary on the Bible (London: Thomas Nelson, 1972), p. 507 dan Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1997), p. 111].

2. Kebangkitan apakah yang Yesaya maksudkan?

Bisa saja kita langsung beranggapan bahwa yang dimaksud oleh Yesaya adalah kebangkitan orang-orang benar (bnd. Dan 12:2; 1Kor 15:51-52) pada hari-hari terakhir. Namun kalau diamati dari konteksnya, di mana Yesaya menyuarakan keluhan umat Yehuda sehubungan dengan penderitaan mereka, maka kita juga bisa beranggapan bahwa disini Yesaya berbicara tentang kebangkitan dalam arti restorasi umat Yehuda [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: 2003), p. 1014]. Informasi: Di dalam PL juga sudah ada harapan akan kebangkitan orang mati . . . , sekalipun gambaran orang beriman mengenai maut adalah suram sekali. . . . Hal itu semua- nya menjadikan orang saleh takut akan mati. Mereka berharap jangan sampai ma- ti pada pertengahan umur hidupnya (Mzm 102:24,25), dan mereka yakin, bahwa umur orang jahat disingkatkan (Ams 10:27). . . Sekali pun demikian, di dalam PL ada keyakinan bahwa keadaan orang di da- lam alam maut itu tidak sama. . . . Mati bukannya dipandang sebagai suatu nasib yang tak dapat diatasi. Tuhan adalah Allah yang hidup, yang lebih kuasa daripada maut dan alam maut . . . Kuasa Tuhan itu akan dinyatakan di dalam Ia akan me- nelan maut dengan kemenangan (Yes 25:8), menghidupkan kembali orang ber- iman dan membangkitkan jenazahnya (Yes 26:19), sehingga mereka akan gemer- lapan seperti terang cuaca di langit kekal selama-lamanya (Dan 12:2.3) [kutipan dari Haroen Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK-GM, 1973), hlm 386 dst.]. There are two Old Testament passages, both of them in the prophets, which explicitly speak of the resurrection of the body. The first of these is Isaiah 26:19 . . . Isaiah here contrasts the future lot of the believing dead . . . with the lot of Judah’s enemies, about whom he had spoken in verse 14 . . . Isaiah 26:19, therefore, speaks only about the future bodily resurrection of believers --- specifically of believers among the Israelites [kutipan dari Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1979), p. 245]. . . . about man’s personal future [in the Old Testament] . . . One can refer to Isa. 26:19 and Dan. 12:2, and possibly to Ps. 16:9-11; 49:16; 73:25f. Very likely all those statements are from a rather late phase of OT covenant history. At first the individual person was only a part of the nation as a totality, and only gradually did he become detached from it. Until NT era, the promise concerning the individual person remained a matter of dispute (Matt. 22:23; Acts 23:8); the decisive answer was only given in Jesus’ resurrection (1 Cor. 15:12-22) [kutipan dari Hendrikus Berkhof, Christian Faith, trans. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1983), p. 485]. In connection with the coming Day of the Lord the Old Testament prophets also envisioned the resurrection of both the righteous and the unrighteous (Job 19:25-27; Ps. 73:24-25; Isa 26:19; Dan 12:2; see Matt. 22:29-32; Heb. 11:10, 13- 16, 19) and a judgment to follow (Ps. 50:4-6; Eccles. 12:14; Mal. 3:2-5). All of these things loomed on the horizon for the Old Testament believers who had neither a clear understanding of when these things would come to pass nor a complete blueprint of how these events would all be related temporally to each other. Even the prophets themselves, Peter informs us, “searched intently and with the greatest care, trying to find out the time and circumstances to which the Spirit of Christ in them was pointing when he predicted the suffering of Christ and the glories that would follow.” But Peter also states that at least this much was revealed to them --- “that they were not serving themselves but [the faithful of a coming age], when they spoke of the things that have now been told . . . by those who have preached the gospel . . . by the Holy Spirit sent from heaven” (1 Pet. 1:10-12) [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), p. 988].

3. Untuk Diskusi

Pertanyaan: Hiburan apakah yang saudara dapat dari kebangkitan daging? [kutipan dari Pengajaran Agama Kristen (Katekismus Heidelberg), “Pertanyaan Minggu ke-22”, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1982), hlm. 37]. (Untuk jawabannya, lih. Ibid.) - - - NR - - -

Ibrani 7 : 1 1 – 2 5

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Dengan merenungkan Kitab Suci dalam terang sengsara dan kebangkitan, pengarang Surat kepada orang Ibrani menyadari bahwa imamat yang lama mencapai kepenuhannya dalam Yesus Kristus dan ia menunjukkan kepada kita hubungan antara Harun dan Kristus dalam bentuk kesamaan dan kesinambungan. Inilah yang ditekankan dalam bab sebelumnya. Namun demikian, hubungan ini tidak secara penuh menerangkan imamat Kristus. Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar. Pengarang surat sadar sepenuhnya akan perbedaan- perbedaan ini dan tidak ragu-ragu untuk berbicara mengenai imamat yang berubah (7:12). [ . . . ] Ada kesinambungan yang sungguh-sungguh; namun selalu ada perbedaan-perbedaan dan pada titik tertentu ada perbedaan yang mendasar dan tampak dari sana adanya peningkatan ke tingkat yang lebih tinggi. Apa yang berlaku bagi sejarah penyelamatan, dalam kadar terten- tu berlaku juga bagi tahap-tahap kehidupan rohani kita. Dalam hubungan dengan imamat Kristus, perbedaan-perbedaan itu tidak kecil. Perbedaan -perbedaan itu bahkan ditekankan dalam bagian-bagian yang menunjukkan kesamaan. Defini- si imam besar (5:1-4) dan penerapannya pada Kristus (5:5-10) tidak persis cocok dalam hal kegiatan pengorbanan [kutipan dari Albert Vanhoye, Kristus Imam Kita menurut Surat kepada Orang Ibrani, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 37f.].

2. Eksposisi

2.1. Imamat yang lama perlu diganti dengan imamat yang baru (7:11-19) Ayat 7:11: “. . . andaikata oleh imamat Lewi telah tercapai kesempurnaan . . . apakah sebabnya masih perlu seorang yang lain ditetapkan menjadi imam besar menurut peraturan Melkisedek . . .?” Pikiran penulis berkembang dari pokok pembicaraan tentang imamat Melkisedek kepada keempat hal berikut ini: Dengan adanya imamat Melkisedek terbukti bahwa imamat Lewi tidak memadai. Bahwa Yesus berasal dari suku Yehuda [dan bukan dari suku Lewi] berarti Ia berada di luar imamat Lewi. “Untuk selama-lamanya” mengenai imamat Melkisedek membukti- kan bahwa imamat Lewi tidak dapat bertahan seterusnya. Dengan adanya imamat yang baru berarti seluruh hukum Taurat harus diganti dengan sistem hukum yang baru karena imamat Lewi tidak dapat dipisahkan dari hukum Taurat. Dengan mengemukakan hal-hal tersebut terbukti bahwa hukum Taurat sudah diganti dengan suatu pola yang baru. Ini sesuai dengan yang dikata- kan oleh Rasul Paulus dalam 2 Korintus 3:7-11 di mana hukum Taurat dika- takan pudar. Di sini istilah “Perjanjian Baru” tidak dipakai, tetapi gagasan tersebut tersirat dalam semua diskusi ini [kutipan dari Dave Hagelberg, Tafsiran [Surat] Ibrani (Bandung: YKH, 1999) hlm. 41f.]. Informasi: . . . pengarang membaca kembali kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab Kejadian yang berhubungan dengan Melkisedek (Kej 14:18-20; Ibr 7:1-3). Oleh karena cara Melkisedek diperkenalkan dalam kisah tersebut, penga- rang tidak menemukan kesulitan untuk mengenal dalam diri Melkisedek, pre-figurasi Kristus mulia, raja dan imam, yang lebih besar daripada Abra- ham (7:6-7 bdk. Yoh 8:58) dan dengan demikian juga lebih besar daripada imam-imam Yahudi. Kuasa imamat Kristus tidak disebabkan Ia termasuk dalam keluarga imam [ingat: Yesus bukan dari suku Lewi]. Kuasa itu dimiliki karena Ia mempunyai kehidupan abadi (7:16), hidup Putra Allah, hidup yang berkat sengsara-Nya, mekar dalam kemanusiaan-Nya yang mulia (7:3,28). Maka hubungan Kristus mulia dengan Bapa-Nya sama sekali melebihi imam besar dengan Allah [dalam cara dan pemahaman] yang lama [kutipan dari Vanhoye, op. cit., hlm. 41]. When the writer to the Hebrews says that the people became a people of the law on the basis of the Levitical priesthood, he means that without the Levi- tical sacrifices to atone for breaches of it, the law would have been complete -ly impossible. But, in fact, the system of Levitical sacrifices had proved in- effective to restore the lost fellowship between God and man. So then a new priesthood was necessary, the priesthood after the order of Melchizedek [ku- tipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Letter to the Hebrews (Edinburgh: the Saint Andrew, 1987), p. 78].
2.2. Imam yang baru lebih baik daripada imam yang lama (7:20-28). Dengan mengemukakan “sumpah” yang diucapkan Allah, penulis membuktikan bah- wa Imam yang baru lebih baik daripada imam yang lama. Ia juga mengingatkan para pembaca bahwa Dia yang menjadi Imam Besar itu adalah “sempurna”, dan tidak seperti imam-imam yang perlu ditebus dari “dosa” mereka sendiri [kutipan dari Hagelberg, op. cit.]. Informasi: Imamat Kristus tidak mengandung kelemahan yang terdapat dalam ima- mat yang lama. Imam-imam Yahudi tidak berubah sesudah pengangkatan mereka. Kelemahan-kelemahan mereka tetap ada dalam diri mereka seperti sebelum diangkat (7:28). Mereka adalah makhluk yang dapat mati dan kema- tian mengakhiri peranan mereka (7:23). Meskipun secara ritual mereka dipi- sahkan dari orang-orang berdosa, mereka sendiri sebenarnya juga orang ber- dosa yang tidak mampu untuk dekat dengan Allah (9:8-10). Kemanusiaan Kristus seutuhnya diperbaharui lewat sengsara yang membawa-Nya kepada kemuliaan. Tidak lagi dapat dicemarkan oleh kelemahan. Kristus yang bangkit tidak mati lagi, dan oleh karena itu imamat-Nya juga tidak akan berakhir dan noda tidak menyentuh-Nya lagi (7:26) [kutipan dari Vanhoye, op. cit.]. Sumpah berfungsi untuk menjamin kebenaran dari apa yang dinyatakan se- seorang. Untuk Allah sebenarnya sumpah tidak dibutuhkan, karena Ia tak mungkin berbohong. Jadinya kalau Allah sampai bersumpah (ayat 21), itu berarti bahwa pernyataan yang disampaikan-Nya itu dengan sumpah adalah sungguh-sungguh amat sangat penting. Dengan itu jelaslah bahwa keimamat- an Kristus tak akan pernah berakhir. Dan di sini pulalah letak perbedaannya dengan ke-imamat-an para imam Yahudi. Kematian mengakhiri peranan me- reka (7:23) [Sumber: Barclay, op. cit., p. 80]. Ayat 22 : Justru karena ke-imamat-an Kristus itulah maka “Yesus adalah jaminan [RSV: “surety”] dari suatu perjanjian yang lebih kuat.” Informasi: Hanya di sini sajalah istilah “jaminan” dipakai dalam Perjanjian Baru. Perlu dipahami bahwa gagasan “jaminan” disini bukanlah berarti bahwa Yesus menjadi “jaminan” kita di hadapan Allah. Justru sebaliknya, Yesus-lah yang menjadi “jaminan” dari Allah bagi kita. “Jesus is God’s surety to us! . . . By all that Jesus was and is, by all the clean strength of the Man, by all the deep wisdom of the teaching, by all the completeness of his sacrifice, Jesus is the guarantee of God to man. He is himself God’s pledge that the covenant will not be broken [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari The Interpreter’s Bible, Vol. XI (Nasville, Tenn.: Abingdon, 1955), “Exposition”, p. 670].

3. Excursus MELKISEDEK.

Ibrani malki-tsedeq, artinya ‘Sedek ialah raja (ku)’ atau seperti dalam Ibr 7:2 ‘raja kebenaran’. Dia raja Salem (mungkin kota Yerusalem) dan imam ‘Allah Yg Mahatinggi’ (‘el ‘elyon), yg menyongsong Abram sekembalinya dari perang melawan Kedorlaomer dan sekutu-sekutunya. Melkisedek memberi Abram roti dan anggur, memberkati dia dalam Nama Allah Yg Mahatinggi, dan menerima dari Abram sepersepuluh rampasan dari tangan musuh (lih Kej 14:18 dab). [ . . . ] Dalam Mzm 110:4 seorang raja keturunan Daud ditetapkan dengan sumpah menjadi ‘imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek’. Latar belakang penetapan ini terdapat dalam hal penaklukan Yerusalem oleh Daud kr thn 1000 sM, dan berdasarkan ini Daud dan keturunan- nya menjadi ahli waris atas jabatan imam-raja dari Melkisedek. Raja yg ditetapkan dengan cara demikian disebut oleh Yesus dan orang-orang sezaman-Nya sebagai Mesias, anak Daud (Mrk 12:35). Jika Yesus ialah Mesias, anak Daud, Dia harus menjadi ‘imam untuk selama- lamanya menurut Melkisedek’. Kesimpulan yg tak terelakkan ini diambil oleh penulis Ibr, yg mengembangkan temanya tentang keimamatan Tuhan Yesus di sorga berdasarkan Mzm 110:4, dengan penjelasan dari Kej 14:18 dab; di situ Melkisedek tampil dan menghilang tiba- tiba tanpa keterangan tentang kelahirannya atau kematiannya, asal nenek moyangnya atau keturunannya, dalam suatu cara yg menjelaskan bahwa kedudukannya lebih tinggi dari Abram, dan tanpa disebut-sebut dari keimaman keturunan Harun sebagai keturunan Abram. Maka dengan itu ditetapkan bahwa keimaman Kristus lebih tinggi dari keimaman Lewi zaman PL (Ibr 5:6-11; 6:20-7:28). Suatu naskah (yg robek) dari Gua 11 di Qumran . . . menggambarkan Melkisedek sebagai Hakim yg ditentukan Allah di pengadilan sorgawi, atas dasar Mzm 77 dab; 82:1 dab . . . [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm 50]. - - - NR - - -

Amsal 16 : 1 - 4

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar Amsal, Kitab.

Judul Ibraninya misyle, ‘amsal dari’, adalah singkatan dari misyle syelomoh ‘amsal-amsal Salomo’, 1:1. Sebagai himpunan dari kumpulan-kumpulan amsal, Ams adalah kitab panduan bagi hidup yg berhasil. Tanpa secara langsung menekankan tema-tema pro- fetis yg besar (ump perjanjian) Ams menunjukkan bagaimana iman khusus Israel mempenga- ruhi hidupnya yg umum [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 46]. Hebrew wisdom is the art of success, and Proverbs is a guidebook for successful living. By citing and illustrating both negative and positive rules of life, Proverbs clarifies right and wrong conduct in a host of situations. . . . their aim was to apply the principles of Israel’s covenant faith to everyday attitudes and experiences. The laws of love (Lev. 19:18; Deut. 6:5; cf. Mark 12:29-31) are central Old Testament emphases, and Proverbs serves as an extended commentary on them. Every true Israelites was bound to view God’s law as an unconditional obligation demanding full allegiance and total obedience. [ . . . ] The prime mission of Proverbs is to spell out strikingly, memorably, and concisely just what it means to be fully at God’s disposal [kutipan dari William Sanford LaSor, et. al., Old Testament Survey (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1990), pp. 547f.]. . . . Prov. has an anthropological focus. It looks at man qua man, rather than in the light of God. The human will, rather than the redeeming action of God, is the decisive factor in a man’s destiny. . . . The way of knowledge rather than the life of faith is dominant in the Wisdom Movement [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (London: Thomas Nelson, 1972), p. 444]. Bacaan kita hari ini termasuk dalam kumpulan ‘Amsal-amsal Salomo’ (10:1-22:6). Kurang lebih 375 amsal muncul dalam kumpulan ini. Bagian terbesar dari amsal- amsal ini tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Informasi: Sekalipun nada keagamaan diperdengarkan (bnd 15:3, 8-9, 11; 16:1-9 dab), na- mun bagian terbesar amsal-amsal [dalam kumpulan ini] tidak menunjuk secara khusus kepada iman Israel, melainkan didasarkan atas pengamatan-pengamatan praktis dari hidup sehari-hari [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, loc. cit.].

2. Eksposisi

Ayat 1 – 4 (9, 33): Mengapa harus mengambil keputusan, kalau pada akhirnya Allah sendiri jugalah yang menentukan “kata terakhir”? Informasi: God’s overriding veto sounds strange in a book about how to make wise choices. But it is consistent with the rest of the Bible. We are urged to act wisely, for our life’s outcome depends on these decisions. Yet, despite what we decide to do, God has the final word. For the wise, this is a comforting thought: God is in control. For the foolish, however, it’s a source of frustration, because God will overrules misdirected plans [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 921]. The Bible nowhere suggests that men are free from God’s decretive will or providential governance. In fact, everywhere it affirms just the contrary. It teaches that God’s purpose and his providential execution of his eternal purpose determine all things. ……………………………………………………………………………………………….
The wise man of Proverbs 16 acclaimed God’s sovereign rule over men when he declared: “To man belong plans of the heart, but from the Lord comes the reply of tongue” (Prov. 16:1); again, “The Lord has made everything for himself, even the wicked for the day of evil” (v. 4); yet again, “In his heart a man plans his course, but the Lord determines his steps” (v.9); and finally “The lot is cast into the lap; but its every decision is from the Lord (v. 33)

3. Excursus: “PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN KEMAHAKUASAAN ALLAH”

[kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), pp. 356 and 362]. Kadang-kadang saya ditanyai, “Jika Allah itu mahakuasa, mengapa saya susah-susah mengambil keputusan?” Jelaslah bahwa orang yang mengajukan pertanyaan ini mendefinisikan kemahakuasaan sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk mengambil keputusan. Pastilah mereka berpikir bahwa kemahakuasaan Allah-lah yang menyebabkan segala sesuatu terjadi sebagaimana kita lihat sehingga tidak ada seorang pun yang dapat berbuat apa-apa. Jika demikian, mengapa harus berpura-pura menjadi pemeran yang penting yang keputusan- keputusannya sangat berpengaruh? Keputusan kita tidak akan berarti: apa yang harus terjadi, akan terjadi. [ . . . ] Jadi, yang paling penting ialah menjaga agar kita tidak salah mendefinisikan kemahakua- saan Allah. Kedaulatan-Nya tak boleh dikacaukan dengan determinisme apa pun juga. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya untuk menjalankan pemerintahan secara bertang- gung jawab di bumi. Ia membuat kita mampu mengasihi Dia dan mengadakan hubungan de- ngan Dia. Tak satu pun dari hal-hal ini menjadi masuk akal kecuali kita adalah pelaku-pelaku yang tidak ditentukan. Sudah tentu Allah mengambil risiko ketika menciptakan makhluk bebas seperti kita. Akan lebih mudah bila Ia memprogramkan kita untuk melakukan hal-hal yang benar sepanjang waktu. Tetapi pastilah Allah menganggap bahwa risiko itu sudah sepantasnya. Pasti, Ia telah mempertimbangkan kemungkinan membuat manusia yang berfungsi seperti mesin. Tetapi ia memutuskan untuk tidak berbuat demikian. Sebagai gantinya Ia membuat makhluk yang ber- kehendak bebas. Mungkin hal itu disebabkan karena Ia ingin mengadakan perjanjian pribadi dengan manusia. Jikalau demikian, kebebasan adalah sangat perlu. Saudara tidak dapat mengadakan hubungan kasih yang dipaksakan. [ . . . ] Sekarang kita dapat menjawab pertanyaan yang mula-mula itu. Jika Allah berdaulat dan mahakuasa, mengapa kita harus bersusah-payah mengambil keputusan? Sebenarnya ke- daulatan Allah bersifat fleksibel yang mengajak kita untuk bekerja sama di dalam mencapai masa depan. [ . . . ] Keputusan kita memang penting karena Allah menghormatinya ketika Ia membentuk masa depan. Kemahakuasaan Allah dibesarkan, bukan berkurang, ketika kita menyadari bahwa Ia telah memberikan kita kebebasan sesungguhnya. Martabat kita tidak mungkin lebih besar daripada ketika kita melihat betapa Allah sendiri mementingkan keputusan kita. “Kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian . . . Pilihlah kehidupan” (Ulangan 30:19) [kutipan dari Clark H. Pinnock, “Pengambilan Keputusan dan Kemahakuasaan Allah” dalam Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 848ff., huruf-huruf miring oleh NR].

4. Refleksi

Kita boleh memikirkan masa depan dan merencanakan kehidupan secermat mungkin, tetapi Allah yang akan menentukan. Dialah yang akan mengubah impian kita menjadi kenyataan --- atau membe- lokkan kehidupan kita ke arah yang sama sekali berbeda dari rencana semula. Chuck Colson adalah seorang pengacara muda cemerlang yang berencana meniti tangga pengaruh dan kekuasaan. Sebagai pengacara khusus Presiden Nixon, karirnya terus menanjak sampai Tuhan campur tangan dalam hidupnya. Karena keterlibatannya dalam merahasiakan skandal Watergate, ia dimasukkan ke dalam penjara. Selama masa krisis inilah ia berpaling kepada Kristus. Kini ia bersaksi bahwa pelayanannya sebagai direktur Prison Fellowship (Persekutuan Narapidana) jauh lebih berharga dari pada kehidupannya dahulu di dunia politik yang tidak mengenal Allah. Kita semua pernah mengalami perubahan arah hidup. Kita berencana melakukan sesuatu tetapi kemudian ternyata kita melakukan sesuatu yang lain. Sebagai mahasiswa sekolah Alkitab, saya beren- cana menjadi seorang pendeta. Akan tetapi, Allah mengarahkan langkah kaki saya dan memimpin saya untuk masuk ke ladang pelayanan dengan menjadi pendidik, penulis, dan penyunting. Jika kita percaya kepada Tuhan, maka kita tidak perlu panik atau kecewa ketika rencana-rencana kita gagal atau arah hidup kita diubah secara tiba-tiba. Memang bijaksana untuk menyusun rencana, tetapi pada akhirnya Tuhanlah yang mengarahkan hidup kita sesuai dengan kehendak-Nya. Dan jalan- Nya selalu jauh lebih baik dari jalan yang kita pilih. DCE [kutipan dari Renungan Harian, 21 Agustus 1998, terj. (Yogyakarta: Yayasan Gloria/RBC Ministries)].
- NR -

09 Maret 2008

Lukas 2 3 : 4 4 – 4 9

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Cicero menggambarkan penyaliban sebagai “hukuman yang paling kejam dan memuakkan”, dan Yosefus [sejarawan berkebangsaan Roma asal Yahudi] menyebutnya sebagai “cara ke- matian yang paling menyedihkan”. Hukuman seperti itu pada mulanya hanya diterapkan kepa- da budak-budak, tetapI pada zaman Yesus warga Roma yang memberontak di provinsi- provinsi dihukum mati dengan cara itu juga. Sangat mengerikan melihat orang menggeliat dan berteriak di kayu salib, dan pemandangan itu dianggap merupakan pencegah pemberontakan yang efektif. Orang-orang Yahudi tidak biasa mempergunakan hukuman itu, namun di Yudea di bawah penjajahan Roma sering terjadi hukuman penyaliban, acap kali dalam jumlah besar sekaligus [ . . . ] Namun kalau cara kebengisan bukan sesuatu yang luar biasa dalam peristiwa penyaliban, ada perbedaan yang jelas dalam korban itu sendiri. Antara lain Dia [Yesus] mati sangat cepat; orang-orang yang disalibkan sering bergumul dengan rasa nyeri selama dua atau tiga hari, se- dangkan Yesus mati dakam waktu beberapa jam saja. Kebanyakan korban mengalami kesa- kitan yang luar biasa pada mulanya, kemudian lambat laun kehilangan kesadarannya; se- dangkan Yesus --- dinilai dari ucapan-ucapan-Nya pada kayu salib --- tetap sadar penuh sampai akhir. Ia menolak minuman membius yang biasa disediakan oleh ibu-ibu Yerusalem yang baik hati guna mematirasakan korban; misi-Nya adalah untuk menderita, dan Dia mene- rima hal itu dengan alam pikiran yang jernih. Ketika Yesus mati, Ia mati tiba-tiba, seakan- akan dengan tindakan kehendak-Nya yang sengaja. Kitab-kitab Injil memberi kesan bahwa Yesuslah, bukan penjaga-penjaga Roma ataupun imam-imam yang mengejek-ejek itu, yang menguasai keadaan [kutipan dari R.T. France, Yesus Sang Radikal, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 147f.].

2. Eksposisi

2.1. Yesus menghembuskan nafasNya yang terakhir (44-49). Bnd. Mat 27:45-56 dan Mrk 15:33-41. 2.2. Bagaiman memaknai tabir Bait Suci yang terbelah dua (ayat 45)? Tabir yang dimaksud memisahkan ruang kudus dari ruang maha kudus. Ruang maha kudus itu menyimbolkan kehadiran Allah (Kel 26:31-33). Tabir tadi menjadi pemi- sah antara Allah dan umat. Jadinya ketika tirai tadi terbelah dua (mungkin karena gempa) dan yang bertepatan dengan saat Yesus menghembuskan nafas-Nya yang terakhir, maka secara dramatis diungkapkan bahwa dengan kematian Yesus itulah, maka terbukalah jalan (“access) kepada Allah (Ibr 9:1-15; 10:19-22) [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1432]. 2.3. “Ya, Bapa, kedalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (ayat 46). Dengan menambahkan kata “Bapa”, Yesus mengucapkan doa dari Mzm 31:2, dan dengan itu pula Ia menyerahkan nyawaNya. Doa yang sama diajarkan oleh setiap ibu Yahudi kepada anaknya sebagai doa sebelum tidur. Dengan menambahkan kata “Ba- pa”, maka Yesus memberi kesan bahwa Ia tertidur dalam pelukan dan/atau pangkuan BapaNya [Sumber dari William Barclay, Id., the Gospel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981)), p. 288].

3. Renungan

KE DALAM TANGAN ALLAH “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” --- Lukas 23:46 Jika puncak rasa aman seseorang adalah untuk mengabdikan hidup dan mati seseorang ke dalam tangan Allah, maka kata-kata terakhir dari atas kayu salib inilah yang merupakan bahasa keselamatan. Inilah jenis keamanan yang Yesus maksudkan ketika Dia berkata, “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-perkerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku. Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar daripada siapa pun, dan seorang pun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa. Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:25-30). Ezra dan Nehemia memberi kesaksian tentang keamanan mereka dalam situasi yang berbahaya selama tangan Allah yang baik melindungi mereka. Mungkin Anda pun mempu- nyai pengalaman yang didalamnya Anda sangat sadar akan perlindungan tangan Allah yang baik. Perlindungan Allah itu mungkin terjadi saat Anda mengalami kesulitan keuang- an, atau menderita sakit-penyakit yang parah, atau ketika Anda mengalami kecelakaan yang fatal. Di dalamnya dan melaluinya Anda tahu bahwa tangan Allah yang baik senan- tiasa menyertai Anda. Mengabdikan hidup kita berulang kali ke dalam tangan Allah yang telah dipaku di atas kayu salib merupakan latihan yang baik. Marilah kita mengungkapkan keyakinan kita di da- lam kemampuan-Nya untuk memelihara kita dari bahaya fisik maupun rohani [kutipan dari Re- nungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2001)), hlm. 29]. 4. Excursus Siapa yang membunuh Yesus? Pernah dikemukakan pendapat bahwa hanya [ini]lah yang terjadi: Yesus seorang peru- suh politik, dan oleh karena itu Ia dihukum mati oleh Roma. Bahwa sebenarnya pihak pim- pinan Yahudilah yang mendesak supaya Yesus dibunuh, dianggap karangan Kristen, agar agama Kristen mendapat nama baik dalam pandangan Roma. Tetapi teori ini terbentur bu- kan hanya pada laporan-laporan yang lengkap dari kitab-kitab Injil tentang pertikaian terus- menerus antara Yesus dan para pemimpin Yahudi, dan pada tradisi Kristen yang paling di- ni, melainkan tradisi Yahudi sendiri yang menyatakan orang-orang Yahudilah yang bertang- gung jawab atas kematian Yesus. Talmud menyajikan seluruh pengadilan dan kematian Yesus sebagai pelaksanaan hukum Yahudi, tanpa menyebut peranan wali negeri Roma di dalam menjatuhkan keputusan, sedangkan Yosefus mengatakan bahwa Pilatus menyalib- kan Yesus “berdasarkan tuduhan dari pemimpin-pemimpin di antara kita”. Begitu juga Cel- sus, seorang yang anti-Kristen pada akhir abad kedua, menyebut seorang Yahudi fiktif yang beranggapan orang-orang Yahudilah yang “menyatakan-Nya bersalah, memvonis- Nya dan menyatakan bahwa Ia harus dihukum.” Dukungan yang lain lagi diberikan dalam sepucuk surat dari seorang guru Siria bernama Mara bar Serapion, yang mungkin bukan Yahudi maupun bukan Kristen. Dia menulis ten- tang kebodohan orang Yahudi di dalam “menghukum mati raja bijaksana mereka”, dan se- bagai akibatnya bangsa mereka hancur dan tersebar. Sekali lagi tidak disebut adanya pe- ranan Roma dalam pengadilan-Nya. Semuanya ini mendukung laporan kitab-kitab Injil bahwa keputusan Pilatus diberikan di bawah tekanan Yahudi, dan para pemimpin Yahudilah yang terutama bertanggung jawab atas kematian Yesus. Dari fakta itulah menyusul sejarah yang mengerikan, yakni pengani- ayaan orang-orang Yahudi oleh pihak Kristen, yang masih belum berakhir. Tentu tidak ma suk akal untuk mempersalahkan generasi orang Yahudi kemudian untuk apa yang dilaku- kan nenek moyang mereka. Lagi pula, seperti telah kita lihat di atas, pertentangan terhadap Yesus tidak berasal dari bangsa Yahudi secara menyeluruh, tetapi hanya dari kelompok yang berkuasa. Bahkan pada saat-sat terakhir pun, mungkin sekali hanya segelintir orang tertentu yang menyerukan, “Salibkan Dia!” [kutipan dari France, op. cit., hlm. 149f.]. - - - NR - - -

Yesaya 5 3 : 1 - 3

(Beberapa Cattan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar Fasal pembacaan kita (Yes 53) termasuk dalam penggalan besar Yesaya fasal 40-55. Para ahli Perjanjian Lama menamakan penggalan besar ini Deutero Yesaya. Nabi Deutero Yesaya hanya membawakan berita keselamatan saja. Dia tidak bernubuat bahwa keselamatan itu akan da- tang, melainkan bahwa keselamatan itu sudah datang. Masa pembuangan di Babel sudah sele- sai, masa penderitaan sudah berakhir (bnd. Yes 40:1-2). Informasi: . . . kuasa baru [muncul] di Timur Tengah kuno, yaitu kerajaan Persia. Raja Per- sia adalah Koresy (atau Cyrus dalam bah. Yunani), yang memerintah antara tahun 558-529 seb. M. Koresy itu berhasil mengalahkan kerajaan Madai (550) dan kera- jaan Lydia (546). Kemudian Koresy menyerang kerajaan Babel yang sudah lemah oleh karena ketegangan dalam negeri. Pada tahun 538 seb. M. Koresy memasuki kota Babel. Dengan demikian kuasa di Timur Tengah Kuno telah dialihkan kepada kerajaan Persia. [ . . . ] Raja Koresy memperkembangkan politik baru terhadap bangsa-bawahan [ta- wanan]. Dalam zaman Babel, semua bangsa-bawahan diangkut ke dalam pembu- angan ke Babel. Tetapi raja Koresy mengizinkan semua buangan untuk kembali ke negeri-asalnya. Dengan demikian, raja Koresy mengakhiri pembuangan bang- sa Israel ke Babel itu (th. 538 seb. M.). Penggalan bacaan kita termasuk dalam nyanyian-nyanyian Hamba Tuhan. Dalam Deutero Yesaya terdapat empat nyanyian Hamba Tuhan, yaitu [i] Yes 42:1-4; [ii] Yes 49:1-6; [iii] Yes 50:4-9; [iv] Yes 52:13 – 53:12 [Sumber dan kutipan dalam Informasi dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm 82ff.].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 1: “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” Baca Yoh 12:38; Rm 10:16. Yohanes dan Paulus mengutip ayat ini untuk me- nyatakan bahwa banyak orang-orang Yahudi tidak mempercayai Injil tentang Kristus/Mesias itu [Sumber Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1059] Informasi: The speakers in 53:1-6 are witnesses. We no longer see the Servant through the eyes of outsiders, but through the eyes of insiders, Israelites who have come to understand the meaning of the Servant’s sufferings, and announce it to the world. It is through their witnesses that those who formerly had not heard come to see and understand (52:15) [kutipan dari Barry Webb, The Message of Isaiah (Leicester, England: IVP, 1997), p. 210]. . . . the reader ought to know who ‘we’ are! There follows a pro- phetic anticipation of the confession of sin and faith which will be made when, salvation having arrived, it is accepted by those for whom it is intended. It will be a fact, not a doctrinal theory, that this salvation will have come to Jew and Gentile alike through an Israel which has drunk the dregs of the cup of suffering and in so doing has become the righteous servant that he was intended to be when Yahweh first called Abraham [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (Lon- don: Thomas Nelson, 1972), p. 527]. 2.2. Ayat 2: Siapakah yang digambarkan sang nabi disini? Yang digambarkan bisa bangsa Israel, yakni sisa-sisa [“the remnants”] bangsa Israel. Tetapi bisa juga seorang pribadi, yakni Mesias, yang memang justru dibicarakan pada penggalan ini. Dia akan menanggung dosa-dosa dunia. Perha- tikan penggambaran sang nabi betapa tokoh ini tidak berbobot dan/atau tegar --- “sebagai tunas dari tanah kering” [Sumber: Quest Study Bible, loc. cit.]. 2.3. Ayat 3: Dalam menjalankan misinya, tokoh ini ditentang, diejek dan mengalami pende- ritaan. Dia sama sekali tidak memikat. Bahkan orang yang tidak menentang- nya pun “menutup mukanya terhadap dia”. Informasi: Perhaps they had not expected the Servant’s suffering to become so severe that he would lose his life. But this is what happened. The words pierced [LAI: ditikam] and crushed [LAI: diremukkan] in verse 5 indicate a violent death [kutipan dari Webb, op. cit., p. 211.].

3. Excursus

Pada umumnya penderitaan itu dianggap sebagai teguran dan didikan dari pihak Allah (bnd. Ams 3:11 dyb; Ayb 5:17; dan lain-lainnya). Di samping itu ada pemahaman bahwa pen- deritaan sebagai penyataan kedahsyatan dan keajaiban Allah yang tidak mungkin dipahami manusia (Ayb 42:3). Juga ada pemahaman yang menyelesaikan masalah penderitaan dengan mengatakan bahwa orang fasik tidak akan bertahan, melainkan segera layu (Mzm 37). Selain dari itu terdapat juga pengarang yang memberikan makna tersendiri kepada penderitaan, mi- salnya bila penderitaan itu terjadi untuk menyelamatkan orang lain (Yes 53). Orang lain lagi menekankan persekutuan dengan Allah yang mengatasi segala sengsara dan penderitaan (Mzm 73:25 dst). Akhirnya dalam aliran apokaliptik dikatakan, bahwa dunia ini akan berakhir beserta segala penderitaannya dan akan diganti dengan dunia yang baru, yang damai sejah- teranya melebihi segala sengsara kini dan di sini [kutipan dari Henk ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 134]. Perjanjian Lama mempunyai penglihatan tentang masuknya semua bangsa dalam rencana penebusan Allah. [ . . . ] Tetapi kesatuan eskatologis dalam peribadatan kepada Allah itu tidak menghapuskan jati diri masing-masing bangsa. Sebaliknya, kemuliaan pemerintahan Allah yang akan datang itu ialah masuknya keanekaragaman segala bangsa. Inilah sukacita yang besar dalam Yesaya 60 dan peringatan-peringatan dalam Zakharia 14:16 dan seterusnya. Selain itu, tidak hanya bangsa-bangsa, tetapi segala hasil, kekayaan dan kemuliaan mereka akan dibawa, dikudus- kan, di Yerusalem Baru dalam pemerintahan Allah. [ . . . ] Ini bukan semacam keserakahan kaum Sionis, tetapi kesadaran akan tujuan Allah yang akhir, yang menciptakan suatu bangsa bagi diri-Nya, suatu kemanusiaan baru di atas bumi yang baru. Sehingga segala sesuatu yang manusia lakukan dan capai dapat disumbangkan untuk kemuliaan tatanan baru itu yang diubah di bawah pemeliharaan Allah. Visi yang sama terdapat dalam Kitab Wahyu . . . (Why 11:15; 21:24) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 132f.].

- - - NR - - -

03 Maret 2008

Yohanes 19 : 30

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan)

1. Pengantar
. . . tubuhNya menjadi kering akibat penyaliban itu. Bibirnya melepuh. Dalam penderitanNya yang dalam, regu serdadu mendengar bisikanNya, “Aku haus” (Yoh 19:28c). Salah seorang serdadu berbelas-kasihan terhadap Yesus. Ia mengambil bunga karang, mencelupkannya dalam anggur asam, suatu minuman yang digunakan serdadu-serdadu itu untuk membius kesakitan korban. Dengan sebatang hisop, bunga karang itu disentuhkannya ke mulut Yesus. Yesus bersyukur kepada serdadu yang hatinya belum membatu itu dan masih mampu bersim- pati dengan penderitaan hebat seseorang. Baru sesudah menerima lambang rahmat insani itu, Yesus yakin pelayananNya sudah mencapai puncaknya. UcapanNya, “Sudah selesai” (Yoh 19:30b), merupakan suatu teriakan yang tidak pernah atau jarang sekali didengar dari bibir orang-orang lain. Bagi kebanyakan orang selalu ada sisa dari sesuatu tugas yang belum selesai [kutipan dari Robert R. Buhlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 95]. Informasi: Dalam ketiga Injil lainnya tidak dilaporkan bahwa Yesus mengucapkan: “Sudah selesai.” Namun ketiga-tiganya melaporkan bahwa sebelum “menyerahkan nya- waNya”, Ia berseru dengan “suara nyaring” (Mt 27:50; Mrk 15:37; Luk 23:46). Sebaliknya Yohanes tidak melaporkan “suara nyaring” itu. Yang dilaporkan Yoha- nes ialah ucapanNya: “Sudah selesai”. Kata “selesai” dalam bahasa Yunani ialah telestai. Kata ini menyiratkan suatu teriakan kemenangan --- “a shout of triumph . . . [Jesus] said it as one who shouts for joy because the victory is won” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Bible Study, the Gospel of John, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 258].

2. Renungan

SUDAH SELESAI Di dalam kata Yunani ucapan Yesus di atas adalah telestai. Bukan dua kata, “Sudah selesai”, seperti di dalam terjemahan bahasa Indonesia. Jelas, inilah kata terbesar yang Yesus ucapkan, karena di dalam satu kata inilah Allah dibenarkan dan dimuliakan. Dan di dalam satu kata ini kita dapat diyakinkan akan keselamatan. Apa yang sudah selesai? Penderitaan Yesus sudah selesai. Yesus adalah “Manusia yang penuh penderitaan dan bersahabat dengan kesedihan”. Dari kelahiran-Nya sampai pemakam- an-Nya Dia tahu dengan jelas arti penderitaan. Gambaran profetis dari peristiwa ini tidak pernah meleset. Nabi-nabi pada zaman dulu berbicara tentang Dia sebagai Seorang yang akan dihina dan ditolak manusia. Mereka meng- gambarkan betapa Dia memberikan punggung-Nya untuk dicambuk dan pipi-Nya kepada mereka yang mencabut jenggot-Nya. Dia akan menanggung kesedihan kita dan memikul beban kita. Dia akan dituntun seperti domba yang kelu untuk disembelih. Dia akan dipukuli, ditampar, dan dilukai. Yesus menanggung semua itu. Setelah itu Dia berteriak, “Sudah selesai.” Semuanya selesai! Kita yang pernah bekerja keras untuk melakukan sesuatu pasti bisa sedikit mencicipi apa yang Yesus rasakan di kayu salib. Misalnya, ketika kita menulis skripsi, tesis atau disertasi, kita melakukannya dengan sungguh-sungguh. Begitu seriusnya kita melakukan tugas studi itu, sehingga kita lupa makan, lupa tidur sampai mata kita berair. Pada saat sperti itu, adrenalin di dalam tubuh kita mengalir dengan derasnya. Namun, begitu tugas kita selesai, disetujui oleh dosen [penguji], apalagi dengan pujian, kira berkata kepada diri kita sendiri, “Sudah selesai.” Apa yang kita rasakan? Ada kepuasan yang luar biasa di dalam diri kita, meskipun tubuh jas- mani kita mengalami kelelahan yang luar biasa [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus dari Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 26]. Siang itu, sang Raja akan mengeluarkan sebuah dekrit mahapenting. Itulah sebabnya mengapa semua mata tegang memandang. Mengapa semua hati cemas menanti? Dan yang dinanti, tak lama lagi. Dengan gerak yang lirih, Raja itu membuka pelahan bibirnya yang putih. Inilah dekritNya: SUDAH SELESAI ! Sudah selesai! Artinya, semua telah genap dan tamat. Seluruh masa-lalu kita dinyatakan sele- sai. Kalau hutang, dinyatakan lunas. Kalau tugas, dinyatakan puas. Sudah selesai. Artinya, seperti perintah sutradara --- layar turunlah sudah. Yang menanti, tak usah menanti lagi. Karena yang diharap telah dekat. Dan yang dirindui telah bertemu [ . . . ] . . . kini semuanya telah selesai. Hidup kita tak usah berpacu lagi. Ada waktu untuk menarik napas. Ada waktu untuk mengatur langkah, yang lalu tidak mengejar lagi. Sudah selesai. Tetapi bukan hanya itu! Karena ketika dekrit itu diucapkan, bukan hanya ada sebuah layar dikerek turun. Tetapi juga ada sebuah layar lain yang dikerek naik. Tirai di dalam Bait Allah, yang memisahkan ruang-kudus dan ruang maha-kudus, carik terbelah dua, dari atas sampai ke bawah. Sudah selesai! Artinya, kini manusia berdamai kembali dengan sang Penciptanya. Dunia dan sorga dirukunkan pula. Dan ini adalah pintu ke masa depan [kutipan dari Eka Darmaputera, Firman Hidup 12 (Jakarta: BPK-GM, 1980), hlm. 119f].

3. Excursus
Pada pusat iman Kristen berdiri sejarah kesengsaraan Kristus. Pada pusat kesengsaraan ini berdiri pengalaman Allah dari Kristus yang ditinggalkan Allah [cf. Mat 27:46], yang dikutuk oleh Allah. Apakah ini akhir dari segala pengharapan manusiawi yang beragama atau apakah ini permulaan pengharapan yang benar, yang lahir kembali dan yang tidak terguncang oleh apa pun? Menurut saya, ini adalah permulaan dari pengharapan yang benar karena itu adalah per- mulaan suatu hidup yang telah mengalahkan kematian dan neraka, yang tidak lagi harus ditakuti. Di sana, ketika manusia kehilangan pengharapannya, ketika mereka tak berdaya dan tidak dapat berbuat apa pun, di sana Kristus yang bimbang, kesepian, dan ditinggalkan, me- nantikan mereka dan memberikan kepada mereka bagian dari kegairahan-Nya. Di sana, ketika manusia-manusia mengkhianati pengharapan mereka dan mengejar ilusi- ilusi, ketika mereka memperkosa masa depan dan sesamanya manusia, berdirilah Kristus yang berdoa, menjerit dan bergumul dengan kehendak Allah dan memberikan mereka bagian dari derita-Nya. Apa yang mula-mula asing sangat tidak berarti dan tidak dapat dipertemukan --- yaitu pengharapan kita dan salib Kristus --- keduanya bersama-sama menjadi satu, sama seperti kegairahan pengharapan akan hidup dan kesediaan untuk dikecewakan, merasa sakit dan mati, menjadi satu. Oleh karena itu benarlah: Ave Crux – unica spes: Kristus yang untuk kita dan demi kepen- tingan kita. Kesepian, putus asa yang ditinggalkan itu adalah pengharapan kita yang benar. Keputusasaan yang menekan kita, kembali menjadi kebebasan menuju pengharapan di da- lam persekutuan dengan Dia. Keangkuhan yang menghalangi diri kita sendiri dan orang- orang lain menjadi lebur; kita menjadi terbuka dan dapat terluka seperti Dia [ . . . ] Di bawah salib Kristus dilahirkan kembali pengharapan dari jurang. Siapa yang merasakan itu, ia tidak akan takut lagi akan jurang. Pengharapannya kuat dan tidak dapat digoyahkan [ku- tipan dari Jurgen Moltmann, Khotbah Masa Kini 5, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 157ff.].
- - - NR - - -

Yohanes 4: 12 – 15

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Kronologi
kr. (kira-kira) tahun 26: Permulaaan pelayanan Yesus. kr. tahun 30 : Yesus mati, bangkit dan naik ke surga. kr. tahun 35 : Pertobatan Paulus. kr. tahun 60-95 : Injil Yohanes ditulis. kr. tahun 90-95 : Yohanes dibuang ke Patmos. . [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1522].

2. Pengantar:

Latar Belakang Pada zaman Tuhan Yesus orang-orang Samaria dihina, dipandang rendah, dan dibenci oleh orang-orang Yahudi. Malah orang-orang Yahudi tidak mau sama sekali bergaul dengan orang-orang Samaria. Itulah sebabnya perempuan Samaria yang ditampilkan dalam bacaan kita terkejut dan keheran-heranan ketika Yesus, seorang Yahudi, ber- henti di sumur itu dan berbicara kepadanya. Yang juga mengherankan ialah bahwa kebiasaan umum pada waktu itu ialah tidak pantas seorang pria, lebih-lebih seorang Rabi, berbicara dengan seorang perempuan yang bukan istrinya di depan umum, seperti di sumur Yakub itu. Ini pun dilanggar oleh Yesus. Sesuai dengan laporan yang diutarakan dalam ayat 9-14 dari pasal pembacaan kita, Yesus menawarkan kepadanya karunia hidup kekal. Dari percakapannya dengan Ye- sus, perempuan itu dibangkitkan rasa ingin-tahunya, walaupun dia sedikit bingung tentang apa yang sebenarnya Yesus katakan kepadanya. Tetapi dia sadar bahwa yang sedang dibicarakan Yesus itu mempunyai makna rohani yang mendalam. Ia mengerti bahwa Yesus tidak sedang membicarakan “air” yang sesungguhnya. Orang-orang di wilayah itu sudah terbiasa dengan perumpamaan dan kiasan-kiasan. Ketika Yesus menyinggung tentang “air hidup” yang dapat Dia berikan, perempuan Samaria itu memohon, “Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air” (ayat 15).

3. Eksposisi Ayat 10-15:

Topik “air” dikembangkan. Perempuan itu masih belum paham betul apa yang dipercakapkan Yesus. Ayat 10 : “air hidup” --- air yang memberi kehidupan kekal. Perempuan itu menyangka bahwa air tsb. adalah sejenis air yang mengalir (Inggris: running water). Informasi: Even on this interpretation of his words, however, he would be re- presenting himself as greater than Jacob --- surely an absurd conclusion! John emphasizes the irony of the situation. Ayat 13f : Yesus menyederhanakan isyu air tsb. Air yang dimaksudkanNya bukanlah untuk memuaskan kedahagaan secara fisik. Tetapi yang dimaksudkanNya ialah sesuatu yang bersifat spiritual dan yang ber- muara pada kehidupan kekal. Ayat 15 : Perempuan itu masih sukar memahami kata-kata Yesus. [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Peake’s Commentary on the Bible (London: Nelson, 1972), p. 849]. Informasi: . . . [Jesus] could give her living water which would banish her thirst for ever. The point is that again the woman took this literally; but in point of fact it was nothing less than a Messianic claim. In the prophetic vision of the age to come, the age of God, the promise was: “They shall not hunger or thirst” (Isaiah 49:10). It was with God and none other that the living fountain of the all-quenching water existed. “With thee is the fountain of life,” the Psalmist had cried (Psalm 36:9). It is from the very throne of God that the river of life is to flow (Revelation 22:1). It is the Lord who is the fountain of living water (Isaiah 35:7). When Jesus spoke about bringing to men the water which quenches thirst for ever, he was doing no less than stating that he was the Anointed One of God who was to bring in the new age [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of John, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1979), p. 154].

4. Excursus

Pada zaman Yesus jalan utama ke Yerusalem dari utara (i.e. Galilea) ialah melingkar mengikuti pinggir timur wilayah Samaria. Dalam kisah bacaan kita Yesus sengaja memotong jalan dan dengan itu melewati wilayah Samaria (Yoh 4:4). Di situlah Yesus mengajar para muridNya tentang “komunikasi lintas-budaya” (Inggris: cross-cultural communication). Informasi: What does Jesus’ example say about communicating the gospel message today? Northern European and American cultures tend to value individual choice. But elsewhere, many cultures are more clannish. Inter-and intra- family relationships have a powerful bearing on how message will be perceived. Western believers need to respect that and use it to advantage as they cross over into cultures different from their own. Jesus followed the less-traveled road directly into Samaria to bring not just an individual woman, but an entire community to faith. Have you chosen the road less traveled to walk with Jesus into cultures different from your own? [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari What does the Bible Say About . . . (Nashville: Thomas Nelson, 2001), p. 425f.].

- - - NR - - -