07 April 2008

Mz 118 : 2 5 – 2 9

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Ciri dan/atau warna liturgis dari Mazmur bacaan kita sekarang ini dapat segera dike- nali --- pergantian dan/atau penggiliran kata-ganti-orang dan adanya pengulangan jawaban/respons. Jenis atau sifatnya sebagai ungkapan pengucapan syukur (“thanks- giving”) jelas sekali --- mensyukuri tindakan Allah yang menyelamatkan. Mari kita bayangkan adanya suatu prosesi dari serambi luar bergerak masuk ke da- lam Bait Suci yang dipimpin oleh seorang tokoh penting dan yang menjadi pembicara utama (ay 5-19,21,28). Tokoh ini adalah jelas “a person whose fate is of supreme im- portance to the nation as a whole”. Dengan itu sudah dapat diterka bahwa tokoh yang dimaksud adalah sang Raja dari keturunan Daud [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari The Broadman Bible Commentary, Vol. 4 (London: Marshall, Morgan & Scott, 1972), p. 407]. Mazmur bacaan kita ini dimulai dengan panggilan bersyukur secara antifonal (bersahut-sahutan: ay 1-4). Lalu sang Raja mengungkapkan rasa syukurnya (ay 5- 19,21). Ayat 20 barangkali merupakan jawaban penjaga pintu gerbang terhadap permohonan sang Raja dalam ayat 19. Ketika prosesi itu memasuki Bait Suci, umat menyatakan pujian dan doa mereka (ay 22-25). Ayat 26-27 merekam sambutan dan salam sang imam. Ungkapan syukur sang Raja (ay 28) dan umat (ay 29) menutup mazmur ini [Sumber: H.L. Ellison, The Psalms (London: Scripture Union, 1968), p. 97].

Informasi:

That this psalm was early regarded as Messianic is shown by Mark 11:9-10; ‘Hosanna’ = hoshia-na, i.e. ‘Save, we beseech Thee (25). The use of the ‘leafy branches” (Mark 11:8) and palm branches (John 12:3) was taken from Taber- nacles; they were waved in the ritual. The answer of the gate-keepers (20) is a reference to Pss. 15 and 24 [kutipan dari Ibid.].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 22-23: Umat bergabung dan ikut bersyukur. Dengan memakai kata-kata kiasan yang berasal dari lingkungan pembangunan (konstruksi) gedung, mereka memuji tindakan Allah yang mengagumkan itu. “Batu penjuru” adalah batu penting untuk menopang dua baris deretan batu-batu yang saling bertemu di sebuah penjuru suatu bangunan. Juga menjadi penopang di bagian lain dari bangunan tersebut, a.l. fondasi bangunan (bnd. Yes 28:16). Tindakan Allah yang telah menjadikan “batu penjuru” itu dari sebuah batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan menjadi dasar dan alasan untuk pengucapan syukur umat. Jadi bobot ucapan syukur mereka adalah bagi Tuhan, karena “suatu perbu- atan ajaib di mata kita” (ayat 23). Bahwa mazmur ini dapat dikaitkan dengan penderitaan dan kemenangan Sang Penebus kita, Yesus Kristus, hal ini terungkap dalam Mat 21:42; Mrk 12:10; Luk 20:17; Kis 4:11; Ef 2:20 dan 1 Ptr 2:7. Ditolak dan menderita oleh ulah manusia, namun Allah memilih “Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef 2:20). Bagi umat yang sedang menderita ungkapan tadi menjadi suatu landasan pengharapan dan penghiburan [Sumber: The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 5 (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 735]. 2.2. Ayat 24-25: “hari” adalah hari penyelamatan (Inggris: day of salvation). Pernyataan ini merangsang umat untuk bertekun dalam doa dan sekaligus memperbaharui pengharapan mereka: “Ya Tuhan, berilah kiranya keselamatan!” (ayat 25). Dalam bahasa Ibrani seruan hosiana (“berilah kiranya [kami] keselamatan”) berkaitan dengan istilah yesuah (kesela- matan, kemenangan, ay 14-15, 21). Umat memohon Tuhan agar terus melakukan tindak- anNya yang mengagumkan itu demi “kemujuran” umat yang diberkahiNya [Sumber: Ibid.].

2.3. Ayat 26-27 dan 28-29 lihat Pengantar di muka.

3. Rangkuman dan Refleksi

Mazmur 118 kembali mengungkapkan tema-tema pokok yang selalu diapungkan dalam Kitab Mazmur: kasih setia Allah yang berkesinambungan bagi umatNya dan kenyataan dari tindakan penyelamatan dari dan oleh Allah semata-mata. Refleksi: [Psalm 118] also incorporates a motif which was dear to the existence of a people who believed their significance to transcend the normal values of the world because of God’s Presence, the motif of the little become great, the least most, the last first. It is a motif which serves as a continuing reminder of just how wrong men’s values and priorities can be, and one which came to have its most eloquent illustration in the life, the ministry, and the death of our Lord [kutipan dari The Broadman Bible Comment- ary, pp. 409f.].

4. Excursus

ALLAH : PEMURAH ATAU PEMARAH? Dalam Alkitab, Allah sering ditampilkan dengan dua wajah, yaitu Allah yang Pemurah dan Allah yang Pemarah. Di satu pihak Allah mengampuni, melindungi , dan memberkati banyak orang. Di pihak lain, Ia mengancam dan menghukum mereka yang berbuat jahat, berkhianat, cemar, dan licik. Allah yang menyenangkan, tetapi sekaligus Allah yang mengerikan. Menye- nangkan karena pengampunan-Nya, perlindungan-Nya, dan berkat-Nya sungguh amat besar dan mengatasi segala kelemahan [dan kenajisan] kita. Mengerikan karena ternyata semua orang, termasuk tokoh-tokoh teladan seperti Musa dan Daud, tidak luput dari hukuman-Nya. Meskipun setiap orang ingin mendapatkan kemurahan ketimbang kemarahan Allah, banyak orang lebih suka memberitakan Allah yang Pemarah dan kurang rela memberitakan kemurah- an Allah. Nabi Yunus begitu bersemangat memberitakan kemarahan Allah kepada rakyat Nine- ve, dan begitu kecewa ketika ternyata Allah lebih pemurah ketimbang pemarah. Pertentangan antara Yesus dan orang-orang Farisi adalah pertentangan dari orang yang memberitakan Allah yang Pemurah (yang mampu menerima orang-orang berdosa) dan orang- orang yang memberitakan Allah yang Pemarah (yang selalu siap menghukum para pendosa). [ . . . ] Di dalam Yesus Kristus, Allah membatalkan kemarahan-Nya, untuk menyatakan kemurah- an-Nya! Itu sebabnya sejak kedatangan Yesus Kristus, berita tentang Allah yang pemarah se- benarnya sudah menjadi berita basi. Sebaliknya, berita tentang Allah yang pemurah selalu baru dan relevan di segala tempat dan waktu, sebab kemurahan itu sendiri tidak berkesudah- an, selalu baru setiap hari. Tetapi mengapa banyak orang Kristen ragu-ragu memberitakan kemurahan Allah? Karena banyak orang kuatir bahwa kita menjadi terlalu murah hati, takut dianggap murahan. Kemurah- an bukanlah murahan! . . . Kasih karunia itu tak ternilai harganya, karena bersumber pada pengorbanan Allah sendiri. Ia yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, menjadi seorang makhluk biasa. Ia yang berhak menjadi hakim atas segala hidup, rela menjadi seorang terhukum dengan hukuman paling be- rat. Ia [yang] berhak menuntut korban, malahan mengorbankan diri-Nya sendiri [kutipan dari Yahya Wijaya, Kemarahan, Keramahan & Kemurahan Allah (Jakarta: BPK-GM, 2008), hlm. 1ff.] .

- - - NR - - -

Tidak ada komentar: