22 April 2008

Mat 5 : 43 – 58

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Pertama-tama kita akan meninjau apa yang disebut ‘antitese-antitese’ dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:21-48). Enam kali diulangi ucapan [antitese]: “Kamu telah mendengar . . . tetapi Aku berkata kepadamu . . .” Corak keenam antitese ini tidak seragam. [ . . . ] . . . [Antitese] keenam agak berbeda jenisnya: “Kamu telah mendengar, kasihilah sesama- mu manusia dan bencilah musuhmu” (Mat 5:43). Di mana[kah] hukum Taurat memerintahkan agar musuh dibenci? Sesungguhnya rumusan serupa itu tidak terdapat dalam hukum Musa. Akan tetapi dalam Imamat (19:18), perintah “kasihilah sesamamu” terbatas pada “orang-orang sebangsamu”. Lagi pula, mazmur-mazmur penuh dengan ucapan tentang kebencian terhadap musuh. Mungkin juga antitese ini menunjuk pada kaum Eseni dan kaum Zelot yang mengang- gap kebencian terhadap musuh sebagai kewajiban agamawi. Bagaimanapun, kentaralah bah- wa menurut kesaksian antitese-antitese ini, Yesus bertindak dengan wibawa atas hukum Tau- rat entah untuk memperdalam dan menjernihkan, maupun meniadakan juga [kutipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyajarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 163f.; huruf-huruf miring oleh NR].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 34-35: Pada zaman Yesus pemahaman populer dari “kasihilah sesamamu manusia” mempunyai konsekwensi logis “bencilah musuhmu” (ayat 43). Yesus mengoreksi dan me- luruskan pemahaman tadi. AjaranNya dalam ayat 44 tidak didapati dalam Perjanjian La- ma, walaupun ada himbauan untuk “jangan bersuka cita kalau musuhmu jatuh” (Ams 24: 17). Informasi: If you and I are to bear the family resemblance as children of God, we must model our interpersonal relationship on the example His actions provide. We must not respond to hostility with hostility, but instead we must respond with love. When we respond to our enemies with love, we become partners in God’s radical solution to hostility and hatred. Our love communicates His, and we become agents of reconciliation, introducing our enemies to the transforming power of God. [Sumber dan kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 249]. . . . sesama mausia kita itu, seperti yang diilustrasikan-Nya demikian gamblang di kemu- dian hari dalam perumpamaan Orang Samaria Yang Baik Hati (Luk 10:29-37), tidak harus orang sebangsa, sekedudukan atau seagama dengan kita. Orangnya bahkan tidak perlu punya sangkut-paut dengan kita. Mungkin juga ia musuh kita, yang mengejar kita dengan belati terhunus atau pistol yang pelatuknya sudah ditarik. . . ‘Sesama manusia’ kita dalam kamus Allah mencakup musuh kita. Yang menetapkan dia menjadi sesama manusia kita ialah kenyataan yang sangat bersahaja, yakni bahwa ia adalah sesama insani yang mem- butuhkan, yang kebutuhannya kita sadari dan, sejauh kemampuan kita mengizinkannya, bisa kita penuhi [kutipan dari John Stott, Khotbah di Bukit, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1989), hlm 150]. Ilustrasi: Pernah seorang pengusaha peternakan kehilangan beberapa ternaknya yang amat mahal. Ia pikir pengusaha ternak disebelahnya yang mencurinya. Ia datang ke te- tangganya itu dan menuntut, “Mana ternakku itu?” “Aku tidak mencuri ternakmu,” jawab tetangganya. Perselisihan terjadi yang di- akhiri dengan ancaman, “Jika kau berani kembali ke tempatku ini lagi, aku akan membu- nuhmu!” Orang yang ternaknya dicuri itu adalah seorang Kristen. Ia datang ke salah satu pertemuan saya, dan saya menantangnya, bersama semua orang lain yang hadir, untuk mengasihi musuhnya. Ia merasa bersalah bahwa ia telah menjadi saksi buruk bagi sesa- manya manusia dan ia memutuskan untuk meminta maaf dari tetangganya itu. Ia me- nyadari bahwa ia bisa dibunuh, sebab orang itu telah mengancamnya akan melakukan tindakan itu, kalau ia berani kembali lagi. Orang ini dengan ketakutan dan gemetar pergi menuju rumah tetangganya. “Apa lagi yang kau inginkan?” tanya tetangganya itu dengan amarah waktu ia memberi salam di serambi depan. “Aku datang untuk memohon maaf,” kata pengusaha ternak yang beragama Kristen itu. “Aku seorang Kristen. Aku telah mengunjungi suatu persekutuan, dan aku di- ingatkan bahwa aku seharusnya mengampuni dan mengasihi musuhku, dan aku ingin engkau mengetahui bahwa aku datang untuk menunjukkan kasihku.” Tetangganya itu tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia bukan orang Kristen. Tetapi ia berkata, “Aku memohon maaf juga atas caraku yang kasar. Aku ingin eng- kau memaafkan aku juga.” Kemudian katanya, “Engkau menuduhku mencuri ternakmu. Aku tidak mencurinya, tetapi binatang itu mematahkan pagar dan masuk ke pekarangan- ku. Jika engkau tidak menuduhku mencuri, aku tentu sudah memberitahukan hal itu ke- padamu. Tetapi karena engkau sudah datang minta maaf, aku memberitahu kepadamu bahwa ternakmu iru ada di sini. Binatang-binatang itu telah bertambah jumlahnya, jadi engkau mempunyai lebih banyak ternak daripada yang hilang. Semuanya itu milikmu” [kutipan dari William Bright, “Mengasihi Orang yang Tidak Bisa Dikasihi” dalam Pola Hidup Krosten, Pene- rapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 35f.].
2.2. Ayat 46-47: . . . kasih itu tidak dibuat berdasarkan prinsip do ut des, yaitu memberikan se- suatu dengan maksud untuk menerima pembalasan, seperti yang dipraktekkan pemungut- pemungut cukai dan orang-orang kafir . . . Agape mengasihi tanpa memperhitungkan ke- untungannya dan tanpa membatasi diri hanya pada kelompok-kelompok tertentu saja [kuti- pan dari Henk ten Napel, Jalan yang Le bih Utama Lagi (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 35].
2.3. Ayat 48: Siapa yang dapat “sempurna” seperti Tuhan? Tak seorang pun dapat. Namun Yesus pun tidak meminta kita untuk melakukan suatu upa- ya yang tak mungkin dicapai. Istilah “sempurna” (Yunani: teleios) yang dipakai di sini mempunyai makna “matang” dan “rampung”. Informasi: It is when man reproduces in his life the unwearied, forgiving, sacrificial be- nevolence of God that he becomes like God, and is therefore perfect [Indo- nesia: matang, rampung] in the New Testament sense of the word. To put it at its simplest, the man who cares most for men is the most perfect man [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1977), p. 178; kata-kata miring oleh NR].

3. Excursus

Aku ingat ketika ibuku pulang ke rumah dan bercerita tentang seorang rekan sekerjanya yang terus-menerus mengusiknya. Orang ini mengejek ibu dan memberi komentar yang menjatuh- kan. Hal ini terjadi hampir setiap hari. Ibuku bukanlah orang yang suka mengeluh. Jadi aku tahu betapa hal ini sungguh-sungguh mengganggunya. Beberapa bulan kemudian, aku bertanya tentang keadaan di kantornya. Dia menjawab, “Baik-baik saja.” Kemudian dia bercerita bahwa wanita itu sekarang lebih menghormatinya, bahkan mengucapkan hal-hal baik tentang ibu. Wanita itu sudah berubah. Aku bertanya kepada ibu apa yang ia lakukan sehingga rekan kerjanya itu bisa berubah. Ibu berkata, “Tidak ada, kecuali aku mendoakannya setiap hari.” Lalu, ibu berkata juga bah- wa untuk dapar berdoa bagi wanita itu, ia harus terlebih dahulu mengampuni dan mengasihi- nya. Sebenarnya bisa saja ibu membenci dan membalas perbuatan wanita itu. Pengampunan dan doa mengubah hubungan persahabatan. Allah ingin kita mengampuni sama seperti Ia sudah mengampni kita. Hubungan yang buruk dapat diubah melalui pengam- punan dan kasih --- Gary Hubley, Maine, USA [kutipan dari Saat Teduh, Senin, 31 Juli 2006, terj. (Ja- karta: BPK-GM/the Upper Room].

- - - NR - - -

Tidak ada komentar: