(Berberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Ketika Yohanes menulis suratnya yang pertama, masalah-masalah yang ditunjukkan dalam Injilnya telah muncul secara lebih jelas. Pandangan-pandangan sesat tentang oknum Kristus sedang menimbulkan akibat-akibat yang hebat dalam pelayanan pas- toral. Pandangan-pandangan ini tidak hanya mengancam persatuan gereja, tetapi juga menimbulkan kebingungan tentang hakikat pengalaman Kristen dan merusak standar moral. Sebagai akibatnya, dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak seperti ini, Yohanes menulis suatu surat yang tajam yang lebih bersifat pastoral daripada polemis. Suratnya merupakan contoh dari ajaran pastoral --- “karya agung dalam seni memba- ngun”. Di seluruh surat ini dan kedua suratnya yang lain, Yohanes secara hati-hati mene- rangkan hubungannya dengan pembacanya agar mereka menghargai motivasinya untuk mengajar mereka. Mereka adalah “anak-anak”-nya (2:1,12,13,18 dst . . .) dan “saudara-saudara”-nya “yang kekasih” (2:7; 3:2,21 dst. . . .). Yohanes hendak memba- ngun di atas rasa kasih dan kelembutan yang sudah terbentuk dalam hubungannya dengan mereka. Tambahan pula ini menolong kita memahami perhatiannya terhadap sukacitanya sendiri (1:4; . . . ), karena sukacitanya seorang bapa terikat erat dengan kesejahteraan anak-anaknya. Metode yang dipakainya untuk mengajar adalah pengulangan. Ia tidak berhasrat untuk menyampaikan ajaran ciptaannya sendiri, tetapi hanya mengingatkan mereka tentang apa yang mereka sudah ketahui (2:21; bnd. 2:7-8 . . . ). Mereka tidak perlu belajar hal-hal yang baru. Mereka hanya perlu memahami dengan lebih baik apa yang mereka ketahui. Karena itu, Yohanes secara saksama menjelaskan kembali hal-hal yang sama dalam suratnya yang pertama. Hal ini menyebabkan sebagian orang ber- pendapat bahwa surat-suratnya merupakan surat edaran. Findlay berkata, “Di bawah permukaan sifat Yohanes yang tenang, terdapat kegai- rahan yang terpendam, hasrat yang kadang-kadang berkobar dengan kedahsyatan yang mengejutkan.” Ini terbukti dalam surat-suratnya. Namun, metode mengajarnya hampir seluruhnya positif. Walaupun perhatiannya dicurahkan untuk melawan guru-guru se- sat, namun hanya kadang-kadang ia menyerang mereka secara langsung. Inti pende- katannya adalah membuat pernyataan yang positif tentang kebenaran. Sebab utama dari gangguan adalah ajaran sebagian orang bahwa Kristus tidak da- tang dalam keadaan sebagai manusia, tetapi hanya kelihatan sebagai manusia. Orang- orang yang mengajarkan hal ini menganggap diri mereka telah mencapai pengertian yang benar tentang iman dan memandang rendah kepada orang yang belum menerima pencerahan ini. Pandangan mereka bahwa Yesus tidak datang dalam keadaan manusia mengandung sejumlah akibat moral. Pada satu sisi mereka percaya bahwa semua yang bersifat benda adalah jahat. Akan tetapi, di sisi lain, mereka hidup dalam lingkungan Roh dan sesudah memperoleh kemenangan dari kedagingan melalui pencerahan, me- reka telah mencapai kesempurnaan. Pandangan seperti ini memimpin kepada ketidak- pedulian etis dan antinomianisme. Kehadiran guru-guru sesat menyebabkan sebagian orang Kristen meragukan keab- sahan pertobatan mereka dan menjadi bingung tentang pengalaman Kristen mereka. Apakah yang akan mereka lakukan dengan dosa dalam kehidupan mereka? Apakah ini merupakan indikasi bahwa mereka belum mencapai kesempurnaan ataukah mungkin mereka bodoh karena menaruh perhatian kepada dosa? Bagaimana tentang hubungan mereka dengan dunia? Dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang-orang yang secara rohani tidak cocok dengan mereka? Jawaban Yohanes mulai dengan menetapkan dan meneguhkan kebenaran dari ajar- an yang telah mereka terima (1:1-3). Satu-satunya dasar untuk keyakinan mengenai kedudukan mereka di hadapan Allah ialah keyakinan yang datang dari pengetahuan akan kebenaran, bukan keyakinan yang dibangun di atas dasar yang tidak pasti dari pengalaman subyektif mereka sendiri. Karena itu, dengan sabar Yohanes menjelaskan kembali kebenaran tentang hakikat dasar Kristus, sambil mengingatkan mereka untuk berwaspada terhadap antikristus-antikristus (2:18-27) dan tahu membedakan ajaran- ajaran yang mereka terima (4:1-3). [ . . . ] Pada awal suratnya, Yohanes menyatakan pemahamannya akan kegelapan (1:5-7). Guru-guru sesat mengajarkan tentang perlunya melepaskan diri dari dunia fisik yang gelap ini menuju terang “gnosis” (pengetahuan), namun bagi Yohanes, hakikat kege- lapan bukanlah fisik tetapi moral, tepatnya amoral. Yohanes menganggap perbuatan membenci saudara, sebagai berada dalam kegelapan (2:9,11). Memang benar bahwa dunia tidak boleh diterima begitu saja tanpa bersikap kritis (2:15-17), karena pada dasarnya dunia menentang Allah. Akan tetapi, apa yang dimaksudkan Yohanes dengan “dunia” bukanlah wujud fisiknya, tetapi sistem kemanusiaan yang diatur dengan hukum-hukum Allah [kutipan dari Derek J. Tidball, Teologi Penggemba laan, Suatu Pengantar, terj. (Malang: Gandum Mas, 1995), hlm. 102ff.].
2. Eksposisi [Sumber utama: TNIV Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2006), pp. 2104].
Ayat 7-8 : “perintah baru”, lihat Yoh 13:34-35. Masih sejak Perjanjian Lama telah dicantumkan perintah kasih itu (lihat Im 19:18). Bahwa ini dibaharui dan menjadi segar lagi, itu nampak: (i) dalam ungkapan kasih ilahi melalui penyaliban Yesus; (ii) dalam ulasan dan wejangan Yesus tentang Taurat (lihat Mat 5), dan (iii) pengalaman langsung orang-orang percaya yang bertumbuh dalam kasih-cinta satu terhadap yang lain. “dari mulanya”, yakni sejak pertama kalinya mereka mendengar Injil. “terang yang benar” [NIV: “true light”]. Ungkapan ini menunjuk pada Injil Yesus Kristus, Dia yang adalah “terang dunia” (Yoh 8:12). Ayat 9-10 : “membenci” . . . “mengasihi”. Dalam Perjanjian Baru “membenci” dan “mengasihi” lebih banyak dipahami sebagai sikap dan/atau tingkah laku nyata, dan bukan pertama-tama sebagai tabiat dan/atau sifat. Ayat 12-14: Dengan mengulangi apa (“menulis”) yang dinyatakannya dalam ayat 1, Yohanes ingin memberi jaminan kepada para pembaca suratnya bahwa walaupun suratnya berisi anjuran/perintah yang ketat dan keras, tetapi ia yakin akan keselamatan mereka.
3. Refleksi . . .
Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Yoh 13:34 Pernakah Anda bertanya mengapa tubuh Kristus yang telah bangkit masih meninggalkan luka akibat paku dan tombak setelah kebangkitan? Aku percaya hal itu karena Allah ingin supaya kita tidak pernah melupakan bagaimana kita telah saling melukai. Ia ingin kita tahu bahwa, walaupun dosa berkuasa melukai, kuasa-Nya untuk mengampuni jauh lebih besar. Dalam bacaan Alkitab [Yoh 20:19-23], Kristus yang bangkit kembali kepada mereka yang telah menyangkal dan meninggalkan Dia, serta memberi damai sejahtera. Kita memerlukan damai sejahtera. Sungguh menyedihkan jika ternyata dalam tubuh Kristus sekalipun kita saling melukai. Setiap kita bersalah karena menyakiti, sama seperti masing- masing kita pernah menderita di tangan saudara-saudara kita. Kita tidak meniru Kristus dalam perkataan dan perbuatan. Di gereja, tempat aku melayani, kami menghadapi situasi di mana seorang staf pergi setelah merasa terluka. Aku memohon pengampunan, dan ia mengulurkan- nya. Aku percaya, kita pun telah melukai Kristus seperti itu. Jika aku telah mendapatkan hikmat setelah bertahun-tahun, maka hikmat itu adalah: Perbu- atan kita juga merupakan kesaksian bagi Kristus, sama seperti usaha yang kita lakukan. Atau, dengan kata lain: hasil yang kita capai tidak membenarkan cara demi mencapainya, jika cara itu memang salah. Cara kita harus sesuai dengan jalan, kebenaran, dan kehidupan Kristus. Mike Ripski (Tennessee) [kutipan dari Saat Teduh, Minggu, 24 Februari 2008, terj. (Jakarta: BPK-GM).
- - - NR - - -
31 Januari 2008
Lukas 23 : 33 – 34
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Lukas menyuguhkan tiga dari tujuh ucapan Yesus di kayu salib. [1] “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (23:34). [2] “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (23:43). [3] “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (23:46). Informasi: Whatever abandonment Jesus may have felt, [we] believe that at the very end he en- trusted his spirit to the God of love and grace he had believed in all of his life. God had not abandoned him. God was there, with him, even at the end [kutipan dari The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), p. 75].
2. Laporan pandangan mata dalam ayat 32-33 (bnd. Mrk 15:28) merupakan gema dari Yes 53:12 --- “ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak . . . dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak”. Sedangkan doa Yesus seperti yang terdapat dalam ayat 34 dapat dianggap sebagai ucapan asli dari mulut Yesus sendiri (ipsissima verba) berdasarkan paralel-nya dengan ucapan Stefanus (Kis 7:60), ketika akan dihukum mati.
3. Sebagai ucapan Yesus yang pertama dari kayu salib (ayat 34), doa ini diucapkan demi kepentingan musuh-musuhNya. Informasi: KebutuhanNya sendiri bersifat jasmani dan adalah nisbi artinya, berlangsung sementara saja, sedangkan kebutuhan pokok regu serdadu, para penonton yang hanya ingin tahu itu saja dan pemimpin-pemimpin agama itu bersifat rohani, dan karena itu keadaannya jauh lebih parah. Regu serdadu itu hanya mentaati perintah atasan mereka dan tugas menyalib- kan orang sudah menjadi pekerjaan yang rutin, tetapi tindakan apakah yang akan mereka ambil, seandainya mereka tahu siapa sebenarnya korban yang di tengah kedua salib itu? Apakah mereka akan menolak perintah atasan mereka dengan mempertaruhkan jiwa mereka sedemikian rupa sehingga mereka sendiri akan disalibkan juga? Orang banyak yang dulu berteriak “Salibkan Dia”, mungkin tidak, mereka juga belum sadar akan kejahatan yang sedang berlangsung di hadapan mereka. Barangkali yang paling sulit diampuni ialah para penguasa Yahudi dan Romawi. Mereka masing-masing yakin bahwa mereka mempertahankan hukum negara atau hukum Allah dan karena itu merasa benar dalam tindakan mereka. Meskipun begitu, Yesus memohon supaya Allah mengampuni mereka juga [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 94].
4. Bagaimana kita seharusnya memahami pernyataan Yesus: “ . . . sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”? Kita harus ingat bahwa ada berbagai ketidaktahuan yang berbeda-beda. Paulus boleh menegaskan bahwa di masa-masa dia menganiaya gereja dia kenyataannya “seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang biadab”, tetapi dia memperoleh kasih karunia, dia berkata, “karena aku melakukannya tanpa pengetahuan, yaitu diluar iman” (1 Timotius 1:13). Dia tetap menganggap dosa seperti itu sebagai sesuatu yang tidak berarti apa-apa. Dia tetap memerlukan pengampunan, dan dia bersuka cita karena dia telah menerima pengampunan itu. Apa yang telah dilakukannya adalah salah, tetapi Paulus telah bertobat dan diampuni atas kesalahan itu. Namun ada juga dosa-dosa lain yang dilakukan dalam ketidak tahuan yang tidak diampuni. Penya- liban Tuhan Yesus adalah dosa yang dilakukan tanpa kesadaran. Yesus berdoa bagi orang-orang yang menyalibkan Dia, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Meskipun mereka tidak mengerti bahwa mereka sedang membunuh Anak Allah yang sejati, tetap mereka melakukan suatu dosa yang serius. Kita tidak boleh berpikir kalau itu akan dihapuskan begitu saja., sebagai sesuatu yang tidak berarti apa-apa [kutipan dari Leon Morris, Salib Yesus, terj. (Malang: SAAT, 1991), hlm. 60 f.].
5. Apakah Allah berkenan mengampuni orang-orang yang tidak mau menyesal dan/atau tak mau bertobat? “Apakah mereka diampuni? Kita tidak tahu” (kutipan dari Morris, loc. cit.). Informasi: Why should God forgive those who don’t repent [bnd. Kis 7:60]? No one is forgiven against his or her will. But Stephen [followed] Christ’s example, praying that his murderers would find salvation. Stephen’s prayer may have contributed to Saul’s later conversion, although Saul had to repent and turn to God to receive forgiveness [Kis 9] (kutipan dari Quest Study Bible [Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003], p. 1573; sisipan dan pengutipan ayat-ayat dalam bahasa Indonesia oleh NR). Marcus Aurelius, the great Roman Emperor and a Stoic saint, used to say to himself every morning, “To-day you will meet all kinds of unpleasant people; they will hurt you, and injure you, and insult you; but you cannot live like that; you know better, for you are a man in whom the spirit of God dwells.” Others may have in their hearts the unforgiving spirit, others may sin in ignorance; but we know better. We are Christ’s men and women; and we must forgive as He forgave” [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, The Godpel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrews, 1981), p. 285 f.].
6. Ilustrasi Pada suatu hari, untuk menghindarkan diri dari musuh, seorang pelarian masuk ke sebuah desa kecil. Orang-orang di desa itu sangat baik terhadap dia dan memberinya tempat untuk tinggal. Akan tetapi ketika tentara-tentara yang mengejar pelarian itu bertanya kepada mereka di mana pelarian itu bersembunyi, semua orang menjadi sangat ketakutan. Tentara-tentara itu mengancam akan membakar seluruh desa dan membunuh semua orang di sana kalau pelarian itu tidak diserahkan sebelum fajar. Orang-orang itu pergi kepada pelayan jemaah [pendeta] dan bertanya apa yang harus mereka lakukan. Pelayan jemaah bingung apakah ia harus menyerahkan pelarian itu atau membiarkan jemaahnya dibunuh oleh tentara. Ia masuk ke kamarnya dan membaca Kitab Suci dengan harapan akan dapat menemukan jawaban sebelum fajar. Sesudah berjam-jam ia membaca, menjelang pagi ia sampai pada ayat yang berbunyi, “Lebih baik satu orang mati demi keselamatan seluruh bangsa.” Kemudian pelayan jemaah itu menutup Kitab Sucinya, memanggil tentara-tentara dan memberitahukan tempat persembunyian pelarian itu kepada mereka. Sesudah pelarian itu dibawa pergi untuk dibunuh, di desa itu diadakan perayaan besar karena pelayan jemaah telah menyelamatkan hidup jemaahnya. Akan tetapi pelayan jemaah itu tidak ikut merayakan. Ia terbenam dalam kesedihan dan tinggal di kamarnya. Pada malam itu malaikat datang kepadanya dan bertanya, “Apa yang sudah kau lakukan?” Ia menjawab, “Saya sudah menyerahkan pelarian itu kepada musuh.” Lalu malaikat itu berkata, “Tida tahukah engkau bahwa engkau telah menyerahkan Mesias?” “Bagaimana saya tahu?” jawab pelayan jemaah itu dengan cemas. Kemudian malaikat itu berkata, “Seandainya engkau tidak membaca Kitab Suci tetapi mengunjungi pelarian itu sekali saja dan memandang matanya, engkau akan tahu” [dikutip dari Henri J.M. Nouwen, Yang Terluka yang Menyembuhkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 31].
- - - NR - - -
1. Lukas menyuguhkan tiga dari tujuh ucapan Yesus di kayu salib. [1] “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (23:34). [2] “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (23:43). [3] “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (23:46). Informasi: Whatever abandonment Jesus may have felt, [we] believe that at the very end he en- trusted his spirit to the God of love and grace he had believed in all of his life. God had not abandoned him. God was there, with him, even at the end [kutipan dari The Minister’s Manual 2005 (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), p. 75].
2. Laporan pandangan mata dalam ayat 32-33 (bnd. Mrk 15:28) merupakan gema dari Yes 53:12 --- “ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak . . . dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak”. Sedangkan doa Yesus seperti yang terdapat dalam ayat 34 dapat dianggap sebagai ucapan asli dari mulut Yesus sendiri (ipsissima verba) berdasarkan paralel-nya dengan ucapan Stefanus (Kis 7:60), ketika akan dihukum mati.
3. Sebagai ucapan Yesus yang pertama dari kayu salib (ayat 34), doa ini diucapkan demi kepentingan musuh-musuhNya. Informasi: KebutuhanNya sendiri bersifat jasmani dan adalah nisbi artinya, berlangsung sementara saja, sedangkan kebutuhan pokok regu serdadu, para penonton yang hanya ingin tahu itu saja dan pemimpin-pemimpin agama itu bersifat rohani, dan karena itu keadaannya jauh lebih parah. Regu serdadu itu hanya mentaati perintah atasan mereka dan tugas menyalib- kan orang sudah menjadi pekerjaan yang rutin, tetapi tindakan apakah yang akan mereka ambil, seandainya mereka tahu siapa sebenarnya korban yang di tengah kedua salib itu? Apakah mereka akan menolak perintah atasan mereka dengan mempertaruhkan jiwa mereka sedemikian rupa sehingga mereka sendiri akan disalibkan juga? Orang banyak yang dulu berteriak “Salibkan Dia”, mungkin tidak, mereka juga belum sadar akan kejahatan yang sedang berlangsung di hadapan mereka. Barangkali yang paling sulit diampuni ialah para penguasa Yahudi dan Romawi. Mereka masing-masing yakin bahwa mereka mempertahankan hukum negara atau hukum Allah dan karena itu merasa benar dalam tindakan mereka. Meskipun begitu, Yesus memohon supaya Allah mengampuni mereka juga [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 94].
4. Bagaimana kita seharusnya memahami pernyataan Yesus: “ . . . sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”? Kita harus ingat bahwa ada berbagai ketidaktahuan yang berbeda-beda. Paulus boleh menegaskan bahwa di masa-masa dia menganiaya gereja dia kenyataannya “seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang biadab”, tetapi dia memperoleh kasih karunia, dia berkata, “karena aku melakukannya tanpa pengetahuan, yaitu diluar iman” (1 Timotius 1:13). Dia tetap menganggap dosa seperti itu sebagai sesuatu yang tidak berarti apa-apa. Dia tetap memerlukan pengampunan, dan dia bersuka cita karena dia telah menerima pengampunan itu. Apa yang telah dilakukannya adalah salah, tetapi Paulus telah bertobat dan diampuni atas kesalahan itu. Namun ada juga dosa-dosa lain yang dilakukan dalam ketidak tahuan yang tidak diampuni. Penya- liban Tuhan Yesus adalah dosa yang dilakukan tanpa kesadaran. Yesus berdoa bagi orang-orang yang menyalibkan Dia, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Meskipun mereka tidak mengerti bahwa mereka sedang membunuh Anak Allah yang sejati, tetap mereka melakukan suatu dosa yang serius. Kita tidak boleh berpikir kalau itu akan dihapuskan begitu saja., sebagai sesuatu yang tidak berarti apa-apa [kutipan dari Leon Morris, Salib Yesus, terj. (Malang: SAAT, 1991), hlm. 60 f.].
5. Apakah Allah berkenan mengampuni orang-orang yang tidak mau menyesal dan/atau tak mau bertobat? “Apakah mereka diampuni? Kita tidak tahu” (kutipan dari Morris, loc. cit.). Informasi: Why should God forgive those who don’t repent [bnd. Kis 7:60]? No one is forgiven against his or her will. But Stephen [followed] Christ’s example, praying that his murderers would find salvation. Stephen’s prayer may have contributed to Saul’s later conversion, although Saul had to repent and turn to God to receive forgiveness [Kis 9] (kutipan dari Quest Study Bible [Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003], p. 1573; sisipan dan pengutipan ayat-ayat dalam bahasa Indonesia oleh NR). Marcus Aurelius, the great Roman Emperor and a Stoic saint, used to say to himself every morning, “To-day you will meet all kinds of unpleasant people; they will hurt you, and injure you, and insult you; but you cannot live like that; you know better, for you are a man in whom the spirit of God dwells.” Others may have in their hearts the unforgiving spirit, others may sin in ignorance; but we know better. We are Christ’s men and women; and we must forgive as He forgave” [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, The Godpel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrews, 1981), p. 285 f.].
6. Ilustrasi Pada suatu hari, untuk menghindarkan diri dari musuh, seorang pelarian masuk ke sebuah desa kecil. Orang-orang di desa itu sangat baik terhadap dia dan memberinya tempat untuk tinggal. Akan tetapi ketika tentara-tentara yang mengejar pelarian itu bertanya kepada mereka di mana pelarian itu bersembunyi, semua orang menjadi sangat ketakutan. Tentara-tentara itu mengancam akan membakar seluruh desa dan membunuh semua orang di sana kalau pelarian itu tidak diserahkan sebelum fajar. Orang-orang itu pergi kepada pelayan jemaah [pendeta] dan bertanya apa yang harus mereka lakukan. Pelayan jemaah bingung apakah ia harus menyerahkan pelarian itu atau membiarkan jemaahnya dibunuh oleh tentara. Ia masuk ke kamarnya dan membaca Kitab Suci dengan harapan akan dapat menemukan jawaban sebelum fajar. Sesudah berjam-jam ia membaca, menjelang pagi ia sampai pada ayat yang berbunyi, “Lebih baik satu orang mati demi keselamatan seluruh bangsa.” Kemudian pelayan jemaah itu menutup Kitab Sucinya, memanggil tentara-tentara dan memberitahukan tempat persembunyian pelarian itu kepada mereka. Sesudah pelarian itu dibawa pergi untuk dibunuh, di desa itu diadakan perayaan besar karena pelayan jemaah telah menyelamatkan hidup jemaahnya. Akan tetapi pelayan jemaah itu tidak ikut merayakan. Ia terbenam dalam kesedihan dan tinggal di kamarnya. Pada malam itu malaikat datang kepadanya dan bertanya, “Apa yang sudah kau lakukan?” Ia menjawab, “Saya sudah menyerahkan pelarian itu kepada musuh.” Lalu malaikat itu berkata, “Tida tahukah engkau bahwa engkau telah menyerahkan Mesias?” “Bagaimana saya tahu?” jawab pelayan jemaah itu dengan cemas. Kemudian malaikat itu berkata, “Seandainya engkau tidak membaca Kitab Suci tetapi mengunjungi pelarian itu sekali saja dan memandang matanya, engkau akan tahu” [dikutip dari Henri J.M. Nouwen, Yang Terluka yang Menyembuhkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 31].
- - - NR - - -
21 Januari 2008
Matius 4 : 18 – 22
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
GALILEA (Ibrani galil, ‘cincin, bulatan’, menjadi ‘daerah’). Nama daerah bagian Palestina Utara, tempat masa kanak-kanak Kristus dan permulaan pekerjaan-Nya. [ .. . ] Inilah wilayah, tempat Kristus bertumbuh dan dibesarkan, di Nazaret, ditengah-tengah bukit-bukit berbatu kapur daerah Galilea Bawah. Karena letaknya sedemikian rupa, daerah ini dilintasi jalan-jalan raya, justru bukan daerah mati. Pertaniannya, perikanannya, perdagang- annya dan latar belakang kebudayaannya dengan baik dikenal oleh Kristus, dimanfaatkan- Nya dalam perumpamaan-perumpamaan dan ajaran-Nya. Murid-murid Kristus yg pertama adalah dari masyarakat daerah ini, dan tempat-tempat pemukimannya yg tersebar dan padat menjadi padang misi pelayanan Kristus [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 324].
2. Eksposisi
Apakah Simon dan Andreas terdorong oleh hasrat/gerak hati yang timbul secara mendadak (ayat 20)? Tidak. Diperkirakan bahwa bukan baru kali ini Yesus bertemu dengan mereka, juga mereka dengan Yesus. Beberapa orang di antara mereka adalah murid-murid Yohanes Pembaptis (Yoh 1:35). Dengan latar belakang ini, maka diperkirakan bahwa paling tidak mereka telah pernah mendengar khotbah dan pengajaranNya. Malah mungkin sudah pernah bercakap-cakap de- ngan Yesus sendiri. Kini saatnya tiba bagi mereka untuk menjadi para murid awal dari Yesus --- “the challenge once and for all to throw their lot with him [Jesus]” [Sumber dan kutipan baha- sa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint An- drew, 1977), p. 78]. Informasi: Fresh from his baptism and temptation, Jesus launches his public ministry. Matthew stresses the fact that it continues that of John. John is arrested by Herod, and imprisoned in the terrible dungeons of Machaerus; Jesus imme- diately and boldly replaces him. John preached repentance, and that is pre- cisely the subject of Jesus’ preaching. [ . . . ] The Gentile mission would lie in the future. In the meantime Jesus was preaching the good news of the kingdom to his Jewish hearers, and that message demand- ed a response. The first to make that response were Andrew and Peter, two rough brothers in a fishing firm who were so captivated by Jesus that they left behind their belongings, their jobs and their families in order to become his disciples. Rough and ready they may have been, but they had the courage and decisiveness necessary to make these sacrifices and to follow Jesus, a step that proved too costly for the religious and the educated [kutipan dari Michael Green, The Message of Matthew (Leicester, England: IVP, 2000), pp. 84 and 86]. Apa makna informasi: “Simon yang disebut Petrus” (ayat 18; NIV: “Simon called Peter”)? Maknanya ialah bahwa panggilan “Petrus” itu baru kemudian diberikan kepada Simon (bnd. Mat 16:18). Bagaimana kita memahami tindakan Yesus untuk memilih para nelayan, dan justru bukan orang-orang yang terdidik atau mampu/berada untuk menjadi para muridNya? Seorang nelayan tulen memiliki sifat dan/atau watak sebagai berikut:
[1] Dia seorang yang sabar. Terutama sebagai pengail, ia harus bersabar sampai umpan di pancingnya disambar seekor ikan. Dia harus belajar untuk menanti.
[2] Dia harus ulet. Dia tidak cepat putus asa dan mau mencoba lagi kalau gagal.
[3] Dia harus punya “nyali” (keberanian). Ini terutama diperlukan, ketika angin keras dan topan melanda laut dan/atau danau. Itu berarti dia siap mengambil risiko.
[4] Dia harus jeli melihat adanya kesempatan. Nelayan berpengalaman tahu betul saat-saat ketika ikan dapat ditangkap dalam jumlah banyak. Kalau ia seorang penjala, ia tahu saat dan tempat yang tepat untuk menebar jalanya.
[5] Dia memakai umpan yang cocok dan menarik bagi jenis ikan yang ingin ditangkapnya.
[6] Ada jenis ikan-ikan tertentu yang peka dengan kehadiran seseorang di dekat “habitat” mereka. Seorang nelayan berpengalaman akan hanya muncul pada waktu tertentu di situ untuk menangkap ikan-ikan itu. Selebihnya ia tidak menampakkan diri. Sifat dan/atau watak para nelayan di atas juga diperlukan untuk menjadi “penjala manusia”. “It was the ordinary men whom Jesus chose. . . What Jesus needs is ordinary folk who will give him themselves. He can do anything with people like that” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Barclay, op. cit., pp. 78f.].
3. Excursus
[Dipilih dan Dipanggil Menjadi Murid] . . . kebanyakan isi keempat kitab Injil mengandung kesaksian utama tentang Yesus dan keduabelas orang “biasa” yang dipilih-Nya. Fakta mereka dipilih membedakan mereka dari murid-murid Yahudi yang memilih seorang rabi tertentu karena keahliannya dalam isi dan tafsiran Taurat. Demikian kita baca, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku-lah yang memilih kamu” (Yoh 15:16). Yang menarik pula ialah bahwa curriculum vitae mereka mustahil menjadi dasar mengapa mereka dipilih sebagai pengikut-Nya. Siapakah yang membayangkan bahwa di antara sekian banyak orang yang dipilih, justru, umpamanya, empat nelayan, seo- rang pemungut pajak, seorang revolusioner, yang Yesus pilih! Barangkali Yesus menganggap mereka lebih terbuka kepada pengajaran-Nya, karena tidak dibebani oleh prasangka gaya berpikir lama, tidak seperti halnya beberapa orang Farisi yang bertanya kepada Yesus. “Apa- kah itu berarti bahwa kami juga buta?” Jawab Yesus kepada mereka: “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh 9:40a-41). Sesudah mereka dipilih, dimulailah proses yang memakan waktu yang panjang untuk men- didik mereka ke dalam rahasia Kerajaan Allah (Mat 4:11). Bagi Hunter “Khotbah di Bukit” (Mat 5-7) merupakan silabus untuk kursus itu. . . . Walaupun menarik usaha memusatkan inti peng- ajaran Yesus pada “Khotbah di Bukit”, namun ruang lingkup yang tersedia terlampau terbatas mengingat pengajaran Yesus yang terdapat di dalam keempat Injil begitu kaya, meskipun se- bagian isinya mungkin lebih mencerminkan kebutuhan dan perspektif persekutuan Kristen perdana ketimbang pengajaran asli dari Yesus. Semua sumber pokok ini sama-sama membe- ritakan betapa rajinnya Yesus dalam pelayananan mengajar keduabelas murid dan sekelom- pok murid yang lebih banyak jumlahnya lagi. Dia ingin mengajar mereka tentang jati diri dan tugas-Nya, dan intisari arti pengabdian diri manusia kepada Allah. Sejak awal Dia telah menitikberatkan bahwa Dia tidak hanya memanggil orang-orang un- tuk membuka diri kepada pengertian baru tentang rencana Allah bagi mereka yang sedang hadir dalam Diri Pribadi-Nya, tetapi, di samping itu, mereka terpanggil untuk menerima risiko yang bersangkutan dengan Rencana itu [bnd. Mat 16:24]. . . . Kalau begitu, berbeda dengan harapan pelajar yang lazimnya ingin memperbaiki kedaannya sebagai hasil pembelajaran, pa- ra pengikut Yesus tidak dibina untuk berharap demikian. Justru sebaliknya. Sesudah mengab- dikan diri secara total kepada Yesus, terdapat kemungkinan besar bahwa keadaan lahiriahnya lebih buruk lagi. Tetapi lain sekali keadaan batiniah. Akhirnya mereka akan menerima hadiah “seratus kali lipat” dan “hidup yang kekal” pada zaman yang akan datang (Mrk 10:28-31) [kutip- an dari Robert E. Boehlke, “Jemaat-Jemaat Perjanjian Baru sebagai Paguyuban Belajar-Mengajar” dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik dengan Alkitab dan Nalar (Jakarta: BPK-GM, 1995) hlm. 306f.]. -
- - NR - - -
1. Pengantar
GALILEA (Ibrani galil, ‘cincin, bulatan’, menjadi ‘daerah’). Nama daerah bagian Palestina Utara, tempat masa kanak-kanak Kristus dan permulaan pekerjaan-Nya. [ .. . ] Inilah wilayah, tempat Kristus bertumbuh dan dibesarkan, di Nazaret, ditengah-tengah bukit-bukit berbatu kapur daerah Galilea Bawah. Karena letaknya sedemikian rupa, daerah ini dilintasi jalan-jalan raya, justru bukan daerah mati. Pertaniannya, perikanannya, perdagang- annya dan latar belakang kebudayaannya dengan baik dikenal oleh Kristus, dimanfaatkan- Nya dalam perumpamaan-perumpamaan dan ajaran-Nya. Murid-murid Kristus yg pertama adalah dari masyarakat daerah ini, dan tempat-tempat pemukimannya yg tersebar dan padat menjadi padang misi pelayanan Kristus [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 324].
2. Eksposisi
Apakah Simon dan Andreas terdorong oleh hasrat/gerak hati yang timbul secara mendadak (ayat 20)? Tidak. Diperkirakan bahwa bukan baru kali ini Yesus bertemu dengan mereka, juga mereka dengan Yesus. Beberapa orang di antara mereka adalah murid-murid Yohanes Pembaptis (Yoh 1:35). Dengan latar belakang ini, maka diperkirakan bahwa paling tidak mereka telah pernah mendengar khotbah dan pengajaranNya. Malah mungkin sudah pernah bercakap-cakap de- ngan Yesus sendiri. Kini saatnya tiba bagi mereka untuk menjadi para murid awal dari Yesus --- “the challenge once and for all to throw their lot with him [Jesus]” [Sumber dan kutipan baha- sa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint An- drew, 1977), p. 78]. Informasi: Fresh from his baptism and temptation, Jesus launches his public ministry. Matthew stresses the fact that it continues that of John. John is arrested by Herod, and imprisoned in the terrible dungeons of Machaerus; Jesus imme- diately and boldly replaces him. John preached repentance, and that is pre- cisely the subject of Jesus’ preaching. [ . . . ] The Gentile mission would lie in the future. In the meantime Jesus was preaching the good news of the kingdom to his Jewish hearers, and that message demand- ed a response. The first to make that response were Andrew and Peter, two rough brothers in a fishing firm who were so captivated by Jesus that they left behind their belongings, their jobs and their families in order to become his disciples. Rough and ready they may have been, but they had the courage and decisiveness necessary to make these sacrifices and to follow Jesus, a step that proved too costly for the religious and the educated [kutipan dari Michael Green, The Message of Matthew (Leicester, England: IVP, 2000), pp. 84 and 86]. Apa makna informasi: “Simon yang disebut Petrus” (ayat 18; NIV: “Simon called Peter”)? Maknanya ialah bahwa panggilan “Petrus” itu baru kemudian diberikan kepada Simon (bnd. Mat 16:18). Bagaimana kita memahami tindakan Yesus untuk memilih para nelayan, dan justru bukan orang-orang yang terdidik atau mampu/berada untuk menjadi para muridNya? Seorang nelayan tulen memiliki sifat dan/atau watak sebagai berikut:
[1] Dia seorang yang sabar. Terutama sebagai pengail, ia harus bersabar sampai umpan di pancingnya disambar seekor ikan. Dia harus belajar untuk menanti.
[2] Dia harus ulet. Dia tidak cepat putus asa dan mau mencoba lagi kalau gagal.
[3] Dia harus punya “nyali” (keberanian). Ini terutama diperlukan, ketika angin keras dan topan melanda laut dan/atau danau. Itu berarti dia siap mengambil risiko.
[4] Dia harus jeli melihat adanya kesempatan. Nelayan berpengalaman tahu betul saat-saat ketika ikan dapat ditangkap dalam jumlah banyak. Kalau ia seorang penjala, ia tahu saat dan tempat yang tepat untuk menebar jalanya.
[5] Dia memakai umpan yang cocok dan menarik bagi jenis ikan yang ingin ditangkapnya.
[6] Ada jenis ikan-ikan tertentu yang peka dengan kehadiran seseorang di dekat “habitat” mereka. Seorang nelayan berpengalaman akan hanya muncul pada waktu tertentu di situ untuk menangkap ikan-ikan itu. Selebihnya ia tidak menampakkan diri. Sifat dan/atau watak para nelayan di atas juga diperlukan untuk menjadi “penjala manusia”. “It was the ordinary men whom Jesus chose. . . What Jesus needs is ordinary folk who will give him themselves. He can do anything with people like that” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Barclay, op. cit., pp. 78f.].
3. Excursus
[Dipilih dan Dipanggil Menjadi Murid] . . . kebanyakan isi keempat kitab Injil mengandung kesaksian utama tentang Yesus dan keduabelas orang “biasa” yang dipilih-Nya. Fakta mereka dipilih membedakan mereka dari murid-murid Yahudi yang memilih seorang rabi tertentu karena keahliannya dalam isi dan tafsiran Taurat. Demikian kita baca, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku-lah yang memilih kamu” (Yoh 15:16). Yang menarik pula ialah bahwa curriculum vitae mereka mustahil menjadi dasar mengapa mereka dipilih sebagai pengikut-Nya. Siapakah yang membayangkan bahwa di antara sekian banyak orang yang dipilih, justru, umpamanya, empat nelayan, seo- rang pemungut pajak, seorang revolusioner, yang Yesus pilih! Barangkali Yesus menganggap mereka lebih terbuka kepada pengajaran-Nya, karena tidak dibebani oleh prasangka gaya berpikir lama, tidak seperti halnya beberapa orang Farisi yang bertanya kepada Yesus. “Apa- kah itu berarti bahwa kami juga buta?” Jawab Yesus kepada mereka: “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh 9:40a-41). Sesudah mereka dipilih, dimulailah proses yang memakan waktu yang panjang untuk men- didik mereka ke dalam rahasia Kerajaan Allah (Mat 4:11). Bagi Hunter “Khotbah di Bukit” (Mat 5-7) merupakan silabus untuk kursus itu. . . . Walaupun menarik usaha memusatkan inti peng- ajaran Yesus pada “Khotbah di Bukit”, namun ruang lingkup yang tersedia terlampau terbatas mengingat pengajaran Yesus yang terdapat di dalam keempat Injil begitu kaya, meskipun se- bagian isinya mungkin lebih mencerminkan kebutuhan dan perspektif persekutuan Kristen perdana ketimbang pengajaran asli dari Yesus. Semua sumber pokok ini sama-sama membe- ritakan betapa rajinnya Yesus dalam pelayananan mengajar keduabelas murid dan sekelom- pok murid yang lebih banyak jumlahnya lagi. Dia ingin mengajar mereka tentang jati diri dan tugas-Nya, dan intisari arti pengabdian diri manusia kepada Allah. Sejak awal Dia telah menitikberatkan bahwa Dia tidak hanya memanggil orang-orang un- tuk membuka diri kepada pengertian baru tentang rencana Allah bagi mereka yang sedang hadir dalam Diri Pribadi-Nya, tetapi, di samping itu, mereka terpanggil untuk menerima risiko yang bersangkutan dengan Rencana itu [bnd. Mat 16:24]. . . . Kalau begitu, berbeda dengan harapan pelajar yang lazimnya ingin memperbaiki kedaannya sebagai hasil pembelajaran, pa- ra pengikut Yesus tidak dibina untuk berharap demikian. Justru sebaliknya. Sesudah mengab- dikan diri secara total kepada Yesus, terdapat kemungkinan besar bahwa keadaan lahiriahnya lebih buruk lagi. Tetapi lain sekali keadaan batiniah. Akhirnya mereka akan menerima hadiah “seratus kali lipat” dan “hidup yang kekal” pada zaman yang akan datang (Mrk 10:28-31) [kutip- an dari Robert E. Boehlke, “Jemaat-Jemaat Perjanjian Baru sebagai Paguyuban Belajar-Mengajar” dalam Ioanes Rakhmat (ed.), Mendidik dengan Alkitab dan Nalar (Jakarta: BPK-GM, 1995) hlm. 306f.]. -
- - NR - - -
Called to Be Saints
Isaiah 49:3, 5-6 1 Corinthians 1:1-3 John 1:29-34
Henry III of Bavaria was a God-fearing king but the demands of being a ruler did not leave him much time for spiritual exercises. One day he got so fed up with being a king that he went to Prior Richard at the local monastery and asked to be admitted as a monk for the rest of his life. “Your Majesty,” said Prior Richard, “do you understand that the pledge here is one of obedience? That will be hard because you have been a king.” “I understand,” said Henry. “The rest of my life I will be obedient to you, as Christ leads you.” “Then I will tell you what to do,” said Prior Richard. “Go back to your throne and serve faithfully in the place where God has put you.” King Henry returned to his throne, ruled his people with the fear of God, and became a saintly king. In today’s second reading, Paul reminds us that we are “called to be saints” (1 Corinthians1:2). Like King Henry we sometimes believe that we need to run away from the demands of family and profession and escape to a monastery, a convent or the desert, where it will be easy to become a saint. But, as we learn from the wise counsel of Prior Richard, God expects us to be saints in the concrete situations of our personal, family and business or professional lives.
Our second reading today is just the opening section of Paul’s First Letter to the Corinthians. It consists of three verses: verse 1 in which Paul introduces himself and Sosthenes as the writers of the letter, verse 2 in which he speaks of the Corinthians as those to whom the letter is addressed, and verse 3 in which he gives them his opening greeting. Why does the church offer us this reading for our spiritual nourishment today as we begin the long period of Sundays in Ordinary Time? It is because of the deep spiritual message contained in verse 2. We shall look at this verse more closely.
Paul … To the church of God that is in Corinth, to those who are sanctified in Christ Jesus, called to be saints, together with all those who in every place call on the name of our Lord Jesus Christ, both their Lord and ours (1 Corinthians 1:2)
There are two interesting points in this verse. (1) Paul does not address the word of God to the Corinthians alone but also to “all those who in every place call on the name of our Lord Jesus Christ.” That includes us gathered here today to call on the Lord’s name. The word of God we shall be reading all this year will be addressed to various local churches – Romans, Corinthians, Galatians, Ephesians, Colossians, and so on. It helps to know that, though we live in different times and cultures, the same word is also, in some way, addressed to us. (2) Paul refers to those to whom the word is addresses as men and women “called to be saints.” Again that includes us. We may not feel like we are saints yet, but that is the purpose for which God has called us. We are all called to holiness.
A saint or someone who has been sanctified literally means someone who has been set apart. That God has called us to be saints means that God means for us to be special people in the world, not people who simply follow the crowd wherever the current wind blows.
For some of us the call of God may require a change of state in life. God may require of us what Jesus required of his disciples, “If you wish to be perfect, go, sell your possessions, and give the money to the poor, and you will have treasure in heaven; then come, follow me” (Matthew 19:21). The life of such a disciple is a life-long quest for perfection according to the mind of Jesus.
For most of us, however, God calls us to be His faithful children in the midst of the trials and challenges of normal life in society. The call of God is that we be in the world but not of the world. We participate fully in society, in politics, in business, including show business, in education, in health-care delivery, and in dispensing justice through making and implementing just laws.
It is possible to be a saint even in the entertainment industry. Mel Gibson has shown that one can make a blockbuster movie without compromising one’s Christian principles. His “Passion of the Christ” was at the same time engaging and uplifting, captivating and inspiring. That is a good example of how one can participate fully in business and professional life without hiding one’s light under a bushel. God has called us to be saints. Let us ask God today to teach us how to live saintly lives in our families and in whatever occupation in which we find ourselves.
Henry III of Bavaria was a God-fearing king but the demands of being a ruler did not leave him much time for spiritual exercises. One day he got so fed up with being a king that he went to Prior Richard at the local monastery and asked to be admitted as a monk for the rest of his life. “Your Majesty,” said Prior Richard, “do you understand that the pledge here is one of obedience? That will be hard because you have been a king.” “I understand,” said Henry. “The rest of my life I will be obedient to you, as Christ leads you.” “Then I will tell you what to do,” said Prior Richard. “Go back to your throne and serve faithfully in the place where God has put you.” King Henry returned to his throne, ruled his people with the fear of God, and became a saintly king. In today’s second reading, Paul reminds us that we are “called to be saints” (1 Corinthians1:2). Like King Henry we sometimes believe that we need to run away from the demands of family and profession and escape to a monastery, a convent or the desert, where it will be easy to become a saint. But, as we learn from the wise counsel of Prior Richard, God expects us to be saints in the concrete situations of our personal, family and business or professional lives.
Our second reading today is just the opening section of Paul’s First Letter to the Corinthians. It consists of three verses: verse 1 in which Paul introduces himself and Sosthenes as the writers of the letter, verse 2 in which he speaks of the Corinthians as those to whom the letter is addressed, and verse 3 in which he gives them his opening greeting. Why does the church offer us this reading for our spiritual nourishment today as we begin the long period of Sundays in Ordinary Time? It is because of the deep spiritual message contained in verse 2. We shall look at this verse more closely.
Paul … To the church of God that is in Corinth, to those who are sanctified in Christ Jesus, called to be saints, together with all those who in every place call on the name of our Lord Jesus Christ, both their Lord and ours (1 Corinthians 1:2)
There are two interesting points in this verse. (1) Paul does not address the word of God to the Corinthians alone but also to “all those who in every place call on the name of our Lord Jesus Christ.” That includes us gathered here today to call on the Lord’s name. The word of God we shall be reading all this year will be addressed to various local churches – Romans, Corinthians, Galatians, Ephesians, Colossians, and so on. It helps to know that, though we live in different times and cultures, the same word is also, in some way, addressed to us. (2) Paul refers to those to whom the word is addresses as men and women “called to be saints.” Again that includes us. We may not feel like we are saints yet, but that is the purpose for which God has called us. We are all called to holiness.
A saint or someone who has been sanctified literally means someone who has been set apart. That God has called us to be saints means that God means for us to be special people in the world, not people who simply follow the crowd wherever the current wind blows.
For some of us the call of God may require a change of state in life. God may require of us what Jesus required of his disciples, “If you wish to be perfect, go, sell your possessions, and give the money to the poor, and you will have treasure in heaven; then come, follow me” (Matthew 19:21). The life of such a disciple is a life-long quest for perfection according to the mind of Jesus.
For most of us, however, God calls us to be His faithful children in the midst of the trials and challenges of normal life in society. The call of God is that we be in the world but not of the world. We participate fully in society, in politics, in business, including show business, in education, in health-care delivery, and in dispensing justice through making and implementing just laws.
It is possible to be a saint even in the entertainment industry. Mel Gibson has shown that one can make a blockbuster movie without compromising one’s Christian principles. His “Passion of the Christ” was at the same time engaging and uplifting, captivating and inspiring. That is a good example of how one can participate fully in business and professional life without hiding one’s light under a bushel. God has called us to be saints. Let us ask God today to teach us how to live saintly lives in our families and in whatever occupation in which we find ourselves.
Roma 5 : 1 – 11
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya, lebih-lebih kita, yang sekarang ini telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan (ayat 10).
1. Pengantar
Surat Paulus ini mengambil titik tumpuannya pada perkembangan yang lampau: apakah sebenarnya peranan orang Yahudi dalam rencana penyelamatan oleh Allah? Apakah arti taurat? Apakah kedudukan orang yang bukan-Yahudi? [ . . . ]
Dalam fs. 4-8 hubungan “iman” dan “taurat” diuraikan lebih lanjut. Pertama-tama untuk menjauhkan pikiran bahwa seakan-akan iman itu suatu hal yang sama sekali baru. Sebenarnya iman itu sudah menjadi saluran sejak purbakala. Bukankah Abraham percaya kepada janji Allah dan itulah sebabnya ia diterima oleh Allah (fs. 4, khususnya ay 3). Demikian juga sekarang ini pemberian Allah di dalam Yesus Kristus diterima karena iman saja (5:1-11) [kutipan dari M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 96f.].
Informasi: What to look for in Romans:
Watch for the major themes of faith, grace, righteousness and justification. You’ll find the foundation of the gospel that comes by grace through faith in the first 11 chapters. Then, in the last five chapters, you’ll discover practical implications of faith and righteousness --- how the teaching works out in everyday life [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, MIch.: Zondervan, 2003), p. 1609].
2. Eksposisi
(Sebatas ayat 10 saja]
Ada tiga kata dalam ayat 10 yang menarik dan perlu kita perhatikan: (i) “seteru” (NIV: “enemies”), (ii) “diperdamaikan” (NIV: “reconciled”). (iii) “diselamatkan” (NIV: “saved”).
Untuk menjelaskan apa arti dan makna kata-kata di atas, sekaligus menghayati gagasan Paulus yang terkandung dalam ayat 10 ini, ada baiknya kita mengingat kembali “Perumpamaan tentang Anak yang Hilang” (Luk 15:11-32).
(i).“Seteru”. Sejak sang Anak meninggalkan rumah ayahnya, hubungan dengan ayahnya merenggang. Hubungan dengan ayahnya juga berubah. Tidak terlalu meleset jauh untuk menganggapnya sebagai seorang pembangkang terhadap ayahnya. Si Anak telah membuat dirinya terasing dari ayahnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Paulus bahwa sebelum penyaliban Yesus, kita menjadi “seteru” Allah. Seperti si anak tadi, kitalah yang membuat diri kita menjadi seteru Allah, bukan Allah terhadap kita.
Informasi: The Bible locates the origin of hostility in sin. Human beings have been twisted and our original form distorted. We were created to love God and others. But sin’s warping power has distorted this natural order of interpersonal relationships. Sin has also created hostility to God. We have become rebels in thought and action. “We were God’s enemies,” Paul affirms (Ro 5:10), and he develops this thought in other passages [a.l. Rm 8:7, Ef 2:14-16, Kol 1:21] [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 248].
(ii) “Diperdamaikan”. Si anak yang hilang itu sekarang melarat. Teman-teman akrabnya telah pergi. Kelaparan, mau makan makanan babi tidak diperbolehkan. Dia ingat rumah ayahnya. Dia memutuskan untuk pulang. Ayahnya dengan ramah dan hangat menerimanya kembali. Dengan itu terjadilah peristiwa pendamaian (“rekonsiliasi”). Itu berarti bahwa keterasingan harus dihilangkan, juga keadaan berseteru harus ditinggalkan, sehingga pendamaian dapat diwujudkan. Status sang Anak juga berubah. Ia bukan lagi seteru terhadap ayahnya. Menurut Paulus melalui penyaliban Yesus kita “diperdamaikan” dengan Allah. Oleh darahNya kita dibenarkan dan disucikan.
Informasi: People are the enemies of God, not the reverse. Thus the hostility must be removed from us if reconciliation is to be accomplished. Good took the initiative in bringing this about through the death of his Son (see [Ro. 5]:11; Col. 1:21-22). To reconcile is to put an end to hostility. Thus through Christ, believers are no longer enemies of God. Because of sin we were standing in conflict with God’s holiness and justice. Jesus paid our sin debt so we can again have the fellowship with God that sin destroyed (Gen. 3) [kutipan dari Quest Study Bible, p. 1615].
(iii) “Diselamatkan” Dengan berada kembali di rumah ayahnya, sang Anak untuk seterusnya terjamin kehidupannya. Kebutuhannya akan selalu tercukupi. Ia tidak akan merasa kelaparan lagi. Jadinya ada perubahan keadaan. Itu karena kini ada hubungan yang baik lagi dengan ayahnya. Ia sudah selamat.
Informasi: Dalam gereja kata “selamat” dan “keselamatan” biasanya dipergunakan dengan arti keselamatan dari dosa dan neraka. Arti itu memang penting dalam Alkitab. Allah menyelamatkan kita dari dosa (Mat 1:21; Luk 1:77); penghukuman (Yoh 3:17; 12:47); kebinasaan (1 Kor 1:18) dan maut (Yoh 5:20; Luk 6:19). Kesela- matan itu dapat dialami sekarang dalam hubungan baru dengan Tuhan (1Kor 15:20), tetapi baru disem- purnakan waktu Kristus kembali (Mat 10:22; Mrk 13:13). Namun arti keselamatan tidak terbatas kepada segi rohani dari kehidupan. “Selamat” dalam Alkitab artinya mirip dengan artinya dalam Bahasa Indonesia. Orang selamat mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, sesamanya, dan diri sendiri. Selamat juga berarti sehat, sejahtera dan bebas dari penin- dasan dan penaklukan. Dalam Alkitab istilah “keselamatan” atau “menyelamatkan” sering berhubungan dengan pelepasan dari bahaya, bencana, atau maut. Allah menyelamatkan bangsa Israel dari bangsa- bangsa yang memusuhinya. Ia menyelamatkan orang-orang yang tertindas dan yang sakit. . . . Waktu Perjanjian Baru membicarakan keselamatan dari dosa, segi rohani menonjol. Namun dosa mempenga- ruhi tubuh manusia, bukan rohnya saja, dan keselamatan dari dosa menyangkut tubuh juga [kutipan dari Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK-GM, 1987), hlm. 9ff.].
3. Refleksi
Seorang pembicara mengangkat sebuah ilustrasi. “Seorang ayah, anaknya, dan teman anak- nya berlayar ke Samudra Pasifik. Namun, ombak dan badai menyerang sehingga mereka ter- lempar ke laut. Karena hanya punya satu tali penyelamat, sang ayah harus memutuskan si- apa yang ia akan tolong. Anaknya adalah seorang pengikut Kristus, sedangkan teman anak- nya bukan. Akhirnya ia berteriak, “Aku mengasihimu, anakku” dan melemparkan tali itu kepa- da teman anaknya. Saat itu juga, anaknya menghilang ditelan gelombang. Begitu besarnya pula kasih Allah, sehingga Dia melakukan hal yang sama kepada kita.” Usai kebaktian, dua remaja menghampiri si pembicara. “Saya pikir tidak realistis bila sang ayah mengorbankan anaknya dengan berharap teman anaknya itu akan mengikut Kristus.” “Benar sekali,” jawab si pembicara. “Tetapi sebesar itulah kasih Allah, buktinya . . . sayalah teman si anak itu.” Roma 5:8 mengatakan kepada kita, “Allah menunjukkan kasihnya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita.” Ya, Yesus telah mati untuk se- mua orang, termasuk orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, kita yang sudah menerima keselamatan harus selalu mengingat mandat Allah bagi kita untuk “menjadikan semua bangsa murid-Ku (Matius 28:19). Saat ini, pintu kemurahan Allah masih terbuka. Marilah kita bersaksi tentang cinta-Nya kepada orang-orang yang kita jumpai di se- panjang perjalanan hidup ini. Dia telah mengurbankan hidup-Nya agar seluruh isi dunia ber- oleh hidup kekal! [kutipan dari Renungan Harian, Minggu 20 Januari 2008 (Yogyakarta: Yayasan Gloria)].
- - - NR - - -
Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya, lebih-lebih kita, yang sekarang ini telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan (ayat 10).
1. Pengantar
Surat Paulus ini mengambil titik tumpuannya pada perkembangan yang lampau: apakah sebenarnya peranan orang Yahudi dalam rencana penyelamatan oleh Allah? Apakah arti taurat? Apakah kedudukan orang yang bukan-Yahudi? [ . . . ]
Dalam fs. 4-8 hubungan “iman” dan “taurat” diuraikan lebih lanjut. Pertama-tama untuk menjauhkan pikiran bahwa seakan-akan iman itu suatu hal yang sama sekali baru. Sebenarnya iman itu sudah menjadi saluran sejak purbakala. Bukankah Abraham percaya kepada janji Allah dan itulah sebabnya ia diterima oleh Allah (fs. 4, khususnya ay 3). Demikian juga sekarang ini pemberian Allah di dalam Yesus Kristus diterima karena iman saja (5:1-11) [kutipan dari M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 96f.].
Informasi: What to look for in Romans:
Watch for the major themes of faith, grace, righteousness and justification. You’ll find the foundation of the gospel that comes by grace through faith in the first 11 chapters. Then, in the last five chapters, you’ll discover practical implications of faith and righteousness --- how the teaching works out in everyday life [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, MIch.: Zondervan, 2003), p. 1609].
2. Eksposisi
(Sebatas ayat 10 saja]
Ada tiga kata dalam ayat 10 yang menarik dan perlu kita perhatikan: (i) “seteru” (NIV: “enemies”), (ii) “diperdamaikan” (NIV: “reconciled”). (iii) “diselamatkan” (NIV: “saved”).
Untuk menjelaskan apa arti dan makna kata-kata di atas, sekaligus menghayati gagasan Paulus yang terkandung dalam ayat 10 ini, ada baiknya kita mengingat kembali “Perumpamaan tentang Anak yang Hilang” (Luk 15:11-32).
(i).“Seteru”. Sejak sang Anak meninggalkan rumah ayahnya, hubungan dengan ayahnya merenggang. Hubungan dengan ayahnya juga berubah. Tidak terlalu meleset jauh untuk menganggapnya sebagai seorang pembangkang terhadap ayahnya. Si Anak telah membuat dirinya terasing dari ayahnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Paulus bahwa sebelum penyaliban Yesus, kita menjadi “seteru” Allah. Seperti si anak tadi, kitalah yang membuat diri kita menjadi seteru Allah, bukan Allah terhadap kita.
Informasi: The Bible locates the origin of hostility in sin. Human beings have been twisted and our original form distorted. We were created to love God and others. But sin’s warping power has distorted this natural order of interpersonal relationships. Sin has also created hostility to God. We have become rebels in thought and action. “We were God’s enemies,” Paul affirms (Ro 5:10), and he develops this thought in other passages [a.l. Rm 8:7, Ef 2:14-16, Kol 1:21] [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 248].
(ii) “Diperdamaikan”. Si anak yang hilang itu sekarang melarat. Teman-teman akrabnya telah pergi. Kelaparan, mau makan makanan babi tidak diperbolehkan. Dia ingat rumah ayahnya. Dia memutuskan untuk pulang. Ayahnya dengan ramah dan hangat menerimanya kembali. Dengan itu terjadilah peristiwa pendamaian (“rekonsiliasi”). Itu berarti bahwa keterasingan harus dihilangkan, juga keadaan berseteru harus ditinggalkan, sehingga pendamaian dapat diwujudkan. Status sang Anak juga berubah. Ia bukan lagi seteru terhadap ayahnya. Menurut Paulus melalui penyaliban Yesus kita “diperdamaikan” dengan Allah. Oleh darahNya kita dibenarkan dan disucikan.
Informasi: People are the enemies of God, not the reverse. Thus the hostility must be removed from us if reconciliation is to be accomplished. Good took the initiative in bringing this about through the death of his Son (see [Ro. 5]:11; Col. 1:21-22). To reconcile is to put an end to hostility. Thus through Christ, believers are no longer enemies of God. Because of sin we were standing in conflict with God’s holiness and justice. Jesus paid our sin debt so we can again have the fellowship with God that sin destroyed (Gen. 3) [kutipan dari Quest Study Bible, p. 1615].
(iii) “Diselamatkan” Dengan berada kembali di rumah ayahnya, sang Anak untuk seterusnya terjamin kehidupannya. Kebutuhannya akan selalu tercukupi. Ia tidak akan merasa kelaparan lagi. Jadinya ada perubahan keadaan. Itu karena kini ada hubungan yang baik lagi dengan ayahnya. Ia sudah selamat.
Informasi: Dalam gereja kata “selamat” dan “keselamatan” biasanya dipergunakan dengan arti keselamatan dari dosa dan neraka. Arti itu memang penting dalam Alkitab. Allah menyelamatkan kita dari dosa (Mat 1:21; Luk 1:77); penghukuman (Yoh 3:17; 12:47); kebinasaan (1 Kor 1:18) dan maut (Yoh 5:20; Luk 6:19). Kesela- matan itu dapat dialami sekarang dalam hubungan baru dengan Tuhan (1Kor 15:20), tetapi baru disem- purnakan waktu Kristus kembali (Mat 10:22; Mrk 13:13). Namun arti keselamatan tidak terbatas kepada segi rohani dari kehidupan. “Selamat” dalam Alkitab artinya mirip dengan artinya dalam Bahasa Indonesia. Orang selamat mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, sesamanya, dan diri sendiri. Selamat juga berarti sehat, sejahtera dan bebas dari penin- dasan dan penaklukan. Dalam Alkitab istilah “keselamatan” atau “menyelamatkan” sering berhubungan dengan pelepasan dari bahaya, bencana, atau maut. Allah menyelamatkan bangsa Israel dari bangsa- bangsa yang memusuhinya. Ia menyelamatkan orang-orang yang tertindas dan yang sakit. . . . Waktu Perjanjian Baru membicarakan keselamatan dari dosa, segi rohani menonjol. Namun dosa mempenga- ruhi tubuh manusia, bukan rohnya saja, dan keselamatan dari dosa menyangkut tubuh juga [kutipan dari Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK-GM, 1987), hlm. 9ff.].
3. Refleksi
Seorang pembicara mengangkat sebuah ilustrasi. “Seorang ayah, anaknya, dan teman anak- nya berlayar ke Samudra Pasifik. Namun, ombak dan badai menyerang sehingga mereka ter- lempar ke laut. Karena hanya punya satu tali penyelamat, sang ayah harus memutuskan si- apa yang ia akan tolong. Anaknya adalah seorang pengikut Kristus, sedangkan teman anak- nya bukan. Akhirnya ia berteriak, “Aku mengasihimu, anakku” dan melemparkan tali itu kepa- da teman anaknya. Saat itu juga, anaknya menghilang ditelan gelombang. Begitu besarnya pula kasih Allah, sehingga Dia melakukan hal yang sama kepada kita.” Usai kebaktian, dua remaja menghampiri si pembicara. “Saya pikir tidak realistis bila sang ayah mengorbankan anaknya dengan berharap teman anaknya itu akan mengikut Kristus.” “Benar sekali,” jawab si pembicara. “Tetapi sebesar itulah kasih Allah, buktinya . . . sayalah teman si anak itu.” Roma 5:8 mengatakan kepada kita, “Allah menunjukkan kasihnya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita.” Ya, Yesus telah mati untuk se- mua orang, termasuk orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, kita yang sudah menerima keselamatan harus selalu mengingat mandat Allah bagi kita untuk “menjadikan semua bangsa murid-Ku (Matius 28:19). Saat ini, pintu kemurahan Allah masih terbuka. Marilah kita bersaksi tentang cinta-Nya kepada orang-orang yang kita jumpai di se- panjang perjalanan hidup ini. Dia telah mengurbankan hidup-Nya agar seluruh isi dunia ber- oleh hidup kekal! [kutipan dari Renungan Harian, Minggu 20 Januari 2008 (Yogyakarta: Yayasan Gloria)].
- - - NR - - -
13 Januari 2008
Yosua 24 : 14 - 18
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
1.1. Kronologi Kira-kira (kr.) thn. 1406 sM: Umat Israel mulai memasuki Tanah Kanaan. kr. thn. 1406-1375 sM : Secara bertahap Tanah Kanaan diduduki. kr. thn. 1390 sM : Yosua meninggal. Kitab Yosua ditulis. kr. thn. 1375 sM : Dimulainya masa pelayanan para hakim. Thn. 1050 sM : Saul diangkat menjadi raja. Thn. 1010 sM : Daud diangkat menjadi raja. Thn. 930 sM : Kerajaan Israel pecah menjadi dua --- utara: Israel; selatan: Yehuda [Sumber Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 298].
1.2. “Why Read this book?” Have you ever wished for a second chance? Perhaps you squandered a rare opportunity. Maybe you tried something, but your halfhearted attempt failed. Or perhaps you wasted the prime time of you life, a precious gift or a valued friendship. The book of Joshua reminds us that God often offers us a second chance. Though the Israelites failed to enter the promised land the first time, and though they wasted 40 years for the failure, God gave the next generation another chance. Having learned their lesson, the results were different the second time around. The story of their conquest and settlement of the land is inspiring [kutipan dari Ibid.].
2. Susunan, Konteks dan Sinopsis
Fasal 24: Pembaharuan perjanjian di Sikhem (ayat 1-28). Yosua dan Elieser mati dan dikubur- kan. Tulang-tulang Yusuf dikuburkan (29-33) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanji- an Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 71]. Informasi: Bagian paling akhir Kitab Yosua (bab 24) memang menceritakan bahwa Yosua memperbaharui perjanjian Allah dengan umat. Mungkin aslinya cerita ini menge- nai peristiwa bahwa sejumlah suku yang tetap tinggal di negeri Palestina mengga- bungkan diri dengan mereka yang memasuki negeri. Suku-suku yang mengga- bungkan diri mengambil alih agama dari suku-suku lain. Rupanya perayaan pembaharuan perjanjian dengan Tuhan berulang kali diadakan. Tetapi dalam Kitab Yosua sekarang, cerita itu menegaskan bahwa perebutan negeri Palestina merupakan pelaksanaan perjanjian. Dalam perebutan itu ternyata Tuhan kembali melimpahkan anugerah-Nya atas umat pilihan-Nya. Tetapi umat mesti menang- gapi kasih karunia Tuhan itu dengan kesetiaan dan ketaatan. Dengan demikian terjaminlah bahwa Tanah Suci tetap dapat dan boleh dinikmati oleh umat [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 141f.].
3. Eksposisi
3.1. Ayat 14: “ . . . takutlah akan Tuhan”. Seruan “janganlah takut” telah disampaikan beberapa kali (8:1; 10:8,25). Tetapi di sini, seruannya ialah “takutlah”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Alkitab pada kesempatan Abrahan telah selesai membawa putranya Ishak ke atas bukit Moria. Abraham diperintahkan Tuhan ke situ untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran. Persis ketika Abraham akan menyembelih putranya itu, malaikat Tuhan meng-interupsi-nya dan berkata: “. . . telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah . . .” (Kej 22:12). Dalam konteks ini “takut akan Allah” adalah patuh kepada kehendakNya, apapun konsekuensi-konsekuensinya. “Takutlah akan Tuhan” hendaklah diwujudnyatakan dalam “beribadahlah kepadaNya dengan tulus ikhlas dan setia” (NIV: “serve him with all faithfulness”). “It is true that God had served Israel, as he had earlier reminded them, but they were also to serve God, and do it faithfully” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Charles Price, Dis- covering Joshua (Leicester,England: Crossway Books, IVP, 1997), p. 177f.]. Mengapa mereka diperintahkan untuk menjauhkan allah yang kepadanya nenek moyang mereka telah beribadah? Allah menuntut “mono-loyalitas”. Dalam keseluruhannya umat Israel telah berpaut kepada Tuhan (23:8). Tetapi dalam berbagai kasus mereka ternyata tidak “tulus dan jujur” kepada Tuhan. Ini tentunya karena pengaruh bangsa- bangsa tetangga mereka yang menyembah berhala. Kemungkinan lain ialah bahwa mereka beranggapan: siapa tahu, Allah tidak lagi mempedulikan mere- ka, toh, masih ada allah lain yang juga bisa diandalkan [Sumber: Quest . . ., p. 331].
3.2. Ayat 15: Yosua cukup bijaksana menyatakan bahwa ada kemungkinan memilih: atau allah yg kepadanya nenek moyangmu beribadah . . . atau allah orang Amori yg negerinya kamu diami ini. Yg terakhir ini menjadi pencobaan yg terus-mene- rus dalam sejarah kemudian dari Israel. Ada kesempatan memilih. Yosua me- nyatakan pilihannya yg tak dapat diganggu-gugat. Tetapi aku dan seisi rumah- ku, kami akan akan beribadah kepada TUHAN! [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 380f.].
Informasi:
In every action of life man is confronted with a choice; and he can never evade the choice, because he can never stand still. He must always take one way or the other. Because of that, it has always been one of the supreme functions of the great men of history that they should confront men with that inevitable choice. . . . When Joshua was laying down leadership of the nation at the end of his life, he presented [the Israelites] with the . . . choice: “Choose this day whom you will serve” (Joshua 24:15) [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1977), pp. 277f.].
3.3. Ayat 16-18: Pilihan Umat Umat memilih untuk beribadah kepada Tuhan. Mereka mengakui karya Tuhan yang membebaskan mereka dari Mesir, mengantar mereka memasuki Tanah Kanaan, dan mendudukinya. Yosua mengikat mereka dalam perjanjian yang diperbaharui dalam cara sekhidmat mungkin Informasi: Berbeda dengan perjanjian-perjanjian lain dalam Alkitab, perjanjian Musa [di Sinai] haruslah selalu diperbaharui lagi oleh umat. Setiap generasi wajib ber- janji untuk mematuhi hukum (Taurat) yang diberikan Tuhan kepada mereka melalui Musa di Sinai. Setiap generasi wajib memilih kepada siapa mereka beribadah. Hingga saat ini anak-anak orang Yahudi yang telah berusia 12 tahun diwajibkan untuk memilih kepada siapa mereka akan beribadah (bnd. upacara “sidi”].
When he becomes bar mitzvah, a “son of the commandment”, he accepts responsibility to live in accord with the stipulations lain down in the ancient Mosaic code” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari New International Encyclo- pedia of Bile Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p.196].
- - - NR - - -
1. Pengantar
1.1. Kronologi Kira-kira (kr.) thn. 1406 sM: Umat Israel mulai memasuki Tanah Kanaan. kr. thn. 1406-1375 sM : Secara bertahap Tanah Kanaan diduduki. kr. thn. 1390 sM : Yosua meninggal. Kitab Yosua ditulis. kr. thn. 1375 sM : Dimulainya masa pelayanan para hakim. Thn. 1050 sM : Saul diangkat menjadi raja. Thn. 1010 sM : Daud diangkat menjadi raja. Thn. 930 sM : Kerajaan Israel pecah menjadi dua --- utara: Israel; selatan: Yehuda [Sumber Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 298].
1.2. “Why Read this book?” Have you ever wished for a second chance? Perhaps you squandered a rare opportunity. Maybe you tried something, but your halfhearted attempt failed. Or perhaps you wasted the prime time of you life, a precious gift or a valued friendship. The book of Joshua reminds us that God often offers us a second chance. Though the Israelites failed to enter the promised land the first time, and though they wasted 40 years for the failure, God gave the next generation another chance. Having learned their lesson, the results were different the second time around. The story of their conquest and settlement of the land is inspiring [kutipan dari Ibid.].
2. Susunan, Konteks dan Sinopsis
Fasal 24: Pembaharuan perjanjian di Sikhem (ayat 1-28). Yosua dan Elieser mati dan dikubur- kan. Tulang-tulang Yusuf dikuburkan (29-33) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanji- an Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 71]. Informasi: Bagian paling akhir Kitab Yosua (bab 24) memang menceritakan bahwa Yosua memperbaharui perjanjian Allah dengan umat. Mungkin aslinya cerita ini menge- nai peristiwa bahwa sejumlah suku yang tetap tinggal di negeri Palestina mengga- bungkan diri dengan mereka yang memasuki negeri. Suku-suku yang mengga- bungkan diri mengambil alih agama dari suku-suku lain. Rupanya perayaan pembaharuan perjanjian dengan Tuhan berulang kali diadakan. Tetapi dalam Kitab Yosua sekarang, cerita itu menegaskan bahwa perebutan negeri Palestina merupakan pelaksanaan perjanjian. Dalam perebutan itu ternyata Tuhan kembali melimpahkan anugerah-Nya atas umat pilihan-Nya. Tetapi umat mesti menang- gapi kasih karunia Tuhan itu dengan kesetiaan dan ketaatan. Dengan demikian terjaminlah bahwa Tanah Suci tetap dapat dan boleh dinikmati oleh umat [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 141f.].
3. Eksposisi
3.1. Ayat 14: “ . . . takutlah akan Tuhan”. Seruan “janganlah takut” telah disampaikan beberapa kali (8:1; 10:8,25). Tetapi di sini, seruannya ialah “takutlah”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Alkitab pada kesempatan Abrahan telah selesai membawa putranya Ishak ke atas bukit Moria. Abraham diperintahkan Tuhan ke situ untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran. Persis ketika Abraham akan menyembelih putranya itu, malaikat Tuhan meng-interupsi-nya dan berkata: “. . . telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah . . .” (Kej 22:12). Dalam konteks ini “takut akan Allah” adalah patuh kepada kehendakNya, apapun konsekuensi-konsekuensinya. “Takutlah akan Tuhan” hendaklah diwujudnyatakan dalam “beribadahlah kepadaNya dengan tulus ikhlas dan setia” (NIV: “serve him with all faithfulness”). “It is true that God had served Israel, as he had earlier reminded them, but they were also to serve God, and do it faithfully” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Charles Price, Dis- covering Joshua (Leicester,England: Crossway Books, IVP, 1997), p. 177f.]. Mengapa mereka diperintahkan untuk menjauhkan allah yang kepadanya nenek moyang mereka telah beribadah? Allah menuntut “mono-loyalitas”. Dalam keseluruhannya umat Israel telah berpaut kepada Tuhan (23:8). Tetapi dalam berbagai kasus mereka ternyata tidak “tulus dan jujur” kepada Tuhan. Ini tentunya karena pengaruh bangsa- bangsa tetangga mereka yang menyembah berhala. Kemungkinan lain ialah bahwa mereka beranggapan: siapa tahu, Allah tidak lagi mempedulikan mere- ka, toh, masih ada allah lain yang juga bisa diandalkan [Sumber: Quest . . ., p. 331].
3.2. Ayat 15: Yosua cukup bijaksana menyatakan bahwa ada kemungkinan memilih: atau allah yg kepadanya nenek moyangmu beribadah . . . atau allah orang Amori yg negerinya kamu diami ini. Yg terakhir ini menjadi pencobaan yg terus-mene- rus dalam sejarah kemudian dari Israel. Ada kesempatan memilih. Yosua me- nyatakan pilihannya yg tak dapat diganggu-gugat. Tetapi aku dan seisi rumah- ku, kami akan akan beribadah kepada TUHAN! [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 380f.].
Informasi:
In every action of life man is confronted with a choice; and he can never evade the choice, because he can never stand still. He must always take one way or the other. Because of that, it has always been one of the supreme functions of the great men of history that they should confront men with that inevitable choice. . . . When Joshua was laying down leadership of the nation at the end of his life, he presented [the Israelites] with the . . . choice: “Choose this day whom you will serve” (Joshua 24:15) [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1977), pp. 277f.].
3.3. Ayat 16-18: Pilihan Umat Umat memilih untuk beribadah kepada Tuhan. Mereka mengakui karya Tuhan yang membebaskan mereka dari Mesir, mengantar mereka memasuki Tanah Kanaan, dan mendudukinya. Yosua mengikat mereka dalam perjanjian yang diperbaharui dalam cara sekhidmat mungkin Informasi: Berbeda dengan perjanjian-perjanjian lain dalam Alkitab, perjanjian Musa [di Sinai] haruslah selalu diperbaharui lagi oleh umat. Setiap generasi wajib ber- janji untuk mematuhi hukum (Taurat) yang diberikan Tuhan kepada mereka melalui Musa di Sinai. Setiap generasi wajib memilih kepada siapa mereka beribadah. Hingga saat ini anak-anak orang Yahudi yang telah berusia 12 tahun diwajibkan untuk memilih kepada siapa mereka akan beribadah (bnd. upacara “sidi”].
When he becomes bar mitzvah, a “son of the commandment”, he accepts responsibility to live in accord with the stipulations lain down in the ancient Mosaic code” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari New International Encyclo- pedia of Bile Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p.196].
- - - NR - - -
Ulangan 7 : 12 – 16
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Kronologi kr. (kira-kira) tahun 1446 sM: Keluaran (Exodus) dari Mesir. kr. 1446-1406 sM : Pengembaraan di padang gurun. kr. 1445 sM : Pemberian Dasa Titah kr. 1406 sM : Musa meninggal dan digantikan oleh Yosua. Umat Israel memasuki Tanah Kanaan. Kitab Ulangan ditulis. [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 246]. Informasi Kitab Ulangan seperti yang ada pada kita sekarang, adalah puncak kulminasi dari satu sejarah yang panjang, pokok utamanya masih dapat kita temukan kem- bali dengan beberapa perkiraan. Di kerajaan Utara, sebelum kejatuhan Samaria tahun 721 [sM], orang-orang mulai menyadari bahwa peraturan-peraturan yang diberikan oleh Musa tak se- suai lagi dengan kenyataan: dibuat untuk kaum pengembara, sedangkan Israel sudah menjadi bangsa yang terorganisasi (negara). Problem-problem baru muncul, dengan tingkat kesungguhan yang lebih kecil atau besar. Sebagai contoh, wajib militer bagi pria muda yang telah menikah, ba- haya dari sekte-sekte kafir yang dipraktekkan di Kanaan; ketidakadilan dari go- longan kaya yang menggilas mereka yang tak mampu . . . Jadi adalah perlu menata kembali peraturan-peraturan, menjadikannya sebagai “edisi kedua”. Demikianlah caranya bagaimana sedikit demi sedikit peraturan-peraturan dan adat-istiadat membentuk Kitab Ulangan; Taurat yang kedua menjadi kenyataan [kutipan dari Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 75]. Kitab Ulangan . . . tidak melanjutkan kisah yang tercantum dalam keempat Kitab lain dari Pentateukh (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan). Sebaliknya Kitab Ulangan mengulang banyak bahan, baik yang berupa cerita maupun yang berupa hukum, yang termaktub dalam kitab-kitab lain. Namun demikian Kitab Ulangan tidak menyalin kitab-kitab lain itu. Ada juga perbedaan yang mencolok. Oleh karena itu kitab kelima dari Pentateukh ini mengulang bahan, khususnya hukum, maka dinamakan Kitab Ulangan. Perbedaan yang mencolok antara Ulangan dengan Keluaran, Imamat dan Bi- langan ialah: Ulangan tidak berupa kisah, melainkan wejangan. Menurut gambar- an Kitab Ulangan pada akhir perjalanan umat Israel di gurun, yaitu ketika berada di negeri Moab di perbatasan negeri yang dijanjikan, Musa menyampakan kepa- da segenar umat yang sedang berkumpul wejangan-wejangan terakhir. Wejangan-wejangan itu (ada tiga, yaitu 1:6-4:40; 5:1-11:32 [bacaan kita bera- da dalam penggalan ini] + 26:16-28:68; 29:2-30:20) mengajak dan menasehati umat supaya tetap setia pada perjanjian yang diadakan di gunung Sinai dan yang sekarang dibaharui [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 127f.]. Fasal 7 - Ayat 1-11: sikap kepada penduduk tanah Kanaan. Ayat 12-26: janji berkat [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 63].
2. Eksposisi
[Sumber utama: Raymond Brown, The Message of Deuteronomy (Leicester, England, IVP, 1993)].
Sebaiknya kita mulai dengan mengingat kembali urutan peristiwa sebelum ini. Adalah oleh prakarsa Allah sendiri, dan semata-mata atas kemurahan hatiNya, sehingga umat Israel dipilih, dikasihi untuk diselamatkan (ay. 6-8). Umat diharapkan untuk juga mengasihi Tuhan dan setia memelihara perjanjian anugerah yang telah disepakati (ay. 9). Kalau ini semua di- wujujudnyatakan, Allah berjanji mememenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka seterusnya. Dari umat dibutuhkan ketahanan iman untuk mampu memenuhi apa yang diharapkan dari mereka.tadi. Sesudah terbiasa mengembara di padang gurun selama 38 tahun, adalah wajar kalau mereka merasa khawatir ketika akan memasuki Tanah Kanaan dengan segala hal-hal yang baru dan asing bagi mereka (ay. 17, 21). Menyadari kekuatiran mereka ini, maka Allah berjanji dan menjamin berbagai hal yang menyangkut kesejahteraan keluarga, kesehatan dan kebutuhan ekonomis mereka (ay. 13-15). Beberapa orang di antara mereka, sebagai anak- anak, pastilah masih mengingat bagaimana mereka tak putus-putusnya ditimpa berbagai pe- nyakit di Mesir dulu (ay. 15). Dalam ayat 12-15, Allah memberi jaminan bahwa selama mereka setia kepadaNya, dan mematuhi perjanjian anugerah yang telah disepakati itu, maka Allah pun . . . memegang perjanjian dan kasih setiaNya, . . . mengasihi, . . . memberkati . . . dan membuat mereka banyak. Satu perkara mereka harus cegah: tidak ada ilah lain, kecuali Yahweh! Mencegah ini terjadi, maka dalam ayat 16 mereka diberi petunjuk dan pengarahan oleh Musa. [Untuk di-diskusi-kan] Mengapa mereka diminta untuk jangan merasa sayang kepada segala bangsa yang diserahkan kepada mereka? Informasi: Mereka berada dalam suasana perang. Seorang prajurit diamanatkan untuk membunuh musuh sebelum dia sendiri dibunuh oleh musuh. Tetapi untuk umat Israel ada alasan lain. Mereka telah dipilih sebagai umat Allah. Jadinya mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menumpas musuh-musuhNya, a.l. orang-orang Kanani yang menyembah berhala. Diperlukan ketegasan melakukan tindakan ini. Kalau tidak, kekudusan mereka sebagai umat Allah bisa ternoda, ter- masuk kesetiaan mereka kepada Yahweh bisa memudar. “To make a treaty with the Canaanites would indicate that they recognized Canaanite gods” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 257]. Anjuran ini harus dilihat dalam konteksnya, yaitu sebagi bagian dari retrospeksi mazhab Ulangan: “sekiranya [=andai kata] segala unsur kekafiran sudah ditumpas dari tanah Kanaan waktu nenek-moyang kita masuk ke mari, pastilah pengabdian kita kepada YHWH tetap berada dalam keadaan murni. Apa yang disebut ‘belas- kasihan manusiawi’ terhadap unsur-unsur kekafiran dalam lingkunagn kita, sebe- narnya merupakan kedok untuk menutupi kompromi”. Semangat agamani yang demikian dapat kita hormati; namun harus diakui bahwa dalam terang Perjanjian Baru, cara penegakan kemurnian agama seperti yang diusulkan di sini adalah salah. Bandingkan perkataan Tuhan Yesus, yang membetulkan sikap “benci musuh” (Mat 5:43 br). Bandingkan juga ajaran Rasul Paulus (Rm 12:14-20). Dapat disimpulkan bahwa nas Perjanjian Lama di sini tidak berbicara kepada kita secara langsung: sikap terhadap musuh yang dianjurkannya tidak boleh kita tiru; namun semangatnya untuk kehormatan nama Tuhan patut dicita-citakan [kutip- an dari I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab, Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 148].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Kronologi kr. (kira-kira) tahun 1446 sM: Keluaran (Exodus) dari Mesir. kr. 1446-1406 sM : Pengembaraan di padang gurun. kr. 1445 sM : Pemberian Dasa Titah kr. 1406 sM : Musa meninggal dan digantikan oleh Yosua. Umat Israel memasuki Tanah Kanaan. Kitab Ulangan ditulis. [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 246]. Informasi Kitab Ulangan seperti yang ada pada kita sekarang, adalah puncak kulminasi dari satu sejarah yang panjang, pokok utamanya masih dapat kita temukan kem- bali dengan beberapa perkiraan. Di kerajaan Utara, sebelum kejatuhan Samaria tahun 721 [sM], orang-orang mulai menyadari bahwa peraturan-peraturan yang diberikan oleh Musa tak se- suai lagi dengan kenyataan: dibuat untuk kaum pengembara, sedangkan Israel sudah menjadi bangsa yang terorganisasi (negara). Problem-problem baru muncul, dengan tingkat kesungguhan yang lebih kecil atau besar. Sebagai contoh, wajib militer bagi pria muda yang telah menikah, ba- haya dari sekte-sekte kafir yang dipraktekkan di Kanaan; ketidakadilan dari go- longan kaya yang menggilas mereka yang tak mampu . . . Jadi adalah perlu menata kembali peraturan-peraturan, menjadikannya sebagai “edisi kedua”. Demikianlah caranya bagaimana sedikit demi sedikit peraturan-peraturan dan adat-istiadat membentuk Kitab Ulangan; Taurat yang kedua menjadi kenyataan [kutipan dari Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 75]. Kitab Ulangan . . . tidak melanjutkan kisah yang tercantum dalam keempat Kitab lain dari Pentateukh (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan). Sebaliknya Kitab Ulangan mengulang banyak bahan, baik yang berupa cerita maupun yang berupa hukum, yang termaktub dalam kitab-kitab lain. Namun demikian Kitab Ulangan tidak menyalin kitab-kitab lain itu. Ada juga perbedaan yang mencolok. Oleh karena itu kitab kelima dari Pentateukh ini mengulang bahan, khususnya hukum, maka dinamakan Kitab Ulangan. Perbedaan yang mencolok antara Ulangan dengan Keluaran, Imamat dan Bi- langan ialah: Ulangan tidak berupa kisah, melainkan wejangan. Menurut gambar- an Kitab Ulangan pada akhir perjalanan umat Israel di gurun, yaitu ketika berada di negeri Moab di perbatasan negeri yang dijanjikan, Musa menyampakan kepa- da segenar umat yang sedang berkumpul wejangan-wejangan terakhir. Wejangan-wejangan itu (ada tiga, yaitu 1:6-4:40; 5:1-11:32 [bacaan kita bera- da dalam penggalan ini] + 26:16-28:68; 29:2-30:20) mengajak dan menasehati umat supaya tetap setia pada perjanjian yang diadakan di gunung Sinai dan yang sekarang dibaharui [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 127f.]. Fasal 7 - Ayat 1-11: sikap kepada penduduk tanah Kanaan. Ayat 12-26: janji berkat [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 63].
2. Eksposisi
[Sumber utama: Raymond Brown, The Message of Deuteronomy (Leicester, England, IVP, 1993)].
Sebaiknya kita mulai dengan mengingat kembali urutan peristiwa sebelum ini. Adalah oleh prakarsa Allah sendiri, dan semata-mata atas kemurahan hatiNya, sehingga umat Israel dipilih, dikasihi untuk diselamatkan (ay. 6-8). Umat diharapkan untuk juga mengasihi Tuhan dan setia memelihara perjanjian anugerah yang telah disepakati (ay. 9). Kalau ini semua di- wujujudnyatakan, Allah berjanji mememenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka seterusnya. Dari umat dibutuhkan ketahanan iman untuk mampu memenuhi apa yang diharapkan dari mereka.tadi. Sesudah terbiasa mengembara di padang gurun selama 38 tahun, adalah wajar kalau mereka merasa khawatir ketika akan memasuki Tanah Kanaan dengan segala hal-hal yang baru dan asing bagi mereka (ay. 17, 21). Menyadari kekuatiran mereka ini, maka Allah berjanji dan menjamin berbagai hal yang menyangkut kesejahteraan keluarga, kesehatan dan kebutuhan ekonomis mereka (ay. 13-15). Beberapa orang di antara mereka, sebagai anak- anak, pastilah masih mengingat bagaimana mereka tak putus-putusnya ditimpa berbagai pe- nyakit di Mesir dulu (ay. 15). Dalam ayat 12-15, Allah memberi jaminan bahwa selama mereka setia kepadaNya, dan mematuhi perjanjian anugerah yang telah disepakati itu, maka Allah pun . . . memegang perjanjian dan kasih setiaNya, . . . mengasihi, . . . memberkati . . . dan membuat mereka banyak. Satu perkara mereka harus cegah: tidak ada ilah lain, kecuali Yahweh! Mencegah ini terjadi, maka dalam ayat 16 mereka diberi petunjuk dan pengarahan oleh Musa. [Untuk di-diskusi-kan] Mengapa mereka diminta untuk jangan merasa sayang kepada segala bangsa yang diserahkan kepada mereka? Informasi: Mereka berada dalam suasana perang. Seorang prajurit diamanatkan untuk membunuh musuh sebelum dia sendiri dibunuh oleh musuh. Tetapi untuk umat Israel ada alasan lain. Mereka telah dipilih sebagai umat Allah. Jadinya mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menumpas musuh-musuhNya, a.l. orang-orang Kanani yang menyembah berhala. Diperlukan ketegasan melakukan tindakan ini. Kalau tidak, kekudusan mereka sebagai umat Allah bisa ternoda, ter- masuk kesetiaan mereka kepada Yahweh bisa memudar. “To make a treaty with the Canaanites would indicate that they recognized Canaanite gods” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 257]. Anjuran ini harus dilihat dalam konteksnya, yaitu sebagi bagian dari retrospeksi mazhab Ulangan: “sekiranya [=andai kata] segala unsur kekafiran sudah ditumpas dari tanah Kanaan waktu nenek-moyang kita masuk ke mari, pastilah pengabdian kita kepada YHWH tetap berada dalam keadaan murni. Apa yang disebut ‘belas- kasihan manusiawi’ terhadap unsur-unsur kekafiran dalam lingkunagn kita, sebe- narnya merupakan kedok untuk menutupi kompromi”. Semangat agamani yang demikian dapat kita hormati; namun harus diakui bahwa dalam terang Perjanjian Baru, cara penegakan kemurnian agama seperti yang diusulkan di sini adalah salah. Bandingkan perkataan Tuhan Yesus, yang membetulkan sikap “benci musuh” (Mat 5:43 br). Bandingkan juga ajaran Rasul Paulus (Rm 12:14-20). Dapat disimpulkan bahwa nas Perjanjian Lama di sini tidak berbicara kepada kita secara langsung: sikap terhadap musuh yang dianjurkannya tidak boleh kita tiru; namun semangatnya untuk kehormatan nama Tuhan patut dicita-citakan [kutip- an dari I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab, Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 148].
- - - NR - - -
12 Januari 2008
The RICE of Baptism
Isaiah 42:1-4, 6-7 Acts 10:34-38 Matthew 3:13-17
In Nigeria the baptism of a child is usually followed by a happy reception where children are sure to eat one thing, rice. As a result, the baptism dress is sometimes referred to as your rice dress. Thinking of baptism easily makes people think of rice. And sometimes when you are talking of the rites of baptism, all they hear is the rice of baptism. Though the connection between baptism and rice is altogether accidental, one can utilise it as a memory aid for the meaning of baptism.
What does baptism mean? The meaning of baptism can be found in the four letters of the word RICE. R stands for Rebirth. In baptism we are born again by water and the Holy Spirit. We are cleansed from original sin and become sons and daughters of God in a special way. I stands for Initiation. At baptism we are initiated or admitted into full membership in the church, the community of the children of God in the world. C is for Consecration. In baptism we consecrate and dedicate ourselves to seek and to spread the kingdom of God. We commit ourselves to be servants of God, to do God's will and serve God with our whole lives. And E is for Empowerment. At baptism the Holy Spirit comes into our lives and empowers us, equips us, gives us the moral strength to say no to evil and to live as God's children that we have become.
These four effects of baptism can be divided into two categories, the passive effects (what we receive from God and the people of God), namely, rebirth, initiation, and empowerment; and the active effect (what we give to God and the people of God), namely, our commitment and dedication to a cause, to spread the kingdom of God. One problem people have with today's gospel is to understand why Jesus needed to be baptized. An understanding of the "rice" of baptism as we have tried to explain can help.
Looking at the baptism of Jesus by John in the Jordan, we find that Jesus did not need a rebirth since he was from all eternity the only begotten child of God. He had no original sin to be cleansed from. Did Jesus need initiation? Yes. Being human, Jesus needed to associate and to identify with the community of men and women who were dedicated to promoting the cause of the kingdom of God. When it comes to serving God, no one is an island. We need to interact with other children of God. We need the community of faith just as Jesus did. We need the church. Empowerment: the Holy Spirit is the power of the Most High. The Spirit that descended on Jesus at his baptism strengthened and empowered him. As we read in the second reading, it was at his baptism that "God anointed Jesus of Nazareth with the Holy Spirit and with power; [and] he went about doing good and healing all who were oppressed by the devil" (Acts 10:37-38). Consecration: Baptism for Jesus was a moment of self-consecration, a moment of self-dedication. For him it was a commitment to do whatever was necessary to promote the cause of the kingdom of God on earth.
We read that soon after Jesus' baptism, John was arrested and the Kingdom of God movement needed a new leadership. When Jesus heard it he went up and took on the task, in this way implementing the commitment he made at his baptism to promote the kingdom of God. We can see that for Jesus baptism was not just a question of what he could receive but very much a question of what he could contribute to the cause of the kingdom of God on earth. John F. Kennedy's saying, "Ask not what your country can do for you, rather ask what you can do for your country" can also be applied to our relationship with God and the Church.
What are we doing, each one of us, to promote the kingdom of God? Are we ready to consecrate and dedicate ourselves wholly to the service of the kingdom of God just as Jesus did? If not, what are we doing to support those who have consecrated themselves to doing this work in the name of us all? Let us today with Jesus renew our baptismal commitment to bear witness to the Good News of the kingdom of God in word and in deed.
In Nigeria the baptism of a child is usually followed by a happy reception where children are sure to eat one thing, rice. As a result, the baptism dress is sometimes referred to as your rice dress. Thinking of baptism easily makes people think of rice. And sometimes when you are talking of the rites of baptism, all they hear is the rice of baptism. Though the connection between baptism and rice is altogether accidental, one can utilise it as a memory aid for the meaning of baptism.
What does baptism mean? The meaning of baptism can be found in the four letters of the word RICE. R stands for Rebirth. In baptism we are born again by water and the Holy Spirit. We are cleansed from original sin and become sons and daughters of God in a special way. I stands for Initiation. At baptism we are initiated or admitted into full membership in the church, the community of the children of God in the world. C is for Consecration. In baptism we consecrate and dedicate ourselves to seek and to spread the kingdom of God. We commit ourselves to be servants of God, to do God's will and serve God with our whole lives. And E is for Empowerment. At baptism the Holy Spirit comes into our lives and empowers us, equips us, gives us the moral strength to say no to evil and to live as God's children that we have become.
These four effects of baptism can be divided into two categories, the passive effects (what we receive from God and the people of God), namely, rebirth, initiation, and empowerment; and the active effect (what we give to God and the people of God), namely, our commitment and dedication to a cause, to spread the kingdom of God. One problem people have with today's gospel is to understand why Jesus needed to be baptized. An understanding of the "rice" of baptism as we have tried to explain can help.
Looking at the baptism of Jesus by John in the Jordan, we find that Jesus did not need a rebirth since he was from all eternity the only begotten child of God. He had no original sin to be cleansed from. Did Jesus need initiation? Yes. Being human, Jesus needed to associate and to identify with the community of men and women who were dedicated to promoting the cause of the kingdom of God. When it comes to serving God, no one is an island. We need to interact with other children of God. We need the community of faith just as Jesus did. We need the church. Empowerment: the Holy Spirit is the power of the Most High. The Spirit that descended on Jesus at his baptism strengthened and empowered him. As we read in the second reading, it was at his baptism that "God anointed Jesus of Nazareth with the Holy Spirit and with power; [and] he went about doing good and healing all who were oppressed by the devil" (Acts 10:37-38). Consecration: Baptism for Jesus was a moment of self-consecration, a moment of self-dedication. For him it was a commitment to do whatever was necessary to promote the cause of the kingdom of God on earth.
We read that soon after Jesus' baptism, John was arrested and the Kingdom of God movement needed a new leadership. When Jesus heard it he went up and took on the task, in this way implementing the commitment he made at his baptism to promote the kingdom of God. We can see that for Jesus baptism was not just a question of what he could receive but very much a question of what he could contribute to the cause of the kingdom of God on earth. John F. Kennedy's saying, "Ask not what your country can do for you, rather ask what you can do for your country" can also be applied to our relationship with God and the Church.
What are we doing, each one of us, to promote the kingdom of God? Are we ready to consecrate and dedicate ourselves wholly to the service of the kingdom of God just as Jesus did? If not, what are we doing to support those who have consecrated themselves to doing this work in the name of us all? Let us today with Jesus renew our baptismal commitment to bear witness to the Good News of the kingdom of God in word and in deed.
06 Januari 2008
Lukas 4:38-41
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar Bacaan kita termasuk dalam penggalan kedua (4:14-9:50) dari Injil Lukas. Dimulai dengan laporan perkunjungan Yesus ke Nazaret (4:16-30), Lukas memaparkan pelayanan Yesus dalam tiga cara: (i) dengan mengutip Yes 61:1-2 Yesus berkhotbah, menyembuhkan dan kemudian memungkinkan adanya pembebasan, misalnya dalam kasus Barabbas (23:25), yang mencerminkan “undeserved freedom through Jesus”; (ii) menyuguhkan bayangan penolakan terhadap Yesus; (iii) memunculkan perhatian Yesus terhadap “the universal mission”, yang memang berawal dari pelayananNya. “The mission to the Gentiles was entailed right from the start by Jesus”, meskipun pada saat itu perhatian dan keprihatinanNya tertuju kepada umat Israel [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari John Stott, Men with a Message (Suffolk, England: ELT, 1996), p. 60]. Informasi: Satu hal lain, yang diistimewakan Lukas ialah perhatian terhadap orang yang menderita, yang miskin, yang “hilang”, yang berdosa . . . Hanya Lukas saja yang membuka bagi kita belas kasihan Yesus terhadap penjahat yang bertobat di kayu salib (Luk 23:40-43). Matius melewati peristiwa ini . . . Patutkah juga pada bagian ini disisipkan minat-istimewa dari Lukas terhadap wanita? Dari Lukas kita mendapat gambaran yang luas dan halus tentang pem- beritaan kelahiran Yesus, tentang perkunjungan Maria ke rumah Elisabet (1:26- 44); nabiah Hanna dimunculkan dari masasilam (2:36-38); sikap Marta dan Maria dilukiskan dengan singkat dan tepat (10:38-42); perempuan-perempuan mengi- ringi Yesus pada perjalanan (!) dan melayani Dia serta murid-muridNya dengan kekayaan mereka (8:1-3); pada perjalananNya yang terakhir, perempuan- perempuanlah yang meratapi Dia (23:27-29) [kutipan dari M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 64f.].
2. Eksposisi [Sumber utama: William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981)]. Bahwa Lukas adalah seorang tabib, itu nampak di sini. Ungkapan “demam keras” (Barclay, p. 52: “in the grip of a major fever”) merupakan istilah kedokteran, yang menyiratkan bahwa si penderita itu terbaring dalam keadaan sakit. Para tabib Yunani membedakan demam “keras” dan “ringan”. Jelas Lukas memahami ini dengan penje- lasannya tadi: “demam keras”. Melalui peristiwa penyembuhan yang dituturkan Lukas secara ringkas di sini, pa- ling tidak tiga hal yang ingin diungkapkan kepada para pembacanya:
2.1. Yesus selalu siap sedia dan siaga untuk melayani. Yesus baru saja meninggalkan rumah ibadat (sinagoge). Setiap pengkhotbah membutuhkan sekedar istirahat sesudah berkhotbah. Kalau bisa, sesudah berkhotbah, si pengkhotbah rata-rata menghindar dari keramaian orang banyak, termasuk panggilan yang mendadak untuk melayani lagi. Yesus tidak demikian. Ia langsung berkunjung ke rumah Simon. Di situ sedang terbaring oleh demam keras ibu mertua Simon. Baru saja Ia menyembuhkan ibu mertua Simon, maka “ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepadaNya orang-orang sakitnya . . .” (ayat 40).
2.2. Yesus tidak memamerkan mujizat yang dilakukanNya. Mujizat penyembuhan ibu mertua Simon dilakukanNya dalam sebuah pondok dusun (Barclay: “a village cottage”), disaksikan oleh sebuah kelompok kecil keluarga yang sederhana. Ba- nyak orang yang sibuk dan giat di depan umum di luar rumah, tetapi di rumahnya sendiri, dia tidak melakukan sesuatu yang berarti. Di depan orang banyak dia ramah dan baik hati, tetapi dalam lingkungan kecil keluarganya, dia “apa- tis”dan/atau tidak “simpatik”
2.3. Seperti yang dilaporkan dalam bacaan kita, segera sesudah ibu mertua Simon disembuhkan, “perempuan itu segera bangun dan melayani mereka”. Dengan dipulihkannya kesehatannya, ibu tsb. merasa terpanggil untuk melayani orang lain. “She wanted no fussing and no petting; she wanted to get on with cooking and serving her own folk and Jesus. Mothers are always like that” (Barclay). Informasi: Peristiwa penyembuhan ibu mertua Simon dan orang-orang lain juga dilaporkan dalam Mat 8:14-17 dan Mrk 1:29-38. Why rebuke a fever (LAI: menghardik demam itu)? (4:39) This is a figure of speech, not a formula for healing. It is a dramatic way to show that all nature is subject to God’s authority. The fever is personified to demon- strate Jesus’ healing power. Some see this as a type of exorcism, but the view seems unlikely because elsewhere Luke writes about casting out evil spirits in straightforward language [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1478].
3. Excursus Mujizat-Mujizat dalam Injil . . . [Patut diakui] bahwa bagi banyak pembaca justru cerita-cerita mujizat inilah yang meru- pakan kesukaran utama dakam menerima dokumen-dokumen Perjanjian Baru sebagai yang dapat dipercaya. [ . . . ] Jadi pertanyaan, apakah cerita-cerita mujizat itu benar, tidak dapat dijawab hanya berda- sarkan penelitian sejarah. Penelitian sejarah memang tidak sama sekali dihindari sebab pokok Injil ialah bahwa dalam Kristus kuasa dan anugerah Allah masuk ke dalam sejarah manusia untuk mendatangkan penyelamatan dunia. Tetapi seorang sejarawan, walaupun menyimpul- kan bahwa hal-hal ini mungkin sekali benar-benar terjadi akan tetapi dia cukup jauh dari ja- waban yang diharapkan pemberitaannya dari para pendengar berita itu. Pertanyaan, apakah mujizat-mujizat itu benar, pada akhirnya harus dijawab dengan jawaban iman dari pribadi --- bukan semata-mata kepercayaan bahwa peristiwa-peristiwa itu benar-benar historis, melain- kan kepercayaan kepada Kristus yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan itu. [ . . . ] Kalu kita sungguh-sungguh melanjutkan bertanya apakah bukti yang independen dan ti- dak kristiani bagi mujizat-mujizat dalam Injil, maka kita akan mendapatkan bahwa penulis- penulis kuno yang bukan Kristen yang panjang lebar mengacu kepada Yesus tidak menyang- kal bahwa Ia menampilkan mujizat. Yosefus . . . menyebut Dia seorang pembuat mujizat [ . . . ] Jadi mujizat-mujizat penyembuhan adalah tanda zaman Mesias, sebab bukankah telah tertulis dalam Yesaya 35:5 dst.: “Pada waktu . . . “ Kalau demikian maka mujizat-mujizat penyembuhan itu senada dengan perumpamaan-perumpamaan tentang kelepasan jiwa dari dosa, dan oleh karena itu tempat utama yang diambilnya dalam cerita Injil itu sangatlah tepat [kutipan dari F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2003), halm. 59ff.].
- - - NR - - -
1. Pengantar Bacaan kita termasuk dalam penggalan kedua (4:14-9:50) dari Injil Lukas. Dimulai dengan laporan perkunjungan Yesus ke Nazaret (4:16-30), Lukas memaparkan pelayanan Yesus dalam tiga cara: (i) dengan mengutip Yes 61:1-2 Yesus berkhotbah, menyembuhkan dan kemudian memungkinkan adanya pembebasan, misalnya dalam kasus Barabbas (23:25), yang mencerminkan “undeserved freedom through Jesus”; (ii) menyuguhkan bayangan penolakan terhadap Yesus; (iii) memunculkan perhatian Yesus terhadap “the universal mission”, yang memang berawal dari pelayananNya. “The mission to the Gentiles was entailed right from the start by Jesus”, meskipun pada saat itu perhatian dan keprihatinanNya tertuju kepada umat Israel [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari John Stott, Men with a Message (Suffolk, England: ELT, 1996), p. 60]. Informasi: Satu hal lain, yang diistimewakan Lukas ialah perhatian terhadap orang yang menderita, yang miskin, yang “hilang”, yang berdosa . . . Hanya Lukas saja yang membuka bagi kita belas kasihan Yesus terhadap penjahat yang bertobat di kayu salib (Luk 23:40-43). Matius melewati peristiwa ini . . . Patutkah juga pada bagian ini disisipkan minat-istimewa dari Lukas terhadap wanita? Dari Lukas kita mendapat gambaran yang luas dan halus tentang pem- beritaan kelahiran Yesus, tentang perkunjungan Maria ke rumah Elisabet (1:26- 44); nabiah Hanna dimunculkan dari masasilam (2:36-38); sikap Marta dan Maria dilukiskan dengan singkat dan tepat (10:38-42); perempuan-perempuan mengi- ringi Yesus pada perjalanan (!) dan melayani Dia serta murid-muridNya dengan kekayaan mereka (8:1-3); pada perjalananNya yang terakhir, perempuan- perempuanlah yang meratapi Dia (23:27-29) [kutipan dari M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 64f.].
2. Eksposisi [Sumber utama: William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981)]. Bahwa Lukas adalah seorang tabib, itu nampak di sini. Ungkapan “demam keras” (Barclay, p. 52: “in the grip of a major fever”) merupakan istilah kedokteran, yang menyiratkan bahwa si penderita itu terbaring dalam keadaan sakit. Para tabib Yunani membedakan demam “keras” dan “ringan”. Jelas Lukas memahami ini dengan penje- lasannya tadi: “demam keras”. Melalui peristiwa penyembuhan yang dituturkan Lukas secara ringkas di sini, pa- ling tidak tiga hal yang ingin diungkapkan kepada para pembacanya:
2.1. Yesus selalu siap sedia dan siaga untuk melayani. Yesus baru saja meninggalkan rumah ibadat (sinagoge). Setiap pengkhotbah membutuhkan sekedar istirahat sesudah berkhotbah. Kalau bisa, sesudah berkhotbah, si pengkhotbah rata-rata menghindar dari keramaian orang banyak, termasuk panggilan yang mendadak untuk melayani lagi. Yesus tidak demikian. Ia langsung berkunjung ke rumah Simon. Di situ sedang terbaring oleh demam keras ibu mertua Simon. Baru saja Ia menyembuhkan ibu mertua Simon, maka “ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepadaNya orang-orang sakitnya . . .” (ayat 40).
2.2. Yesus tidak memamerkan mujizat yang dilakukanNya. Mujizat penyembuhan ibu mertua Simon dilakukanNya dalam sebuah pondok dusun (Barclay: “a village cottage”), disaksikan oleh sebuah kelompok kecil keluarga yang sederhana. Ba- nyak orang yang sibuk dan giat di depan umum di luar rumah, tetapi di rumahnya sendiri, dia tidak melakukan sesuatu yang berarti. Di depan orang banyak dia ramah dan baik hati, tetapi dalam lingkungan kecil keluarganya, dia “apa- tis”dan/atau tidak “simpatik”
2.3. Seperti yang dilaporkan dalam bacaan kita, segera sesudah ibu mertua Simon disembuhkan, “perempuan itu segera bangun dan melayani mereka”. Dengan dipulihkannya kesehatannya, ibu tsb. merasa terpanggil untuk melayani orang lain. “She wanted no fussing and no petting; she wanted to get on with cooking and serving her own folk and Jesus. Mothers are always like that” (Barclay). Informasi: Peristiwa penyembuhan ibu mertua Simon dan orang-orang lain juga dilaporkan dalam Mat 8:14-17 dan Mrk 1:29-38. Why rebuke a fever (LAI: menghardik demam itu)? (4:39) This is a figure of speech, not a formula for healing. It is a dramatic way to show that all nature is subject to God’s authority. The fever is personified to demon- strate Jesus’ healing power. Some see this as a type of exorcism, but the view seems unlikely because elsewhere Luke writes about casting out evil spirits in straightforward language [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1478].
3. Excursus Mujizat-Mujizat dalam Injil . . . [Patut diakui] bahwa bagi banyak pembaca justru cerita-cerita mujizat inilah yang meru- pakan kesukaran utama dakam menerima dokumen-dokumen Perjanjian Baru sebagai yang dapat dipercaya. [ . . . ] Jadi pertanyaan, apakah cerita-cerita mujizat itu benar, tidak dapat dijawab hanya berda- sarkan penelitian sejarah. Penelitian sejarah memang tidak sama sekali dihindari sebab pokok Injil ialah bahwa dalam Kristus kuasa dan anugerah Allah masuk ke dalam sejarah manusia untuk mendatangkan penyelamatan dunia. Tetapi seorang sejarawan, walaupun menyimpul- kan bahwa hal-hal ini mungkin sekali benar-benar terjadi akan tetapi dia cukup jauh dari ja- waban yang diharapkan pemberitaannya dari para pendengar berita itu. Pertanyaan, apakah mujizat-mujizat itu benar, pada akhirnya harus dijawab dengan jawaban iman dari pribadi --- bukan semata-mata kepercayaan bahwa peristiwa-peristiwa itu benar-benar historis, melain- kan kepercayaan kepada Kristus yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan itu. [ . . . ] Kalu kita sungguh-sungguh melanjutkan bertanya apakah bukti yang independen dan ti- dak kristiani bagi mujizat-mujizat dalam Injil, maka kita akan mendapatkan bahwa penulis- penulis kuno yang bukan Kristen yang panjang lebar mengacu kepada Yesus tidak menyang- kal bahwa Ia menampilkan mujizat. Yosefus . . . menyebut Dia seorang pembuat mujizat [ . . . ] Jadi mujizat-mujizat penyembuhan adalah tanda zaman Mesias, sebab bukankah telah tertulis dalam Yesaya 35:5 dst.: “Pada waktu . . . “ Kalau demikian maka mujizat-mujizat penyembuhan itu senada dengan perumpamaan-perumpamaan tentang kelepasan jiwa dari dosa, dan oleh karena itu tempat utama yang diambilnya dalam cerita Injil itu sangatlah tepat [kutipan dari F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2003), halm. 59ff.].
- - - NR - - -
Kejadian 30 : 14 - 24
(Bebarapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar Bacaan kita termasuk dalam bagian kedua dari Kitab Kejadian (pasal 12-50). Bagian ini pada pokoknya merupakan sebuah “kisah keluarga”. Lebih tepat dikatakan: kisah sebuah “suku bangsa” atau “marga”. Informasi: . . . menurut paham umat Israel dahulu, sebuah “keluarga” lebih besar dari hanya suami-isteri, anak-anak, cucu dan anak cicit saja. Keluarga yang riwayatnya diki- sahkan dalam Kej 12-50 boleh dianggap sebagai “pendahuluan” bagi kisah sejarah bangsa Israel dan umat Allah yang pembentukannya diceritakan dalam keempat kitab lain dari Pentateukh [dikutip dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 103]. Fasal 29:31 – fasal 30: Tentang anak-anak Yakub. [ . . . ] Lea . . . melahirkan Ruben, Simon, Lewi, Yehuda, dan setelah mandul berapa lama ia melahirkan Isakhar, Zebulon dan Dina; sedangkan dari budaknya Zilpa lahir Gat dan Asyer. Rahel, yang pada mulanya mandul, kemudian melahirkan Yusuf; budaknya Bilha melahirkan Dan dan Naftali (ayat 1-24). Setelah genap 14 tahun bekerja, Yakub kemudian bermaksud pulang kembali ke Kanaan, tetapi Laban membujuk dia, agar tinggal pada- nya. Yakub dapat mengambil semua domba yang hitam dan kambing yang berbelang atau yang berbintik baginya dari antara ternak-ternak Laban (ayat 34-43) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK- GM, 1996), hlm. 37].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 14 dst. : Apakah khasiat “buah dudaim” (NIV: “mandrake plants”)? Buah dudaim, dikenal sebagai buah asmara, adalah siasat Rahel berikutnya untuk mengatasi kemandulannya, tapi ternyata tidak berdaya guna; nyatanya, rencananya menjadi kesempatan bagi saingannya [Lea] untuk menambah keberuntungannya [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian – Ester, terj. (Jakarta: YKBK/ OMF, 1998), hlm 120]. Informasi: This fragrant, yellow flowering plant [LAI: buah dudaim] with fleshy, forked roots that resemble the lower part of a human body grew wild in the desert areas of the Holy Land. It was superstitiously thought to induce pregnancy when eaten (Song 7:13), as well as being an aphrodisiac [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 44].
2.2. Ayat 22 : Bagaimana Allah “mendengarkan” [NIV: “remember”] permo- honan Rahel? Istilah tsb. menyiratkan keputusan Allah sesuai dengan komitmen-Nya sebelum ini. “In the Old Testament to remember means to pay attention to” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid.]. Informasi: Mengenai urutan waktunya, ay 14-20 bertindih dengan sebagian dari ay 10- 13 dan ay 22-24 mendahului ay 21 dan barangkali bertindih dengan ay 19-20 [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1 . . . , loc. cit.].
3. Excursus
3.1. MANDUL. Di Timur Tengah isteri yg tidak dapat beranak bukan hanya mendatangkan penyesalan tapi juga mungkin mengakibatkan perceraian. Karena putus asa Sara ter- tawa (Kej 18:12), Hana berdoa dengan diam (1 Sam 1:10 dab), Rahel akan mati kalau tidak beroleh anak (Kej 30:1), dan Elisabet bersetru bahwa Allah telah menghilangkan kehidupannya (Luk 1:25). Kedahsyatan penghakiman yg akan datang atas Yerusalem ditekankan dengan penyataan yg aneh, ‘Berbahagialah perempuan mandul . . .’ (Luk 23:29). Orang percaya bahwa mempunyai anak atau tidak menunjukkan anugerah Allah atau kutuk-Nya (Kel 23:26; Ul 7:14), demikian juga kesuburan atau kegersangan tanah (Mzm 107:33. 34) [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm. 22].
3.2. BUDAK, PERBUDAKAN [ . . . ] Budak perempuan menjadi subjek hukum dan adat kebiasaan secara khusus. Pemimpin budak perempuan dari isteri mandul seorang tuan, boleh melahirkan anak- anak untuk tuannya demi isteri yg mandul. Hal ini tercatat baik dalam cerita tentang Bapak-bapak leluhur (Kej 16), dan dalam dokumen-dokumen berhuruf paku dari zaman Ur . . . Berdasarkan undang-undang, jika seorang perempuan Ibrani terjual sebagai budak (Kel 21:7-11), kedudukannya sebagai istri dilindungi dengan ketat: ia boleh kawin dengan tuannya (dan dibebaskan jika ditolak), atau dengan anak tuannya, atau menjadi gundik yg kesejahteraannya dijamin, tapi ia akan menjadi bebas jika tuannya gagal menepati janjinya, yg mana pun dari ketiga kemungkinan itu disepakati. Di Mesopotamia perjanjian seperti itu umumnya lebih ketat, sering tanpa perlindungan apa pun . . . [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 199].
3.3. POLIGAMI Walaupun poligami memang ada dalam Perjanjian Lama, namun jangkauannya jangan dilebih-lebihkan, karena hampir terbatas pada raja-raja atau para pemimpin atau peja- bat tinggi. Kecuali Salomo, umumnya yang sering terdapat adalah bigami, bukan poli- gami. [ . . . ] Bapak-bapak leluhur kadang-kadang dianggap sebagai contoh untuk poli- gami. Tapi poligami harus dibedakan dari perseliran. Pembedaan itu kelihatannya tidak penting bagi kita, tetapi sangat penting di dunia kuno. Seorang selir adalah budak, sa- ngat berbeda dan jauh lebih rendah dalam hubungannya dengan tuannya, bila diban- dingkan dengan istrinya. Baik Abraham maupun Ishak mempunyai hanya satu istri, se- dang Yakub, yang sebenarnya menginginkan hanya satu istri, mengenal empat perem- puan dalam kehidupannya (dua istri dan dua selir) akibat tipu daya dan iri hati. “Tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat 19:18). Kata-kata yang diucapkan Ye- sus tentang perceraiajn itu berlaku juga untuk poligami. Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang satu suami satu istri, “satu daging” antara satu laki-laki dan satu perempuan (Kej 2:24). Di samping itu, ada bagian-bagian dalam tulisan-tulisan hikmat yang mendorong, atau setidak-tidaknya menganjurkan, monogami yang kokoh (Ams 5:15-20; 18:22; 31:10-31, Kidung Agung) dan ada penggunaan gambaran pernikahan untuk melukiskan hubungan yang eksklusif antara Allah dan Israel. Meskipun orang sadar bahwa dari segi teologis poligami adalah kurang ideal, namun poligami ditoleransi di Israel sebagai suatu kebiasaan sosial. Tetapi ada hukum-hukum yang membatasi dampak-dampaknya yang mungkin menghina pihak perempuan. . . . Hukum warisan dalam Ulangan 21:15-17 secara tidak langsung mengecam bigami bahwa seorang laki- laki tidak dapat mencintai dua orang perempuan secara sama, atau pada akhirnya sa- lah seorang sama sekali tidak dicintainya lagi. Istri yang tidak dicintai itu dilindungi dari perlakuan yang tidak adil: jika anak laki-lakinya adalah anak sulung maka anak itu tidak boleh kehilangan warisannya karena ibunya tidak dicintai. Cerita tentang Elkana dan istri-istrinya yang saling bersaing (1 Sam 1) memang tidak untuk mengeritik bigami secara langsung, tetapi bisa menjadi ilustrasi yang hidup tentang kesengsaraan yang dapat ditimbulkan oleh praktik tersebut [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 180f.].
4. Refleksi Rahel dan Lea adalah adik-kakak dan kedua-duanya isteri Yakub. Rahel sejak semula telah didamba-dambakan Yakub untuk menjadi isterinya. Yakub bekerja keras tujuh tahun lamanya bagi Laban, ayah Rahel dan Lea, untuk bisa mengawini Rahel. Tetapi pada pagi hari sesudah pernikahannya, Yakub menemukan bahwa justeru Lea yang diberikan sang ayah kepadanya (Kej 29:23 dst.). Bukan Rahel! Lalu Yakub harus bekerja tujuh tahun lagi untuk memperoleh Rahel. Setiap hubungan kemanusiaan, utamanya hubungan kasih-cinta, maka terhadap seseorang yang Anda cintai, “dia” adalah bagaikan Rahel dan Lea sekaligus. Mak- sudnya, kasih yang Anda dambakan (Rahel) dan kasih yang Anda telah peroleh (Lea). Anda telah berupaya keras dan lama untuk merubah Lea menjadi Rahel. Tetapi Lea adalah Lea dan Rahel adalah Rahel. Juga Yakub adalah Yakub. Artinya, Anda tak akan pernah bisa menikmati hubungan cinta-kasih itu, sampai Anda mau menerima seseorang dalam kehidupan Anda, sebagaimana apa adanya “dia” itu. Juga Anda tak akan bisa menikmati hubungan cinta-kasih itu, sampai Anda menerimanya sebagai pemberian atau karunia dari Tuhan. Dan itu berarti bahwa Anda justru pertama- pertama perlu menggumuli hubungan dengan Tuhan. Inilah yang terjadi pada Yakub. Sesudah ia bergumul semalam suntuk (Kej 32:24 dst) dengan “seorang laki-laki” [baca: Allah], maka perubahan pun terjadi pada diri- nya. Ia diberi nama baru, Israel. Lalu ketika Rahel meninggal dalam perjalanan ke Kanaan sesudah melahirkan Benyamin, Yakub menguburkannya di sisi jalan raya (Kej 35:19). Dengan itu Yakub turut menguburkan bersama-sama Rahel segala fantasi dan angan-angan hatinya selama ini. Tetapi ketika Lea meninggal, Yakub memakamkan- nya di makam keluarga, di mana Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka telah dimakam- kan sebelumnya (Kej 49:29 dst.). Di situ jugalah Yakub kemudian dimakamkan di samping Lea. Yakub akhirnya mau menerima cinta (Lea) yang dikaruniakan kepadanya dan melepas pergi cinta (Rahel) yang diangan-angankannya selama itu [disadur dari M. Craig Barnes, An Extravagant Mercy (Ann Arbor, Mich.: Servant Publications, 2003), p. 93].
- - - NR - - -
1. Pengantar Bacaan kita termasuk dalam bagian kedua dari Kitab Kejadian (pasal 12-50). Bagian ini pada pokoknya merupakan sebuah “kisah keluarga”. Lebih tepat dikatakan: kisah sebuah “suku bangsa” atau “marga”. Informasi: . . . menurut paham umat Israel dahulu, sebuah “keluarga” lebih besar dari hanya suami-isteri, anak-anak, cucu dan anak cicit saja. Keluarga yang riwayatnya diki- sahkan dalam Kej 12-50 boleh dianggap sebagai “pendahuluan” bagi kisah sejarah bangsa Israel dan umat Allah yang pembentukannya diceritakan dalam keempat kitab lain dari Pentateukh [dikutip dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 103]. Fasal 29:31 – fasal 30: Tentang anak-anak Yakub. [ . . . ] Lea . . . melahirkan Ruben, Simon, Lewi, Yehuda, dan setelah mandul berapa lama ia melahirkan Isakhar, Zebulon dan Dina; sedangkan dari budaknya Zilpa lahir Gat dan Asyer. Rahel, yang pada mulanya mandul, kemudian melahirkan Yusuf; budaknya Bilha melahirkan Dan dan Naftali (ayat 1-24). Setelah genap 14 tahun bekerja, Yakub kemudian bermaksud pulang kembali ke Kanaan, tetapi Laban membujuk dia, agar tinggal pada- nya. Yakub dapat mengambil semua domba yang hitam dan kambing yang berbelang atau yang berbintik baginya dari antara ternak-ternak Laban (ayat 34-43) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK- GM, 1996), hlm. 37].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 14 dst. : Apakah khasiat “buah dudaim” (NIV: “mandrake plants”)? Buah dudaim, dikenal sebagai buah asmara, adalah siasat Rahel berikutnya untuk mengatasi kemandulannya, tapi ternyata tidak berdaya guna; nyatanya, rencananya menjadi kesempatan bagi saingannya [Lea] untuk menambah keberuntungannya [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian – Ester, terj. (Jakarta: YKBK/ OMF, 1998), hlm 120]. Informasi: This fragrant, yellow flowering plant [LAI: buah dudaim] with fleshy, forked roots that resemble the lower part of a human body grew wild in the desert areas of the Holy Land. It was superstitiously thought to induce pregnancy when eaten (Song 7:13), as well as being an aphrodisiac [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 44].
2.2. Ayat 22 : Bagaimana Allah “mendengarkan” [NIV: “remember”] permo- honan Rahel? Istilah tsb. menyiratkan keputusan Allah sesuai dengan komitmen-Nya sebelum ini. “In the Old Testament to remember means to pay attention to” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid.]. Informasi: Mengenai urutan waktunya, ay 14-20 bertindih dengan sebagian dari ay 10- 13 dan ay 22-24 mendahului ay 21 dan barangkali bertindih dengan ay 19-20 [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1 . . . , loc. cit.].
3. Excursus
3.1. MANDUL. Di Timur Tengah isteri yg tidak dapat beranak bukan hanya mendatangkan penyesalan tapi juga mungkin mengakibatkan perceraian. Karena putus asa Sara ter- tawa (Kej 18:12), Hana berdoa dengan diam (1 Sam 1:10 dab), Rahel akan mati kalau tidak beroleh anak (Kej 30:1), dan Elisabet bersetru bahwa Allah telah menghilangkan kehidupannya (Luk 1:25). Kedahsyatan penghakiman yg akan datang atas Yerusalem ditekankan dengan penyataan yg aneh, ‘Berbahagialah perempuan mandul . . .’ (Luk 23:29). Orang percaya bahwa mempunyai anak atau tidak menunjukkan anugerah Allah atau kutuk-Nya (Kel 23:26; Ul 7:14), demikian juga kesuburan atau kegersangan tanah (Mzm 107:33. 34) [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm. 22].
3.2. BUDAK, PERBUDAKAN [ . . . ] Budak perempuan menjadi subjek hukum dan adat kebiasaan secara khusus. Pemimpin budak perempuan dari isteri mandul seorang tuan, boleh melahirkan anak- anak untuk tuannya demi isteri yg mandul. Hal ini tercatat baik dalam cerita tentang Bapak-bapak leluhur (Kej 16), dan dalam dokumen-dokumen berhuruf paku dari zaman Ur . . . Berdasarkan undang-undang, jika seorang perempuan Ibrani terjual sebagai budak (Kel 21:7-11), kedudukannya sebagai istri dilindungi dengan ketat: ia boleh kawin dengan tuannya (dan dibebaskan jika ditolak), atau dengan anak tuannya, atau menjadi gundik yg kesejahteraannya dijamin, tapi ia akan menjadi bebas jika tuannya gagal menepati janjinya, yg mana pun dari ketiga kemungkinan itu disepakati. Di Mesopotamia perjanjian seperti itu umumnya lebih ketat, sering tanpa perlindungan apa pun . . . [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 199].
3.3. POLIGAMI Walaupun poligami memang ada dalam Perjanjian Lama, namun jangkauannya jangan dilebih-lebihkan, karena hampir terbatas pada raja-raja atau para pemimpin atau peja- bat tinggi. Kecuali Salomo, umumnya yang sering terdapat adalah bigami, bukan poli- gami. [ . . . ] Bapak-bapak leluhur kadang-kadang dianggap sebagai contoh untuk poli- gami. Tapi poligami harus dibedakan dari perseliran. Pembedaan itu kelihatannya tidak penting bagi kita, tetapi sangat penting di dunia kuno. Seorang selir adalah budak, sa- ngat berbeda dan jauh lebih rendah dalam hubungannya dengan tuannya, bila diban- dingkan dengan istrinya. Baik Abraham maupun Ishak mempunyai hanya satu istri, se- dang Yakub, yang sebenarnya menginginkan hanya satu istri, mengenal empat perem- puan dalam kehidupannya (dua istri dan dua selir) akibat tipu daya dan iri hati. “Tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat 19:18). Kata-kata yang diucapkan Ye- sus tentang perceraiajn itu berlaku juga untuk poligami. Riwayat penciptaan secara jelas berbicara tentang satu suami satu istri, “satu daging” antara satu laki-laki dan satu perempuan (Kej 2:24). Di samping itu, ada bagian-bagian dalam tulisan-tulisan hikmat yang mendorong, atau setidak-tidaknya menganjurkan, monogami yang kokoh (Ams 5:15-20; 18:22; 31:10-31, Kidung Agung) dan ada penggunaan gambaran pernikahan untuk melukiskan hubungan yang eksklusif antara Allah dan Israel. Meskipun orang sadar bahwa dari segi teologis poligami adalah kurang ideal, namun poligami ditoleransi di Israel sebagai suatu kebiasaan sosial. Tetapi ada hukum-hukum yang membatasi dampak-dampaknya yang mungkin menghina pihak perempuan. . . . Hukum warisan dalam Ulangan 21:15-17 secara tidak langsung mengecam bigami bahwa seorang laki- laki tidak dapat mencintai dua orang perempuan secara sama, atau pada akhirnya sa- lah seorang sama sekali tidak dicintainya lagi. Istri yang tidak dicintai itu dilindungi dari perlakuan yang tidak adil: jika anak laki-lakinya adalah anak sulung maka anak itu tidak boleh kehilangan warisannya karena ibunya tidak dicintai. Cerita tentang Elkana dan istri-istrinya yang saling bersaing (1 Sam 1) memang tidak untuk mengeritik bigami secara langsung, tetapi bisa menjadi ilustrasi yang hidup tentang kesengsaraan yang dapat ditimbulkan oleh praktik tersebut [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 180f.].
4. Refleksi Rahel dan Lea adalah adik-kakak dan kedua-duanya isteri Yakub. Rahel sejak semula telah didamba-dambakan Yakub untuk menjadi isterinya. Yakub bekerja keras tujuh tahun lamanya bagi Laban, ayah Rahel dan Lea, untuk bisa mengawini Rahel. Tetapi pada pagi hari sesudah pernikahannya, Yakub menemukan bahwa justeru Lea yang diberikan sang ayah kepadanya (Kej 29:23 dst.). Bukan Rahel! Lalu Yakub harus bekerja tujuh tahun lagi untuk memperoleh Rahel. Setiap hubungan kemanusiaan, utamanya hubungan kasih-cinta, maka terhadap seseorang yang Anda cintai, “dia” adalah bagaikan Rahel dan Lea sekaligus. Mak- sudnya, kasih yang Anda dambakan (Rahel) dan kasih yang Anda telah peroleh (Lea). Anda telah berupaya keras dan lama untuk merubah Lea menjadi Rahel. Tetapi Lea adalah Lea dan Rahel adalah Rahel. Juga Yakub adalah Yakub. Artinya, Anda tak akan pernah bisa menikmati hubungan cinta-kasih itu, sampai Anda mau menerima seseorang dalam kehidupan Anda, sebagaimana apa adanya “dia” itu. Juga Anda tak akan bisa menikmati hubungan cinta-kasih itu, sampai Anda menerimanya sebagai pemberian atau karunia dari Tuhan. Dan itu berarti bahwa Anda justru pertama- pertama perlu menggumuli hubungan dengan Tuhan. Inilah yang terjadi pada Yakub. Sesudah ia bergumul semalam suntuk (Kej 32:24 dst) dengan “seorang laki-laki” [baca: Allah], maka perubahan pun terjadi pada diri- nya. Ia diberi nama baru, Israel. Lalu ketika Rahel meninggal dalam perjalanan ke Kanaan sesudah melahirkan Benyamin, Yakub menguburkannya di sisi jalan raya (Kej 35:19). Dengan itu Yakub turut menguburkan bersama-sama Rahel segala fantasi dan angan-angan hatinya selama ini. Tetapi ketika Lea meninggal, Yakub memakamkan- nya di makam keluarga, di mana Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka telah dimakam- kan sebelumnya (Kej 49:29 dst.). Di situ jugalah Yakub kemudian dimakamkan di samping Lea. Yakub akhirnya mau menerima cinta (Lea) yang dikaruniakan kepadanya dan melepas pergi cinta (Rahel) yang diangan-angankannya selama itu [disadur dari M. Craig Barnes, An Extravagant Mercy (Ann Arbor, Mich.: Servant Publications, 2003), p. 93].
- - - NR - - -
Kejadian 1 2 : 1 – 9
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Baik orang-orang Yahudi, maupun orang-orang Arab, sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan Abraham (Arab: Ibrahim). Bagi mereka Abraham/Ibrahim bukan saja dikenal sebagai tokoh leluhur mereka, tetapi juga sebagai tokoh panutan dalam hal beriman --- secara khusus beriman kepada Allah yang esa/tunggal.
2. Di kalangan orang-orang Arab, umpamanya, terdapat banyak legenda (cerita rakyat) tentang Ibrahim/Abraham di luar yang tercatat di dalam Kitab Suci mereka, yakni Al Quran. Salah satu dari cerita atau legenda ini ialah bagaimana Ibrahim/Abraham menghancurkan patung-patung berhala yang dibuat Terah, ayahnya. Dikisahkan bahwa Terah memuja 12 patung, satu patung untuk setiap bulan. Malah menurut cerita ini, Terah juga membuat patung-patung berhala untuk dijual secara umum. Suatu hari Terah bepergian. Ia meminta Ibrahim/Abraham untuk melayani para pembeli patung-patung yang dijual itu. Ketika seorang pria LANSIA datang hendak membeli sebuah patung yang barusan saja dibuat ayahnya, Ibrahim/Abraham menanyakan umur sang kakek tersebut. “70 tahun”, demikian sang kakek memberi info. Ibrahim/Abraham memberi komentar: “Kok, aneh, ya? Kakek yang sudah berusia 70 tahun mau memuja sebuah patung yang usianya baru beberapa hari? Apa kakek masih waras?” Berikut datang seorang perempuan membawa makanan untuk dipersembahkan kepada patung-patung berhala yang ada dalam toko ayahnya itu. Ibrahim/Abraham semakin keheran-heranan. Hampir-hampir tidak disadarinya, ia segera mengambil sebatang tongkat, lalu ia mulai memukuli patung-patung itu, sampai patah-patah ber- antakan. Namun ia tinggalkan sebuah patung dan yang masih utuh. Pada patung ini ia merebahkan tongkat yang dipakainya tadi untuk menghancurkan patung-patung lain. Ketika Terah, ayahnya, tiba kembali dan melihat patung-patung itu telah patah-patah berantakan, ia marah besar kepada Ibrahim/Abraham. “Mengapa sampai patung- patung ini hancur berantakan?” tanya Terah. Dengan tenang Ibrahim/Abraham menjelaskan: “Tadi seorang wanita tua datang membawa makanan persembahan untuk patung-patung ini. Karena khawatir tidak kebagian, patung yang utuh ini mengambil tongkat, lalu mulai memukuli teman-temannya sampai patah-patah berantakan seperti ini”. Masih “gondok”, ayahnya menjawab bahwa itu omong kosong. “Patung-patung ini ‘kan dibuat dari kayu dan tanah liat. Bagaimana mungkin patung utuh ini bisa mengambil tongkat, lalu memukuli teman-temannya? Mustahil!” Ibrahim/Abraham langsung menjawab: “Nah, dengan itu ayah sendiri sudah mengakui bahwa patung- patung ini adalah benda-benda mati, hasil olah tangan ayah sendiri. Dan oleh karena itu tak layak disembah, bukan?” [disadur dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Letter to the Hebrews (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), pp. 143f].
3. Entah cerita tadi benar-benar terjadi atau tidak, namun cerita tadi menampilkan suatu segi penting dari kehidupan Abraham/Ibrahim --- yakni kepercayaan dan kehidupan rohaninya. Cerita tadi jelas-jelas mengungkapkan bahwa Abraham menolak penyem- bahan berhala, tepatnya memuja patung-patung. Dengan itu menjadi jelas juga bahwa ia menolak menyembah berbagai-bagai ilah yang disembah ayahnya. Singkat kata, Abraham mendambakan suatu ilah yang tunggal saja: Allah yang setia dan sungguh- sungguh layak dipercayai dan benar-benar dapat diandalkan. Sedemikian dalamnya Abraham mendambakan Allah yang demikian itu, maka tidaklah mengherankan, jika pada suatu saat Allah tsb. menampakkan diriNya kepada Abraham. Allah tsb. meminta Abraham meninggalkan kampung halamannya dan kaum kerabatnya untuk pergi ke suatu tempat yang belum dikenalnya. Di tempat yang asing inilah, Allah tsb. makin menyatakan diriNya kepada Abraham agar lebih dikenal dan lebih akrab denganNya.. Dan seperti yang dituturkan dalam bacaan kita tadi, Ab- raham patuh, taat, menurut dan pergi. Untuk kepatuhan Abraham ini, penulis surat Ibrani dalam Perjanjian Baru mencatat sbb.: [baca Ibr 11:8-10].
4. Patuh, taat, menurut dan pergi. Itulah tindakan Abraham. Sekaligus itu mengungkap- kan tindakan iman Abraham. Memang benar bahwa tindakan ini berarti “nyrempet- nyrempet bahaya”. Prinsip umum dan populer ialah “safety first”. Sebaliknya untuk beriman justru perlu adanya kesedian ber-advonturir --- “nyrempet-nyrempet bahaya”. Prinsip umum dan populer adalah “hurry up, time is money”. Beriman justru bisa beresiko “menanti dan menanti” --- artinya, perlu kesabaran dan kemampuan bertahan dalam pengharapan. Dan berpengharapan berarti ber-orientasi ke depan. Seperti Abraham, hanyalah orang-orang yang punya visi yang dapat bertahan dan bersabar dalam penantian itu.
5. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya “kewajiban dan hak”. Dari sini kita mengenal adanya “kerja dan upah”. Dalam kasus Abraham, sebagai seorang yang beriman, kita disuguhkan dengan pola lain: “taat dan berkat” Abraham taat, patuh, menurut dan pergi. Dan untuk itu Allah mencurahkan berkatNya kepada Abraham. Dalam tindakannya untuk “nyrempet-nyrempet bahaya”, Allah memelihara dan melindunginya.
6. Abraham disuruh dan diutus ke tanah Kanaan. Kita pun masing-masing punya “Kanaan” --- sesuatu yang Tuhan suruh dan utus ke situ. “Kanaan” Anda adalah mungkin keluarga/rumah tangga Anda sendiri. “Kanaan” Anda adalah mungkin isteri/suami dan/atau anak-anak yang butuh lebih banyak perhatian dan kasih sayang dari Anda Mungkin juga pelayanan dan kesaksian di lingkungan Jemaat/Sektor Anda. “Kanaan” Anda adalah mungkin tugas dan perkerjaan Anda sekarang ini. Itu jugalah misi Anda di tahun 2008 ini. Informasi: In what way would Abram bless all peoples on earth? (12:3) God would use Abram to express his heart and purpose for all the world. His desire was to redeem humanity from the depths to which they had fallen when Adam sinned. Eventually, through Abram, God would send Jesus to fulfill his plan and offer redemption to the whole world [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 18]. Why did Abram build altars? (12:7-8) The normal way to express religious devotion in Canaanite culture was through sacrifices offered on an altar. But because the places and means used to worship false gods were not appropriate for the Lord, Abram built new altars to sacrifice to the true God [kutipan dari Ibid.].
- - - NR - - -
1. Baik orang-orang Yahudi, maupun orang-orang Arab, sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan Abraham (Arab: Ibrahim). Bagi mereka Abraham/Ibrahim bukan saja dikenal sebagai tokoh leluhur mereka, tetapi juga sebagai tokoh panutan dalam hal beriman --- secara khusus beriman kepada Allah yang esa/tunggal.
2. Di kalangan orang-orang Arab, umpamanya, terdapat banyak legenda (cerita rakyat) tentang Ibrahim/Abraham di luar yang tercatat di dalam Kitab Suci mereka, yakni Al Quran. Salah satu dari cerita atau legenda ini ialah bagaimana Ibrahim/Abraham menghancurkan patung-patung berhala yang dibuat Terah, ayahnya. Dikisahkan bahwa Terah memuja 12 patung, satu patung untuk setiap bulan. Malah menurut cerita ini, Terah juga membuat patung-patung berhala untuk dijual secara umum. Suatu hari Terah bepergian. Ia meminta Ibrahim/Abraham untuk melayani para pembeli patung-patung yang dijual itu. Ketika seorang pria LANSIA datang hendak membeli sebuah patung yang barusan saja dibuat ayahnya, Ibrahim/Abraham menanyakan umur sang kakek tersebut. “70 tahun”, demikian sang kakek memberi info. Ibrahim/Abraham memberi komentar: “Kok, aneh, ya? Kakek yang sudah berusia 70 tahun mau memuja sebuah patung yang usianya baru beberapa hari? Apa kakek masih waras?” Berikut datang seorang perempuan membawa makanan untuk dipersembahkan kepada patung-patung berhala yang ada dalam toko ayahnya itu. Ibrahim/Abraham semakin keheran-heranan. Hampir-hampir tidak disadarinya, ia segera mengambil sebatang tongkat, lalu ia mulai memukuli patung-patung itu, sampai patah-patah ber- antakan. Namun ia tinggalkan sebuah patung dan yang masih utuh. Pada patung ini ia merebahkan tongkat yang dipakainya tadi untuk menghancurkan patung-patung lain. Ketika Terah, ayahnya, tiba kembali dan melihat patung-patung itu telah patah-patah berantakan, ia marah besar kepada Ibrahim/Abraham. “Mengapa sampai patung- patung ini hancur berantakan?” tanya Terah. Dengan tenang Ibrahim/Abraham menjelaskan: “Tadi seorang wanita tua datang membawa makanan persembahan untuk patung-patung ini. Karena khawatir tidak kebagian, patung yang utuh ini mengambil tongkat, lalu mulai memukuli teman-temannya sampai patah-patah berantakan seperti ini”. Masih “gondok”, ayahnya menjawab bahwa itu omong kosong. “Patung-patung ini ‘kan dibuat dari kayu dan tanah liat. Bagaimana mungkin patung utuh ini bisa mengambil tongkat, lalu memukuli teman-temannya? Mustahil!” Ibrahim/Abraham langsung menjawab: “Nah, dengan itu ayah sendiri sudah mengakui bahwa patung- patung ini adalah benda-benda mati, hasil olah tangan ayah sendiri. Dan oleh karena itu tak layak disembah, bukan?” [disadur dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Letter to the Hebrews (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), pp. 143f].
3. Entah cerita tadi benar-benar terjadi atau tidak, namun cerita tadi menampilkan suatu segi penting dari kehidupan Abraham/Ibrahim --- yakni kepercayaan dan kehidupan rohaninya. Cerita tadi jelas-jelas mengungkapkan bahwa Abraham menolak penyem- bahan berhala, tepatnya memuja patung-patung. Dengan itu menjadi jelas juga bahwa ia menolak menyembah berbagai-bagai ilah yang disembah ayahnya. Singkat kata, Abraham mendambakan suatu ilah yang tunggal saja: Allah yang setia dan sungguh- sungguh layak dipercayai dan benar-benar dapat diandalkan. Sedemikian dalamnya Abraham mendambakan Allah yang demikian itu, maka tidaklah mengherankan, jika pada suatu saat Allah tsb. menampakkan diriNya kepada Abraham. Allah tsb. meminta Abraham meninggalkan kampung halamannya dan kaum kerabatnya untuk pergi ke suatu tempat yang belum dikenalnya. Di tempat yang asing inilah, Allah tsb. makin menyatakan diriNya kepada Abraham agar lebih dikenal dan lebih akrab denganNya.. Dan seperti yang dituturkan dalam bacaan kita tadi, Ab- raham patuh, taat, menurut dan pergi. Untuk kepatuhan Abraham ini, penulis surat Ibrani dalam Perjanjian Baru mencatat sbb.: [baca Ibr 11:8-10].
4. Patuh, taat, menurut dan pergi. Itulah tindakan Abraham. Sekaligus itu mengungkap- kan tindakan iman Abraham. Memang benar bahwa tindakan ini berarti “nyrempet- nyrempet bahaya”. Prinsip umum dan populer ialah “safety first”. Sebaliknya untuk beriman justru perlu adanya kesedian ber-advonturir --- “nyrempet-nyrempet bahaya”. Prinsip umum dan populer adalah “hurry up, time is money”. Beriman justru bisa beresiko “menanti dan menanti” --- artinya, perlu kesabaran dan kemampuan bertahan dalam pengharapan. Dan berpengharapan berarti ber-orientasi ke depan. Seperti Abraham, hanyalah orang-orang yang punya visi yang dapat bertahan dan bersabar dalam penantian itu.
5. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya “kewajiban dan hak”. Dari sini kita mengenal adanya “kerja dan upah”. Dalam kasus Abraham, sebagai seorang yang beriman, kita disuguhkan dengan pola lain: “taat dan berkat” Abraham taat, patuh, menurut dan pergi. Dan untuk itu Allah mencurahkan berkatNya kepada Abraham. Dalam tindakannya untuk “nyrempet-nyrempet bahaya”, Allah memelihara dan melindunginya.
6. Abraham disuruh dan diutus ke tanah Kanaan. Kita pun masing-masing punya “Kanaan” --- sesuatu yang Tuhan suruh dan utus ke situ. “Kanaan” Anda adalah mungkin keluarga/rumah tangga Anda sendiri. “Kanaan” Anda adalah mungkin isteri/suami dan/atau anak-anak yang butuh lebih banyak perhatian dan kasih sayang dari Anda Mungkin juga pelayanan dan kesaksian di lingkungan Jemaat/Sektor Anda. “Kanaan” Anda adalah mungkin tugas dan perkerjaan Anda sekarang ini. Itu jugalah misi Anda di tahun 2008 ini. Informasi: In what way would Abram bless all peoples on earth? (12:3) God would use Abram to express his heart and purpose for all the world. His desire was to redeem humanity from the depths to which they had fallen when Adam sinned. Eventually, through Abram, God would send Jesus to fulfill his plan and offer redemption to the whole world [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 18]. Why did Abram build altars? (12:7-8) The normal way to express religious devotion in Canaanite culture was through sacrifices offered on an altar. But because the places and means used to worship false gods were not appropriate for the Lord, Abram built new altars to sacrifice to the true God [kutipan dari Ibid.].
- - - NR - - -
Langganan:
Postingan (Atom)