21 Januari 2008

Roma 5 : 1 – 11

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya, lebih-lebih kita, yang sekarang ini telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan (ayat 10).

1. Pengantar

Surat Paulus ini mengambil titik tumpuannya pada perkembangan yang lampau: apakah sebenarnya peranan orang Yahudi dalam rencana penyelamatan oleh Allah? Apakah arti taurat? Apakah kedudukan orang yang bukan-Yahudi? [ . . . ]

Dalam fs. 4-8 hubungan “iman” dan “taurat” diuraikan lebih lanjut. Pertama-tama untuk menjauhkan pikiran bahwa seakan-akan iman itu suatu hal yang sama sekali baru. Sebenarnya iman itu sudah menjadi saluran sejak purbakala. Bukankah Abraham percaya kepada janji Allah dan itulah sebabnya ia diterima oleh Allah (fs. 4, khususnya ay 3). Demikian juga sekarang ini pemberian Allah di dalam Yesus Kristus diterima karena iman saja (5:1-11) [kutipan dari M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 96f.].

Informasi: What to look for in Romans:

Watch for the major themes of faith, grace, righteousness and justification. You’ll find the foundation of the gospel that comes by grace through faith in the first 11 chapters. Then, in the last five chapters, you’ll discover practical implications of faith and righteousness --- how the teaching works out in everyday life [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, MIch.: Zondervan, 2003), p. 1609].

2. Eksposisi

(Sebatas ayat 10 saja]

Ada tiga kata dalam ayat 10 yang menarik dan perlu kita perhatikan: (i) “seteru” (NIV: “enemies”), (ii) “diperdamaikan” (NIV: “reconciled”). (iii) “diselamatkan” (NIV: “saved”).

Untuk menjelaskan apa arti dan makna kata-kata di atas, sekaligus menghayati gagasan Paulus yang terkandung dalam ayat 10 ini, ada baiknya kita mengingat kembali “Perumpamaan tentang Anak yang Hilang” (Luk 15:11-32).

(i).“Seteru”. Sejak sang Anak meninggalkan rumah ayahnya, hubungan dengan ayahnya merenggang. Hubungan dengan ayahnya juga berubah. Tidak terlalu meleset jauh untuk menganggapnya sebagai seorang pembangkang terhadap ayahnya. Si Anak telah membuat dirinya terasing dari ayahnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Paulus bahwa sebelum penyaliban Yesus, kita menjadi “seteru” Allah. Seperti si anak tadi, kitalah yang membuat diri kita menjadi seteru Allah, bukan Allah terhadap kita.

Informasi: The Bible locates the origin of hostility in sin. Human beings have been twisted and our original form distorted. We were created to love God and others. But sin’s warping power has distorted this natural order of interpersonal relationships. Sin has also created hostility to God. We have become rebels in thought and action. “We were God’s enemies,” Paul affirms (Ro 5:10), and he develops this thought in other passages [a.l. Rm 8:7, Ef 2:14-16, Kol 1:21] [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 248].

(ii) “Diperdamaikan”. Si anak yang hilang itu sekarang melarat. Teman-teman akrabnya telah pergi. Kelaparan, mau makan makanan babi tidak diperbolehkan. Dia ingat rumah ayahnya. Dia memutuskan untuk pulang. Ayahnya dengan ramah dan hangat menerimanya kembali. Dengan itu terjadilah peristiwa pendamaian (“rekonsiliasi”). Itu berarti bahwa keterasingan harus dihilangkan, juga keadaan berseteru harus ditinggalkan, sehingga pendamaian dapat diwujudkan. Status sang Anak juga berubah. Ia bukan lagi seteru terhadap ayahnya. Menurut Paulus melalui penyaliban Yesus kita “diperdamaikan” dengan Allah. Oleh darahNya kita dibenarkan dan disucikan.

Informasi: People are the enemies of God, not the reverse. Thus the hostility must be removed from us if reconciliation is to be accomplished. Good took the initiative in bringing this about through the death of his Son (see [Ro. 5]:11; Col. 1:21-22). To reconcile is to put an end to hostility. Thus through Christ, believers are no longer enemies of God. Because of sin we were standing in conflict with God’s holiness and justice. Jesus paid our sin debt so we can again have the fellowship with God that sin destroyed (Gen. 3) [kutipan dari Quest Study Bible, p. 1615].

(iii) “Diselamatkan” Dengan berada kembali di rumah ayahnya, sang Anak untuk seterusnya terjamin kehidupannya. Kebutuhannya akan selalu tercukupi. Ia tidak akan merasa kelaparan lagi. Jadinya ada perubahan keadaan. Itu karena kini ada hubungan yang baik lagi dengan ayahnya. Ia sudah selamat.

Informasi: Dalam gereja kata “selamat” dan “keselamatan” biasanya dipergunakan dengan arti keselamatan dari dosa dan neraka. Arti itu memang penting dalam Alkitab. Allah menyelamatkan kita dari dosa (Mat 1:21; Luk 1:77); penghukuman (Yoh 3:17; 12:47); kebinasaan (1 Kor 1:18) dan maut (Yoh 5:20; Luk 6:19). Kesela- matan itu dapat dialami sekarang dalam hubungan baru dengan Tuhan (1Kor 15:20), tetapi baru disem- purnakan waktu Kristus kembali (Mat 10:22; Mrk 13:13). Namun arti keselamatan tidak terbatas kepada segi rohani dari kehidupan. “Selamat” dalam Alkitab artinya mirip dengan artinya dalam Bahasa Indonesia. Orang selamat mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, sesamanya, dan diri sendiri. Selamat juga berarti sehat, sejahtera dan bebas dari penin- dasan dan penaklukan. Dalam Alkitab istilah “keselamatan” atau “menyelamatkan” sering berhubungan dengan pelepasan dari bahaya, bencana, atau maut. Allah menyelamatkan bangsa Israel dari bangsa- bangsa yang memusuhinya. Ia menyelamatkan orang-orang yang tertindas dan yang sakit. . . . Waktu Perjanjian Baru membicarakan keselamatan dari dosa, segi rohani menonjol. Namun dosa mempenga- ruhi tubuh manusia, bukan rohnya saja, dan keselamatan dari dosa menyangkut tubuh juga [kutipan dari Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK-GM, 1987), hlm. 9ff.].

3. Refleksi

Seorang pembicara mengangkat sebuah ilustrasi. “Seorang ayah, anaknya, dan teman anak- nya berlayar ke Samudra Pasifik. Namun, ombak dan badai menyerang sehingga mereka ter- lempar ke laut. Karena hanya punya satu tali penyelamat, sang ayah harus memutuskan si- apa yang ia akan tolong. Anaknya adalah seorang pengikut Kristus, sedangkan teman anak- nya bukan. Akhirnya ia berteriak, “Aku mengasihimu, anakku” dan melemparkan tali itu kepa- da teman anaknya. Saat itu juga, anaknya menghilang ditelan gelombang. Begitu besarnya pula kasih Allah, sehingga Dia melakukan hal yang sama kepada kita.” Usai kebaktian, dua remaja menghampiri si pembicara. “Saya pikir tidak realistis bila sang ayah mengorbankan anaknya dengan berharap teman anaknya itu akan mengikut Kristus.” “Benar sekali,” jawab si pembicara. “Tetapi sebesar itulah kasih Allah, buktinya . . . sayalah teman si anak itu.” Roma 5:8 mengatakan kepada kita, “Allah menunjukkan kasihnya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita.” Ya, Yesus telah mati untuk se- mua orang, termasuk orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, kita yang sudah menerima keselamatan harus selalu mengingat mandat Allah bagi kita untuk “menjadikan semua bangsa murid-Ku (Matius 28:19). Saat ini, pintu kemurahan Allah masih terbuka. Marilah kita bersaksi tentang cinta-Nya kepada orang-orang yang kita jumpai di se- panjang perjalanan hidup ini. Dia telah mengurbankan hidup-Nya agar seluruh isi dunia ber- oleh hidup kekal! [kutipan dari Renungan Harian, Minggu 20 Januari 2008 (Yogyakarta: Yayasan Gloria)].

- - - NR - - -

Tidak ada komentar: