(Berberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Ketika Yohanes menulis suratnya yang pertama, masalah-masalah yang ditunjukkan dalam Injilnya telah muncul secara lebih jelas. Pandangan-pandangan sesat tentang oknum Kristus sedang menimbulkan akibat-akibat yang hebat dalam pelayanan pas- toral. Pandangan-pandangan ini tidak hanya mengancam persatuan gereja, tetapi juga menimbulkan kebingungan tentang hakikat pengalaman Kristen dan merusak standar moral. Sebagai akibatnya, dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak seperti ini, Yohanes menulis suatu surat yang tajam yang lebih bersifat pastoral daripada polemis. Suratnya merupakan contoh dari ajaran pastoral --- “karya agung dalam seni memba- ngun”. Di seluruh surat ini dan kedua suratnya yang lain, Yohanes secara hati-hati mene- rangkan hubungannya dengan pembacanya agar mereka menghargai motivasinya untuk mengajar mereka. Mereka adalah “anak-anak”-nya (2:1,12,13,18 dst . . .) dan “saudara-saudara”-nya “yang kekasih” (2:7; 3:2,21 dst. . . .). Yohanes hendak memba- ngun di atas rasa kasih dan kelembutan yang sudah terbentuk dalam hubungannya dengan mereka. Tambahan pula ini menolong kita memahami perhatiannya terhadap sukacitanya sendiri (1:4; . . . ), karena sukacitanya seorang bapa terikat erat dengan kesejahteraan anak-anaknya. Metode yang dipakainya untuk mengajar adalah pengulangan. Ia tidak berhasrat untuk menyampaikan ajaran ciptaannya sendiri, tetapi hanya mengingatkan mereka tentang apa yang mereka sudah ketahui (2:21; bnd. 2:7-8 . . . ). Mereka tidak perlu belajar hal-hal yang baru. Mereka hanya perlu memahami dengan lebih baik apa yang mereka ketahui. Karena itu, Yohanes secara saksama menjelaskan kembali hal-hal yang sama dalam suratnya yang pertama. Hal ini menyebabkan sebagian orang ber- pendapat bahwa surat-suratnya merupakan surat edaran. Findlay berkata, “Di bawah permukaan sifat Yohanes yang tenang, terdapat kegai- rahan yang terpendam, hasrat yang kadang-kadang berkobar dengan kedahsyatan yang mengejutkan.” Ini terbukti dalam surat-suratnya. Namun, metode mengajarnya hampir seluruhnya positif. Walaupun perhatiannya dicurahkan untuk melawan guru-guru se- sat, namun hanya kadang-kadang ia menyerang mereka secara langsung. Inti pende- katannya adalah membuat pernyataan yang positif tentang kebenaran. Sebab utama dari gangguan adalah ajaran sebagian orang bahwa Kristus tidak da- tang dalam keadaan sebagai manusia, tetapi hanya kelihatan sebagai manusia. Orang- orang yang mengajarkan hal ini menganggap diri mereka telah mencapai pengertian yang benar tentang iman dan memandang rendah kepada orang yang belum menerima pencerahan ini. Pandangan mereka bahwa Yesus tidak datang dalam keadaan manusia mengandung sejumlah akibat moral. Pada satu sisi mereka percaya bahwa semua yang bersifat benda adalah jahat. Akan tetapi, di sisi lain, mereka hidup dalam lingkungan Roh dan sesudah memperoleh kemenangan dari kedagingan melalui pencerahan, me- reka telah mencapai kesempurnaan. Pandangan seperti ini memimpin kepada ketidak- pedulian etis dan antinomianisme. Kehadiran guru-guru sesat menyebabkan sebagian orang Kristen meragukan keab- sahan pertobatan mereka dan menjadi bingung tentang pengalaman Kristen mereka. Apakah yang akan mereka lakukan dengan dosa dalam kehidupan mereka? Apakah ini merupakan indikasi bahwa mereka belum mencapai kesempurnaan ataukah mungkin mereka bodoh karena menaruh perhatian kepada dosa? Bagaimana tentang hubungan mereka dengan dunia? Dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang-orang yang secara rohani tidak cocok dengan mereka? Jawaban Yohanes mulai dengan menetapkan dan meneguhkan kebenaran dari ajar- an yang telah mereka terima (1:1-3). Satu-satunya dasar untuk keyakinan mengenai kedudukan mereka di hadapan Allah ialah keyakinan yang datang dari pengetahuan akan kebenaran, bukan keyakinan yang dibangun di atas dasar yang tidak pasti dari pengalaman subyektif mereka sendiri. Karena itu, dengan sabar Yohanes menjelaskan kembali kebenaran tentang hakikat dasar Kristus, sambil mengingatkan mereka untuk berwaspada terhadap antikristus-antikristus (2:18-27) dan tahu membedakan ajaran- ajaran yang mereka terima (4:1-3). [ . . . ] Pada awal suratnya, Yohanes menyatakan pemahamannya akan kegelapan (1:5-7). Guru-guru sesat mengajarkan tentang perlunya melepaskan diri dari dunia fisik yang gelap ini menuju terang “gnosis” (pengetahuan), namun bagi Yohanes, hakikat kege- lapan bukanlah fisik tetapi moral, tepatnya amoral. Yohanes menganggap perbuatan membenci saudara, sebagai berada dalam kegelapan (2:9,11). Memang benar bahwa dunia tidak boleh diterima begitu saja tanpa bersikap kritis (2:15-17), karena pada dasarnya dunia menentang Allah. Akan tetapi, apa yang dimaksudkan Yohanes dengan “dunia” bukanlah wujud fisiknya, tetapi sistem kemanusiaan yang diatur dengan hukum-hukum Allah [kutipan dari Derek J. Tidball, Teologi Penggemba laan, Suatu Pengantar, terj. (Malang: Gandum Mas, 1995), hlm. 102ff.].
2. Eksposisi [Sumber utama: TNIV Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2006), pp. 2104].
Ayat 7-8 : “perintah baru”, lihat Yoh 13:34-35. Masih sejak Perjanjian Lama telah dicantumkan perintah kasih itu (lihat Im 19:18). Bahwa ini dibaharui dan menjadi segar lagi, itu nampak: (i) dalam ungkapan kasih ilahi melalui penyaliban Yesus; (ii) dalam ulasan dan wejangan Yesus tentang Taurat (lihat Mat 5), dan (iii) pengalaman langsung orang-orang percaya yang bertumbuh dalam kasih-cinta satu terhadap yang lain. “dari mulanya”, yakni sejak pertama kalinya mereka mendengar Injil. “terang yang benar” [NIV: “true light”]. Ungkapan ini menunjuk pada Injil Yesus Kristus, Dia yang adalah “terang dunia” (Yoh 8:12). Ayat 9-10 : “membenci” . . . “mengasihi”. Dalam Perjanjian Baru “membenci” dan “mengasihi” lebih banyak dipahami sebagai sikap dan/atau tingkah laku nyata, dan bukan pertama-tama sebagai tabiat dan/atau sifat. Ayat 12-14: Dengan mengulangi apa (“menulis”) yang dinyatakannya dalam ayat 1, Yohanes ingin memberi jaminan kepada para pembaca suratnya bahwa walaupun suratnya berisi anjuran/perintah yang ketat dan keras, tetapi ia yakin akan keselamatan mereka.
3. Refleksi . . .
Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Yoh 13:34 Pernakah Anda bertanya mengapa tubuh Kristus yang telah bangkit masih meninggalkan luka akibat paku dan tombak setelah kebangkitan? Aku percaya hal itu karena Allah ingin supaya kita tidak pernah melupakan bagaimana kita telah saling melukai. Ia ingin kita tahu bahwa, walaupun dosa berkuasa melukai, kuasa-Nya untuk mengampuni jauh lebih besar. Dalam bacaan Alkitab [Yoh 20:19-23], Kristus yang bangkit kembali kepada mereka yang telah menyangkal dan meninggalkan Dia, serta memberi damai sejahtera. Kita memerlukan damai sejahtera. Sungguh menyedihkan jika ternyata dalam tubuh Kristus sekalipun kita saling melukai. Setiap kita bersalah karena menyakiti, sama seperti masing- masing kita pernah menderita di tangan saudara-saudara kita. Kita tidak meniru Kristus dalam perkataan dan perbuatan. Di gereja, tempat aku melayani, kami menghadapi situasi di mana seorang staf pergi setelah merasa terluka. Aku memohon pengampunan, dan ia mengulurkan- nya. Aku percaya, kita pun telah melukai Kristus seperti itu. Jika aku telah mendapatkan hikmat setelah bertahun-tahun, maka hikmat itu adalah: Perbu- atan kita juga merupakan kesaksian bagi Kristus, sama seperti usaha yang kita lakukan. Atau, dengan kata lain: hasil yang kita capai tidak membenarkan cara demi mencapainya, jika cara itu memang salah. Cara kita harus sesuai dengan jalan, kebenaran, dan kehidupan Kristus. Mike Ripski (Tennessee) [kutipan dari Saat Teduh, Minggu, 24 Februari 2008, terj. (Jakarta: BPK-GM).
- - - NR - - -
31 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar