N E H E M I A 1 0 : 3 2 – 3 9
(Beberapa Catatan dan Infromasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Kronologi
th. 586 sM : Yerusalem dan Bait Suci dihancurkan.
th. 539 sM : Babilonia ditaklukkan oleh Persia.
th. 538 sM : Rombongan pertama orang-orang Yahudi kembali ke
Yerusalem.
kr. (kira-kira) th. 520-480 sM: Masa pelayanan nabi Hagai dan Zakharia.
th. 516 sM : Pembangunan kembali Bait Suci dirampungkan.
th. 458 sM : Di bawah pimpinan Nehemia, rombongan kedua orang-orang
Yahudi kembali ke Yerusalem.
th. 445 sM : Yerusalem selesai dipugar kembali.
kr. th. 430 sM : Kitab Nehemia ditulis.
Why read this book [Nehemiah]: If you’re ever faced an overwhelming task or felt inade-
quate to meet a challenge, you’ll be able to identify with Nehemiah. He struggled with issues
still with us today: motivation, fatigue and criticism. But the book also offers inspiration and
vision. Without neglecting the practical, Nehemiah shows how to tackle God’s difficult as-
signments and survive both opposition and apathy [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest
Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 670; untuk seterusnya sumber ini dipendekkan QSB].
NEHEMIA. Satu-satunya sumber pengetahuan kita mengenai Nehemia adalah kitab yg mem-
bawakan namanya. Dialah juruminum raja Persia, Artahsasta (465-424 sM). Juruminum meru-
pakan kedudukan istimewa. Karena tidak disebut-sebut isterinya, maka mungkin dia seorang
kasim. Setelah menerima berita mengenai keadaan Yerusalem yg begitu menyedihkan (mung
-kin oleh kejadian-kejadian dlm Ezr 4:7-23), dia memohon dan memperoleh izin berangkat ke
tanah airnya sendiri dan diangkat menjadi gubernur. Biarpun ada perlawanan seru . . . dia dan
orang Yahudi membangun kembali tembok-tembok Yerusalem dalam 52 hari. Dia dan orang
Yahudi mempersilakan Ezra membaca hukum Taurat, dan [umat] berjanji akan mematuhi
perintah-perintahnya [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm. 149;
untuk seterusnya sumber ini dioendekkan EAMK ].
2. Eksposisi
Informasi: Pasal 9 : Orang Israel berpuasa dan mengaku dosa.
Pasal 10: Bangsa Israel berjanji akan hidup menurut Torah.
Pasal 11: Pengaturan penduduk Yerusalem dan daerah sekitarnya.
[kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BKP-GM, 1996), hlm.
170].
(Ay) 32: Sepertiga syikal adalah kurang dari jumlah yg diakui (bnd Kel 30:13; Mat 17:24), ka-
rena situasi ekonomi yg menjadi miskin [kutipan dari EAMK, hlm. 667].
(Ay) 33: Apa yang dimaksud dengan [masa raya] “bulan baru” (Inggris [NIV}: New Moon
Festivals)?
Perayaan bulan baru merupakan perayaan keagamaan dan masyarakat umum. Dira-
yakan pada setiap awal bulan, biasanya disebut berdampingan dengan hari Sabat
dalam Perjanjian Lama (a.l. Yes 1:13). Diberlakukan sebagai perayaan (Hos 2:11),
untuk bersantai dan istirahat (Am 8:5), untuk persembahan ekstra (Bil 28:11-15; Yeh
45:17) dan untuk ibadah (Yes 66:23; Yeh 46:1-7) [Sumber: QSB, p. 402].
(Ay) 34: Apa yang dimaksudkan dengan “membuang undi”?
Praktek ini berlaku umum saat itu. Cara melakukannya tidak jelas, tetapi rupanya
memakai batu yang diberi tanda atau memakai potongan kayu (bnd. Ams 18:18).
Informasi: Casting lots was a means used to settle disputed questions. In the
absence of clear moral justification for deciding one way or another, this
ancient equivalent of “flipping a coin” resolved the matter quickly and
decisively. Though the means might appear arbitrary, participants fully
believed God was involved: The lot is cast into the lap, but its every
decision is from the Lord [Ams 16:33]. God could certainly have directed
the results of any such process [kutipan dari QST, p. 925].
Menyediakan kayu api . . . di atas mezbah Tuhan; ketentuan ini adalah suatu per-
kembangan wajar bersumber pada perintah mempertahankan api mezbah tetap me-
nyala (bnd Im 6:12-13) [kutipan dari TAMK, loc. cit.].
(Ay) 36: Mengapa anak-anak dibawa ke para imam?
Untuk menyatakan bahwa mereka dan anak-anak mereka adalah milik Tuhan.
Membawa anak-anak ke para imam adalah wajib, sebagai simbol penyerahan
kepada Tuhan (Kel 22:29-30; 34:19). Tapi yang dipersembahkan sebagai korban
adalah anak-anak sulung ternak. “Parents offered these sacrifices in place of their
firstborn sons and then took their sons home to raise. This law reminded them of how
God spared Israel’s firstborn sons during Passover in Egypt” [Sumber dan kutipan bahasa
Inggris dari QSB, p. 686].
(Ay) 37: Perpuluhan-perpuluhan berupa ternak lembu tidak disebut di sini (bnd Im 27:32) bi-
arpun anak sulung disebut dalam ay 36 (bnd Bil 18:15-18). Mungkin ada kekurang-
an ternak lembu pada waktu kemiskinan yg membuat sedikit kelemahan akan peme-
nuhan tuntutan Taurat [kutipan dari TAMK, loc. cit.].
3. Excursus
[Memahami Fungsi “Torah” dalam PL]
Cara terbaik untuk menghampiri sistem etika Perjanjian Lama sebagai “Torah” adalah me-
ngingat maksud Perjanjian Lama yang terutama bukanlah memberikan informasi mengenai
moralitas, . . . melainkan untuk memberikan bahan-bahan yang, apabila direnungkan dan di-
resap ke dalam pikiran, akan memberikan kesan tentang pola atau bentuk cara kehidupan
yang dijalankan di hadapan Allah. Meskipun Perjanjian Lama mengandung “hukum-hukum”
atau “aturan-aturan” dalam pengertian kita, ia mengandung lebih banyak hal lainnya lagi, dan
ia tidak dapat begitu saja disamakan dengan sekumpulan aturan. Para pembaca ingin diarah-
kan pada ketaatan akan kehendak Allah dan hidup dalam persekutuan dengan Dia, bukan ha-
nya dengan jalan melaksanakan perintah-perintah hukum yang terinci (dalam pengertian yang
lebih sempit), tetapi juga dengan membaca cerita-ceritanya --- yang, demikian pendapat kami,
memang mempradugakan dan menolong menciptakan sebuah pola perilaku; dengan me-
nyembah Allah melalui bantuan Kitab Mazmur; dan dengan merenungkan ucapan-ucapan pa-
ra bijak dan para nabi. Jadi, untuk bentuk akhir Perjanjian Lama, perilaku moral praktis ber-
kaitan erat dengan apa yang barangkali kita sebut “spiritualitas”: masalah gaya hidup, bukan
saja aturan-aturan khusus dalam “urusan-urusan moral”. “Torah adalah sebuah sistem yang
dengannya kita menjalani keseluruhan hidup di hadapan Allah, dan bukan hanya serangkaian
aturan terinci untuk mencakup setiap situasi individual di mana suatu petunjuk moral mungkin
dibutuhkan. Meskipun gagasan ini dapat, dan kadang-kadang memang, membawa kepada
perhatian “jelimet” kepada rincian-rincian perilaku seperti yang disebut orang Kristen sebagai
“legalisme”, kekuatan pendorong di belakangnya adalah kehendak untuk meletakkan seluruh
kehidupan di bawah kehendak kuasa Allah --- “menerima kuk Kerajaan sorga”, sebagaimana
kadang-kadang disebutkan oleh sumber-sumber Rabinik [kutipan dari John Barton, “Berbagai Pende-
katan Etika dalam Perjanjian Lama” dalam John Rogerson (ed.), Studi Perjanjian Lama bagi Pemula, terj. (Jakar-
ta: BPK-GM, 1993), hlm. 139f.].
- - - NR - - -
30 Juni 2008
I M A M A T 2 0 : 2 2 - 2 6 (2 Jul 08)
I M A M A T 2 0 : 2 2 - 2 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Undang-undang kekudusan [Inggris: Holiness Code] (Im 17-26) disusun di Yerusalem sebe-
lum pembuangan. Ketika Kitab Ulangan yang berasal dari Utara dalam persiapan penerbitan-
nya, dan segala sesuatu dipusatkan pada perjanjian dan pemilihan dari pihak Allah, imam-
imam di Yerusalem ingin menetapkan kebiasaan yang dijalankan di Bait Allah, berpusat pada
ibadah, untuk mengingatkan umat bahwa Allah adalah suci, sama sekali berbeda [kutipan dari
Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 92f.].
Ciri khas Kitab Imamat ialah: Hampir tidak ada cerita di dalamnya. Hanya ada cerita tentang
pemberontakan Nadab dan Abihu (bab 10). Tetapi cerita ini hanya mau menegaskan bahwa
siapapun juga harus berpegang teguh pada aturan ibadat, kalau tidak ia dihukum Tuhan. Lain-
lain bagian Kitab Imamat hanya memuat hukum, aturan dan undang-undang saja. Ada cukup
banyak hukum dan aturan yang serupa atau sejalan dengan yang tercantum dalam Kitab Ke-
luaran. Tetapi dalam Kitab Imamat semua disoroti dari sudut pandangan para imam. [ . . . ]
Membaca hukum dan aturan biasanya cukup membosankan. Apa lagi hukum dan aturan
dari zaman dahulu seperti yang termuat dalam Kitab Imamat. Namun justru hukum dan un-
dang-undang suatu bangsa menyingkapkan ciri-corak bangsa yang bersangkutan. Dalam hu-
kumnya menjadi nyata nilai-nilai mana dijunjung tinggi oleh suatu bangsa; mana cita-cita yang
dikejar; bagaimana anggota-anggota itu memperlakukan satu sama lain dan saling menghar-
gai. Demikian pun halnya dengan hukum dan undang-undang yang tercantum dalam Kitab
Imamat. Boleh dikatakan bahwa dalam kitab ini bangsa Israel nampak sebagai bangsa yang
seharusnya “Umat yang kudus”. Ini nampak dalam sikap dan ibadatnya kepada Allah dan
yang kudus itu, terhadap sesama anggota umat yang kudus itu, terhadap tanah milik Tuhan
dan terhadap waktu yang dikuduskan Tuhan [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian
Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 110].
2. Eksposisi
Informasi: Fasal 17-26 : Hukum Kesucian [Inggris: Holiness Code].
Fasal 19:1-37: Kudusnya hidup.
Fasal 20:1-27: Kudusnya umat TUHAN.
Fasal 21:1-33: Kudusnya para imam.
[kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.
55f.].
20:1-27 Hukum serba-serbi mengenai kejahatan yg mengerikan
(Ay) 22-26: Ay-ay ini mengingatkan kepada Israel bahwa kejahatan-kejahatan besar yg baru
saja diuraikan [dalam penggalan sebelum ini] itu adalah kejahatan-kejahatan orang-orang yg
negerinya akan mereka duduki. Negeri itu telah ‘memuntahkan’ (bnd 18:25) penduduknya ba-
gi keburukan-keburukan mereka, dan Israel akan menderita hal yg sama, jika ia melakukan
keburukan-keburukan itu (bnd 18:28). Namun negeri itu adalah warisan mereka, dan negeri
itu adalah negeri yg baik (Kel 3:8, 17).
TUHAN telah memisahkan mereka. Perhatikan pemakaian kata itu hingga 3 kali dalam
ay 24-26. Bagian ini jelas menunjukkan,bahwa tujuan pokok dari hukum-hukum yg mengenai
makanan dalam ps 11 itu adalah untuk mengadakan dan memajukan suatu pemisahan yg te-
gas antara Israel dan orang Kanaan. Karena makan dan minum penting dalam hidup sehari-
hari umat, dan karena ay 22-26 dimaksudkan sebagai kesimpulan bagi kumpulan hukum yg
besar ini, yaitu hukum upacara-upacara keagamaan dan moral, yg harus ditaati oleh umat,
maka penunjukan kembali ke ps 11 yg dengannya hukum-hukum di mulai, adalah tepat seka-
li. Supaya kamu menjadi milikKu. Di sini seluruh tujuan hukum secara singkat dirangkumkan.
Umat TUHAN harus menaati hukumNya, jika mereka benar-benar adalah milikNya [kutipan dari
Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 220f.].
Informasi: Dengan pemberian undang-undangNya itu Allah dikatakan “bermaksud” hen-
dak menertibkan kehidupan umatNya, tetapi dalam hal ini firmanNya tak boleh
disama-ratakan dengan perkataan manusia. Firman Allah memang menyatakan
maksud dan kehendakNya, sebagaimana halnya dengan tiap-tiap perintah atau
keputusan manusia juga. Tetapi dengan melebihi sifatnya sebagai pernyataan,
keputusan atau pemberitahuan itu, hukum-hukum Allah mengerjakan (melaksana-
kan) apa yang dinyatakannya . . . Allah menertibkan kehidupan umatNya; Ia tidak
menyuruh umat itu supaya hidup dengan tertib! Allah “menguduskan” mereka (Im
20:8; 22:32; 21:8; Kel 31:13; Yeh 20:12); Ia tidak hanya menyuruh mereka, supa-
ya “menjadi orang-orang kudus” (Kel 22:31; Im 19:2; 20:26). Allah “menebus” atau
“membebaskan” suatu umat bagi diriNya serta menjadikan mereka menjadi ham-
ba-hambaNya yang merdeka terhadap segala kuat-kuasa yang memperbudaknya;
Ia tidak hanya menyuruh mereka supaya hidup seperti orang-orang merdeka. Al-
lah menyatukan mereka menjadi suatu “jemaah” atau “perkumpulan” yang bersifat
persekutuan dan persaudaraan antara sesamanya sendiri; Ia tidak hanya menyu-
ruh mereka supaya hidup seperti saudara-saudara. Firman Allah mengerjakan se-
muanya ini. FirmanNya yang berupa hukum-hukum itu berkuasa untuk melaksa-
nakan maksudnya, dan sungguh-sungguh memakai kuasanya.
Adalah dengan sengaja kita tekankan sekali lagi kuasa hukum-hukum Allah itu:
sudah terlalu biasa kita menilai hukum-hukum itu semata-mata sebagai peraturan
yang sempurna sendiri, tetapi yang baru “mendapat” pengaruh dan kuasa, apabila
umat Israel sudi menaatinya. Hukum-hukum Allah memang menuntut ketaatan.
Tetapi justru bangkitnya ketaatan yang sukarela ini adalah disebabkan oleh pe-
ngaruh hukum-hukum Allah itu sendiri; hukum-hukum itu hanya menuntut apa
yang serentak diberikannya juga. Apabila umat Israel tidak menaatinya; maka itu
berarti bahwa mereka belum sampai mendengakannya, belum membuka dirinya
untuk kuasa-kuasa hukum itu. Segala puji patut diberikan kepada kuasa firman itu
sendiri, apabila manusia membuka diri untuknya. Bangkitnya ketaatan itu adalah
tidak kurang ajaib daripada “kelahiran” dan “kehidupan” Israel sebagai umat TU-
HAN --- baik pada permulaannya maupun di sepanjan masa! [kutipan dari C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 312f.].
3. Excursus
Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma”
adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian
Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara
demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya.
Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak
dapat begitu saja memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia mo-
dern. [ . . . ]
Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya
relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen
atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi terang bagi bangsa-
bangsa (bnd. Yes 49:6), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. . . . Pendekatan paradigma-
tis ini membuat Perjanjian Lama paling bermanfaat sebagai suatu sumber bagi etika sosial
Kristen [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-
GM, 1995), hlm. 42f.].
- - - NR - - -
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Undang-undang kekudusan [Inggris: Holiness Code] (Im 17-26) disusun di Yerusalem sebe-
lum pembuangan. Ketika Kitab Ulangan yang berasal dari Utara dalam persiapan penerbitan-
nya, dan segala sesuatu dipusatkan pada perjanjian dan pemilihan dari pihak Allah, imam-
imam di Yerusalem ingin menetapkan kebiasaan yang dijalankan di Bait Allah, berpusat pada
ibadah, untuk mengingatkan umat bahwa Allah adalah suci, sama sekali berbeda [kutipan dari
Etienne Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1989), hlm. 92f.].
Ciri khas Kitab Imamat ialah: Hampir tidak ada cerita di dalamnya. Hanya ada cerita tentang
pemberontakan Nadab dan Abihu (bab 10). Tetapi cerita ini hanya mau menegaskan bahwa
siapapun juga harus berpegang teguh pada aturan ibadat, kalau tidak ia dihukum Tuhan. Lain-
lain bagian Kitab Imamat hanya memuat hukum, aturan dan undang-undang saja. Ada cukup
banyak hukum dan aturan yang serupa atau sejalan dengan yang tercantum dalam Kitab Ke-
luaran. Tetapi dalam Kitab Imamat semua disoroti dari sudut pandangan para imam. [ . . . ]
Membaca hukum dan aturan biasanya cukup membosankan. Apa lagi hukum dan aturan
dari zaman dahulu seperti yang termuat dalam Kitab Imamat. Namun justru hukum dan un-
dang-undang suatu bangsa menyingkapkan ciri-corak bangsa yang bersangkutan. Dalam hu-
kumnya menjadi nyata nilai-nilai mana dijunjung tinggi oleh suatu bangsa; mana cita-cita yang
dikejar; bagaimana anggota-anggota itu memperlakukan satu sama lain dan saling menghar-
gai. Demikian pun halnya dengan hukum dan undang-undang yang tercantum dalam Kitab
Imamat. Boleh dikatakan bahwa dalam kitab ini bangsa Israel nampak sebagai bangsa yang
seharusnya “Umat yang kudus”. Ini nampak dalam sikap dan ibadatnya kepada Allah dan
yang kudus itu, terhadap sesama anggota umat yang kudus itu, terhadap tanah milik Tuhan
dan terhadap waktu yang dikuduskan Tuhan [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian
Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 110].
2. Eksposisi
Informasi: Fasal 17-26 : Hukum Kesucian [Inggris: Holiness Code].
Fasal 19:1-37: Kudusnya hidup.
Fasal 20:1-27: Kudusnya umat TUHAN.
Fasal 21:1-33: Kudusnya para imam.
[kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.
55f.].
20:1-27 Hukum serba-serbi mengenai kejahatan yg mengerikan
(Ay) 22-26: Ay-ay ini mengingatkan kepada Israel bahwa kejahatan-kejahatan besar yg baru
saja diuraikan [dalam penggalan sebelum ini] itu adalah kejahatan-kejahatan orang-orang yg
negerinya akan mereka duduki. Negeri itu telah ‘memuntahkan’ (bnd 18:25) penduduknya ba-
gi keburukan-keburukan mereka, dan Israel akan menderita hal yg sama, jika ia melakukan
keburukan-keburukan itu (bnd 18:28). Namun negeri itu adalah warisan mereka, dan negeri
itu adalah negeri yg baik (Kel 3:8, 17).
TUHAN telah memisahkan mereka. Perhatikan pemakaian kata itu hingga 3 kali dalam
ay 24-26. Bagian ini jelas menunjukkan,bahwa tujuan pokok dari hukum-hukum yg mengenai
makanan dalam ps 11 itu adalah untuk mengadakan dan memajukan suatu pemisahan yg te-
gas antara Israel dan orang Kanaan. Karena makan dan minum penting dalam hidup sehari-
hari umat, dan karena ay 22-26 dimaksudkan sebagai kesimpulan bagi kumpulan hukum yg
besar ini, yaitu hukum upacara-upacara keagamaan dan moral, yg harus ditaati oleh umat,
maka penunjukan kembali ke ps 11 yg dengannya hukum-hukum di mulai, adalah tepat seka-
li. Supaya kamu menjadi milikKu. Di sini seluruh tujuan hukum secara singkat dirangkumkan.
Umat TUHAN harus menaati hukumNya, jika mereka benar-benar adalah milikNya [kutipan dari
Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 220f.].
Informasi: Dengan pemberian undang-undangNya itu Allah dikatakan “bermaksud” hen-
dak menertibkan kehidupan umatNya, tetapi dalam hal ini firmanNya tak boleh
disama-ratakan dengan perkataan manusia. Firman Allah memang menyatakan
maksud dan kehendakNya, sebagaimana halnya dengan tiap-tiap perintah atau
keputusan manusia juga. Tetapi dengan melebihi sifatnya sebagai pernyataan,
keputusan atau pemberitahuan itu, hukum-hukum Allah mengerjakan (melaksana-
kan) apa yang dinyatakannya . . . Allah menertibkan kehidupan umatNya; Ia tidak
menyuruh umat itu supaya hidup dengan tertib! Allah “menguduskan” mereka (Im
20:8; 22:32; 21:8; Kel 31:13; Yeh 20:12); Ia tidak hanya menyuruh mereka, supa-
ya “menjadi orang-orang kudus” (Kel 22:31; Im 19:2; 20:26). Allah “menebus” atau
“membebaskan” suatu umat bagi diriNya serta menjadikan mereka menjadi ham-
ba-hambaNya yang merdeka terhadap segala kuat-kuasa yang memperbudaknya;
Ia tidak hanya menyuruh mereka supaya hidup seperti orang-orang merdeka. Al-
lah menyatukan mereka menjadi suatu “jemaah” atau “perkumpulan” yang bersifat
persekutuan dan persaudaraan antara sesamanya sendiri; Ia tidak hanya menyu-
ruh mereka supaya hidup seperti saudara-saudara. Firman Allah mengerjakan se-
muanya ini. FirmanNya yang berupa hukum-hukum itu berkuasa untuk melaksa-
nakan maksudnya, dan sungguh-sungguh memakai kuasanya.
Adalah dengan sengaja kita tekankan sekali lagi kuasa hukum-hukum Allah itu:
sudah terlalu biasa kita menilai hukum-hukum itu semata-mata sebagai peraturan
yang sempurna sendiri, tetapi yang baru “mendapat” pengaruh dan kuasa, apabila
umat Israel sudi menaatinya. Hukum-hukum Allah memang menuntut ketaatan.
Tetapi justru bangkitnya ketaatan yang sukarela ini adalah disebabkan oleh pe-
ngaruh hukum-hukum Allah itu sendiri; hukum-hukum itu hanya menuntut apa
yang serentak diberikannya juga. Apabila umat Israel tidak menaatinya; maka itu
berarti bahwa mereka belum sampai mendengakannya, belum membuka dirinya
untuk kuasa-kuasa hukum itu. Segala puji patut diberikan kepada kuasa firman itu
sendiri, apabila manusia membuka diri untuknya. Bangkitnya ketaatan itu adalah
tidak kurang ajaib daripada “kelahiran” dan “kehidupan” Israel sebagai umat TU-
HAN --- baik pada permulaannya maupun di sepanjan masa! [kutipan dari C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 312f.].
3. Excursus
Masyarakat Israel harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatis. “Paradigma”
adalah kategori yang bermanfaat bagi pemahaman dan penerapan etis seluruh Perjanjian
Lama. Dengan melihat kehidupan sosial, lembaga-lembaga dan hukum-hukum Israel secara
demikian, kita dapat menghindarkan dua bahaya.
Pada satu pihak, itu berarti kita tidak meniru masyarakat Israel secara harfiah. Kita tidak
dapat begitu saja memberlakukan hukum-hukum sosial masyarakat kuno dalam dunia mo-
dern. [ . . . ]
Pada pihak lain, sistem sosial Israel tidak dapat diabaikan dengan menganggapnya hanya
relevan bagi Israel yang historis dan sama sekali tidak dapat dikenakan pada gereja Kristen
atau umat manusia pada umumnya. Kalau Israel dimaksudkan menjadi terang bagi bangsa-
bangsa (bnd. Yes 49:6), maka terang itu harus dibiarkan bersinar. . . . Pendekatan paradigma-
tis ini membuat Perjanjian Lama paling bermanfaat sebagai suatu sumber bagi etika sosial
Kristen [kutipan dari Christopher Wright, Hidup sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, terj. (Jakarta: BPK-
GM, 1995), hlm. 42f.].
- - - NR - - -
22 Juni 2008
I M A M A T 1 9 : 1 - 1 6 (29 Jun 08)
I M A M A T 1 9 : 1 - 1 6
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Kitab ketiga dari kelima Kitab Musa disebut “Kitab Imamat”. Dalam bahasa Yunani-Latin dinamakan
“Leviticus”. Dan demikian pun dalam kebanyakan bahasa moderen. Nama dalam bahasa Indonesia itu
sangat cocok. Sebab bagian terbesar kitab ini mengenai para imam umat Israel, tugas dan kewajiban-
kewajibannya. Kaum Lewi, yaitu para pembantu imam-imam, [justru] tidak tampil dalam Kitab Imamat ini.
. . . Meskipun lama sesudah zaman Musa barulah disusun, namun dalam Pentateukh Kitab Imamat
langsung melanjutkan Kitab Keluaran. Dipikirkan bahwa isi kitab ini diumumkan waktu orang-orang Israel
tinggal di gunung Sinai [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), hlm. 115f.].
Dilihat dari isinya secara keseluruhan, Im dapat disebut ‘Kitab Kekudusan Tuhan’ [‘Holiness Code’],
dengan tuntutan-Nya yang mendasar yaitu ‘Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN adal kudus’
(20:26). . . . Kekudusan-Nya-lah yg mengharuskan adanya hukum-hukum tentang persembahan dan
makanan, pentahiran dan kesucian, Masa Raya dan upacara-upacara lainnya. Para imam adalah orang-
orang yg sangat penting sebagai perantara antara Tuhan dengan Israel. Kehidupan dalam perjanjian
[‘covenant’] adalah kehidupan yg terus-menerus diatur dengan segala macam peraturan [kutipan dari Ensi-
klopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 429].
Informasi: Sejak abad yang lalu, Imamat 17-26 dianggap oleh para ahli sebagai kumpulan hukum
terpisah, yang diberi nama “Hukum Kekudusan” (Holiness Code}, karena rujukannya yang
berulang-ulang kepada kekudusan dan tuntutan yang terus menerus untuk hidup secara
kudus. Tetapi seperti telah kita lihat dalam pasal 1, kekudusan bagi Isael adalah lebih dari
sekedar masalah ritual atau kesalehan. Imamat 17-26 berisi hukum-hukum praktis tentang
kehidupan keluarga secara seksual (Im 18 dan 20) dan kehidupan sosial secara umum
(khususnya Im 19), serta peraturan-peraturan tambahan untuk pekerjaan keimaman dan
berbagai jenis perayaan (Im 21-24) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat
Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 154].
Im 19 telah lama diakui sebagai salah satu bagian yang tertua di dalam kumpulan hukum-
hukum Im 17-26 (“Kitab Undang-Undang Kesucian”). . . . Munculnya dua kali hukum yang
itu-itu juga dalam fasal yang sama --- hormatilah orang-orang tua, Im 19:3 dan 32; memeli-
hara hari Sabat, 19:3 dan 30; jangan bertindak curang dalam pengadilan, 19:15 dan 35a,
dst. --- membenarkan dugaan bahwa fasal ini adalah “tempat persembunyian” bagi dua
buah Dekalog yang tua lagi (mis. Im 19:3-19 dengan ay 5-10, 17-18 sebagai tambahan,
dan 19:26-36 dengan ay 34 sebagai tambahan).
…………………………………………………………………………………………………….
Ketetapan-ketetapan yang terkumpul di dalam “Kitab Undang-Undang Kesucian” (Im 17-26)
sekali-kali tidak berhenti pada batas bidang “keagamaan” menurut pengertian kita. . . .
Kedua ringkasan hukum-hukum yang dipergunakan oleh penyusun Im 19 [lihat di atas]
adalah bersifat “umum”, tidak kurang dari Dekalog Kel 30/Ul 5 yang terkenal itu; rupa-
rupanya para penyusun berkeyakinan bahwa hak-hak sesama manusia --- hormat kepada
ibu-bapa (19:3,32), keamanan nyawa, nama baik dan milik orang (19:11, 13,16,18), penga-
dilan dan perdagangan yang benar (19:15,36), pergaulan dengan orang-orang kecil (19:13-
15,10,33), wajib diindahkan, tak kurang daripada hak-hak Allah [kutipan dari C. Barth, Theo-
logia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 236 dan 258].
Fasal 19 : 1 – 37 : Kudusnya hidup [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian
Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 56].
2. Eksposisi/Uraian
Informasi: Hukum-hukum ini begitu bermacam-macam sehingga sukar nuntuk menggolong-
kannya. [Ay] 2: Hukum-hukum itu disajikan dengan peringatan serius, Kuduslah
kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus. Hingga 15 kali Aku, Tuhan (Allahmu)
diulangi dalam 37 ay dari bab ini. Hukum-hukum itu mengenai ucapan keagamaan
dan hidup kesusilaan, dan keduanya termasuk kedua loh Dasa Titah. [Ay] 3, 4:
Ayat-ayat ini berisi titah ke-5, ke-4 dan ke-2 Dasa Titah. Menyegani orang tua,
memelihara Sabat, menjauhkan diri dari berhala ditempatkan di depan sebagai
sangat penting secara khusus. Bahwa kata ‘menyegani’ kadang-kadang dipakai
dalam arti ‘menghormati’ dijelaskan oleh ay 30, di mana kata-kata ‘menghormati
tempat kudusKu’ dipakai. Bnd Ul 6 di mana ‘Kasihilah Tuhan’ (ay 5) didahului (ay
2) dan diikuti (ay 13) oleh ‘takut akan Tuhan’; dan lih Ul 9:19. ‘Kasih’ kepada Allah
tidak diperintahkan dalam Im dan kasih kepada manusia hanya dalam 19:18, 34.
Tapi harus diingat bahwa hal itu ditunjukkan dalam Dasa Titah (Kel 20:6) dan
sering sekali dalam Ul.
[Ay] 5-8: Ay-ay ini mengenai hal makan daging korban keselamatan (bnd 7:15-18).
[Ay] 9, 10: Hukum mengenai memungut apa yg tertinggal dari penunaian termasuk
pada rangkuman umum dari loh kedua Dasa Titah, yg memerintahkan kasih terha-
dap sesamanya (bnd 23:22; Ul 24:9-22). [Ay] 11, 12: Ay-ay ini bersandar pada titah
ke-8 dan ke-3 Dasa Titah. [Ay] 13, 14: Kedua ay ini dihubungkan erat sekali dengan
titah ke-8 Dasa Titah dan asas kemanusiaan yg mendahuluinya. [Ay] 15, 16: Ay-ay
ini menguraikan titah ke-9 Dasa Titah [kutipan dari Tafsiran Masa Kini 1, Kejadian – Ester,
terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998], hlm. 218].
Ayat 2: Apa memang Tuhan menuntut kesempurnaan?
Hendaknya diingat bahwa kata “kudus” tidak sama dengan “sempurna”. Kata “kudus” berarti
dipisahkan (Inggris: to be set apart) --- maksudnya, dipisahkan (cf. Inggris: reserved) bagi/
untuk Tuhan dengan segala maksud baikNya.
Informasi: It was God’s insistence to his people that they must be holy because he was holy
[Im 19:2; 20:7, 26]. The word for holy is hagios whose root meaning is different.
The Temple is hagios because it is different from other buildings; the Sabbath is
hagios because it is different from other days; the Christian is hagios because he
is different from other men. The Christian is God’s man by God’s choice. He is
chosen for a task in the world and for a destiny in eternity. He is chosen to live for
God in time and with him in eternity. In the world he must obey his law and repro-
duce his life. There is laid on the Christian the task of being different [kutipan dari
William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters of James and Peter (Edinburgh: the Saint
Andrew, 1981), p. 188].
PL menggunakan kata ‘kudus’ atas orang yg dinobatkan bagi maksud-maksud
agamawi. Misalnya para imam yg ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga
seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yg disucikan bagi Allah tidak sama
dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel
satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini ‘kudus’ mengacu kepada pengung-
kapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terle-
pas dari PB, sebagaimana dalam 1 Kor 7:14, di mana suami yang tidak beriman
dikuduskan karena hubungannya dengan istri yg beriman demikian sebaliknya
[kutipan dati Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 1, hlm. 617].
God said, “You shall be holy; for I the Lord your God am Holy” [Im 19:2; bnd 20:7,
26]. He who would find fellowship with God is committed to a life of goodness
which reflects God’s goodness. C.H. Dodd writes: “The Church is a society of
people who, believing in a God of pure goodness, accept the obligation to be good
like him.” This does not mean that a man must be perfect before he can have
fellowship with God; if that were the case, all of us would be shut out. But it does
mean that he will spend his whole life in the awareness of his obligations, in the
effort to fulfil them and in penitence when he fails. It will mean that he will never
think that sin does not matter; it will mean that the nearer he comes to God, the
more terrible sin will be to him [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters
of John and Jude (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 29].
3. Excursus
BERSIFAT KUDUS, SEBAGAIMANA ALLAH KUDUS
Kekudusan adalah penting dan berguna. Kekudusan penting karena Allah itu kudus, dan
kekudusan berguna sebab kita disuruh untuk kudus. Tetapi banyak orang Kristen tidak me-
ngerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekudusan.
Sebagaian besar orang Kristen menganggap kekudusan sebagai skala pengukuran moral,
seperti catatan peringkat pada akhir masa pelajaran. Orang yang tidak kudus tercatat di bagi-
an bawah. Orang yang biasa-biasa saja tercatat di bagian tengah. Orang yang sangat baik
tercatat di atas di dekat puncak. Tetapi tidak seorang pun yang seratus persen kudus kecuali
Yesus.
Penjelasan begini menyesatkan. Kekudusan meliputi etika dan kebenaran, tetapi itu bukan-
lah hakikat kekudusan. Hakikat kekudusan adalah berada dalam keadaan tersendiri [Inggris:
set apart].
Allah itu samasekali lain, Ia tersendiri. Allah sangat berbeda. Tidak ada seorang pun yang
seperti Allah yang kudus itu. Kekudusan Allah mempunyai banyak segi. Kekudusan-Nya me-
nyerupai prisma yang memantulkan banyak warna pada waktu bersamaan.
Segi yang pertama adalah keagungan. Allah itu agung seperti seorang raja di atas takhta-
nya. Kata mulia melukiskan aspek kekudusan ini. Mereka yang dapat menangkap bayangan
Allah dalam kekudusan-Nya biasanya diliputi perasaan tentang ketidaklayakan diri mereka.
Ia begitu agung dan kita tidak. Ia kudus dan kita adalah orang-orang berdosa. Pada waktu
penulis-penulis Alkitab mencoba untuk melukiskan hebatnya kekudusan Allah, mereka harus
mengulangi kata kudus itu tiga kali, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (Yesaya
6:3).
Segi kedua adalah kehendak. Allah bukan merupakan suatu rumusan atau suatu konsepsi.
Allah adalah kehendak, suatu kehendak yang melaksanakan berbagai hal. Kehendak Allah
ditetapkan terutama untuk menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang kudus, untuk bertindak
sebagai Allah, dan untuk dikenal sebagai Allah. Oleh sebab itu Ia tidak bersifat acuh tak acuh
terhadap cara orang-orang menghormati Dia.
Segi yang ketiga adalah murka. Murka Allah bukanlah kemarahan yang ‘ngawur’. Melain-
kan merupakan pernyataan wajar tentang kekudusan Allah sebagai tanggapan terhadap dosa.
Allah tidak bisa hidup berdampingan dengan kejahatan. Kita mengetahui murka Allah, karena
kita adalah orang berdosa. [Maksudnya], pikiran dan kemauan kita ditujukan pada hal-hal
yang lain daripada kehendak Allah dan yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Segi keempat dari kekudusan Allah adalah kebenaran. Kebenaran moral Allah adalah
kehendak Allah yang sedang bekerja di dalam hidup kita. Kehendak Allah bertindak untuk
menyesuaikan dunia dengan sifat moral Allah. Hukum Allah merupakan pernyataan yang baik
tentang kebenaran moral-Nya.
Keempat segi kekudusan ini menolong kita untuk mengerti apa artinya bagi kita untuk
menjadi kudus. “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Imamat 19:2). Ayat ini
tidak mengatakan, “Jadilah Allah sebagaimana Aku ini Allah.” Firman ini tidak berbicara me-
ngenai kemuliaan dan keagungan Tuhan. Bahkan firman itu bukan berkata: “Jadilah benar se-
cara moral sebagaimana Aku benar secara moral.” Kita tidak bisa menjadi kudus dalam taraf
yang sama seperti Allah, tetapi kita bisa menjadi kudus dengan cara yang sama. Sebagaima-
na Allah itu kudus, tersendiri, kita pun harus kudus dan tersendiri. [ . . . ]
Ada tiga langkah untuk menjadi [kudus dan] tersendiri. Pertama adalah sadar akan dosa-
dosa kita. . . .
Langka kedua adalah dilahirkan kembali [Yoh 3:3]. Tidak seorang pun dapat menjadi ter-
sendiri tanpa pengalaman ini.
Langkah ketiga adalah menghasilkan “buah yang sesuai dengan pertobatan” (Matius 3:8),
yang berarti berpaling dari dosa menuju iman [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj.
(Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 175ff.].
- - - NR - - -
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Kitab ketiga dari kelima Kitab Musa disebut “Kitab Imamat”. Dalam bahasa Yunani-Latin dinamakan
“Leviticus”. Dan demikian pun dalam kebanyakan bahasa moderen. Nama dalam bahasa Indonesia itu
sangat cocok. Sebab bagian terbesar kitab ini mengenai para imam umat Israel, tugas dan kewajiban-
kewajibannya. Kaum Lewi, yaitu para pembantu imam-imam, [justru] tidak tampil dalam Kitab Imamat ini.
. . . Meskipun lama sesudah zaman Musa barulah disusun, namun dalam Pentateukh Kitab Imamat
langsung melanjutkan Kitab Keluaran. Dipikirkan bahwa isi kitab ini diumumkan waktu orang-orang Israel
tinggal di gunung Sinai [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), hlm. 115f.].
Dilihat dari isinya secara keseluruhan, Im dapat disebut ‘Kitab Kekudusan Tuhan’ [‘Holiness Code’],
dengan tuntutan-Nya yang mendasar yaitu ‘Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN adal kudus’
(20:26). . . . Kekudusan-Nya-lah yg mengharuskan adanya hukum-hukum tentang persembahan dan
makanan, pentahiran dan kesucian, Masa Raya dan upacara-upacara lainnya. Para imam adalah orang-
orang yg sangat penting sebagai perantara antara Tuhan dengan Israel. Kehidupan dalam perjanjian
[‘covenant’] adalah kehidupan yg terus-menerus diatur dengan segala macam peraturan [kutipan dari Ensi-
klopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 429].
Informasi: Sejak abad yang lalu, Imamat 17-26 dianggap oleh para ahli sebagai kumpulan hukum
terpisah, yang diberi nama “Hukum Kekudusan” (Holiness Code}, karena rujukannya yang
berulang-ulang kepada kekudusan dan tuntutan yang terus menerus untuk hidup secara
kudus. Tetapi seperti telah kita lihat dalam pasal 1, kekudusan bagi Isael adalah lebih dari
sekedar masalah ritual atau kesalehan. Imamat 17-26 berisi hukum-hukum praktis tentang
kehidupan keluarga secara seksual (Im 18 dan 20) dan kehidupan sosial secara umum
(khususnya Im 19), serta peraturan-peraturan tambahan untuk pekerjaan keimaman dan
berbagai jenis perayaan (Im 21-24) [kutipan dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat
Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 154].
Im 19 telah lama diakui sebagai salah satu bagian yang tertua di dalam kumpulan hukum-
hukum Im 17-26 (“Kitab Undang-Undang Kesucian”). . . . Munculnya dua kali hukum yang
itu-itu juga dalam fasal yang sama --- hormatilah orang-orang tua, Im 19:3 dan 32; memeli-
hara hari Sabat, 19:3 dan 30; jangan bertindak curang dalam pengadilan, 19:15 dan 35a,
dst. --- membenarkan dugaan bahwa fasal ini adalah “tempat persembunyian” bagi dua
buah Dekalog yang tua lagi (mis. Im 19:3-19 dengan ay 5-10, 17-18 sebagai tambahan,
dan 19:26-36 dengan ay 34 sebagai tambahan).
…………………………………………………………………………………………………….
Ketetapan-ketetapan yang terkumpul di dalam “Kitab Undang-Undang Kesucian” (Im 17-26)
sekali-kali tidak berhenti pada batas bidang “keagamaan” menurut pengertian kita. . . .
Kedua ringkasan hukum-hukum yang dipergunakan oleh penyusun Im 19 [lihat di atas]
adalah bersifat “umum”, tidak kurang dari Dekalog Kel 30/Ul 5 yang terkenal itu; rupa-
rupanya para penyusun berkeyakinan bahwa hak-hak sesama manusia --- hormat kepada
ibu-bapa (19:3,32), keamanan nyawa, nama baik dan milik orang (19:11, 13,16,18), penga-
dilan dan perdagangan yang benar (19:15,36), pergaulan dengan orang-orang kecil (19:13-
15,10,33), wajib diindahkan, tak kurang daripada hak-hak Allah [kutipan dari C. Barth, Theo-
logia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 236 dan 258].
Fasal 19 : 1 – 37 : Kudusnya hidup [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian
Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 56].
2. Eksposisi/Uraian
Informasi: Hukum-hukum ini begitu bermacam-macam sehingga sukar nuntuk menggolong-
kannya. [Ay] 2: Hukum-hukum itu disajikan dengan peringatan serius, Kuduslah
kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus. Hingga 15 kali Aku, Tuhan (Allahmu)
diulangi dalam 37 ay dari bab ini. Hukum-hukum itu mengenai ucapan keagamaan
dan hidup kesusilaan, dan keduanya termasuk kedua loh Dasa Titah. [Ay] 3, 4:
Ayat-ayat ini berisi titah ke-5, ke-4 dan ke-2 Dasa Titah. Menyegani orang tua,
memelihara Sabat, menjauhkan diri dari berhala ditempatkan di depan sebagai
sangat penting secara khusus. Bahwa kata ‘menyegani’ kadang-kadang dipakai
dalam arti ‘menghormati’ dijelaskan oleh ay 30, di mana kata-kata ‘menghormati
tempat kudusKu’ dipakai. Bnd Ul 6 di mana ‘Kasihilah Tuhan’ (ay 5) didahului (ay
2) dan diikuti (ay 13) oleh ‘takut akan Tuhan’; dan lih Ul 9:19. ‘Kasih’ kepada Allah
tidak diperintahkan dalam Im dan kasih kepada manusia hanya dalam 19:18, 34.
Tapi harus diingat bahwa hal itu ditunjukkan dalam Dasa Titah (Kel 20:6) dan
sering sekali dalam Ul.
[Ay] 5-8: Ay-ay ini mengenai hal makan daging korban keselamatan (bnd 7:15-18).
[Ay] 9, 10: Hukum mengenai memungut apa yg tertinggal dari penunaian termasuk
pada rangkuman umum dari loh kedua Dasa Titah, yg memerintahkan kasih terha-
dap sesamanya (bnd 23:22; Ul 24:9-22). [Ay] 11, 12: Ay-ay ini bersandar pada titah
ke-8 dan ke-3 Dasa Titah. [Ay] 13, 14: Kedua ay ini dihubungkan erat sekali dengan
titah ke-8 Dasa Titah dan asas kemanusiaan yg mendahuluinya. [Ay] 15, 16: Ay-ay
ini menguraikan titah ke-9 Dasa Titah [kutipan dari Tafsiran Masa Kini 1, Kejadian – Ester,
terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998], hlm. 218].
Ayat 2: Apa memang Tuhan menuntut kesempurnaan?
Hendaknya diingat bahwa kata “kudus” tidak sama dengan “sempurna”. Kata “kudus” berarti
dipisahkan (Inggris: to be set apart) --- maksudnya, dipisahkan (cf. Inggris: reserved) bagi/
untuk Tuhan dengan segala maksud baikNya.
Informasi: It was God’s insistence to his people that they must be holy because he was holy
[Im 19:2; 20:7, 26]. The word for holy is hagios whose root meaning is different.
The Temple is hagios because it is different from other buildings; the Sabbath is
hagios because it is different from other days; the Christian is hagios because he
is different from other men. The Christian is God’s man by God’s choice. He is
chosen for a task in the world and for a destiny in eternity. He is chosen to live for
God in time and with him in eternity. In the world he must obey his law and repro-
duce his life. There is laid on the Christian the task of being different [kutipan dari
William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters of James and Peter (Edinburgh: the Saint
Andrew, 1981), p. 188].
PL menggunakan kata ‘kudus’ atas orang yg dinobatkan bagi maksud-maksud
agamawi. Misalnya para imam yg ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga
seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yg disucikan bagi Allah tidak sama
dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel
satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini ‘kudus’ mengacu kepada pengung-
kapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terle-
pas dari PB, sebagaimana dalam 1 Kor 7:14, di mana suami yang tidak beriman
dikuduskan karena hubungannya dengan istri yg beriman demikian sebaliknya
[kutipan dati Ensiklopedi Alkitab Masa Kini 1, hlm. 617].
God said, “You shall be holy; for I the Lord your God am Holy” [Im 19:2; bnd 20:7,
26]. He who would find fellowship with God is committed to a life of goodness
which reflects God’s goodness. C.H. Dodd writes: “The Church is a society of
people who, believing in a God of pure goodness, accept the obligation to be good
like him.” This does not mean that a man must be perfect before he can have
fellowship with God; if that were the case, all of us would be shut out. But it does
mean that he will spend his whole life in the awareness of his obligations, in the
effort to fulfil them and in penitence when he fails. It will mean that he will never
think that sin does not matter; it will mean that the nearer he comes to God, the
more terrible sin will be to him [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Letters
of John and Jude (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 29].
3. Excursus
BERSIFAT KUDUS, SEBAGAIMANA ALLAH KUDUS
Kekudusan adalah penting dan berguna. Kekudusan penting karena Allah itu kudus, dan
kekudusan berguna sebab kita disuruh untuk kudus. Tetapi banyak orang Kristen tidak me-
ngerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekudusan.
Sebagaian besar orang Kristen menganggap kekudusan sebagai skala pengukuran moral,
seperti catatan peringkat pada akhir masa pelajaran. Orang yang tidak kudus tercatat di bagi-
an bawah. Orang yang biasa-biasa saja tercatat di bagian tengah. Orang yang sangat baik
tercatat di atas di dekat puncak. Tetapi tidak seorang pun yang seratus persen kudus kecuali
Yesus.
Penjelasan begini menyesatkan. Kekudusan meliputi etika dan kebenaran, tetapi itu bukan-
lah hakikat kekudusan. Hakikat kekudusan adalah berada dalam keadaan tersendiri [Inggris:
set apart].
Allah itu samasekali lain, Ia tersendiri. Allah sangat berbeda. Tidak ada seorang pun yang
seperti Allah yang kudus itu. Kekudusan Allah mempunyai banyak segi. Kekudusan-Nya me-
nyerupai prisma yang memantulkan banyak warna pada waktu bersamaan.
Segi yang pertama adalah keagungan. Allah itu agung seperti seorang raja di atas takhta-
nya. Kata mulia melukiskan aspek kekudusan ini. Mereka yang dapat menangkap bayangan
Allah dalam kekudusan-Nya biasanya diliputi perasaan tentang ketidaklayakan diri mereka.
Ia begitu agung dan kita tidak. Ia kudus dan kita adalah orang-orang berdosa. Pada waktu
penulis-penulis Alkitab mencoba untuk melukiskan hebatnya kekudusan Allah, mereka harus
mengulangi kata kudus itu tiga kali, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (Yesaya
6:3).
Segi kedua adalah kehendak. Allah bukan merupakan suatu rumusan atau suatu konsepsi.
Allah adalah kehendak, suatu kehendak yang melaksanakan berbagai hal. Kehendak Allah
ditetapkan terutama untuk menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang kudus, untuk bertindak
sebagai Allah, dan untuk dikenal sebagai Allah. Oleh sebab itu Ia tidak bersifat acuh tak acuh
terhadap cara orang-orang menghormati Dia.
Segi yang ketiga adalah murka. Murka Allah bukanlah kemarahan yang ‘ngawur’. Melain-
kan merupakan pernyataan wajar tentang kekudusan Allah sebagai tanggapan terhadap dosa.
Allah tidak bisa hidup berdampingan dengan kejahatan. Kita mengetahui murka Allah, karena
kita adalah orang berdosa. [Maksudnya], pikiran dan kemauan kita ditujukan pada hal-hal
yang lain daripada kehendak Allah dan yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Segi keempat dari kekudusan Allah adalah kebenaran. Kebenaran moral Allah adalah
kehendak Allah yang sedang bekerja di dalam hidup kita. Kehendak Allah bertindak untuk
menyesuaikan dunia dengan sifat moral Allah. Hukum Allah merupakan pernyataan yang baik
tentang kebenaran moral-Nya.
Keempat segi kekudusan ini menolong kita untuk mengerti apa artinya bagi kita untuk
menjadi kudus. “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Imamat 19:2). Ayat ini
tidak mengatakan, “Jadilah Allah sebagaimana Aku ini Allah.” Firman ini tidak berbicara me-
ngenai kemuliaan dan keagungan Tuhan. Bahkan firman itu bukan berkata: “Jadilah benar se-
cara moral sebagaimana Aku benar secara moral.” Kita tidak bisa menjadi kudus dalam taraf
yang sama seperti Allah, tetapi kita bisa menjadi kudus dengan cara yang sama. Sebagaima-
na Allah itu kudus, tersendiri, kita pun harus kudus dan tersendiri. [ . . . ]
Ada tiga langkah untuk menjadi [kudus dan] tersendiri. Pertama adalah sadar akan dosa-
dosa kita. . . .
Langka kedua adalah dilahirkan kembali [Yoh 3:3]. Tidak seorang pun dapat menjadi ter-
sendiri tanpa pengalaman ini.
Langkah ketiga adalah menghasilkan “buah yang sesuai dengan pertobatan” (Matius 3:8),
yang berarti berpaling dari dosa menuju iman [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj.
(Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 175ff.].
- - - NR - - -
U L A N G A N 1 0 : 1 2 – 2 2 (25 Jun 08)
U L A N G A N 1 0 : 1 2 – 2 2
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Pembukaan Kitab Ulangan menggambarkan Israel berkemah di dataran Moab, kira-kira em-
pat puluh tahun sesudah peristiwa-peristiwa besar keluaran dan Sinai, di ambang tanah Kana-
an. Dengan demikian kitab ini adalah dokumen “pembaharuan perjanjian” (bnd. Ul 29:1) di
mana pengalaman bangsa ini diceritakan kembali (Ul 1-3) untuk mendorong pengucapan syu-
kur dan kesetiaan yang sepenuh hati (Ul 4-11). Sama dengan “Hukum Kekudusan”, kitab ini
diakhiri dengan berkat-berkat dan kutuk-kutuk (Ul 27-28). Bagian tengahnya, Ul 12-26, berisi
hukum-hukum.
Nama “Ulangan” diambil dari nama Latin kitab ini, Deuteronomium yang berarti ‘hukum
kedua’. Maksudnya bukanlah hukum yang baru, melainkan yang mengulang dan menguatkan
hukum yang lebih dahulu. Banyak hukum-hukum Kitab Perjanjian diulang kembali dalam Kitab
Ulangan dengan perubahan kecil, perluasan dan motivasi tambahan. Kitab Ulangan disebut
pula “hukum yang dikhotbahkan” dan memang itulah yang dikatakan dalam Ulangan 1:5: “Di
seberang sungai Yordan, di tanah Moab, mulailah Musa menguraikan hukum taurat ini” [kutipan
dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 155].
Perbedaan yang paling mencolok antara Ulangan dengan Keluaran, Imamat dan Bilangan
ialah: Ulangan tidak berupa kisah, melainkan wejangan. Menurut gambaran Kitab Ulangan pa-
da akhir perjalanan umat Israel di gurun, yaitu ketika berada di negeri Moab di perbatasan ne-
geri yang dijanjikan, Musa menyampaikan kepada segenap umat yang sedang berkumpul
wejangan-wejangan terakhir.
Wejangan-wejangan itu (ada tiga, yaitu 1:-4:40; 5:1-11.32 + 26:16-28:68; 29:2-30:20) me-
ngajak dan menasehati umat supaya tetap setia pada perjanjian yang diadakan di gunung Si-
nai dan yang sekarang dibaharui. Kecuali wejangan disajikan pula perintah, hukum dan aturan
yang mejadi syarat perjanjian (12:1-26:15). Hanya bagian terakhir Kitab Ulangan berupa kisah
mengenai akhir hidup Musa [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 127f.].
2. Eksposisi
Informasi: 10:12-22 Apa yg dituntut Allah dari umatNya Suatu pandangan terakhir ten-
tang sebabnya harus taat kepada TUHAN dan akibat-akibatnya. Bnd Ul 6:5; Mat
22:37 dan jawaban Mikha terhadap pertanyaan yg diajukan dalam ay 12 (Mi 6:8).
Bagi Musa penyembahan kepada Allah dengan hormat merupakan asas bagi se-
gala ungkapan keagamaan [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, terj. (Jakarta: YKBK/
OMF, 1998), hlm. 320f.].
Ayat 12: Apa yang dimaksud dengan ungkapan “takut akan Tuhan”?
Disamping di sini, Perjanjian Lama sering sekali menggunakan ungkapan ini (a.l. Ayb 28:28;
Ams 1:7, bnd. 9:10; 16:6). “Takut akan Tuhan itu suci” (Mzm 19: 10; Inggris, NIV: pure]. Ini
adalah dampak dari pengenalan orang percaya kepada Allah yang hidup.
Informasi: . . . ketakutan yang kudus adalah pemberian Allah, yang memampukan orang ta-
kut sekaligus menghormati kekuasaan Allah, menaati perintah-perintah-Nya, mem-
benci sambil menjauhkan diri dari semua bentuk kejahatan (Yer 32:40; bnd Kej 22:
12; Ibr 5:7). Lagipula takut akan Tuhan itu adalah permulaan hikmat (Mzm 111:10),
rahasia kelurusan hati (Ams 8:13), ciri umat yg disenangi Allah (Mzm 147:11), dan
kewajiban setiap orang (Pkh 12:13). Roh takut akan Tuhan adalah salah satu sifat
yg ditanamkan Allah pada Mesias-Nya (Yes 11:2-3).
Dalam PL, agama sejati sering dianggap sama dengan takut akan Tuhan (bnd
Yer 2:19; Mzm 34:10), sebagian besar penyebabnya adalah hukuman sesuai tun-
tutan hukum Taurat. Pada zaman PB ungkapan ‘hidup dalam takut akan Tuhan’ di-
gunakan berkaitan dengan orang Kristen perdana (Kis 9:31). Para warga rumah
sembahyang asal kafir disebut ‘orang-orang yang takut akan Allah’ (Kis 10:2 dst;
bnd Flp 2:12) [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm.
438f.].
Ayat 15: Sekalipun Allah menciptakan alam semesta, Ia dan hanya Dialah yg memilih Israel
dari segala bangsa. Tanggapan mereka seharusnya tingkatan penyerahan dan kasih karena
janjiNya yg kuat. Bnd. Rm 2:29 [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, hlm 321].
Informasi: “ . . . tetapi hanya oleh nenek-moyangmulah”. Kata Ibrani yang diterjemahkan de-
ngan “tetapi hanya” dapat diartikan juga “namun demikian”. Pokoknya ada kontras
yang besar sekali antara kuasaNya yang mahabesar dengan perhatianNya kepada
kelompok yang begitu rendah-kecil seperti nenek-moyang Israel [kutipan dari I.J.
Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 184].
Ayat 16: Bagaimana kita memaknai perintah “sunatlah hatimu”?
“Sunat” merupakan tanda yang menunjuk pada perjanjian (anugerah) antara Allah dan umat-
Nya (Kej 17:9-14). Ungkapan di atas merupakan kiasan yang membantu kita memahami bah-
wa umat hendaklah mengasihi dan mengabdi kepada Allah dari kemurnian hati mereka (10:
12). Jadinya, sunat di sini bermakna rohani/spiritual --- “this spiritual circumcision required a
decision and action from the people [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand
Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 262].
Informasi: “sunatlah hati” disejajarkan dengan “jangan tegar tengkuk”, sehingga artinya mirip
dengan Im 26:41. Itu berarti bahwa “hati yang bersunat” ialah hati yang menyadari
serta menerima anugerah Allah sampai masuk sebagai anggota umatNya, kemudi-
an menghasilkan buah-buah keanggotaannya itu, berupa belas-kasihan seperti
yang diperlihatkan TUHAN sendiri [kutipan dari Cairns, op.cit., hlm. 185].
Ayat 17: [Untuk DISKUSI] Dari pernyataannya di sini, apakah Musa mengakui adanya
allah(-allah) lain?
Informasi: “Allah segala allah”. Istilah ini tidak langsung menyinggung soal politeisme, mela-
inkan termasuk bahasa puitis: artinya “Allah yang mahakuasa” [kutipan dari Cairns, loc.
cit.].
This lofty language is typical of Deuteronomy. This phrase essentially means that
God is God in the most absolute sense. He transcends our understanding, leaving
us in awe of him. Moses was not acknowledging other gods (which are only false
gods). Rather, he was expressing that there is only one true God [kutipan dari Quest
Study bible, loc. cit.].
Ayat 19: Kasihmu kepada orang asing. Tuntutan terhadap Israel untuk mengasihi orang asing
ini tidak ada kesejajarannya dalam perundang-undangan Timur Dekat Purba. Sedangkan orang
Israel diperintahakan supaya menghormati dan takut kepada orang tua mereka, dan supaya
mendengarkan amanat para nabi, mereka diperintahkan juga supaya memasuki suatu hubung-
an kasih sayang dengan orang asing sebagai peringatan kepada kasih Allah selama perbudak-
an di Mesir [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kinmi 1, loc. cit.].
Ayat 21: “Dialah pokok puji-pujianmu”. Bnd Yer 17:14; Mzm 109:2. Peristilahan di sini menarik:
memang TUHAN dikenal melalui perbuatanNya yang dahsyat dan yang patut dipuji-puji (ayat
21b). Namun yang dikagumi ialah bukan perbuatan-perbuatan itu, melainkan TUHAN sendiri,
Sang Pembuat [kutipan dari Cairns, op. cit., hlm. 188].
- - - NR - - -
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Pembukaan Kitab Ulangan menggambarkan Israel berkemah di dataran Moab, kira-kira em-
pat puluh tahun sesudah peristiwa-peristiwa besar keluaran dan Sinai, di ambang tanah Kana-
an. Dengan demikian kitab ini adalah dokumen “pembaharuan perjanjian” (bnd. Ul 29:1) di
mana pengalaman bangsa ini diceritakan kembali (Ul 1-3) untuk mendorong pengucapan syu-
kur dan kesetiaan yang sepenuh hati (Ul 4-11). Sama dengan “Hukum Kekudusan”, kitab ini
diakhiri dengan berkat-berkat dan kutuk-kutuk (Ul 27-28). Bagian tengahnya, Ul 12-26, berisi
hukum-hukum.
Nama “Ulangan” diambil dari nama Latin kitab ini, Deuteronomium yang berarti ‘hukum
kedua’. Maksudnya bukanlah hukum yang baru, melainkan yang mengulang dan menguatkan
hukum yang lebih dahulu. Banyak hukum-hukum Kitab Perjanjian diulang kembali dalam Kitab
Ulangan dengan perubahan kecil, perluasan dan motivasi tambahan. Kitab Ulangan disebut
pula “hukum yang dikhotbahkan” dan memang itulah yang dikatakan dalam Ulangan 1:5: “Di
seberang sungai Yordan, di tanah Moab, mulailah Musa menguraikan hukum taurat ini” [kutipan
dari Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1995), hlm. 155].
Perbedaan yang paling mencolok antara Ulangan dengan Keluaran, Imamat dan Bilangan
ialah: Ulangan tidak berupa kisah, melainkan wejangan. Menurut gambaran Kitab Ulangan pa-
da akhir perjalanan umat Israel di gurun, yaitu ketika berada di negeri Moab di perbatasan ne-
geri yang dijanjikan, Musa menyampaikan kepada segenap umat yang sedang berkumpul
wejangan-wejangan terakhir.
Wejangan-wejangan itu (ada tiga, yaitu 1:-4:40; 5:1-11.32 + 26:16-28:68; 29:2-30:20) me-
ngajak dan menasehati umat supaya tetap setia pada perjanjian yang diadakan di gunung Si-
nai dan yang sekarang dibaharui. Kecuali wejangan disajikan pula perintah, hukum dan aturan
yang mejadi syarat perjanjian (12:1-26:15). Hanya bagian terakhir Kitab Ulangan berupa kisah
mengenai akhir hidup Musa [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 127f.].
2. Eksposisi
Informasi: 10:12-22 Apa yg dituntut Allah dari umatNya Suatu pandangan terakhir ten-
tang sebabnya harus taat kepada TUHAN dan akibat-akibatnya. Bnd Ul 6:5; Mat
22:37 dan jawaban Mikha terhadap pertanyaan yg diajukan dalam ay 12 (Mi 6:8).
Bagi Musa penyembahan kepada Allah dengan hormat merupakan asas bagi se-
gala ungkapan keagamaan [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, terj. (Jakarta: YKBK/
OMF, 1998), hlm. 320f.].
Ayat 12: Apa yang dimaksud dengan ungkapan “takut akan Tuhan”?
Disamping di sini, Perjanjian Lama sering sekali menggunakan ungkapan ini (a.l. Ayb 28:28;
Ams 1:7, bnd. 9:10; 16:6). “Takut akan Tuhan itu suci” (Mzm 19: 10; Inggris, NIV: pure]. Ini
adalah dampak dari pengenalan orang percaya kepada Allah yang hidup.
Informasi: . . . ketakutan yang kudus adalah pemberian Allah, yang memampukan orang ta-
kut sekaligus menghormati kekuasaan Allah, menaati perintah-perintah-Nya, mem-
benci sambil menjauhkan diri dari semua bentuk kejahatan (Yer 32:40; bnd Kej 22:
12; Ibr 5:7). Lagipula takut akan Tuhan itu adalah permulaan hikmat (Mzm 111:10),
rahasia kelurusan hati (Ams 8:13), ciri umat yg disenangi Allah (Mzm 147:11), dan
kewajiban setiap orang (Pkh 12:13). Roh takut akan Tuhan adalah salah satu sifat
yg ditanamkan Allah pada Mesias-Nya (Yes 11:2-3).
Dalam PL, agama sejati sering dianggap sama dengan takut akan Tuhan (bnd
Yer 2:19; Mzm 34:10), sebagian besar penyebabnya adalah hukuman sesuai tun-
tutan hukum Taurat. Pada zaman PB ungkapan ‘hidup dalam takut akan Tuhan’ di-
gunakan berkaitan dengan orang Kristen perdana (Kis 9:31). Para warga rumah
sembahyang asal kafir disebut ‘orang-orang yang takut akan Allah’ (Kis 10:2 dst;
bnd Flp 2:12) [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm.
438f.].
Ayat 15: Sekalipun Allah menciptakan alam semesta, Ia dan hanya Dialah yg memilih Israel
dari segala bangsa. Tanggapan mereka seharusnya tingkatan penyerahan dan kasih karena
janjiNya yg kuat. Bnd. Rm 2:29 [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, hlm 321].
Informasi: “ . . . tetapi hanya oleh nenek-moyangmulah”. Kata Ibrani yang diterjemahkan de-
ngan “tetapi hanya” dapat diartikan juga “namun demikian”. Pokoknya ada kontras
yang besar sekali antara kuasaNya yang mahabesar dengan perhatianNya kepada
kelompok yang begitu rendah-kecil seperti nenek-moyang Israel [kutipan dari I.J.
Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 184].
Ayat 16: Bagaimana kita memaknai perintah “sunatlah hatimu”?
“Sunat” merupakan tanda yang menunjuk pada perjanjian (anugerah) antara Allah dan umat-
Nya (Kej 17:9-14). Ungkapan di atas merupakan kiasan yang membantu kita memahami bah-
wa umat hendaklah mengasihi dan mengabdi kepada Allah dari kemurnian hati mereka (10:
12). Jadinya, sunat di sini bermakna rohani/spiritual --- “this spiritual circumcision required a
decision and action from the people [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand
Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 262].
Informasi: “sunatlah hati” disejajarkan dengan “jangan tegar tengkuk”, sehingga artinya mirip
dengan Im 26:41. Itu berarti bahwa “hati yang bersunat” ialah hati yang menyadari
serta menerima anugerah Allah sampai masuk sebagai anggota umatNya, kemudi-
an menghasilkan buah-buah keanggotaannya itu, berupa belas-kasihan seperti
yang diperlihatkan TUHAN sendiri [kutipan dari Cairns, op.cit., hlm. 185].
Ayat 17: [Untuk DISKUSI] Dari pernyataannya di sini, apakah Musa mengakui adanya
allah(-allah) lain?
Informasi: “Allah segala allah”. Istilah ini tidak langsung menyinggung soal politeisme, mela-
inkan termasuk bahasa puitis: artinya “Allah yang mahakuasa” [kutipan dari Cairns, loc.
cit.].
This lofty language is typical of Deuteronomy. This phrase essentially means that
God is God in the most absolute sense. He transcends our understanding, leaving
us in awe of him. Moses was not acknowledging other gods (which are only false
gods). Rather, he was expressing that there is only one true God [kutipan dari Quest
Study bible, loc. cit.].
Ayat 19: Kasihmu kepada orang asing. Tuntutan terhadap Israel untuk mengasihi orang asing
ini tidak ada kesejajarannya dalam perundang-undangan Timur Dekat Purba. Sedangkan orang
Israel diperintahakan supaya menghormati dan takut kepada orang tua mereka, dan supaya
mendengarkan amanat para nabi, mereka diperintahkan juga supaya memasuki suatu hubung-
an kasih sayang dengan orang asing sebagai peringatan kepada kasih Allah selama perbudak-
an di Mesir [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kinmi 1, loc. cit.].
Ayat 21: “Dialah pokok puji-pujianmu”. Bnd Yer 17:14; Mzm 109:2. Peristilahan di sini menarik:
memang TUHAN dikenal melalui perbuatanNya yang dahsyat dan yang patut dipuji-puji (ayat
21b). Namun yang dikagumi ialah bukan perbuatan-perbuatan itu, melainkan TUHAN sendiri,
Sang Pembuat [kutipan dari Cairns, op. cit., hlm. 188].
- - - NR - - -
Ulangan 8 : 1 - 20 ( 25 Jun 08 )
U L A N G A N 8 : 1 – 2 0
Pengarang pasal 8 berusaha memperlengkapi umat TUHAN [yang sedang] berhadap- an dengan dua keadaan yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan mereka, yaitu kesusahan dan kemakmuran.
I
Orang yang berada di dalam kesusahan diundang mengambil pelajaran dari pengalaman bangsanya di bawah bimbingan TUHAN. Setelah mennggalkan negeri Mesir nenek-moyang [mereka] harus melintasi padang gurun yang luas dan gersang, di mana mereka terancam ular-ular ganas dan kalajengking.
Waktu tertimpa bahaya dan penderitaan di padang gurun itu, pasti mereka sering ber- tanya-tanya di dalam hati: jikalau TUHAN sungguh mengasihi kami, mengapa Dia mem- biarkan kami bersengsara demikian?
Jemaat yang kepadanya mazhab Ulangan mengalamatkan beritanya, dan [bagi] kita juga, dapat memahami sikap bertanya-tanya itu. Maka kepadanya dan kepada kita peng- khotbah dari mazhab Ulangan ini menghadapkan dua pokok penghiburan yaitu: ingatlah keadaan susah di mana TUHAN mula-mula mendapatkan kamu; ingatlah akan tujuan ke mana TUHAN membimbing kamu. Nenek-moyang tergoda memberontak berhadapan dengan kesusahan yang mereka alami di padang gurun, justru karena mereka belum sempat melihat warisan indah yang TUHAN sediakan untuk mereka di negeri yang dituju. Sekiranya mereka sadar akan masa depan yang gemilang itu, pastilah mereka menghadapi segala kesulitan dengan girang. Demikianlah kita juga, bukan? Namun sering terjadi bahwa TUHAN merasa perlu kita berjalan secara buta supaya kesungguhan iman kita diuji, dan rasa ketergantungan kita kepada TUHAN dipertebal. Di pihak lain, nenek-moyang diingatkan kepada keadaan buruk yang dari mana TUHAN telah melolos- kan mereka. Kesusahan berat yang sedang dihadapi, memang kembali kepada poporsi yang wajar bila dikontraskan dengan keadaan kita, sekiranya TUHAN tidak pernah turun tangan untuk membimbing kita (ay 14).
Selain ingatan akan pertolongan TUHAN pada masa lampau dan keyakinan tentang maksud baik atas diri kita yang akan dicapai TUHAN nanti, ada juga faktor ketiga yang memberi penghiburan di tengah-tengah kesusahan. Yang dimaksud dengan faktor ketiga ini, ialah tanda-tanda perhatian yang TUHAN perlihatkan justru selama kesusahan itu
sendiri berlangsung. Nenek-moyang yang menderita kelaparan di tengah perjalanan mela- lui padang gurun itu, menemukan suatu jenis makanan yang begitu luar biasa, sehingga
tidak dapat disangkal merupakan persediaan TUHAN yang khusus (ay 3). Begitu pula dalam mengalami kehausan (ay 15) dan kekurangan sandang (ay 4), mereka merasa adanya tangan yang turun kepada mereka, yang tidak dapat disangkal adalah tangan TUHAN. Tidakkah demikian dalam pengalaman hidup kita pula? Biar betapapun sulitnya keadaan yang kita hadapi, namun selalu ada-ada saja tanda-tanda penyertaan dan belas-kasihan TUHAN.
Pada tiap-tiap tahap selama hidup kita, kita perlu membaharui iman kepercayaan serta pengandalan diri kepada TUHAN, dengan berpegang teguh kepada keyakinan bahwa tiap-tiap pengalaman pahit yang TUHAN izinkan untuk kita, dimaksudkanNya supaya “berbuat baik kepada kita akhirnya” (ay 16).
II
Faktor kedua yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan kita ialah kemakmuran. Kadangkala sifat bersandar kepada TUHAN diejek di dunia modern, dengan alasan bahwa iman menjadi pelarian orang lemah. Orang dinamis katanya akan berani berusaha sendiri, serta memikul tanggung jawab atas sukses dan kegagalannya sendiri.
Pengkhotbah yang berbicara dalam pasal 8 ini memang berharap supaya orang ber- iman tampil sebagai manusia yang giat berusaha. Dia menguatkan kesan bahwa iman kepada TUHAN tidak melumpuhkan, melainkan justru membangkitkan semangat dan dinamika hidup. Hanya saja, hendaklah orang yang mencapai kemakmuran itu menyadari dengan penuh kerendahan hati bahwa semangat, kesehatan badan, dan kecerdasan akal yang melandasi suksesnya itu, adalah semuanya karunia TUHAN juga.
Bila kita tergoda untuk membanggakan keberhasilan atau kekayaan kita, hendaklah kita selalu mengingat bahwa kita berdiri melulu atas dasar anugerah TUHAN. Anugerah itu dicurahkan atas kita dengan sebebas-bebasnya, asal kita sendiri tidak menghalang-halanginya. Kita memang menghalangi anugerah TUHAN bila dalam keputus-asaan kita berpaling daripadaNya, atau bila dalam kesombongan hati kita merasa diri serba sanggup, sehingga tidak memerlukan Dia lagi.
Sekali lagi masalahnya kembali kepada soal ketaatan: lakukanlah segenap perintah- Nya dengan setia, maka kesejahteraanmu akhirnya terjamin.
Kutipan dari:
I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 155ff.
- - - NR - - -
Pengarang pasal 8 berusaha memperlengkapi umat TUHAN [yang sedang] berhadap- an dengan dua keadaan yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan mereka, yaitu kesusahan dan kemakmuran.
I
Orang yang berada di dalam kesusahan diundang mengambil pelajaran dari pengalaman bangsanya di bawah bimbingan TUHAN. Setelah mennggalkan negeri Mesir nenek-moyang [mereka] harus melintasi padang gurun yang luas dan gersang, di mana mereka terancam ular-ular ganas dan kalajengking.
Waktu tertimpa bahaya dan penderitaan di padang gurun itu, pasti mereka sering ber- tanya-tanya di dalam hati: jikalau TUHAN sungguh mengasihi kami, mengapa Dia mem- biarkan kami bersengsara demikian?
Jemaat yang kepadanya mazhab Ulangan mengalamatkan beritanya, dan [bagi] kita juga, dapat memahami sikap bertanya-tanya itu. Maka kepadanya dan kepada kita peng- khotbah dari mazhab Ulangan ini menghadapkan dua pokok penghiburan yaitu: ingatlah keadaan susah di mana TUHAN mula-mula mendapatkan kamu; ingatlah akan tujuan ke mana TUHAN membimbing kamu. Nenek-moyang tergoda memberontak berhadapan dengan kesusahan yang mereka alami di padang gurun, justru karena mereka belum sempat melihat warisan indah yang TUHAN sediakan untuk mereka di negeri yang dituju. Sekiranya mereka sadar akan masa depan yang gemilang itu, pastilah mereka menghadapi segala kesulitan dengan girang. Demikianlah kita juga, bukan? Namun sering terjadi bahwa TUHAN merasa perlu kita berjalan secara buta supaya kesungguhan iman kita diuji, dan rasa ketergantungan kita kepada TUHAN dipertebal. Di pihak lain, nenek-moyang diingatkan kepada keadaan buruk yang dari mana TUHAN telah melolos- kan mereka. Kesusahan berat yang sedang dihadapi, memang kembali kepada poporsi yang wajar bila dikontraskan dengan keadaan kita, sekiranya TUHAN tidak pernah turun tangan untuk membimbing kita (ay 14).
Selain ingatan akan pertolongan TUHAN pada masa lampau dan keyakinan tentang maksud baik atas diri kita yang akan dicapai TUHAN nanti, ada juga faktor ketiga yang memberi penghiburan di tengah-tengah kesusahan. Yang dimaksud dengan faktor ketiga ini, ialah tanda-tanda perhatian yang TUHAN perlihatkan justru selama kesusahan itu
sendiri berlangsung. Nenek-moyang yang menderita kelaparan di tengah perjalanan mela- lui padang gurun itu, menemukan suatu jenis makanan yang begitu luar biasa, sehingga
tidak dapat disangkal merupakan persediaan TUHAN yang khusus (ay 3). Begitu pula dalam mengalami kehausan (ay 15) dan kekurangan sandang (ay 4), mereka merasa adanya tangan yang turun kepada mereka, yang tidak dapat disangkal adalah tangan TUHAN. Tidakkah demikian dalam pengalaman hidup kita pula? Biar betapapun sulitnya keadaan yang kita hadapi, namun selalu ada-ada saja tanda-tanda penyertaan dan belas-kasihan TUHAN.
Pada tiap-tiap tahap selama hidup kita, kita perlu membaharui iman kepercayaan serta pengandalan diri kepada TUHAN, dengan berpegang teguh kepada keyakinan bahwa tiap-tiap pengalaman pahit yang TUHAN izinkan untuk kita, dimaksudkanNya supaya “berbuat baik kepada kita akhirnya” (ay 16).
II
Faktor kedua yang dapat menggoncangkan iman kepercayaan kita ialah kemakmuran. Kadangkala sifat bersandar kepada TUHAN diejek di dunia modern, dengan alasan bahwa iman menjadi pelarian orang lemah. Orang dinamis katanya akan berani berusaha sendiri, serta memikul tanggung jawab atas sukses dan kegagalannya sendiri.
Pengkhotbah yang berbicara dalam pasal 8 ini memang berharap supaya orang ber- iman tampil sebagai manusia yang giat berusaha. Dia menguatkan kesan bahwa iman kepada TUHAN tidak melumpuhkan, melainkan justru membangkitkan semangat dan dinamika hidup. Hanya saja, hendaklah orang yang mencapai kemakmuran itu menyadari dengan penuh kerendahan hati bahwa semangat, kesehatan badan, dan kecerdasan akal yang melandasi suksesnya itu, adalah semuanya karunia TUHAN juga.
Bila kita tergoda untuk membanggakan keberhasilan atau kekayaan kita, hendaklah kita selalu mengingat bahwa kita berdiri melulu atas dasar anugerah TUHAN. Anugerah itu dicurahkan atas kita dengan sebebas-bebasnya, asal kita sendiri tidak menghalang-halanginya. Kita memang menghalangi anugerah TUHAN bila dalam keputus-asaan kita berpaling daripadaNya, atau bila dalam kesombongan hati kita merasa diri serba sanggup, sehingga tidak memerlukan Dia lagi.
Sekali lagi masalahnya kembali kepada soal ketaatan: lakukanlah segenap perintah- Nya dengan setia, maka kesejahteraanmu akhirnya terjamin.
Kutipan dari:
I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 155ff.
- - - NR - - -
06 Juni 2008
Rm 2 : 2 5 – 2 9
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Bagi orang Yahudi, pastilah kata-kata Paulus dalam bagian ini [2:17-29] menjadi suatu pengalaman yang menghancurkan hati. Ia yakin, bahwa Allah memilih dan mengasihinya hanya karena ia adalah keturunan Abraham dan karena ia membawa meterai sunat. Tetapi, Paulus memperkenalkan suatu pendapat yang lain, yang nanti ia terus-menerus akan ulang kembali. Keyahudian, ia menegaskan, bukan masalah rasial sama sekali; bahkan tidak ada hubungannya dengan sunat. Karena itu masalah tingkah laku.Jika demikian halnya, banyak orang Yahudi yang benar-benar keturunan Abraham dan bersunat, pastilah tak dapat disebut Yahudi; dan sebaliknya, banyak orang bukan Yahudi yang tidak pernah mendengar tentang Abraham dan yang tidak pernah memikirkan untuk bersunat, adalah Yahudi yang sebenarnya dalam pengertian ini. Tentu saja, kata-kata Paulus ini bagi orang-orang Yahudi, merupakan ajaran sesat yang akan membangkitkan luapan kemarahan mereka [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma, terj. ( Jakarta : BPK-GM, 2001), hlm. 75f.]. Informasi: Dalam pasal 1:18-32 Paulus tidak menyatakan secara langsung bahwa mereka yang dibicarakannya adalah orang bukan Yahudi. Demikian juga sampai di sini ia belum menyatakan secara langsung bahwa ia membicarakan orang Yahudi. Teta- pi sekarang ia berkata jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi . . . . [ayat 17]. Apa yang dikatakannya dalam bagian ini [2:17-24] dapat juga diterapkan pada semua orang yang dengan setia memeluk agama yang mempunyai standar etis yang tinggi. Hal-hal ini berlaku bagi pemeluk agama lainnya, dan juga bagi orang yang memeluk agama Kristen hanya sebagai standar etis semata-mata. Semua- nya di dalam aion [masa] lama, dan semuanya layak dimurkai [kutipan dari Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani ( Bandung : KH, 2000), hlm. 49f.].
2. Eksposisi
2:25 Sama seperti pengertian akan hukum Taurat dihargai dalam pasal 2:17-20, demikian juga sunat dihargai di sini, dan persyaratan yang sama masih berlaku: ketaatan. Dalam tulisan-tulisan Yahudi pada zaman itu ada ajaran yang berkata bahwa sunat dapat menyela- matkan orang dari neraka. . . . Kata pelanggar dipakai juga dalam Yakobus 2:9, di mana orang yang berdosa disebut “pelanggar” hukum Taurat. Dalam ayat ini Paulus menegaskan bahwa bagi pelanggar hukum Taurat, sunat mereka sudah menjadi tidak bersunat. Di sini ia berbicara keras, karena justru istilah tidak bersunat dipakai untuk menceritakan orang bukan Yahudi! Dengan kata lain, ia berkata, “Kalau kamu yang bersunat berdosa, maka kamu menjadi bukan Yahudi!” Rasul Paulus dapat mengatakan ini karena arti yang sesungguhnya dari sunat adalah “penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11) [kutipan dari Ibid.]. Informasi: We may perhaps express Paul’s double assertion in terms of two simple equations. Circumcision minus equals uncircumcision, while uncircumcision plus obedience equals circumcision [kutipan dari John R.W. Stott, The Message of Romans (Leicester, England, IVP, 1994), p. 93]. 2:26 Sebaliknya seandainya ada orang bukan Yahudi yang menaati hukum Taurat, maka ia sudah mempunyai “sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11). Istilah memperhatikan dapat berarti “menjaga” atau “melindungi” orang, tetapi kalau objek kata ini adalah hukum atau peraturan seperti ayat ini, maka kata ini berarti “menaati”. [ . . . ] . . . Penulis tidak memberi kesan bahwa sungguh ada orang seperti itu, dari golong- an tak bersunat yang memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat; dan ia juga tidak memberi kesan bahwa tidak ada orang yang demikian. Dengan kata lain, ini suatu pengan- daian yang netral. 2:27 Mengingat kesombongan orang Yahudi yang selalu siap menghakimi orang bukan Yahudi (2:1), pernyataan [dalam ayat] ini sangat menusuk; pernyataan ini keras sekali. “Bu- kan kamu yang boleh menghakimi mereka, tetapi justru mereka[lah] yang akan menghakimi kamu! (asalkan ada di antara mereka yang melakukan hukum Taurat!) [kutipan dari Hagelberg, op.cit.]. Informasi: ‘Condemn’ [LAI: menghakimi] in 27 does not mean that the judgment will be carried out by the good Gentiles but that at God’s judgment they will show up the errant Jews (cf. Mt. 12:41f.) [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible ( London : Nelson, 1972), p. 943]. The consequence Paul infers from this will have been profoundly shocking to Jewish people. In contrast to their traditional picture of themselves sitting in judg- ment on the uncircumcised pagans (cf. 2:1-3), the roles will be reversed . . . The ultimate sign, the bona fide evidence, of membership of the covenant of God is neither circumcision nor possession of the law, but the obedience which both circumcision and the law demand. Their circumcision did not make them what their obedience proved they were not. This is not salvation by obedience, but obedience as the evidence of salvation. The corollary is that Jews are just as much exposed to the judgment of God as Gentiles [kutipan dari Stott, op. cit.]. 2:28 Sudah dijelaskan (dalam 2:25-27) bahwa suatu upacara lahiriah yang tidak disertai ketaatan (seperti sunat) tidak memiliki arti, karena kenyataan batin adalah intisari dari agama sejati. Kalau begitu, maka Rasul Paulus dapat berkata bahwa sunat yang tidak disertai de- ngan ketaatan pada hukum Taurat sudah menjadi bukan sunat [lagi], dan orang Yahudi yang tidak taat dapat dikatakan bukan Yahudi [lagi]. Upacara hanya dapat memiliki nilai kalau upa- cara tersebut disertai dengan keadaan batin yang benar. Pentingnya keadaan hati bukan suatu tema yang baru bagi Rasul Paulus. Hal ini su- dah ditegaskan dalam Perjanjian Lama [Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; Yeh 44:9) [kutipan dari Hagelberg, op. cit.]
Informasi:
Pengertian dari bagian ini ialah, bahwa janji Allah bukan ditujukan bagi orang-orang dari ras tertentu dan bagi orang yang mempunyai tanda tertentu pada tubuhnya saja. Janji Allah adalah bagi mereka yang hidup dengan cara hidup ter- tentu, terlepas dari sangkut pautnya dengan kesukuannya. Orang Yahudi yang se- jati bukanlah masalah keturunaan, melainkan masalah watak; oleh sebab itu, se- ringkali orang yang secara rasial bukan Yahudi, mungkin lebih bersifat [justru] Yahudi daripada orang Yahudi sendiri [kutipan dari Barclay, op. cit., hlm. 76]. 2:29 Ayat terakhir . . . ini berisi suatu permainan kata-kata yang tak dapat diterjemahkan secara utuh. . . . Kata Yunani untuk “pujian”, ialah epainos. Apabila kita kembali pada Per- janjian Lama (Kej 29:35; 49:8), kita akan menemukan bahwa arti yang asli dan tradisional dari kata “Yehuda” juga “pujian” (epainos). Oleh karena itu ungkapan ini mempunyai dua arti. (a) Berarti, pujian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah. (b) Berarti, keyahudian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah [kuipan dari Ibid.]. Informasi: What Paul looks for is something more than this, however, namely ‘a circumcision of the heart that completely replaces the physical rite and does not merely complement it’. It will also be the Spirit, not by the written code (29b). That is, it will be an inward work of the Holy Spirit, such as the law as an external written code could never effect. This contrast between gramma (letter or code) and pneuma (the Spirit) sums up for Paul the difference between the old covenant (an external law) and the new (the gift of the Spirit) [kutipan dari Stott, op. cit., p. 94].
3. Excursus
Old Testament circumcision was not simply a badge of ethnic identity; like New Testament baptism it signified and sealed the removal of sin’s defilement and the imputation of the righteousness of faith, having as its basic import union with God. This is not simply a Pauline perception (see Rom. 4:11) being read back into the Old Testament. Already in Old Testament times the import of the rite began to be transferred metaphorically into the spiritual realm, and it came to be understood as conveying symbolically the removal of sin’s defilement through salvation (Exod. 6:13, 30; Lev. 19:23; 26:41; Deut. 10:16; Jer. 4:4; 6:10; 9:25-26; . . .) [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith ( Nashville , Tenn. : Thomas Nelson, 1988), p. 937]. Bagaimanakah bisa terjadi bahwa Paulus yang dahulu begitu menekuni hukum Taurat, kini mengganti kesetiannya pada Taurat dengan pengandalan pada Kristus? Perubahan yang mendalam ini pasti dimulai pada saat ia mendengar dari mulut Yesus yang telah bangkit per- kataan-Nya “Akulah Yesus yang engkau aniaya” (Kis 9:5 BIS). Mengapa pengalaman dalam perjalanannya ke Damsyik ini demikian menimpa Paulus sehingga seluruh pandangan hidup- nya dijungkir-balikkan? Semata-mata karena Yesus menampakkan diri kepada Paulus seba- gai yang hidup kembali, karena itu berarti bahwa Ia dibenarkan Allah. Sebelum pengalaman ini Paulus beranggapan bahwa gejala serupa itu mustahuil terjadi, karena justru Taurat me- nyatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” (Gal 3:13)! Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh cara hidup Yesus (sebagai sahabat orang berdosa) menimbulkan heboh bagi setiap orang yang setia pada Taurat. Pada hal orang itulah yang Allah benarkan dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Dengandemikian, Paulus menginsafi bahwa ke- rajinannya dalam memelihara hukum Taurat-lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah. Hukum Taurat bertindak sebagai tabir yang menutupi wajah utusan Allah (2 Kor 3:14- 16). Selain itu, Paulus menjadi sadar akan kekhilafannya dalam hal menaniaya pengikut- pengikut Yesus. Tadinya ia yakin bahwa atas nama hukum Taurat mereka harus dianiaya karena mereka sedang memberitakan Mesias yang palsu. Lagi pula mereka tidak layak menerima utusan Allah karena kurang tekun dalam memelihara hukum Taurat. Umum mengetahui bahwa dalam perjalanan Yesus mereka sering melanggar Taurat. Tetapi kini Yesus menampakkan diri kepada Paulus serta mengatakan: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, ‘dengan menindas para pengikut-Ku engkau sedang menganiaya Aku yang telah diutus dan dibenarkan Allah’. Jadi bukan hanya Yesus tetapi pengikut-pengikut-Nya juga dibenarkan. Sekarang kita mempunyai jawaban pada soal mengapa secara begitu mendadak Taurat dalam pemikiran Paulus digeser dan diganti dengan pribadi Yesus. Mesiasnya Allah dinyata- kan terlebih dahulu kepada kalangan yang tidak setia pada Taurat dan Ia pun disalibkan. Ma- ka Paulus berani menarik kesimpulan bahwa hukum Taurat tak dapat diandalkan lagi melain- kan telah diganti dengan Ia-yang-disalibkan. Wewenang yang dahulu melekat pada Taurat, kini dianmbilalih oleh Kristus. Ternyatalah, bagi Paulus kematian Kristus (dan pasti harus ditambahkan kebangkitan Kristus pula) merupakan garis batas antara dua zaman [aion] [ku- tipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 168f.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Bagi orang Yahudi, pastilah kata-kata Paulus dalam bagian ini [2:17-29] menjadi suatu pengalaman yang menghancurkan hati. Ia yakin, bahwa Allah memilih dan mengasihinya hanya karena ia adalah keturunan Abraham dan karena ia membawa meterai sunat. Tetapi, Paulus memperkenalkan suatu pendapat yang lain, yang nanti ia terus-menerus akan ulang kembali. Keyahudian, ia menegaskan, bukan masalah rasial sama sekali; bahkan tidak ada hubungannya dengan sunat. Karena itu masalah tingkah laku.Jika demikian halnya, banyak orang Yahudi yang benar-benar keturunan Abraham dan bersunat, pastilah tak dapat disebut Yahudi; dan sebaliknya, banyak orang bukan Yahudi yang tidak pernah mendengar tentang Abraham dan yang tidak pernah memikirkan untuk bersunat, adalah Yahudi yang sebenarnya dalam pengertian ini. Tentu saja, kata-kata Paulus ini bagi orang-orang Yahudi, merupakan ajaran sesat yang akan membangkitkan luapan kemarahan mereka [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma, terj. ( Jakarta : BPK-GM, 2001), hlm. 75f.]. Informasi: Dalam pasal 1:18-32 Paulus tidak menyatakan secara langsung bahwa mereka yang dibicarakannya adalah orang bukan Yahudi. Demikian juga sampai di sini ia belum menyatakan secara langsung bahwa ia membicarakan orang Yahudi. Teta- pi sekarang ia berkata jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi . . . . [ayat 17]. Apa yang dikatakannya dalam bagian ini [2:17-24] dapat juga diterapkan pada semua orang yang dengan setia memeluk agama yang mempunyai standar etis yang tinggi. Hal-hal ini berlaku bagi pemeluk agama lainnya, dan juga bagi orang yang memeluk agama Kristen hanya sebagai standar etis semata-mata. Semua- nya di dalam aion [masa] lama, dan semuanya layak dimurkai [kutipan dari Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani ( Bandung : KH, 2000), hlm. 49f.].
2. Eksposisi
2:25 Sama seperti pengertian akan hukum Taurat dihargai dalam pasal 2:17-20, demikian juga sunat dihargai di sini, dan persyaratan yang sama masih berlaku: ketaatan. Dalam tulisan-tulisan Yahudi pada zaman itu ada ajaran yang berkata bahwa sunat dapat menyela- matkan orang dari neraka. . . . Kata pelanggar dipakai juga dalam Yakobus 2:9, di mana orang yang berdosa disebut “pelanggar” hukum Taurat. Dalam ayat ini Paulus menegaskan bahwa bagi pelanggar hukum Taurat, sunat mereka sudah menjadi tidak bersunat. Di sini ia berbicara keras, karena justru istilah tidak bersunat dipakai untuk menceritakan orang bukan Yahudi! Dengan kata lain, ia berkata, “Kalau kamu yang bersunat berdosa, maka kamu menjadi bukan Yahudi!” Rasul Paulus dapat mengatakan ini karena arti yang sesungguhnya dari sunat adalah “penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11) [kutipan dari Ibid.]. Informasi: We may perhaps express Paul’s double assertion in terms of two simple equations. Circumcision minus equals uncircumcision, while uncircumcision plus obedience equals circumcision [kutipan dari John R.W. Stott, The Message of Romans (Leicester, England, IVP, 1994), p. 93]. 2:26 Sebaliknya seandainya ada orang bukan Yahudi yang menaati hukum Taurat, maka ia sudah mempunyai “sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11). Istilah memperhatikan dapat berarti “menjaga” atau “melindungi” orang, tetapi kalau objek kata ini adalah hukum atau peraturan seperti ayat ini, maka kata ini berarti “menaati”. [ . . . ] . . . Penulis tidak memberi kesan bahwa sungguh ada orang seperti itu, dari golong- an tak bersunat yang memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat; dan ia juga tidak memberi kesan bahwa tidak ada orang yang demikian. Dengan kata lain, ini suatu pengan- daian yang netral. 2:27 Mengingat kesombongan orang Yahudi yang selalu siap menghakimi orang bukan Yahudi (2:1), pernyataan [dalam ayat] ini sangat menusuk; pernyataan ini keras sekali. “Bu- kan kamu yang boleh menghakimi mereka, tetapi justru mereka[lah] yang akan menghakimi kamu! (asalkan ada di antara mereka yang melakukan hukum Taurat!) [kutipan dari Hagelberg, op.cit.]. Informasi: ‘Condemn’ [LAI: menghakimi] in 27 does not mean that the judgment will be carried out by the good Gentiles but that at God’s judgment they will show up the errant Jews (cf. Mt. 12:41f.) [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible ( London : Nelson, 1972), p. 943]. The consequence Paul infers from this will have been profoundly shocking to Jewish people. In contrast to their traditional picture of themselves sitting in judg- ment on the uncircumcised pagans (cf. 2:1-3), the roles will be reversed . . . The ultimate sign, the bona fide evidence, of membership of the covenant of God is neither circumcision nor possession of the law, but the obedience which both circumcision and the law demand. Their circumcision did not make them what their obedience proved they were not. This is not salvation by obedience, but obedience as the evidence of salvation. The corollary is that Jews are just as much exposed to the judgment of God as Gentiles [kutipan dari Stott, op. cit.]. 2:28 Sudah dijelaskan (dalam 2:25-27) bahwa suatu upacara lahiriah yang tidak disertai ketaatan (seperti sunat) tidak memiliki arti, karena kenyataan batin adalah intisari dari agama sejati. Kalau begitu, maka Rasul Paulus dapat berkata bahwa sunat yang tidak disertai de- ngan ketaatan pada hukum Taurat sudah menjadi bukan sunat [lagi], dan orang Yahudi yang tidak taat dapat dikatakan bukan Yahudi [lagi]. Upacara hanya dapat memiliki nilai kalau upa- cara tersebut disertai dengan keadaan batin yang benar. Pentingnya keadaan hati bukan suatu tema yang baru bagi Rasul Paulus. Hal ini su- dah ditegaskan dalam Perjanjian Lama [Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; Yeh 44:9) [kutipan dari Hagelberg, op. cit.]
Informasi:
Pengertian dari bagian ini ialah, bahwa janji Allah bukan ditujukan bagi orang-orang dari ras tertentu dan bagi orang yang mempunyai tanda tertentu pada tubuhnya saja. Janji Allah adalah bagi mereka yang hidup dengan cara hidup ter- tentu, terlepas dari sangkut pautnya dengan kesukuannya. Orang Yahudi yang se- jati bukanlah masalah keturunaan, melainkan masalah watak; oleh sebab itu, se- ringkali orang yang secara rasial bukan Yahudi, mungkin lebih bersifat [justru] Yahudi daripada orang Yahudi sendiri [kutipan dari Barclay, op. cit., hlm. 76]. 2:29 Ayat terakhir . . . ini berisi suatu permainan kata-kata yang tak dapat diterjemahkan secara utuh. . . . Kata Yunani untuk “pujian”, ialah epainos. Apabila kita kembali pada Per- janjian Lama (Kej 29:35; 49:8), kita akan menemukan bahwa arti yang asli dan tradisional dari kata “Yehuda” juga “pujian” (epainos). Oleh karena itu ungkapan ini mempunyai dua arti. (a) Berarti, pujian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah. (b) Berarti, keyahudian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah [kuipan dari Ibid.]. Informasi: What Paul looks for is something more than this, however, namely ‘a circumcision of the heart that completely replaces the physical rite and does not merely complement it’. It will also be the Spirit, not by the written code (29b). That is, it will be an inward work of the Holy Spirit, such as the law as an external written code could never effect. This contrast between gramma (letter or code) and pneuma (the Spirit) sums up for Paul the difference between the old covenant (an external law) and the new (the gift of the Spirit) [kutipan dari Stott, op. cit., p. 94].
3. Excursus
Old Testament circumcision was not simply a badge of ethnic identity; like New Testament baptism it signified and sealed the removal of sin’s defilement and the imputation of the righteousness of faith, having as its basic import union with God. This is not simply a Pauline perception (see Rom. 4:11) being read back into the Old Testament. Already in Old Testament times the import of the rite began to be transferred metaphorically into the spiritual realm, and it came to be understood as conveying symbolically the removal of sin’s defilement through salvation (Exod. 6:13, 30; Lev. 19:23; 26:41; Deut. 10:16; Jer. 4:4; 6:10; 9:25-26; . . .) [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith ( Nashville , Tenn. : Thomas Nelson, 1988), p. 937]. Bagaimanakah bisa terjadi bahwa Paulus yang dahulu begitu menekuni hukum Taurat, kini mengganti kesetiannya pada Taurat dengan pengandalan pada Kristus? Perubahan yang mendalam ini pasti dimulai pada saat ia mendengar dari mulut Yesus yang telah bangkit per- kataan-Nya “Akulah Yesus yang engkau aniaya” (Kis 9:5 BIS). Mengapa pengalaman dalam perjalanannya ke Damsyik ini demikian menimpa Paulus sehingga seluruh pandangan hidup- nya dijungkir-balikkan? Semata-mata karena Yesus menampakkan diri kepada Paulus seba- gai yang hidup kembali, karena itu berarti bahwa Ia dibenarkan Allah. Sebelum pengalaman ini Paulus beranggapan bahwa gejala serupa itu mustahuil terjadi, karena justru Taurat me- nyatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” (Gal 3:13)! Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh cara hidup Yesus (sebagai sahabat orang berdosa) menimbulkan heboh bagi setiap orang yang setia pada Taurat. Pada hal orang itulah yang Allah benarkan dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Dengandemikian, Paulus menginsafi bahwa ke- rajinannya dalam memelihara hukum Taurat-lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah. Hukum Taurat bertindak sebagai tabir yang menutupi wajah utusan Allah (2 Kor 3:14- 16). Selain itu, Paulus menjadi sadar akan kekhilafannya dalam hal menaniaya pengikut- pengikut Yesus. Tadinya ia yakin bahwa atas nama hukum Taurat mereka harus dianiaya karena mereka sedang memberitakan Mesias yang palsu. Lagi pula mereka tidak layak menerima utusan Allah karena kurang tekun dalam memelihara hukum Taurat. Umum mengetahui bahwa dalam perjalanan Yesus mereka sering melanggar Taurat. Tetapi kini Yesus menampakkan diri kepada Paulus serta mengatakan: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, ‘dengan menindas para pengikut-Ku engkau sedang menganiaya Aku yang telah diutus dan dibenarkan Allah’. Jadi bukan hanya Yesus tetapi pengikut-pengikut-Nya juga dibenarkan. Sekarang kita mempunyai jawaban pada soal mengapa secara begitu mendadak Taurat dalam pemikiran Paulus digeser dan diganti dengan pribadi Yesus. Mesiasnya Allah dinyata- kan terlebih dahulu kepada kalangan yang tidak setia pada Taurat dan Ia pun disalibkan. Ma- ka Paulus berani menarik kesimpulan bahwa hukum Taurat tak dapat diandalkan lagi melain- kan telah diganti dengan Ia-yang-disalibkan. Wewenang yang dahulu melekat pada Taurat, kini dianmbilalih oleh Kristus. Ternyatalah, bagi Paulus kematian Kristus (dan pasti harus ditambahkan kebangkitan Kristus pula) merupakan garis batas antara dua zaman [aion] [ku- tipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 168f.].
- - - NR - - -
Kis 14:8-20
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Di kalangan penduduk Listra dikenal sebuah legenda, yang menjadi penyebab terjadinya pe- ristiwa yang dialami Paulus dan Barnabas, seperti yang dilaporkan dalam bacaan kita sekarang ini. Dua dewa yang dipuja orang-orang Yunani, Zeus (ketua para dewa) dan Hermes (juru bi- cara Zeus), dikisahkan pernah mengunjungi kota Listra. Menyamar sebagai musyafir biasa, dengan berpakaian lusuh dan berdebu, kedua dewa tadi menelusuri jalan-jalan di Listra sambil meminta sedekah. Akhirnya sepasang suami-isteri lanjut usia menjamu dan menampung mere- ka mereka. Sebagai tanda ucapan terima kasih, Zeus sempat mengabulkan suatu keinginan dari pasangan tadi. Tidak lama kemudian, demikian legenda tersebut, negeri itu ditimpa oleh banjir hebat, yang menyebabkan semua orang mati, kecuali kedua orang pasutri tadi. Gubug mereka kemudian menjelma menjadi sebuah gedung pemujaan yang indah. Kedua orang pasutri tersebut kelak berubah menjadi dua pohon besar. Lalu ketika Paulus, yang dianggap sebagai “juru bicara”, dan Barnabas, yang kebetulan berperawakan tinggi dengan tubuh yang kelihatan kokoh, melakukan mujizat, maka orang- orang di Listra berkesimpulan bahwa Zeus dan Hermes telah datang lagi [Sumber: Quest Study Bible ( Grand Rapids , Mich. : Zondervan, 2003), p. 1585]. Informasi: In the earlier part of the twentieth century the evidence of epigraphy has effective- ly supplemented that of classical legend. Of two inscriptions from Sedasa, near Lystra, dating from the middle of the third century, and discovered by W.M. Calder, one records the dedication to Zeus of a statue of Hermes by men with Lycaonian names; the other mentions “priests of Zeus.” [kutipan dari F.F. Bruce, The Book of the Acts, rev. ed. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1988), pp. 274f.].
2. Eksposisi
[Sumber utama: H. van den Brink, Tafsiran Alkitab: Kisah Para Rasul ( Jakarta : BPK-GM, t.t.), hlm. 292f.). [Ayat 8-10] Peristiwa yang diceritakan kepada kita di sini mengingatkan kita pada Kis 3:8. De- ngan panjang lebar digambarkan betapa tidak berdayanya laki-laki ini. Di sini Allah hendak mem- perlengkapi pemberitaan Paulus dengan suatu bukti kenyataan mujizat kesembuhan. Tetapi Allah juga tidak membuatnya di luar jalur percaya. Roh Allah membangkitkan kerinduan, pengharapan dan iman di dalam hati insan yang malang ini. Mujizat yang dilakukan Paulus memberitakan Yesus Kristus sebagai Penyelamat tubuh dan jiwa. Roh Allah meyakinkan Paulus bahwa pria tersebut pasti akan percaya akan kuat kuasa penyembuhan dari Yesus Kristus. Informasi: Keadaan yang parah dan malang dari orang lumpuh ini tersirat dalam informasi yang terperinci mengenai keadaannya: “lemah kakinya, lumpuh sejak lahirnya dan belum pernah dapat berjalan” --- “[which describe] the genuine and apparently in- curable nature and the man’s disability” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Bruce, op.cit.]. [Ayat 11-13] Kata-kata yang diucapkan Paulus dan mujizat yang dihasilkannya tentulah menarik perhatian orang banyak. Dengan gaya khas dari Lukas, kita diberi informasi bagaimana reaksi orang banyak itu, walapun diungkapkan dalam bahasa daerah mereka. Karena tidak mengerti bahasa me- reka, Paulus dan Barnabas pada mulanya tidak mengerti apa yang diributkan orang-orang itu. Dengan latar belakang legenda yang telah dipaparkan di muka, maka orang-orang itu berpenda- pat bahwa mereka patut menyampaikan persembahan besar-besaran kepada para dewa itu. Ini juga merupakan upaya agar malapetaka yang dulu terjadi, tidak terulang lagi. Informasi: [“dalam bahasa Likaonia”, ay. 11]. Kebanyakan penduduk di daerah ini mampu berbicara dalam dua bahasa, Yunani dan bahasa daerah mereka, yakni bahasa Likaonia. Mereka bisa memahami apa yang dikatakan Paulus dalam bahasa Yuna- ni. Tetapi ketika mereka berteriak-teriak, mereka secara otomatis berbicara dalam bahasa daerah mereka. “It is not suggested that Paul understood what they said, but their actions spoke clearly enough” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari The Inter- preter’s Bible, Vol. IX ( Nashville , Tenn. : Abingdon, 1954), p. 188]. [Ayat 14-18] Dapat dibayangkan betapa telah terjadi salah paham yang besar. Bagi Paulus dan Barnabas apa yang telah terjadi sungguh-sungguh merisaukan hati mereka. Dalam cara khas Yahudi, mereka merobek pakaiannya. Informasi: There is evidence from rabbinical literature that this gesture [i.e. “tore their garments”], like that of “shaking the dust” (13:51 . . .) was “the prescribed reaction against blasphemy”. Persembahan demikian itu mestinya dihaturkan kepada Allah dan bukan kepada manusia biasa [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid., p. 189]. Sesudah itu kita disuguhkan dengan sebuah pidato pendek, bukan khotbah. Patokan-patokan dari Kitab Suci (Perjanjian Lama) tentulah tak akan dipahami orang banyak itu. Kepada orang banyak itu diberi penjelasan bahwa mereka berdua (Paulus dan Barnabas) adalah orang-orang biasa saja. Mereka berdua ke kota itu, justru karena mereka ingin menyampaikan suatu pesan atau berita yang luar biasa. Informasi: . . . in vv. 15-17 a very brief but significant speech summary, the first of its kind, addressed by Paul to a purely Gentile audience. . . . the subjects treated included creation or natural theology, the endured ignorance of pagans, the first broaching by Paul of the subject of good news for Gentiles. [ . . . ] The speech begins with a question --- why are you doing this? It continues with an affirmation, “we are only human like you.” . . On the positive side, Gentiles were a natural audience for those who wished to preach about God appearing to human beings in the form of the man Jesus and offering help or salvation. . . . The message the apostles brought was to be seen as good news, delivering the audience from vain or worthless things . . . and into the hands of a living God [kutip- an dari Ben Witherington III, The Acts of the Apostles, a Socio-Rhetorical Commentary (Grand Rapids, Mich. : W.B. Eerdmans, 1998), pp. 425f.]. Ayat 18 memberi kesan bahwa orang-orang itu, betapa degil sekalipun, namun tidak meneruskan upacara persembahan korban kepada para dewa itu. [Ayat 19] Tercermin betapa besarnya kebencian orang Yahudi kepada Paulus. Juga tersirat keke- cewaan orang-orang Listra, karena niat “murni” mereka tak terwujud. Jadinya Paulus, yang barusan saja dianggap dewa, harus menderita demi Injil. Kelak Paulus mengenang kembali peristiwa pahit ini --- “satu kali aku dilempari batu” (2 Kor 11:25). [Ayat 20] Tersirat adanya unsur mujizat yang terjadi atas Paulus, ketika para murid berdiri mengelilingi dia.
3. Excursus
This passage is specially interesting because it gives us Paul’s approach to those who were completely heathen and without any Jewish backround to which he could appeal. With such people he started from nature to get to the God who was behind it all. He started from the here and now to get to the there and then. We do well to remember that the world is the garment of the living God. It is told that once, as they sailed in the Mediterranean , Napoleon’s suite were discussing God. In the talk they eliminated him altogether. Napoleon had been silent but now he lifted his hand and pointed to the sea and sky, “Gentlemen,” he said, who made all this?” [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Acts ( Edinburgh : the Saint Andrew, 1989), p. 109]. (NR) R O M A 2 : 2 5 – 2 9 (Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas) 1. Pengantar Bagi orang Yahudi, pastilah kata-kata Paulus dalam bagian ini [2:17-29] menjadi suatu pengalaman yang menghancurkan hati. Ia yakin, bahwa Allah memilih dan mengasihinya hanya karena ia adalah keturunan Abraham dan karena ia membawa meterai sunat. Tetapi, Paulus memperkenalkan suatu pendapat yang lain, yang nanti ia terus-menerus akan ulang kembali. Keyahudian, ia menegaskan, bukan masalah rasial sama sekali; bahkan tidak ada hubungannya dengan sunat. Karena itu masalah tingkah laku.Jika demikian halnya, banyak orang Yahudi yang benar-benar keturunan Abraham dan bersunat, pastilah tak dapat disebut Yahudi; dan sebaliknya, banyak orang bukan Yahudi yang tidak pernah mendengar tentang Abraham dan yang tidak pernah memikirkan untuk bersunat, adalah Yahudi yang sebenarnya dalam pengertian ini. Tentu saja, kata-kata Paulus ini bagi orang-orang Yahudi, merupakan ajaran sesat yang akan membangkitkan luapan kemarahan mereka [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma, terj. ( Jakarta : BPK-GM, 2001), hlm. 75f.]. Informasi: Dalam pasal 1:18-32 Paulus tidak menyatakan secara langsung bahwa mereka yang dibicarakannya adalah orang bukan Yahudi. Demikian juga sampai di sini ia belum menyatakan secara langsung bahwa ia membicarakan orang Yahudi. Teta- pi sekarang ia berkata jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi . . . . [ayat 17]. Apa yang dikatakannya dalam bagian ini [2:17-24] dapat juga diterapkan pada semua orang yang dengan setia memeluk agama yang mempunyai standar etis yang tinggi. Hal-hal ini berlaku bagi pemeluk agama lainnya, dan juga bagi orang yang memeluk agama Kristen hanya sebagai standar etis semata-mata. Semua- nya di dalam aion [masa] lama, dan semuanya layak dimurkai [kutipan dari Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani ( Bandung : KH, 2000), hlm. 49f.]. 2. Eksposisi 2:25 Sama seperti pengertian akan hukum Taurat dihargai dalam pasal 2:17-20, demikian juga sunat dihargai di sini, dan persyaratan yang sama masih berlaku: ketaatan. Dalam tulisan-tulisan Yahudi pada zaman itu ada ajaran yang berkata bahwa sunat dapat menyela- matkan orang dari neraka. . . . Kata pelanggar dipakai juga dalam Yakobus 2:9, di mana orang yang berdosa disebut “pelanggar” hukum Taurat. Dalam ayat ini Paulus menegaskan bahwa bagi pelanggar hukum Taurat, sunat mereka sudah menjadi tidak bersunat. Di sini ia berbicara keras, karena justru istilah tidak bersunat dipakai untuk menceritakan orang bukan Yahudi! Dengan kata lain, ia berkata, “Kalau kamu yang bersunat berdosa, maka kamu menjadi bukan Yahudi!” Rasul Paulus dapat mengatakan ini karena arti yang sesungguhnya dari sunat adalah “penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11) [kutipan dari Ibid.]. Informasi: We may perhaps express Paul’s double assertion in terms of two simple equations. Circumcision minus equals uncircumcision, while uncircumcision plus obedience equals circumcision [kutipan dari John R.W. Stott, The Message of Romans (Leicester, England, IVP, 1994), p. 93]. 2:26 Sebaliknya seandainya ada orang bukan Yahudi yang menaati hukum Taurat, maka ia sudah mempunyai “sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11). Istilah memperhatikan dapat berarti “menjaga” atau “melindungi” orang, tetapi kalau objek kata ini adalah hukum atau peraturan seperti ayat ini, maka kata ini berarti “menaati”. [ . . . ] . . . Penulis tidak memberi kesan bahwa sungguh ada orang seperti itu, dari golong- an tak bersunat yang memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat; dan ia juga tidak memberi kesan bahwa tidak ada orang yang demikian. Dengan kata lain, ini suatu pengan- daian yang netral. 2:27 Mengingat kesombongan orang Yahudi yang selalu siap menghakimi orang bukan Yahudi (2:1), pernyataan [dalam ayat] ini sangat menusuk; pernyataan ini keras sekali. “Bu- kan kamu yang boleh menghakimi mereka, tetapi justru mereka[lah] yang akan menghakimi kamu! (asalkan ada di antara mereka yang melakukan hukum Taurat!) [kutipan dari Hagelberg, op.cit.]. Informasi: ‘Condemn’ [LAI: menghakimi] in 27 does not mean that the judgment will be carried out by the good Gentiles but that at God’s judgment they will show up the errant Jews (cf. Mt. 12:41f.) [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible ( London : Nelson, 1972), p. 943]. The consequence Paul infers from this will have been profoundly shocking to Jewish people. In contrast to their traditional picture of themselves sitting in judg- ment on the uncircumcised pagans (cf. 2:1-3), the roles will be reversed . . . The ultimate sign, the bona fide evidence, of membership of the covenant of God is neither circumcision nor possession of the law, but the obedience which both circumcision and the law demand. Their circumcision did not make them what their obedience proved they were not. This is not salvation by obedience, but obedience as the evidence of salvation. The corollary is that Jews are just as much exposed to the judgment of God as Gentiles [kutipan dari Stott, op. cit.]. 2:28 Sudah dijelaskan (dalam 2:25-27) bahwa suatu upacara lahiriah yang tidak disertai ketaatan (seperti sunat) tidak memiliki arti, karena kenyataan batin adalah intisari dari agama sejati. Kalau begitu, maka Rasul Paulus dapat berkata bahwa sunat yang tidak disertai de- ngan ketaatan pada hukum Taurat sudah menjadi bukan sunat [lagi], dan orang Yahudi yang tidak taat dapat dikatakan bukan Yahudi [lagi]. Upacara hanya dapat memiliki nilai kalau upa- cara tersebut disertai dengan keadaan batin yang benar. Pentingnya keadaan hati bukan suatu tema yang baru bagi Rasul Paulus. Hal ini su- dah ditegaskan dalam Perjanjian Lama [Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; Yeh 44:9) [kutipan dari Hagelberg, op. cit.] Informasi: Pengertian dari bagian ini ialah, bahwa janji Allah bukan ditujukan bagi orang-orang dari ras tertentu dan bagi orang yang mempunyai tanda tertentu pada tubuhnya saja. Janji Allah adalah bagi mereka yang hidup dengan cara hidup ter- tentu, terlepas dari sangkut pautnya dengan kesukuannya. Orang Yahudi yang se- jati bukanlah masalah keturunaan, melainkan masalah watak; oleh sebab itu, se- ringkali orang yang secara rasial bukan Yahudi, mungkin lebih bersifat [justru] Yahudi daripada orang Yahudi sendiri [kutipan dari Barclay, op. cit., hlm. 76]. 2:29 Ayat terakhir . . . ini berisi suatu permainan kata-kata yang tak dapat diterjemahkan secara utuh. . . . Kata Yunani untuk “pujian”, ialah epainos. Apabila kita kembali pada Per- janjian Lama (Kej 29:35; 49:8), kita akan menemukan bahwa arti yang asli dan tradisional dari kata “Yehuda” juga “pujian” (epainos). Oleh karena itu ungkapan ini mempunyai dua arti. (a) Berarti, pujian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah. (b) Berarti, keyahudian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah [kuipan dari Ibid.]. Informasi: What Paul looks for is something more than this, however, namely ‘a circumcision of the heart that completely replaces the physical rite and does not merely complement it’. It will also be the Spirit, not by the written code (29b). That is, it will be an inward work of the Holy Spirit, such as the law as an external written code could never effect. This contrast between gramma (letter or code) and pneuma (the Spirit) sums up for Paul the difference between the old covenant (an external law) and the new (the gift of the Spirit) [kutipan dari Stott, op. cit., p. 94]. 3. Excursus Old Testament circumcision was not simply a badge of ethnic identity; like New Testament baptism it signified and sealed the removal of sin’s defilement and the imputation of the righteousness of faith, having as its basic import union with God. This is not simply a Pauline perception (see Rom. 4:11) being read back into the Old Testament. Already in Old Testament times the import of the rite began to be transferred metaphorically into the spiritual realm, and it came to be understood as conveying symbolically the removal of sin’s defilement through salvation (Exod. 6:13, 30; Lev. 19:23; 26:41; Deut. 10:16; Jer. 4:4; 6:10; 9:25-26; . . .) [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith ( Nashville , Tenn. : Thomas Nelson, 1988), p. 937]. Bagaimanakah bisa terjadi bahwa Paulus yang dahulu begitu menekuni hukum Taurat, kini mengganti kesetiannya pada Taurat dengan pengandalan pada Kristus? Perubahan yang mendalam ini pasti dimulai pada saat ia mendengar dari mulut Yesus yang telah bangkit per- kataan-Nya “Akulah Yesus yang engkau aniaya” (Kis 9:5 BIS). Mengapa pengalaman dalam perjalanannya ke Damsyik ini demikian menimpa Paulus sehingga seluruh pandangan hidup- nya dijungkir-balikkan? Semata-mata karena Yesus menampakkan diri kepada Paulus seba- gai yang hidup kembali, karena itu berarti bahwa Ia dibenarkan Allah. Sebelum pengalaman ini Paulus beranggapan bahwa gejala serupa itu mustahuil terjadi, karena justru Taurat me- nyatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” (Gal 3:13)! Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh cara hidup Yesus (sebagai sahabat orang berdosa) menimbulkan heboh bagi setiap orang yang setia pada Taurat. Pada hal orang itulah yang Allah benarkan dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Dengandemikian, Paulus menginsafi bahwa ke- rajinannya dalam memelihara hukum Taurat-lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah. Hukum Taurat bertindak sebagai tabir yang menutupi wajah utusan Allah (2 Kor 3:14- 16). Selain itu, Paulus menjadi sadar akan kekhilafannya dalam hal menaniaya pengikut- pengikut Yesus. Tadinya ia yakin bahwa atas nama hukum Taurat mereka harus dianiaya karena mereka sedang memberitakan Mesias yang palsu. Lagi pula mereka tidak layak menerima utusan Allah karena kurang tekun dalam memelihara hukum Taurat. Umum mengetahui bahwa dalam perjalanan Yesus mereka sering melanggar Taurat. Tetapi kini Yesus menampakkan diri kepada Paulus serta mengatakan: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, ‘dengan menindas para pengikut-Ku engkau sedang menganiaya Aku yang telah diutus dan dibenarkan Allah’. Jadi bukan hanya Yesus tetapi pengikut-pengikut-Nya juga dibenarkan. Sekarang kita mempunyai jawaban pada soal mengapa secara begitu mendadak Taurat dalam pemikiran Paulus digeser dan diganti dengan pribadi Yesus. Mesiasnya Allah dinyata- kan terlebih dahulu kepada kalangan yang tidak setia pada Taurat dan Ia pun disalibkan. Ma- ka Paulus berani menarik kesimpulan bahwa hukum Taurat tak dapat diandalkan lagi melain- kan telah diganti dengan Ia-yang-disalibkan. Wewenang yang dahulu melekat pada Taurat, kini dianmbilalih oleh Kristus. Ternyatalah, bagi Paulus kematian Kristus (dan pasti harus ditambahkan kebangkitan Kristus pula) merupakan garis batas antara dua zaman [aion] [ku- tipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 168f.].
- - - NR - - -
1. Pengantar
Di kalangan penduduk Listra dikenal sebuah legenda, yang menjadi penyebab terjadinya pe- ristiwa yang dialami Paulus dan Barnabas, seperti yang dilaporkan dalam bacaan kita sekarang ini. Dua dewa yang dipuja orang-orang Yunani, Zeus (ketua para dewa) dan Hermes (juru bi- cara Zeus), dikisahkan pernah mengunjungi kota Listra. Menyamar sebagai musyafir biasa, dengan berpakaian lusuh dan berdebu, kedua dewa tadi menelusuri jalan-jalan di Listra sambil meminta sedekah. Akhirnya sepasang suami-isteri lanjut usia menjamu dan menampung mere- ka mereka. Sebagai tanda ucapan terima kasih, Zeus sempat mengabulkan suatu keinginan dari pasangan tadi. Tidak lama kemudian, demikian legenda tersebut, negeri itu ditimpa oleh banjir hebat, yang menyebabkan semua orang mati, kecuali kedua orang pasutri tadi. Gubug mereka kemudian menjelma menjadi sebuah gedung pemujaan yang indah. Kedua orang pasutri tersebut kelak berubah menjadi dua pohon besar. Lalu ketika Paulus, yang dianggap sebagai “juru bicara”, dan Barnabas, yang kebetulan berperawakan tinggi dengan tubuh yang kelihatan kokoh, melakukan mujizat, maka orang- orang di Listra berkesimpulan bahwa Zeus dan Hermes telah datang lagi [Sumber: Quest Study Bible ( Grand Rapids , Mich. : Zondervan, 2003), p. 1585]. Informasi: In the earlier part of the twentieth century the evidence of epigraphy has effective- ly supplemented that of classical legend. Of two inscriptions from Sedasa, near Lystra, dating from the middle of the third century, and discovered by W.M. Calder, one records the dedication to Zeus of a statue of Hermes by men with Lycaonian names; the other mentions “priests of Zeus.” [kutipan dari F.F. Bruce, The Book of the Acts, rev. ed. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1988), pp. 274f.].
2. Eksposisi
[Sumber utama: H. van den Brink, Tafsiran Alkitab: Kisah Para Rasul ( Jakarta : BPK-GM, t.t.), hlm. 292f.). [Ayat 8-10] Peristiwa yang diceritakan kepada kita di sini mengingatkan kita pada Kis 3:8. De- ngan panjang lebar digambarkan betapa tidak berdayanya laki-laki ini. Di sini Allah hendak mem- perlengkapi pemberitaan Paulus dengan suatu bukti kenyataan mujizat kesembuhan. Tetapi Allah juga tidak membuatnya di luar jalur percaya. Roh Allah membangkitkan kerinduan, pengharapan dan iman di dalam hati insan yang malang ini. Mujizat yang dilakukan Paulus memberitakan Yesus Kristus sebagai Penyelamat tubuh dan jiwa. Roh Allah meyakinkan Paulus bahwa pria tersebut pasti akan percaya akan kuat kuasa penyembuhan dari Yesus Kristus. Informasi: Keadaan yang parah dan malang dari orang lumpuh ini tersirat dalam informasi yang terperinci mengenai keadaannya: “lemah kakinya, lumpuh sejak lahirnya dan belum pernah dapat berjalan” --- “[which describe] the genuine and apparently in- curable nature and the man’s disability” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Bruce, op.cit.]. [Ayat 11-13] Kata-kata yang diucapkan Paulus dan mujizat yang dihasilkannya tentulah menarik perhatian orang banyak. Dengan gaya khas dari Lukas, kita diberi informasi bagaimana reaksi orang banyak itu, walapun diungkapkan dalam bahasa daerah mereka. Karena tidak mengerti bahasa me- reka, Paulus dan Barnabas pada mulanya tidak mengerti apa yang diributkan orang-orang itu. Dengan latar belakang legenda yang telah dipaparkan di muka, maka orang-orang itu berpenda- pat bahwa mereka patut menyampaikan persembahan besar-besaran kepada para dewa itu. Ini juga merupakan upaya agar malapetaka yang dulu terjadi, tidak terulang lagi. Informasi: [“dalam bahasa Likaonia”, ay. 11]. Kebanyakan penduduk di daerah ini mampu berbicara dalam dua bahasa, Yunani dan bahasa daerah mereka, yakni bahasa Likaonia. Mereka bisa memahami apa yang dikatakan Paulus dalam bahasa Yuna- ni. Tetapi ketika mereka berteriak-teriak, mereka secara otomatis berbicara dalam bahasa daerah mereka. “It is not suggested that Paul understood what they said, but their actions spoke clearly enough” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari The Inter- preter’s Bible, Vol. IX ( Nashville , Tenn. : Abingdon, 1954), p. 188]. [Ayat 14-18] Dapat dibayangkan betapa telah terjadi salah paham yang besar. Bagi Paulus dan Barnabas apa yang telah terjadi sungguh-sungguh merisaukan hati mereka. Dalam cara khas Yahudi, mereka merobek pakaiannya. Informasi: There is evidence from rabbinical literature that this gesture [i.e. “tore their garments”], like that of “shaking the dust” (13:51 . . .) was “the prescribed reaction against blasphemy”. Persembahan demikian itu mestinya dihaturkan kepada Allah dan bukan kepada manusia biasa [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid., p. 189]. Sesudah itu kita disuguhkan dengan sebuah pidato pendek, bukan khotbah. Patokan-patokan dari Kitab Suci (Perjanjian Lama) tentulah tak akan dipahami orang banyak itu. Kepada orang banyak itu diberi penjelasan bahwa mereka berdua (Paulus dan Barnabas) adalah orang-orang biasa saja. Mereka berdua ke kota itu, justru karena mereka ingin menyampaikan suatu pesan atau berita yang luar biasa. Informasi: . . . in vv. 15-17 a very brief but significant speech summary, the first of its kind, addressed by Paul to a purely Gentile audience. . . . the subjects treated included creation or natural theology, the endured ignorance of pagans, the first broaching by Paul of the subject of good news for Gentiles. [ . . . ] The speech begins with a question --- why are you doing this? It continues with an affirmation, “we are only human like you.” . . On the positive side, Gentiles were a natural audience for those who wished to preach about God appearing to human beings in the form of the man Jesus and offering help or salvation. . . . The message the apostles brought was to be seen as good news, delivering the audience from vain or worthless things . . . and into the hands of a living God [kutip- an dari Ben Witherington III, The Acts of the Apostles, a Socio-Rhetorical Commentary (Grand Rapids, Mich. : W.B. Eerdmans, 1998), pp. 425f.]. Ayat 18 memberi kesan bahwa orang-orang itu, betapa degil sekalipun, namun tidak meneruskan upacara persembahan korban kepada para dewa itu. [Ayat 19] Tercermin betapa besarnya kebencian orang Yahudi kepada Paulus. Juga tersirat keke- cewaan orang-orang Listra, karena niat “murni” mereka tak terwujud. Jadinya Paulus, yang barusan saja dianggap dewa, harus menderita demi Injil. Kelak Paulus mengenang kembali peristiwa pahit ini --- “satu kali aku dilempari batu” (2 Kor 11:25). [Ayat 20] Tersirat adanya unsur mujizat yang terjadi atas Paulus, ketika para murid berdiri mengelilingi dia.
3. Excursus
This passage is specially interesting because it gives us Paul’s approach to those who were completely heathen and without any Jewish backround to which he could appeal. With such people he started from nature to get to the God who was behind it all. He started from the here and now to get to the there and then. We do well to remember that the world is the garment of the living God. It is told that once, as they sailed in the Mediterranean , Napoleon’s suite were discussing God. In the talk they eliminated him altogether. Napoleon had been silent but now he lifted his hand and pointed to the sea and sky, “Gentlemen,” he said, who made all this?” [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Acts ( Edinburgh : the Saint Andrew, 1989), p. 109]. (NR) R O M A 2 : 2 5 – 2 9 (Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas) 1. Pengantar Bagi orang Yahudi, pastilah kata-kata Paulus dalam bagian ini [2:17-29] menjadi suatu pengalaman yang menghancurkan hati. Ia yakin, bahwa Allah memilih dan mengasihinya hanya karena ia adalah keturunan Abraham dan karena ia membawa meterai sunat. Tetapi, Paulus memperkenalkan suatu pendapat yang lain, yang nanti ia terus-menerus akan ulang kembali. Keyahudian, ia menegaskan, bukan masalah rasial sama sekali; bahkan tidak ada hubungannya dengan sunat. Karena itu masalah tingkah laku.Jika demikian halnya, banyak orang Yahudi yang benar-benar keturunan Abraham dan bersunat, pastilah tak dapat disebut Yahudi; dan sebaliknya, banyak orang bukan Yahudi yang tidak pernah mendengar tentang Abraham dan yang tidak pernah memikirkan untuk bersunat, adalah Yahudi yang sebenarnya dalam pengertian ini. Tentu saja, kata-kata Paulus ini bagi orang-orang Yahudi, merupakan ajaran sesat yang akan membangkitkan luapan kemarahan mereka [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma, terj. ( Jakarta : BPK-GM, 2001), hlm. 75f.]. Informasi: Dalam pasal 1:18-32 Paulus tidak menyatakan secara langsung bahwa mereka yang dibicarakannya adalah orang bukan Yahudi. Demikian juga sampai di sini ia belum menyatakan secara langsung bahwa ia membicarakan orang Yahudi. Teta- pi sekarang ia berkata jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi . . . . [ayat 17]. Apa yang dikatakannya dalam bagian ini [2:17-24] dapat juga diterapkan pada semua orang yang dengan setia memeluk agama yang mempunyai standar etis yang tinggi. Hal-hal ini berlaku bagi pemeluk agama lainnya, dan juga bagi orang yang memeluk agama Kristen hanya sebagai standar etis semata-mata. Semua- nya di dalam aion [masa] lama, dan semuanya layak dimurkai [kutipan dari Dave Hagelberg, Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani ( Bandung : KH, 2000), hlm. 49f.]. 2. Eksposisi 2:25 Sama seperti pengertian akan hukum Taurat dihargai dalam pasal 2:17-20, demikian juga sunat dihargai di sini, dan persyaratan yang sama masih berlaku: ketaatan. Dalam tulisan-tulisan Yahudi pada zaman itu ada ajaran yang berkata bahwa sunat dapat menyela- matkan orang dari neraka. . . . Kata pelanggar dipakai juga dalam Yakobus 2:9, di mana orang yang berdosa disebut “pelanggar” hukum Taurat. Dalam ayat ini Paulus menegaskan bahwa bagi pelanggar hukum Taurat, sunat mereka sudah menjadi tidak bersunat. Di sini ia berbicara keras, karena justru istilah tidak bersunat dipakai untuk menceritakan orang bukan Yahudi! Dengan kata lain, ia berkata, “Kalau kamu yang bersunat berdosa, maka kamu menjadi bukan Yahudi!” Rasul Paulus dapat mengatakan ini karena arti yang sesungguhnya dari sunat adalah “penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11) [kutipan dari Ibid.]. Informasi: We may perhaps express Paul’s double assertion in terms of two simple equations. Circumcision minus equals uncircumcision, while uncircumcision plus obedience equals circumcision [kutipan dari John R.W. Stott, The Message of Romans (Leicester, England, IVP, 1994), p. 93]. 2:26 Sebaliknya seandainya ada orang bukan Yahudi yang menaati hukum Taurat, maka ia sudah mempunyai “sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol 2:11). Istilah memperhatikan dapat berarti “menjaga” atau “melindungi” orang, tetapi kalau objek kata ini adalah hukum atau peraturan seperti ayat ini, maka kata ini berarti “menaati”. [ . . . ] . . . Penulis tidak memberi kesan bahwa sungguh ada orang seperti itu, dari golong- an tak bersunat yang memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat; dan ia juga tidak memberi kesan bahwa tidak ada orang yang demikian. Dengan kata lain, ini suatu pengan- daian yang netral. 2:27 Mengingat kesombongan orang Yahudi yang selalu siap menghakimi orang bukan Yahudi (2:1), pernyataan [dalam ayat] ini sangat menusuk; pernyataan ini keras sekali. “Bu- kan kamu yang boleh menghakimi mereka, tetapi justru mereka[lah] yang akan menghakimi kamu! (asalkan ada di antara mereka yang melakukan hukum Taurat!) [kutipan dari Hagelberg, op.cit.]. Informasi: ‘Condemn’ [LAI: menghakimi] in 27 does not mean that the judgment will be carried out by the good Gentiles but that at God’s judgment they will show up the errant Jews (cf. Mt. 12:41f.) [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible ( London : Nelson, 1972), p. 943]. The consequence Paul infers from this will have been profoundly shocking to Jewish people. In contrast to their traditional picture of themselves sitting in judg- ment on the uncircumcised pagans (cf. 2:1-3), the roles will be reversed . . . The ultimate sign, the bona fide evidence, of membership of the covenant of God is neither circumcision nor possession of the law, but the obedience which both circumcision and the law demand. Their circumcision did not make them what their obedience proved they were not. This is not salvation by obedience, but obedience as the evidence of salvation. The corollary is that Jews are just as much exposed to the judgment of God as Gentiles [kutipan dari Stott, op. cit.]. 2:28 Sudah dijelaskan (dalam 2:25-27) bahwa suatu upacara lahiriah yang tidak disertai ketaatan (seperti sunat) tidak memiliki arti, karena kenyataan batin adalah intisari dari agama sejati. Kalau begitu, maka Rasul Paulus dapat berkata bahwa sunat yang tidak disertai de- ngan ketaatan pada hukum Taurat sudah menjadi bukan sunat [lagi], dan orang Yahudi yang tidak taat dapat dikatakan bukan Yahudi [lagi]. Upacara hanya dapat memiliki nilai kalau upa- cara tersebut disertai dengan keadaan batin yang benar. Pentingnya keadaan hati bukan suatu tema yang baru bagi Rasul Paulus. Hal ini su- dah ditegaskan dalam Perjanjian Lama [Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; Yeh 44:9) [kutipan dari Hagelberg, op. cit.] Informasi: Pengertian dari bagian ini ialah, bahwa janji Allah bukan ditujukan bagi orang-orang dari ras tertentu dan bagi orang yang mempunyai tanda tertentu pada tubuhnya saja. Janji Allah adalah bagi mereka yang hidup dengan cara hidup ter- tentu, terlepas dari sangkut pautnya dengan kesukuannya. Orang Yahudi yang se- jati bukanlah masalah keturunaan, melainkan masalah watak; oleh sebab itu, se- ringkali orang yang secara rasial bukan Yahudi, mungkin lebih bersifat [justru] Yahudi daripada orang Yahudi sendiri [kutipan dari Barclay, op. cit., hlm. 76]. 2:29 Ayat terakhir . . . ini berisi suatu permainan kata-kata yang tak dapat diterjemahkan secara utuh. . . . Kata Yunani untuk “pujian”, ialah epainos. Apabila kita kembali pada Per- janjian Lama (Kej 29:35; 49:8), kita akan menemukan bahwa arti yang asli dan tradisional dari kata “Yehuda” juga “pujian” (epainos). Oleh karena itu ungkapan ini mempunyai dua arti. (a) Berarti, pujian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah. (b) Berarti, keyahudian bagi seseorang datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah [kuipan dari Ibid.]. Informasi: What Paul looks for is something more than this, however, namely ‘a circumcision of the heart that completely replaces the physical rite and does not merely complement it’. It will also be the Spirit, not by the written code (29b). That is, it will be an inward work of the Holy Spirit, such as the law as an external written code could never effect. This contrast between gramma (letter or code) and pneuma (the Spirit) sums up for Paul the difference between the old covenant (an external law) and the new (the gift of the Spirit) [kutipan dari Stott, op. cit., p. 94]. 3. Excursus Old Testament circumcision was not simply a badge of ethnic identity; like New Testament baptism it signified and sealed the removal of sin’s defilement and the imputation of the righteousness of faith, having as its basic import union with God. This is not simply a Pauline perception (see Rom. 4:11) being read back into the Old Testament. Already in Old Testament times the import of the rite began to be transferred metaphorically into the spiritual realm, and it came to be understood as conveying symbolically the removal of sin’s defilement through salvation (Exod. 6:13, 30; Lev. 19:23; 26:41; Deut. 10:16; Jer. 4:4; 6:10; 9:25-26; . . .) [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith ( Nashville , Tenn. : Thomas Nelson, 1988), p. 937]. Bagaimanakah bisa terjadi bahwa Paulus yang dahulu begitu menekuni hukum Taurat, kini mengganti kesetiannya pada Taurat dengan pengandalan pada Kristus? Perubahan yang mendalam ini pasti dimulai pada saat ia mendengar dari mulut Yesus yang telah bangkit per- kataan-Nya “Akulah Yesus yang engkau aniaya” (Kis 9:5 BIS). Mengapa pengalaman dalam perjalanannya ke Damsyik ini demikian menimpa Paulus sehingga seluruh pandangan hidup- nya dijungkir-balikkan? Semata-mata karena Yesus menampakkan diri kepada Paulus seba- gai yang hidup kembali, karena itu berarti bahwa Ia dibenarkan Allah. Sebelum pengalaman ini Paulus beranggapan bahwa gejala serupa itu mustahuil terjadi, karena justru Taurat me- nyatakan: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” (Gal 3:13)! Bukan hanya itu, tetapi juga seluruh cara hidup Yesus (sebagai sahabat orang berdosa) menimbulkan heboh bagi setiap orang yang setia pada Taurat. Pada hal orang itulah yang Allah benarkan dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Dengandemikian, Paulus menginsafi bahwa ke- rajinannya dalam memelihara hukum Taurat-lah yang menutup matanya terhadap penyataan Allah. Hukum Taurat bertindak sebagai tabir yang menutupi wajah utusan Allah (2 Kor 3:14- 16). Selain itu, Paulus menjadi sadar akan kekhilafannya dalam hal menaniaya pengikut- pengikut Yesus. Tadinya ia yakin bahwa atas nama hukum Taurat mereka harus dianiaya karena mereka sedang memberitakan Mesias yang palsu. Lagi pula mereka tidak layak menerima utusan Allah karena kurang tekun dalam memelihara hukum Taurat. Umum mengetahui bahwa dalam perjalanan Yesus mereka sering melanggar Taurat. Tetapi kini Yesus menampakkan diri kepada Paulus serta mengatakan: “Akulah Yesus yang engkau aniaya”. Artinya, ‘dengan menindas para pengikut-Ku engkau sedang menganiaya Aku yang telah diutus dan dibenarkan Allah’. Jadi bukan hanya Yesus tetapi pengikut-pengikut-Nya juga dibenarkan. Sekarang kita mempunyai jawaban pada soal mengapa secara begitu mendadak Taurat dalam pemikiran Paulus digeser dan diganti dengan pribadi Yesus. Mesiasnya Allah dinyata- kan terlebih dahulu kepada kalangan yang tidak setia pada Taurat dan Ia pun disalibkan. Ma- ka Paulus berani menarik kesimpulan bahwa hukum Taurat tak dapat diandalkan lagi melain- kan telah diganti dengan Ia-yang-disalibkan. Wewenang yang dahulu melekat pada Taurat, kini dianmbilalih oleh Kristus. Ternyatalah, bagi Paulus kematian Kristus (dan pasti harus ditambahkan kebangkitan Kristus pula) merupakan garis batas antara dua zaman [aion] [ku- tipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 168f.].
- - - NR - - -
02 Juni 2008
Kis 10:1-48
= PENCURAHAN ROH DI KAISAREA =
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pertanyaan pertama yang perlu dimunculkan ialah mengapa Petrus yang diutus Tuhan ke
Kaisarea? Bukankah di sana sudah ada Filipus (8:5) yang sudah lebih duluan mengabarkan
Injil di sana? Mengapa justru Petrus yang harus jauh-jauh datang dari Yerusalem? Pemba-
caan dari perikop kita hari ini menyiratkan bahwa Allah ingin merontokkan “tembok pemisah
rasial” dalam hati Petrus.
2. Cukup menarik untuk memperbandingkan pandangan/sikap Petrus kepada Kornelius dengan
pandangan/sikap Tuhan sendiri kepada Kornelius.
PETRUS terhadap KORNELIUS ALLAH terhadap KORNELIUS
* Kornelius tinggal di Kaisarea [wilayah * Kornelius adalah seorang yang
“orang kafir”], markas tentara yang saleh (10:2).
penjajah Romawi (10:1)
* Perwira pasukan pendudukan Romawi * Takut akan Allah termasuk seisi
(10:1). rumah/keluarga-nya (10:2).
* Dari pasukan Italia --- semuanya orang * Penyumbang besar bagi orang-
Italia --- “orang-orang asing” (10:1). orang miskin (10:2).
* Jadinya bukan orang Yahudi (10:1). * Seorang yang tekun berdoa.
Doa dan sedekahnya berkenan
di hadirat Tuhan (10:2, 4).
* Karena itu dianggap najis, sama * Patuh dan hormat kepada ma-
seperti binatang-binatang bagi orang- laikat Tuhan (10:7-8).
orang Yahudi (10:11-16).
* “Haram” untuk dikunjungi (10:28). * Dinyatakan tidak haram oleh
Tuhan (10:15).
* Tak bersunat; haram untuk makan * Amat mendesak untuk Petrus
bersama (11:3). datangi (10:5. 19-20).
2.1. Untuk Petrus, dan sebagai seorang Yahudi sejati, apa yang diutarakan di atas seyogya-
nya membuat Kornelius “tahu diri” untuk tidak mengundang Petrus datang ke
rumahnya. Lebih tak pantas lagi bagi Kornelius untuk se-kepercayaan dengan orang-
orang Yahudi. Harap disadari bahwa pandangan Petrus di atas merupakan pandangan
rata-rata semua orang Yahudi pada jaman itu. Ketika menjadi Kristen adalah masih
sangat sukar bagi mereka untuk melepaskan pandangan di atas, termasuk Petrus sendiri
Jadinya betapa sukarnya pula bagi mereka untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang
bukan Yahudi (Inggris: “Gentiles”), seperti a.l. Kornelius.
2.2. Betapa pandangan/sikap Tuhan bertolak belakang dengan pandangan/sikap Petrus tadi.
Demi dan karena PutraNya, Allah mulai membuka pintu bagi orang-orang bukan
Yahudi. Tuhan menghardik Petrus, kataNya: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah,
tidak boleh engkau nyatakan haram” (10:15; bnd. Mrk.7: 19). Karena Kristus, perwira
itu, yang walaupun bukan orang Yahudi, dapat ditahirkan dari dosa dan dengan itu ia
menjadi layak di hadapan Allah. Dengan itu pula “tembok pemisah rasial” di hati
Petrus dirontokkan, ketika Roh Kudus dicurahkan juga kepada Kornelius dan orang-
orang bukan Yahudi lainnya yang berkumpul di rumahnya saat itu (10:44-45).
Topik untuk Diskusi (1):
Pandangan/sikap Petrus di atas merupakan contoh dari pandangan/sikap eksklusif. Di
mana letak perbedaan pandangan/sikap Petrus itu dengan pandangan/sikap saudara-
saudara sebangsa kita yang melarang golongan Islam Ahmadiyah dan/atau menutup
gedung-gedung gereja, bahkan disertai dengan tindakan kekerasan atau dengan
ancaman?
3. Kisah Para Rasul melaporkan empat peristiwa pencurahan Roh Kudus, masing- masing
dengan ke-khas-annya. Dalam Kis 2:1-4 Roh dicurahkan kepada (i) orang-orang Yahudi.
Dalam Kis 8:15-17 kepada (ii) orang-orang di tanah Samaria. Dalam Kis 10:44 dst. kepada
(iii) orang-orang bukan Yahudi (Inggris: “Gentiles”). Dalam Kis 19:6 kepada (iv) para
pengikut Yohanes [Pembaptis].
Catatan: Bagi kita orang-orang Kristen di Indonesia, yang merupakan orang-orang bukan
Yahudi, peristiwa pencurahan Roh di Kaisarea (Kis 10:44 dst.) pada dasarnya tak
kalah pentingnya dengan peristiwa Pentakosta di Yerusalem (Kis 2:1-4). Mengapa
demikian? Karena di Kaisarea-lah untuk pertama kalinya Roh Kudus dicurahkan
atas orang-orang bukan Yahudi (10:45). Pentingnya peristiwa pencurahan Roh di
Kaisarea juga didukung oleh kenyataan bahwa sebanyak dua kali peristiwa ini
dituturkan dalam Kisah Para Rasul, yakni dalam (i) perikop bacaan kita, dan (ii)
dalam 11:15 dst. Dan Kornelius? “[He] is the pagan saint par excellence of the
New Testament,” demikian pernyataan Dr. Clark H. Pinnock [Sumber dan kutipan
bahasa Inggris dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nash-
ville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), p. 1090; huruf tebal oleh penulis].
4. Pertanyaan Petrus dalam ayat 47 hendaknya lebih banyak dipahami sebagai tantangan Petrus
yang ditujukan khusus kepada orang-orang Yahudi Kristen yang menyertainya dari Yope
(ayat 23 dan 45). Petrus mau menandaskan kepada mereka bahwa ternyata orang-orang tidak
bersunat pun dihinggapi Roh Kudus, sama seperti yang dialami oleh orang-orang Yahudi
yang bersunat pada peristiwa Pentakosta di Yerusalem sebelumnya. Tindakan “membaptis . . .
dengan air” (ayat 47) merupakan akta simbolis yang menandai pelepasan dari kuasa kegelap-
an dan dipindahkan/dialihkan ke dalam Kerajaan AnakNya (Kol 1:13).
Catatan: Pemahaman di atas penting dihayati, justru karena saudara-saudara se-iman kita
dari gereja-gereja aliran “Pantekosta” dan/atau golongan Karismatik merujuk, antara
lain, pada peristiwa Kaisarea tsb. sebagai landasan untuk “keharusan” seseorang
berusaha memperoleh baptisan Roh.
5. Ilustrasi. Gary Dougherty, seorang Penginjil yang melayani di RBC Ministries di Grand
Rapids, Michigan, sedang dalam perjalanan ke rumah dari gereja pada suatu sore, saat ia
melihat seorang pria muda datang dari arah yang berlawanan dengannya. Suatu dorongan
yang kuat muncul di dalam diri Gary untuk berbicara kepada pemuda ini mengenai menjadi
seorang Kristen. Awalnya dia ragu-ragu, namun kemudian dia berkata kepada orang yang
benar-benar asing baginya itu, “Maafkan saya, tetapi saya percaya Allah menginginkan saya
untuk memberi tahu Anda tentang bagaimana menjadi seorang Kristen.”
“Saya baru saja mengajukan pertanyaan itu kepada ibu pacar saya,” kata pemuda itu, “tetapi
dia tidak tahu.”
“Maksudnya, Anda mau menjadi seorang Kristen?” tanya Gary.
“Ya, saya mau!” jawabnya.
Masih dalam keraguan, Gary bertanya lagi kepadanya dan kemudian menceritakan rencana
keselamatan dengannya. Malam itu, seorang pemuda menerima Yesus sebagai Juru Selamat-
nya (dikutip dari Santapan Rohani, Minggu, 13 Nopember 2005)
Topik untuk Diskusi (2):
Petrus mula-mula berprasangka dan ragu-ragu. Gary dalam ilustrasi di atas kurang-lebih
sama. Tetapi kedua-duanya dengar-dengaran kepada Roh Kudus. Bagaimana dengan kita?
Maukah kita mendengar dan menaatiNya bila Roh berkata: “. . . jangan bimbang, sebab Aku
yang menyuruh . . . (10:20).
- - - NR - - -
`
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pertanyaan pertama yang perlu dimunculkan ialah mengapa Petrus yang diutus Tuhan ke
Kaisarea? Bukankah di sana sudah ada Filipus (8:5) yang sudah lebih duluan mengabarkan
Injil di sana? Mengapa justru Petrus yang harus jauh-jauh datang dari Yerusalem? Pemba-
caan dari perikop kita hari ini menyiratkan bahwa Allah ingin merontokkan “tembok pemisah
rasial” dalam hati Petrus.
2. Cukup menarik untuk memperbandingkan pandangan/sikap Petrus kepada Kornelius dengan
pandangan/sikap Tuhan sendiri kepada Kornelius.
PETRUS terhadap KORNELIUS ALLAH terhadap KORNELIUS
* Kornelius tinggal di Kaisarea [wilayah * Kornelius adalah seorang yang
“orang kafir”], markas tentara yang saleh (10:2).
penjajah Romawi (10:1)
* Perwira pasukan pendudukan Romawi * Takut akan Allah termasuk seisi
(10:1). rumah/keluarga-nya (10:2).
* Dari pasukan Italia --- semuanya orang * Penyumbang besar bagi orang-
Italia --- “orang-orang asing” (10:1). orang miskin (10:2).
* Jadinya bukan orang Yahudi (10:1). * Seorang yang tekun berdoa.
Doa dan sedekahnya berkenan
di hadirat Tuhan (10:2, 4).
* Karena itu dianggap najis, sama * Patuh dan hormat kepada ma-
seperti binatang-binatang bagi orang- laikat Tuhan (10:7-8).
orang Yahudi (10:11-16).
* “Haram” untuk dikunjungi (10:28). * Dinyatakan tidak haram oleh
Tuhan (10:15).
* Tak bersunat; haram untuk makan * Amat mendesak untuk Petrus
bersama (11:3). datangi (10:5. 19-20).
2.1. Untuk Petrus, dan sebagai seorang Yahudi sejati, apa yang diutarakan di atas seyogya-
nya membuat Kornelius “tahu diri” untuk tidak mengundang Petrus datang ke
rumahnya. Lebih tak pantas lagi bagi Kornelius untuk se-kepercayaan dengan orang-
orang Yahudi. Harap disadari bahwa pandangan Petrus di atas merupakan pandangan
rata-rata semua orang Yahudi pada jaman itu. Ketika menjadi Kristen adalah masih
sangat sukar bagi mereka untuk melepaskan pandangan di atas, termasuk Petrus sendiri
Jadinya betapa sukarnya pula bagi mereka untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang
bukan Yahudi (Inggris: “Gentiles”), seperti a.l. Kornelius.
2.2. Betapa pandangan/sikap Tuhan bertolak belakang dengan pandangan/sikap Petrus tadi.
Demi dan karena PutraNya, Allah mulai membuka pintu bagi orang-orang bukan
Yahudi. Tuhan menghardik Petrus, kataNya: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah,
tidak boleh engkau nyatakan haram” (10:15; bnd. Mrk.7: 19). Karena Kristus, perwira
itu, yang walaupun bukan orang Yahudi, dapat ditahirkan dari dosa dan dengan itu ia
menjadi layak di hadapan Allah. Dengan itu pula “tembok pemisah rasial” di hati
Petrus dirontokkan, ketika Roh Kudus dicurahkan juga kepada Kornelius dan orang-
orang bukan Yahudi lainnya yang berkumpul di rumahnya saat itu (10:44-45).
Topik untuk Diskusi (1):
Pandangan/sikap Petrus di atas merupakan contoh dari pandangan/sikap eksklusif. Di
mana letak perbedaan pandangan/sikap Petrus itu dengan pandangan/sikap saudara-
saudara sebangsa kita yang melarang golongan Islam Ahmadiyah dan/atau menutup
gedung-gedung gereja, bahkan disertai dengan tindakan kekerasan atau dengan
ancaman?
3. Kisah Para Rasul melaporkan empat peristiwa pencurahan Roh Kudus, masing- masing
dengan ke-khas-annya. Dalam Kis 2:1-4 Roh dicurahkan kepada (i) orang-orang Yahudi.
Dalam Kis 8:15-17 kepada (ii) orang-orang di tanah Samaria. Dalam Kis 10:44 dst. kepada
(iii) orang-orang bukan Yahudi (Inggris: “Gentiles”). Dalam Kis 19:6 kepada (iv) para
pengikut Yohanes [Pembaptis].
Catatan: Bagi kita orang-orang Kristen di Indonesia, yang merupakan orang-orang bukan
Yahudi, peristiwa pencurahan Roh di Kaisarea (Kis 10:44 dst.) pada dasarnya tak
kalah pentingnya dengan peristiwa Pentakosta di Yerusalem (Kis 2:1-4). Mengapa
demikian? Karena di Kaisarea-lah untuk pertama kalinya Roh Kudus dicurahkan
atas orang-orang bukan Yahudi (10:45). Pentingnya peristiwa pencurahan Roh di
Kaisarea juga didukung oleh kenyataan bahwa sebanyak dua kali peristiwa ini
dituturkan dalam Kisah Para Rasul, yakni dalam (i) perikop bacaan kita, dan (ii)
dalam 11:15 dst. Dan Kornelius? “[He] is the pagan saint par excellence of the
New Testament,” demikian pernyataan Dr. Clark H. Pinnock [Sumber dan kutipan
bahasa Inggris dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nash-
ville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), p. 1090; huruf tebal oleh penulis].
4. Pertanyaan Petrus dalam ayat 47 hendaknya lebih banyak dipahami sebagai tantangan Petrus
yang ditujukan khusus kepada orang-orang Yahudi Kristen yang menyertainya dari Yope
(ayat 23 dan 45). Petrus mau menandaskan kepada mereka bahwa ternyata orang-orang tidak
bersunat pun dihinggapi Roh Kudus, sama seperti yang dialami oleh orang-orang Yahudi
yang bersunat pada peristiwa Pentakosta di Yerusalem sebelumnya. Tindakan “membaptis . . .
dengan air” (ayat 47) merupakan akta simbolis yang menandai pelepasan dari kuasa kegelap-
an dan dipindahkan/dialihkan ke dalam Kerajaan AnakNya (Kol 1:13).
Catatan: Pemahaman di atas penting dihayati, justru karena saudara-saudara se-iman kita
dari gereja-gereja aliran “Pantekosta” dan/atau golongan Karismatik merujuk, antara
lain, pada peristiwa Kaisarea tsb. sebagai landasan untuk “keharusan” seseorang
berusaha memperoleh baptisan Roh.
5. Ilustrasi. Gary Dougherty, seorang Penginjil yang melayani di RBC Ministries di Grand
Rapids, Michigan, sedang dalam perjalanan ke rumah dari gereja pada suatu sore, saat ia
melihat seorang pria muda datang dari arah yang berlawanan dengannya. Suatu dorongan
yang kuat muncul di dalam diri Gary untuk berbicara kepada pemuda ini mengenai menjadi
seorang Kristen. Awalnya dia ragu-ragu, namun kemudian dia berkata kepada orang yang
benar-benar asing baginya itu, “Maafkan saya, tetapi saya percaya Allah menginginkan saya
untuk memberi tahu Anda tentang bagaimana menjadi seorang Kristen.”
“Saya baru saja mengajukan pertanyaan itu kepada ibu pacar saya,” kata pemuda itu, “tetapi
dia tidak tahu.”
“Maksudnya, Anda mau menjadi seorang Kristen?” tanya Gary.
“Ya, saya mau!” jawabnya.
Masih dalam keraguan, Gary bertanya lagi kepadanya dan kemudian menceritakan rencana
keselamatan dengannya. Malam itu, seorang pemuda menerima Yesus sebagai Juru Selamat-
nya (dikutip dari Santapan Rohani, Minggu, 13 Nopember 2005)
Topik untuk Diskusi (2):
Petrus mula-mula berprasangka dan ragu-ragu. Gary dalam ilustrasi di atas kurang-lebih
sama. Tetapi kedua-duanya dengar-dengaran kepada Roh Kudus. Bagaimana dengan kita?
Maukah kita mendengar dan menaatiNya bila Roh berkata: “. . . jangan bimbang, sebab Aku
yang menyuruh . . . (10:20).
- - - NR - - -
`
Langganan:
Postingan (Atom)