(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Ayub sungguh-sungguh kini telah terpuruk, merana dan menderita. Hewan ternaknya dirampok, sebagian lagi mati dilalap api. Anak-anaknya semua mati tertimpa rumah yang rubuh ditiup oleh angin ribut. Tidak lama sesudah itu Ayub sendiri diserang sejenis penyakit kulit, yang setiap saat menimbulkan siksaan fisik baginya. Tiga orang teman akrabnya datang untuk menghibur Ayub. Terjadilah dialog antara ketiga temannya tadi dengan Ayub. Bagaikan dalam pertandingan tinju, selama tiga ronde yang panjang (pasal 3-27), Ayub dan teman-temannya saling menyerang. Pada dasarnya ketiga temannya itu senada dalam keyakinan bahwa Allah memberi pahala kepada mereka yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat. Untuk mereka, Ayub menderita karena dosa-dosanya. Dan itu berarti, Allah sedang menghukum Ayub! Elifas telah selesai berbicara dalam memulai ronde kedua.(pasal 15). Menurut Elifas, orang fasik akan binasa. Ayub menanggapi (pasal 16-17) pandangan Elifas tadi. Jadinya bacaan kita hari ini (17:11-16) terdapat dalam bagian ini, yang merupakan kata-kata Ayub kepada Elifas
2. Sinopsis (16:1-5) :
Ayub menyebut para sahabatnya ‘penghibur sialan” (ayat 2). (16:6-17) : Ayub mengeluh terhadap Allah. Ayub merasa bahwa Allah telah membuat dia lelah/kecapekan (ayat 7). Kesalehan Ayub kembali menjadi paradoks --- Ayub bisa mengerti kalau Allah bertindak demikian terhadap orang fasik --- tetapi bukan terhadap dia! (ayat 11-17). (16:18-17:2): Ayub memohon dengan berharap kepada ‘saksi’-nya di sorga. (17:3-16) : Ayub menanti-nantikan kematian. Mata Ayub makin kabur karena kepe- dihan hatinya (17:7), dan para sahabatnya tidak berguna sebagai penghibur (17:10). Selanjutnya Ayub merasa tiada lagi harapan baginya (17:15). [Sumber dan kutipan dari David Atkinson, Ayub, terj. (Jakarta:YKBK/OMF, n.d.), hlm. 115 dst.].
Excursus: Sebagai manusia biasa di dunia ini, Ayub dipanggil untuk menjalani ujian cobaan dengan akibat-akibat kosmis. Ia tidak melihat secercah cahaya untuk memimpinnya, tidak ada petunjuk sedikit pun bahwa dunia yang tidak nampak itu [yakni sorga] memperhatikan- nya atau bahkan ada. Bagaikan binatang percobaan di laboratorium, ia dicomot untuk membereskan salah satu masalah paling mendesak dari umat manusia dan untuk menentukan sebagian kecil dari sejarah alam semesta. ………………………………………………………………………………………
Teladan yang diberikan Ayub menunjukkan dengan jelas bagaimana kehidupan dunia ini membawa pengaruh terhadap alam semesta. Pada waktu saya baru memulai penyeli- dikan, saya cenderung menghindari adegan yang “memalukan” di dalam pasal 1. Namun saya sekarang percaya bahwa entah itu berupa drama atau sejarah, Pertaruhan [antara Allah dan iblis] itu telah menawarkan berita pengharapan yang besar bagi kita semua. Hal ini mungkin merupakan pelajaran terpenting dan abadi dari Kitab Ayub. Pada akhirnya, Pertaruhan itu secara meyakinkan telah menentukan bahwa iman seorang percaya sungguh sangat berarti. Kitab Ayub menegaskan bahwa tanggapan kita terhadap ujian benar-benar berarti. Sejarah manusia dan sejarah iman saya pribadi [adalah] termasuk di dalam drama agung tentang sejarah alam semesta ini. Pascal berkata bahwa Allah telah memberikan “martabat yang mendatangkan akibat” kepada kita. Sama seperti Elihu, kita dapat saja meragukan apakah satu orang mampu membawa akibat berarti. Namun Alkitab sarat dengan petunjuk bahwa sesuatu seperti Pertaruhan itu juga dijalankan terhadap sejumlah orang percaya lainnya. Kita merupakan andalan Allah, suatu karya yang patut dipamerkan kepada dunia yang tidak nampak itu. Rasul Paulus meminjam adegan yang diambil dari pawai gladiator di Koloseum lalu melukiskan dirinya seolah-olah sedang ditonton orang banyak. “Sebab kami telah men- jadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia.” Dan didalam surat yang sama ia menimpali dengan bisikan bernada heran, “Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?” Kita menghuni sebuah planet yang hanya merupakan setitik kecil di pinggiran galaksi yang juga sekedar salah satu dari jutaan galaksi lainnya di alam semesta yang teramati. Namun Perjanjian Baru menegaskan bahwa apa yang terjadi atas kita di sini akan turut menentukan masa depan alam semesta itu sendiri. Rasul Paulus mengatakan dengan tegas, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.” Ciptaan alamiah yang sedang “mengerang” dalam kebusukan hanya dapat dibebaskan melalui perubahan dalam diri manusia [kutipan dari Philip Yancey, Kepercayaan terhadap Allah, terj. (Surabaya: Yakin, t.t.), hlm. 139f.].
3. Pertanyaan-Pertanyaan
3.1. Bagaimana “mereka” (yakni para sahabat Ayub) telah memunculkan terang (ayat 12)? Kemungkinan pertama, Ayub mengejek (“sarcasm’) para sahabatnya. Kemungkinan lain ialah Ayub secara tersamar mau menyatakan betapa tidak bermanfaatnya para sahabatnya itu, termasuk saran-saran mereka, betapapun mereka berusaha menghi- burnya [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003, p. 725].
3.2. Pertanyaan untuk diskusi: Bagaimana berharap dalam keadaan yang kelihatannya tidak ada harapan (ayat 15)? What hope is there for the discouraged or depressed? (17:15) That we are not alone. God is present with us even in the depths of our despair [Mzm 139]. We also need to be reminded that stretches of depression or discouragement are not forever but only for a season, though long the season may seem. Our ultimate hope, however, lies in Christ, who promises one day to wipe away every tear (Rev. 21:4) [kutipan dari Quest Study Bible, loc. cit.]. Hidup artinya mengharapkan. Itu benar. Kita berharap, sepanjang kita hidup, dan kita hidup dan bangun selama kita masih dapat berharap. Bila kita berharap maka kita membuka diri bagi masa depan. Kesadaran kita menjadi waspada. Hati kita menjadi luas dan mau menerima hal-hal yang akan datang. . . .
Tetapi, pengharapan juga akan membuat kita mudah tersinggung secara mendalam terhadap sakitnya kekecewaan. Pengharapan membuat kehidupan menjadi hidup dan indah. Tetapi, pengharapan juga membuat kematian menjadi mati dan mengubah penderitaan yang bisu menjadi kesakitan yang sadar. Jadi, hal itu mengundang risiko bagi kita jika kita hidup berdasarkan pengharapan. Oleh karena itu, kita sesungguhnya berpengharapan dan membuka diri melalui pengharapan sejauh kita dapat percaya. Tanpa keyakinan akan nasib yang penuh rahmat, kita tidak akan membukakan diri terhadap apa yang akan datang. Kita akan menutup diri kita dengan kekhawatiran dan kita memper- tahankan diri terus-menerus terhadap masa depan yang tidak berkesinambungan itu. Tanpa keya- kinan, kita sama sekali tidak berani dan juga tidak dapat menang. Berharap, membuka diri terhadap pengalaman, dan suatu keyakinan yang mantap, membuat hidup menjadi kehidupan yang berharaga karena keyakinan membuat kehidupan berharga. . . .
Apabila hidup berarti mengharapkan, maka kebalikannya adalah juga benar: Barangsiapa yang kehilangan pengharapan dari kehidupannya, dia mati [kutipan dari J. Moltmann, Khotbah Masa Kini (5), terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 149f.]. - - - NR - - -
21 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar