R U T 1 : 11 – 18 P I L I H A N
Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan . . . bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku (ayat 16) Seorang teman pernah berkata kepada saya, “Joe, aku baru sadar bahwa hidupku tidak tercipta dari impian yang kuimpikan, tetapi dari pilihan yang kubuat.” Percayalah: Anda memiliki banyak pilihan dalam hidup. Dan, biasanya semua itu akan menyusut menjadi pilihan antara “Apa yang kuinginkan?” dan “Apakah yang terbaik bagi orang lain?” Setelah [para] suami mereka meninggal, Rut dan Orpa menghadapi pilihan yang sulit (ay. 11). Ibu mertua mereka, Naomi, menyuruh mereka pulang. Ia tidak ingin mereka merasa memiliki kewajiban padanya, walaupun kenyataannya ia jauh lebih berduka akibat kehilangan yang dialaminya. Ia telah kehilangan suaminya sendiri dan juga kedua putranya. Orpa dan Rut dapat memilih untuk pulang ke tempat asalnya dan memulai hidup baru, atau menemani Naomi untuk membantunya saat ia sangat memerlukan bantuan. Mereka berdua tahu betul bahwa pilihan yang kedua membuat mereka harus tinggal di negeri asing sebagai janda seumur hidup, karena hanya sedikit laki-laki Yahudi yang mau menikah dengan wanita asing. Namun, Rut lebih memilih melayani kebutuhan Naomi daripada melayani dirinya sendiri. Adapun Orpa memilih meninggalkan Naomi untuk menjalani hidup yang menurutnya lebih baik. Dalam hidupnya kemudian, Rut memiliki peran yang signifikan dalam sejarah bansa Yahudi dan menjadi leluhur Yesus (Mat 1:5). Ambillah pilihan yang terbaik. Pilihlah untuk melayani sesama. ---JS Saat kita bertekun melayani Dan memenuhi kebutuhan sesama, Kristuslah yang kita teladani Dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan ---Fitzhugh Pokok Pikiran: LAYANILAH ALLAH DENGAN MELAYANI SESAMA [Kutipan dari Renungan Harian, Selasa, 20 Februari 2007 , terj. (Yogyakarta: Yayasan Gloria/RBC Ministries]
----------------
Y E R E M I A 3 3 : 1 – 9 (Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar 1.1. Susunan dan Konteks Fasal 26-35 suatu kumpulan ceritera-ceritera mengenai kehidupan Yeremia, yang berasal dari Barukh. [ . . . ] Fasal 33: Janji pemulihan kepada Yerusalem dan Yehuda (ayat 1-13). Perjan- jian dengan keturunan Daud dan keturunan Lewi (ayat 14-26) [kutipan dari J. Blommen- daal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 119 dan 121]. 1.2. Sinopsis Dengan latar belakang kota yang terkepung [ayat 10 menyiratkan jatuhnya Ye- rusalem], Yeremia menyampaikan janji-janji: (a) Yerusalem akan dipulihkan dan dibangun kembali; (b) pengampunan dosa --- yakni dosa yang telah menyebabkan malapetaka me- nimpa mereka; (c) Yerusalem akan dimuliakan dan dengan itu menimbulkan kekaguman dari se- luruh dunia terhadap karya-karya agung dan besar yang telah dilakukan Tu- han. “This writer breathes the spirit of Apocalyptic: the revelation is given in answer to prayer and it concerns mysteries” [ay. 3] . [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Peake’s Commentary on the Bible (London: Thomas Nelson, 1972), p. 557]. 2. Eksposisi 2.1. Ayat 2: Apakah yang tersirat dibalik penggambaran Tuhan dalam ayat ini? Apa yang akan dinyatakan dan/atau diungkapkan pada bagian berikutnya adalah hal-hal yang serius dan berbobot. Sebagai jaminan untuk terpenuh- inya semua itu, maka dalam ayat 2 ini Allah menyertakan sapaan-sapaan atau gelar-gelar kebesaranNya yang menyatakan siapakah Dia. Itulah juga yang memberi jaminan bahwa janji-janjiNya itu pasti akan dipenuhi. “What is about to be declared will come about, for the Creator and Sustainer of all things has signed his name to it” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1138]. 2.2. Ayat 6: Ungkapan “kesembuhan” (NIV: “healing”; Ibr.: rapa’) bersangkut paut dengan penyembuhan spiritual dari orang-orang Israel, sehubungan dengan dosa-dosa mereka. Namun juga jelas bahwa Allah diyakini sebagai sumber kesembuhan fisik. Bnd. Kel 15: 26, di mana kedua pemahaman tadi digabungkan [Sumber: New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, `1991), p. 329]. 2.3. Ayat 7: Di sini Allah digambarkan sebagai “pembangun” (Inggris: builder) dan umat Israel menjadi semacam proyek yang akan dibangun. Penggambar- an ini digunakan oleh para nabi untuk menjelaskan hukuman Tuhan yang menimbulkan kehancuran, namun sekaligus menawarkan pengharapan bagi mereka yang hidup di pembuangan. “Disaster came because of the evil ways of the people (Jer 18:9-10). Tetapi dalam 33:7-9 Allah me- nyampaikan janjinya untuk memulihkan dan membangun [kembali] Yerusalem. “Re-established, Israel would bring glory to God, her builder” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid., p. 144]. 3. Excursus 3.1. JANJI Dalam PL bh Ibrani tidak ada istilah khusus bagi konsep atau tindakan berjanji. Orang Ibrani hanya menyatakan, bahwa seseorang ‘berkata’ atau ‘berbicara’ (‘amar, davar) beberapa kata yang menunjuk ke masa depan. Dalam PB istilah teknis, epangelia, muncul terutama dalam Kis, Gal, Rm dan Ibr. Janji ialah suatu kata yg keluar memasuki waktu yg belum dipenuhi. Kata itu men- dahului orang yang mengucapkannya dan yg menerimanya, untuk menandai sebuah penentuan antara mereka di masa depan. Janji dapat mewujudkan jaminan terhadap perbuatan yg terus-menerus atau tindakan pada masa depan demi kepentingan sese- orang, ‘Aku akan bersamamu’; ‘Mereka yg berdukacita akan dihibur’; ‘Jika kita mengakui dosa kita, Allah akan mengampuni dosa kita’. Janji dapat berarti persetujuan yg sungguh-sungguh mengenai hubungan dua pihak (walaupun tidak setaraf) yg abadi: seperti perjanjian Allah dengan Israel. Janji juga mung- kin pemberitahuan tentang suatu kejadian di masa depan, ‘Jika kamu telah membawa umat itu keluar dari Mesir, kamu harus melayani Allah di gunung ini’. Karena itu penelitian tentang janji-janji Alkitab jauh lebih banyak dari melulu pemunculan kata itu dalam Alkitab. Suatu sumpah sering menyertai kata yg berisi janji (Kel 6:8; Ul 9:5; Ibr 6:13 dab). Apa yg telah difirmankan Allah dengan mulut-Nya, dapat dan akan dilakukan-Nya dengan tangan-Nya. Itulah ciri khas Allah menurut Alkitab, sebab firman-Nya tidak akan kembali kosong. Berbeda dari manusia dan ilah-ilah orang kafir, Allah mengenal masa depan dan memerintahnya . . . Melalui kitab-kitab yg berisi sejarah, suatu pola dari janji Ilahi dan pemenuhannya dalam sejarah, telah dilacak sebagai mengungkapkan kebenaran ini . . . [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, t.t.], hlm. 479]. 3.2. Apakah Janji-Janji Allah Akan Benar-Benar Menjadi Kenyataan? Waktu kita menyelidiki janji-janji Tuhan, kita melihat bahwa dalam beberapa hal janji- janji itu “terlalu baik untuk menjadi kenyataan” [Inggris: too good to be true]. Dapatkah kita menerima semua janji Tuhan itu begitu saja dan percaya bahwa Allah akan memenuhi- nya? Rasul Petrus menulis, “Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia” (2 Petrus 1:3,4). Petrus menulis kata-kata itu sehubungan dengan latar belakangnya yang merupakan trauma, ketegangan dan kegagalan dalam hibungannya dengan Yesus Kristus. Kata-kata ini merupakan kesaksiannya. Maksud kata-kata itu pada hakikatnya adalah, “Aku menge- tahui janji-janji Tuhan itu benar. Aku dapat memberikan kesaksian tentang hal itu berda- sarkan pengalamanku sendiri.” Petrus mendengar banyak janji dari mulut Guru sendiri. Yesus berjanji untuk menja- dikannya seorang “penjala manusia”. Yesus berjanji bahwa Petrus, si “Batu Karang”, adalah orang yang di atasnya Kristus akan membangun jemaat-Nya. Bertahun-tahun berlalu sebelum janji itu terbukti benar, dan kata-kata Petrus dalam suratnya kepada orang-orang percaya itu merupakan bukti yang indah tentang kebenaran janji-janji tersebut [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm.304]. - - - NR - -
------------
R A T A P A N 3 : 19 - 33 PENGHARAPAN DI TENGAH KESUKARAN
Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN (3:26) Kesedihan dan dukacita dapat membuat kehidupan menjadi seimbang. Kedua hal ini menimbulkan dampak dengan tingkat yang berbeda dalam kehidupan kita. Kadang-kadang penderitaan dialami seluruh penduduk dalam satu negara. Pada tahun 1994 kita dikejutkan oleh peristiwa yang menimpa Rwanda dan Bosnia. Dan kita semua terenyuh dengan kejadian-kejadian dalam lingkup kecil: kecelakaan, sakit-penyakit, masalah keluarga, dan kesulitan keuangan. Betapa pun optimisnya kita, penderitaan pasti akan menghampiri kita. Namun ada sisi lain dari hal ini. Meskipun kehidupan yang kita jalani penuh dengan penderitaan, meskipun kita diperhadapkan pada tekanan-tekanan hidup dan keputusasaan, bukannya kebahagiaan atau sukacita, kita tidak akan dibiarkan sendiri dengan tanpa pengharapan. Hal ini terjadi karena kehidupan bukanlah sekedar sesuatu yang terjadi secara tidak disengaja. Kehidupan memiliki dimensi rohani yang ditopang oleh kasih, kemurahan, dan anugerah dari Allah. Perhatikanlah yang terjadi pada Ratapan 3, misalnya. Renungkanlah dalam-dalam; ketika penduduk kota Yerusalem mengalami kesengsaraan, mereka tetap memiliki pengharapan. Di tengah-tengah pembunuhan dan keputusasaan karena kota tersebut menghadapi serangan, penulis menambahkan pengharapan terbaik bagi penduduk kota untuk tetap bertahan, yakni: kasih Allah yang besar. Untuk menghadapi penderitaan dan kesedihan, penulis mengungkapkan tentang belas-kasihan Allah, kasih setiaNya, kebaikanNya dan kesematanNya (ayat 22-26). Sungguh menakjubkan! Tidak menjadi masalah seberat apa pun penderitaan yang mingkin kita alami, kita dapat meyakini bahwa Allah tidak akan membiarkan kita tanpa pengharapan. --- JDB Pokok Pikiran: Setiap orang yang menaruh pengharapannya pada Allah selalu Memiliki pengharapan. [Kutipan dari Renungan Harian, Sabtu 12 Agustus 1995, terj. (Yogyakarta: Yayasan Gloria/RBC Ministries)].
--------
R A T A P A N 3 : 37 – 43 (Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar 1.1. Kronologi Tahun 930 sM (sebelum Masehi) : Kerajaan Israel pecah menjadi dua. Di wilayah utara tetap dipertahankan nama Kerajaan Israel. Di selatan dipilih nama Kerajaan Yehuda. kr. (kira-kira) antara tahun 875-797 sM: Masa pelayanan nabi Elia dan Elisa. kr. antara tahun 760-715 sM : Masa pelayanan nabi Amos dan Hosea di Israel (Utara). kr. antara tahun 742-681 sM : Masa pelayanan nabi Mikha dan Yesaya di Yehuda. Tahun 722 sM : Israel Utara ditaklukkan. kr. antara tahun 626-585 sM : Masa pelayanan nabi Yeremia di Yehuda. Tahun 586 sM : Yerusalem direbut. Kota dan Bait Suci dimusnahkan. kr. antara tahun 586-580 sM : Kitab Ratapan ditulis. 1.2. Informasi Who wrote this book? Probably Jeremiah. When and why was it written? Jeremiah had predicted and witnessed the devastation of his homeland. Moved deeply, he wrote this poem to express his nation’s grief. He likely wrote it within a decade of Jerusalem’s fall to Babylon in 586 B.C. [Sumber dan kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1174]. 1.3. Latar Belakang Kitab Ratapan . . . sebenarnya tidak lain kecuali sekumpulan lima lagu ratapan . . . Yang khu- susnya ditangisi ialah pusat umat Allah, kota Yerusalem, Putri Sion, dengan Bait Allah sebagai intinya. Kematian [suatu] bangsa [Israel, umat Allah] yang diratapi terjadi waktu kota Yerusdalem dire- but, dirampoki dan dimusnahkan tentara Babel pada tahun 597 dan 586 seb.Mas.., waktu Bait Allah turut dibakar dan dihancurkan. Penduduk kota diangkut ke pembuangan. Peristiwa serta hal- ihwalnya itulah yang mencetuskan kelima ratapan yang sekarang terkumpul dalam kitab Ratapan. Masing-masing bab kitab itu memuat satu sajak. Lagu pertama, kedua dan keempat seluruhnya ratapan bersama atas kematian umat. Lagu ketiga terlebih keluhan hati seorang yang secara pri- badi turut menderita waktu bangsanya musnah. Sajak kelima berupa sebuah doa yang dipanjatkan umat waktu mengalami nasib buruk yang menyusul kemusnahan Yerusalem sambil seluruh negeri dijajah dan dirampoki musuh [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 265f.].
2. Eksposisi 2.1. Ayat 38-39: (A) Apakah kemalangan dan/atau penderitaan adalah selalu merupakan akibat dari dosa? Tidak selalu. Informasi: Not all suffering results from “individual” sin. Some suffering results from the “corpor- ate” sin of Adam and Eve that affects everyone. Each person makes specific choices that have consequences and is therefore accountable. Yet, we are also affected be- cause we stand under judgment of human sinfulness in general [kutipan dari Quest Study Bible, 1182]. Dosa itu agresif dan posesif. Paulus menggunakan analogi seorang narapidana untuk menggambarkan kuasa dosa: “. . . jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang mela- wan hukum akal budiku dan membuat aku mejadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepas- kan aku dari tubuh maut ini?” (Rm 7:21-24) [kutipan dari Tom Allen, 10 Hambatan ter- hadap Pertumbuhan Iman (Bandung: YKH, 1966), hlm. 91f.]. (B) Mengapa Allah membiarkan terjadinya malapetaka? Semua penderitaan di dunia ini berhulu pada sebuah peristiwa tragis, yakni ketidak-taatan Adam dan Hawa (Kej 3:6-7). Jadinya dosa dan semua akibatnya --- penderitaan dan kejahatan --- menjadi unsur yang tak terpisahkan dari dunia ini. Tapi tangan rahmat Allah tak terikat dengan akibat tadi. Informasi: Dengan tidak turun tangan serta membiarkan segalanya terjadi sewajarnya, Allah sedang mengajarkan pelajaran yang sangat berguna. Kebenaran ini juga sangat dekat kaitannya dengan hubungan orang tua-anak, yang Allah kehendaki buat kita. Sama seperti kita mengizinkan perkara tertentu terjadi atas anak-anak kita tanpa turun tangan, demikian juga Allah memperlakukan kita. Jikalau orang tua terlalu banyak membangun tembok perlindungan di sekeliling anak-anak mereka, maka anak-anak itu takkan pernah dapat mandiri. Seorang anak lelaki atau perempuan, misalnya, akan menjadi tidak bertanggung jawab dalam hal keuangan jika terus-menerus dibantu oleh orang tuanya. Kadang-kadang orang tua harus berpangku tangan dan melihat saja anak-anak mereka menggumuli soal keuangan mereka dan berusaha mengatasi kesulitan mereka agar membantu anak-anak mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 692]. A single family of Hebrew words focuses the OT concept of evil. Ra’a’ is the verb, which means “to be evil, or bad,” or more often, “to act wickedly,” “to do harm.” The masculine noun ra’ means “evil,” or “bad.” [ . . . ] [Another] major meaning of ra’, “evil,” in the OT is expressed in the NIV and the NASB in words such as “harm,” “distress,” “disaster,” “troubles,” and a number of similar terms. The extent to which the OT explores this aspect of evil is illustrated by the following list of passages in which the adjective ra’ carried the meaning of trouble or harm: [among others] La [LAI: Rat] 1:21; 3:38 [LAI; “yang buruk”] [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 251f.].
3. Refleksi PENGHIBURAN ALLAH
Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku,
dan melepaskan aku dari segala kesukaranku (Mzm 34:5)
Sebagai seorang perawat , secara berkala aku memberikan imunisasi kepada bayi dan anak-anak. Dengan tatapan yang manis, anak-anak memandangku. Namun, begitu jarum suntik menancap di tubuh mereka, tatapan manis pun berubah menjadi tangisan. Mereka menatapku seolah bertanya, “Mengapa kamu menyakitiku?” Aku tidak mungkin menjelaskan kepada anak-anak kecil itu bahwa suntikan yang kuberikan berguna bagi pembentukan antibodi dalam tubuh untuk melawan penyakit. Para bayi belum mengerti bahwa rasa sakit sesaat itu membawa kebaikan seumur hidup. Satu-satunya yang mereka ketahui adalah bahwa mereka mempercayaiku (atau orang tua mereka) yang penuh kasih memegangi mereka, tetapi ternyata mereka kemudian disakiti. Kedengarannya biasa, bukan? Tangisan anak-anak itu mengingatkanku pada saat aku mengalami hal yang begitu menyakitkan. Kala itu, aku bertanya kepada Allah mengapa itu menimpaku? Kita mungkin belum memiliki hikmat atau kebijaksanaan untuk memahami manfaat kepedihan yang hari ini kita alami. Apa yang kita pahami adalah bahwa Allah mengasihi kita seperti orang tua mengasihi anak kesayangannya. Bahkan dalam kesakitan, kita harus tetap mengingat bahwa Ia selalu mengingin- kan yang terbaik bagi kita dan tidak akan pernah meninggalkan kita [kutipan dari Saat Teduh, Senin, 29 Mei 2006 (Jakarta: BPK-GM, the Upper Room]. - - - NR - - -
12 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar