02 November 2007

Sumber Daya Insani Kristiani & Perempuan

Sumber Daya Insani Kristiani & Perempuan
(Pembinaan Untuk Pemberdayaan Warga Jemaat)



1. Tingkat Keberadaan
Dalam salah satu bukunya, E.F. Schumacher (1977:3) memperbedakan empat tingkat
keberadaan:
1.1. Tingkat keberadaan benda-benda yang tidak hidup, misalnya batu. Keberadaannya
adalah sebagai bahan untuk dimanfaatkan atau secara empiris dapat diteliti.
1.2. Tingkat keberadaan yang didapati pada tanaman hidup. Berbeda dengan tingkat
keberadaan pertama di atas, maka pada tingkat ini terdapat kehidupan.
1.3. Tingkat keberadaan yang didapati pada binatang. Dengan adanya kesadaran pada
binatang, maka keberadaannya berbeda dari tingkat keberadaan tumbuh-
tumbuhan seperti yang telah disinggung di atas.
1.4. Tingkat keberadaan yang keempat didapati pada manusia. Perbedaan manusia
dari binatang ialah adanya kesadaran diri pada manusia. Manusia mampu
menyadari bahwa ia berpikir dan bisa mengatur pikirannya demi suatu tujuan.


Perbedaan tingkat keberadaan yang disebutkan di atas dapat dirangkumkan sbb.:
1.1. B a h a n.
1.2. Bahan + Kehidupan.
1.3. Bahan + Kehidupan + Kesadaran.
1.4. Bahan + Kehidupan + Kesadaran + Kesadaran Diri.
Seperti yang telah disinggung di atas, hanyalah bahan yang dapat diteliti secara empiris. Sedangkan kehidupan dan kesadaran dapat diselidiki oleh, antara lain, ilmu alam dan kimia. Namun berkata bahwa kehidupan adalah sekedar kombinasi atom-atom, itu sama dengan mengatakan bahwa “sajak cuma suatu kombinasi huruf-huruf” (Brownlee, 1993: 178)
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa pada setiap tingkat terdapat peningkatan dari ke-pasif-an ke ke-aktif-an, juga dari ke-harus-an ke ke-bebas-an. Salah satu sumber pemahaman tentang “sumber daya insani” berasal dari pemahaman tingkat keberadaan tadi. Tentu perlu disadari bahwa manusia pun tidaklah sama sekali bebas dari ke-pasif-an dan ke-harus-an.

2. Arti Kemanusian
Apakah arti kemanusiaan itu? Jawabannya dapat dirangkumkan ke dalam tiga
unsur pokok (Brownlee, 1993:128f ):
2.1. Manusia adalah makhluk hidup yang kreatif dan berdaya. Pada penciptaan ia
diberi kuasa dan tanggung jawab atas alam (cf. Kej 1:28). Manusia memiliki
kemampuan untuk mejadi subjek perbuatan-perbuatannya, dan bukan sekedar
objek. Ini merupakan landasan lain untuk pengertian “sumber daya insani”.
Karena itu pembangunan haruslah memungkinkan orang mengembangkan
kemampuan dan keberdayaannya untuk berdikari.

2.2. Manusia berhubungan dengan sesamanya. “Tidak baik, kalau manusia itu seorang
diri saja” (Kej 2:18), demikian Allah berfirman pada penciptaan. Tegasnya,
manusia diciptakan untuk bersekutu. Memang ia perlu berdikari, namun ia tidak
dimaksudkan untuk hidup dan berdiri sendirian. Karena itu pembangunan
termasuk memungkinkan terciptanya suatu masyarakat yang para warganya
solider satu terhadap yang lain. Jurang antara orang-orang kaya dan yang miskin
perlu ditutup.

2.3. Pandangan teologis menambahkan unsur ketiga, yakni persekutuan dengan Allah.
Suatu kemanusiaan yang terkungkung, artinya yang tidak terbuka bagi nilai-nilai rohani
dan bagi Allah, yang menjadi sumbernya, hanya dapat mencapai hasil semu . . . . Tiada
kemanusiaan sejati selain terbuka bagi Tuhan dan yang sadar akan panggilan yang
memberikan arti yang tulen kepada hidup manusiawi. Manusia bukan ukuran tertinggi
bagi segalanya. Manusia hanya dapat merealisir dirinya bila ia mengatasi dirinya sendiri
(Populum Progressio, seperti yang dikutip dalam Brownlee, 1933:129).
Berdasarkan pandangan alkitabiah-teologis di atas, maka ada dasar untuk memakai
istilah dan berbicara tentang “sumber daya insani Kristiani”.


3. Manusia Modern dan Alam
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam bersifat teknokratis (dari bahasa
Yunani: tekne = ketrampilan; kratein = menguasai). Jadinya manusia modern cenderung
hanya mau menguasai alam. Alam dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam adalah sumber daya untuk dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu perlu dipelihara, kesadaran ini tidaklah seutuhnya termasuk dalam wawasan teknokratis. Pendek kata, sikap teknokratis cenderung bersifat merampas dan membuang. Alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan. Lalu apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk samping pekerjaan manusia, dibuang atau diterbengkalaikan begitu saja.
Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dalam sikap manusia modern terhadap lingkungan hidup dan alam. Yang diperlukan ialah suatu sikap dasar yang dapat dirumuskan sebagai berikut: “menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil memelihara” (Magnis-Suseno, 1989:151). Untuk mendaya gunakannya, manusia haruslah tetap menguasai alam. Yang perlu dirubah adalah cara penguasaan dan pemanfaatannya. Menguasai tidak sebagai pihak di luar dan di atas alam, melainkan sebagai bagian alam, sebagai partisipan dalam ekosistem bumi. Maksudnya, “menguasai sambil menghargai, mencintai, mendukung dan mengembangkannya”.
Sejalan dengan itu sudah waktunya disadari tanggung jawab terhadap generasi-generasi mendatang. Kita dibebani kewajiban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan terpelihara bagi anak-cucu-buyut kita. Dalam hubungannya dengan pembangunan, kita hendaknya mengupayakan pembangunan yang terlanjutkan (sustainable), yakni pembangunan yang mengupayakan agar lingkungan tetap mendukung kehidupan kita pada tingkat hidup yang lebih tinggui.
Dengan pendekatan ini pembangunan tidaklah berlawanan dengan lingkungan. Patut diingat bahwa “hanya dalam lingkungan yang optimal, manusia akan berkembang dengan baik. Dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan akan berkembang ke arah optimal” (Otto Soemarmoto, seperti yang dikutip oleh Subadi H., 1989:71).


3. Pengembangan dan Peningkatan
Karena manusia bukanlah batu atau benda mati, melainkan makhluk hidup yang
memiliki kesadaran diri, maka manusia mengambil sikap terhadap tiga dimensi
(Magnis-Suseno, 1992:11f ):
3.1. terhadap alam, a.l. perkerjaan;
3.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
3.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi di atas memerlukan beberapa sikap yang tepat. Mengarahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala. Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap tepat manusia terhasap sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog. Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi
seadanya dan sewajarnya. Dan sesama itu adalah mitra.

4. Siapakah Perempuan menurut Alkitab?
Perempuan adalah juga Gambar Allah, sama seperti laki-laki. Karena itu perempuan memiliki posisi yang sama dan sejajar dengan laki-laki (Kej 1:27 : “. . . Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka”).
Bahwa laki-laki diciptakan lebih dulu, baru setelah itu perempuan, soal ini tidak boleh diartikan bahwa perempuan di-nomor-dua-kan. Mengutip Kej. 2:18 : “TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’”, maka fakta penciptaan harus dilihat dari perspektif perfeksionatif. Maksudnya, penciptaan perempuan adalah untuk menyempurnakan manusia secara utuh. Dengan kata lain, keberadaan laki-laki disempurnakan oleh keberadaan perempuan. Itu berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan ada dalam hubungan saling memberi arti, saling menyempur -nakan.
Bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama --- mempunyai hak, martabat dan kewajiban yang sama, pemahaman ini diangkat dari a.l. Gal 3:28 : “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

Excursus: (kutipan dari “Kontroversi sekitar Pendeta Wanita”, Majalah Sahabat Gembala, Bandung: YKH,
Desember 1995, hlm. 22f):


. . . Alkitab sebaiknya dipahami seutuhnya, tidak hanya menonjolkan ayat-ayat yang meninggikan pria
atau wanita, tetapi harus dilihat secara representatif sehingga dapat mewakili Alkitab secara keseluruh-
an.
. . . secara representatif ada tiga konsep gender yang utama dalam seluruh Perjanjian Lama, yaitu konsep gender yang ideal, reflektif, dan insidentil.
Jadi pria dan wanita diberi hak dan kuasa yang sama untuk mendominasi bumi, baik dalam posisi sebagai pekerja atau pemimpin dalam masyarakat. Dengan demikian, baik pria maupun wanita, diberi hak serta kuasa untuk menjadi penatua gereja, pendeta, walikota, gubernur atau bahkan presiden. Amsal 31:10-31 juga memberikan gambaran yang rinci mengenai kesempatan bagi wanita untuk berperan dalam masyarakat.
. . . konsep gender yang ideal sering tidak dapat diterima oleh masyarakat yang menganut paham patriarkhal, sehingga ada peraturan yang ‘memenangkan’ kaum pria, seperti yang tertulis dalam Kitab Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Misalnya, wanita dapat dituntut mengenai status keperawanannya, disangsikan kesetiaannya, dimadu, diceraikan, bahkan dihukum mati bila kedapatan berzinah. Sedangkan kaum pria tidak dikenai aturan seperti itu.
. . . peraturan-peraturan itu tidak merefleksikan konsep gender ideal yang seharusnya ditiru, melainkan merupakan refleksi dari masyarakat yang patriarkhal seperti umat Israel. Ayat-ayat tersebut masih berfungsi di abad ke dua puluh ini. Justru inilah yang ditolak oleh golongan feminis yang radikal. Mereka lupa bahwa ini bukan konsep ideal, yang sebenarnya tidak perlu ditolak. Ini semua terjadi karena salah tafsir dan bukan karena Alkitab yang salah, melainkan karena persepsi masyarakat yang salah.
Konsep gender yang ketiga, yaitu yang insidentil, sering juga muncul dalam Perjanjian Lama, yaitu konsep gender ideal yang direalisasikan sesuai dengan situasi dan kemampuan yang luar biasa dari kaum wanita. Dalam konsep ini, wanita berperan menjadi mitra kaum pria, bahkan bisa menjadi pemimpin kaum pria dalam masyarakat, seperti Debora.
Hal ini membuktikan bahwa Perjanjian Lama tidak menghambat wanita untuk menjadi pemimpin, bahkan atas kaum pria, bila situasi mengizinkan dan bila wanita memiliki kemampuan untuk mendukung posisinya sebagai pemimpin (huruf miring oleh penulis).

Namun dalam kenyataannya posisi dan peranan perempuan tidaklah seperti yang
digambarkan Alkitab. Diskriminasi terjadi atas dan dalam kehidupan perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia --- politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Bahkan diskrimasi pun berlangsung di lingkungan gereja. Di gereja-gerja tertentu
perempuan tidak diberi tempat yang layak secara fungsional maupun struktural.
Yang paling merisaukan ialah kenyataan trafficking dalam berbagai bentuk. Menurut salah satu sumber (Sapardjaja, 2004:tanpa nomor hlm.), trafficking adalah

Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalah-gunaan kekuasaan atau posisi rentan,
atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang
yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Menurut sumber yang sama tadi, bentuk-bentuk trafficking ialah a.l.: untuk keperluan prostitusi dan pornografi, penyelundupan perempuan hamil, perdagangan bayi, menjadi pembantu rumah tangga, eksploitasi seksual oleh pengidap pedofilia, dst.

5. Bagaimana Gereja Berperan?
Salah satu persoalan utama yang harus dibereskan oleh gereja ialah bagaimana kaum perempuan dipandang dan diakui sebagai subyek dari keseluruhan misi gereja. Bagi gereja-gereja yang belum melampaui agenda ini, maka posisi perempuan akan selalu dilihat sebagai obyek pelayanan. Dan ini akan berakibat buruk untuk model dan strategi pelayanan bagi kaum perempuan, khususnya dalam menanggulangi trafficking yang menyangkut eksploitasi perempuan.
Gereja hendaknya bercermin pada gaya pelayanan Yesus. Dia mendobrak kekakuan budaya Yahudi, dan memberi ruang dan tempat bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam pelayananNya, termasuk melayani Dia sampai saat-saat terakhir hidupNya. Usaha Yesus tadi tersirat a.l. dalam kisah Maria dan Marta (Luk 10:38-42), Yesus diurapi oleh seorang perempuan (Mrk 14:3-9), percakapan dengan perempuan Samaria (Yoh 4:1-42), dan perempuan yang berzinah (Yoh 7:53-8:11). Dalam salah satu bukunya, William Barclay (1989:36f), seorang pakar Perjanjian Baru, menulis sebagai berikut:

Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum wanita. Benarlah
bahwa di dalam lingkup rumah tangga seorang ibu selalu amat berpengaruh. Tetapi
di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak lebih dari benda; dia
tidak memiliki hak hukum apapun. Memberikan pendidikan kepada seorang wanita
sama dengan membuang mutiara kepada babi, jadi kaum wanita sama sekali tidak
berpendidikan. Dalam hukum, misalnya, seorang wanita tidak boleh menceraikan
suaminya, sedangkan suaminya boleh menyuruhnya pergi begitu saja.
………………………………………………………………………………………………..
Benar-benar merupakan fakta bahwa baru dengan kedatangan Kristus, hormat
kepada kaum wanita telah lahir.

Gereja tidak bisa tinggal diam, jika harkat dan martabat manusia sebagi ciptaan Allah direndahkan dan dilecehkan. Keprihatinan gereja tidaklah sekedar keprihatinan yang ber-dimensi sosiologis-etis, melainkan berakar pada dan berdasarkan firman
Tuhan.



- - - o0o - - -



Pelayanan Gereja dan Kaum Perempuan

5. Membangun dan Bertumbuh
Adalah Rasul Paulus yang paling sering memakai istilah “membangun” dan “bertumbuh” dalam surat-suratnya. Kedua istilah ini hendaknya dipahami dalam kaitannya dengan sebuah istilah lain yang khas berasal dari Paulus. Istilah yang dimaksud ialah “tubuh Kristus”. 1 Kor 12 menunjukkan secara terperinci bagaimana kesatuan tubuh jasmani manusia merupakan contoh untuk jenis kesatuan yang harus diwujudkan dalam tubuh (rohani) Kristus. Menarik untuk diperhatikan bahwa sebagian besar pasal ini lebih banyak berbicara tentang jenis orang-orang yang akan menerima karunia khusus dan tidak semata-mata berbicara tentang rupa-rupa karunia. Sebenarnya dengan menggunakan istilah-istilah “membangun” dan “bertumbuh” ada tersirat pertanyaan-pertanyaan, antara lain, apa yang dibangun?; untuk apa membangun?; ke mana bertumbuh?
Bukanlah tanpa alasan yang mendasar, mengapa Paulus memahami dan mengiaskan gereja sebagai “tubuh Kristus”. Dengan memakai istilah “tubuh”, Paulus ingin memberi kesan bahwa tubuh adalah sesuatu yang hidup dan bertumbuh, dan bukan sesuatu yang tak bergerak atau tak berubah. Dari sinilah muncul gagasan “membangun” (dalam pengertian mekanis) dan “bertumbuh” (dalam pengertian organis).
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, “membangun/pemba-
ngunan” merupakan terjemahan dari istilah oikodome, sedangkan “bertumbuh/
pertumbuhan” adalah terjemahan dari istilah auxo. Dalam kaitan inilah, maka keberadaan dan kehadiran (raison d’etre) “para rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar”, menurut Paulus, adalah “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Ef 4:11, 12).

6. Pemberdayaan Warga Jemaat
Adalah menarik untuk memahami lebih mendalam istilah “memperlengkapi” yang
digunakan Paulus dalam ayat kutipan dari Ef. di atas. Menurut Barclay (1966:176), istilah “memperlengkapi”, yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Yunani katartizein, mempunyai beberapa arti:

6.1. upaya untuk memulihkan tulang yang patah, atau sendi yang terkilir;
6.2. upaya politik praktis untuk mempertemukan dan mendamaikan dua kelompok
yang berselisih, agar pemerintahan dapat berlangsung lancar kembali;
6.3. dalam Perjanjian Baru sendiri istilah tersebut berarti:
6.3.1. “membereskan jala” (Mrk 1:19);
6.3.2. upaya mendisiplinkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran, agar
kembali layak untuk ikut mengambil bagian dalam persekutuan (Gal 6:1).
Jadinya gagasan pokok yang mendasari istilah “memperlengkapi” (Yunani: katartizein) ialah mengembalikan atau memulihkan sesuatu atau seseorang kepada kondisi atau keadaan semula, yang memang adalah merupakan kondisi atau keadaan yang semestinya atau sepatutnya. Dengan itu dapat dirangkumkan bahwa keberadaan dan kehadiran (raison d’etre) para pejabat/pelayan gerejawi adalah untuk memberdayakan para warga jemaat, agar mereka menjadi “what they ought to be”.


7. Revitalisasi dan Refungsionalisasi Warga Jemaat

============================================================
PERSEKUTUAN BERHIMPUN JANGKAUAN KE DALAM (IN-REACH): P E M B I N A A N, P E M U R I D A N

DIMENSI-DIMENSI TUGAS & PANGGILAN GEREJA: MISI (APOSTOLAT)

PERSEKUTUAN MENYEBAR JANGKAUAN KE LUAR (OUT-REACH) : P E R A S U L A N
------------------------------------------------------------------------------------------------------

- Sekolah Minggu, katekisasi, KESAKSIAN dan
pengaderan, pelatihan, seminar/ PEWARTAAN P.I.
diskusi, penataran, retreat, etc. (marturia & kerugma) (evangelism)
- Khotbah, P.A.
- Penyegaran Iman


- Penggembalaan, konseling PELAYANAN - Pelayanan, keterlibatan dan
(diakonia) kegiatan sosial (transformatif),
- Pelayanan kasih (karitatif) a.l. sekolah, rumah sakit, LSM.


- Keluarga/rumah tangga PERSEKUTUAN - Organisasi sosial, RT/RW
- Kategorial: anak-anak, (koinonia) - Fungsional/professional, a.l.
teruna, pemuda, wanita, dokter, guru, mahasiswa
bapak-bapak - Dialog/kerjasama antar atau
- Gerakan keesaan (oikumene) lintas agama/budaya


- Ibadah hari Minggu I B A D A H - Ibadah Keluarga, Sektor/
- Sakramen-sakramen dan Wilayah, Kebaktian Padang
- Perayaan Natal, Paskah, etc PERAYAAN - Ibadah/Perayaan Bersama
antar-gerejawi (ekumenis)
- Musik Gerejawi (leitourgia)
- Pawai/festival religius
- PESPARAWI, KKR
============================================================

Untuk pembinaan warga jemaat kita perlu bertitik tolak dari suatu model ber-jemaat,
misalnya jemaat missioner. Bagan di atas menyuguhkan ciri-ciri ber-jemaat sbb.:
7.1. Irama (rhythm) ber-jemaat adalah “kumpul-mencar”. Berkumpul untuk mewujudkan
“persekutuan yang berhimpun/beribadah” (gathered community). Lalu memencar
untuk mewujudkan “persekutuan yang menyebar/terpencar “ (scattered community).
7.2. Ada “jangkauan ke dalam” (in-reach), tetapi sekaligus dibarengi “jangkauan ke luar”
(out- reach). Ke dalam adalah untuk melakukan pembinaan untuk kemuridan/pemuridan
(discipleship/discipling), sedangkan menyebar ke luar untuk melakukan tugas perasulan
(apostolat) dalam rangka misi.
Perlu ditambahkan di sini bahwa pembangunan dan pertumbuhan jemaat seperti yang telah disinggung di muka mempunyai dua sisi: intensif dan ekstensif. Sisi intensif tersirat dalam Ef 4:15: “. . . dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Sedangkan sisi ekstensif tercermin, umpamanya, dalam Kisah Para Rasul. Di situ gereja bertumbuh dan melebar melampaui batas-batas atau pengkotakan-pengkotakan geografis, sosial, maupun politis.
Hendaknya diperhatikan bahwa kedua sisi tadi, yakni ekstensif (cf. “jangkauan ke luar”) dan intensif (cf. “jangkauan ke dalam”) haruslah berjalan bergandengan. Bahwasanya pada suatu waktu atau tempat tertentu, juga pada situasi dan kondisi tertentu, mungkin saja tekanan perlu diberikan kepada salah satu sisi tertentu, namun itu bukan berarti bahwa sisi lain diabaikan atau diterbengkalaikan. “Extensive growth,” demikian Berkhof (1979:408), “is no excuse for the lack of intensive growth, nor vice versa.” Pendek kata, pertumbuhan intensif mengarah kepada pertumbuhan ekstensif, sedangkan pertumbuhan ekstensif adalah prasyarat bagi pertumbuhan intensif. Keduanya saling mengisi dan melengkapi seperti “mur dan baut.” Pada hakikatnya itu jugalah yang merupakan upaya pembangunan jemaat (Hendriks, 1993:8).
Oleh karena itu adalah keliru memahami hakikat pembangunan jemaat dengan berkata: “Sebelum kita melakukan tugas panggilan ke luar, seyogyanya kita terlebih dahulu memusat-kan perhatian pada pertumbuhan ke dalam.” Adalah tidak mungkin bahwasanya pembangunan ke dalam dilakukan tanpa, umpamanya, P.I. dalam pengertian yang luas (cf. PELKES). Singkatnya, alasan keberadaan gereja/jemaat adalah berganda: penginjilan (cf. PELKES) ketika menyebar/tersebar, pembinaan ketika gereja/jemaat berhimpun (Leigh, 1996:187).


--- o0o ---



GENDER DALAM PERJANJIAN LAMA
(Kutipan dari Majalah Sahabat Gembala, Desember 1995, Bandung: YKH, hlm. 22f)


YESUS KRISTUS DAN KAUM WANITA
(Kutipan dari William Barclay, Mengkomunikasikan Injil, Jakarta: BPK-GM, 1989, hlm. 36f)

Buku-buku Bacaan dan Rujukan:

Barclay, William
1966 The Daily Study Bible: the Letter to the Galatians and Ephesians. Edinburgh: St. Andrews.
_____________
1989 Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Berkhof, Hendrikus
1979 Christian Faith. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
Biro Pelayanan Wanita
1996 Pelayanan Gereja bagi TKW di Indonesia. Jakarta: PGI.
Brownlee, Malcolm
1989 Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK-GM.
Fackre, Gabriel
1978 The Christian Story. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
1975 Word in Deed. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
Gangel, Kenneth O.
2001 Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Terj. Malang: Gandum Mas.
Hendriks, J.
1993 Jemaat yang Vital (Seri Patoral 218). Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Lembaga Alkitab Indonesia
1992 Alkitab. Jakarta: LAI.
Leigh, Ronald W.
1996 Melayani dengan Efektif. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Magnis-Suseno, Franz (Ketua Team Penyusun)
1989 Etika Sosial. Jakarta: Gramedia.
1992 “Membangun Manusia?” dalam Majalah Serasi, Proyek Pembangunan Informasi dan
Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 20/92,
hlm. 11ff.
Moss, Rowland
1982 The Earth in Our Hands. Leicester, England: IVP.
(tanpa nama penulis)
1990 Restoring Creation for Ecology and Justice (A Report Adopted by the 202nd General Assembly
[1990], Presbyterian Church [USA]). Louisville, Kentucky: the Office of the General Assembly.
(tanpa nama penulis)
Desember 1995 “Kontroversi Sekitar Pendeta Wanita” dalam Majalah Sahabat Gembala, Bandung: YKH, hlm. 22f.
Sapardjaja, Komariah Emong
2004 Trafficking. Bandung: Pusat Penelitian Peranan Wanita, Lembaga Penelitian UNPAD.
Schumacher, E.F.
1977 A Guide for the Perplexed. New York: Harper & Row.
Subadi H., Adjar
1989 “Konsep Ekologi sebagai Landasan Pembangunan yang Berkelanjutan” dalam Majalah Bina
Marga, Salatiga, No. 24, hlm. 70ff.
Voltelen, Nel H.
1996 Berani Berkomunikasi. Makassar: LPGM, STT INTIM.



Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak

Tidak ada komentar: