R U T 1 : 11 – 18 P I L I H A N
Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan . . . bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku (ayat 16) Seorang teman pernah berkata kepada saya, “Joe, aku baru sadar bahwa hidupku tidak tercipta dari impian yang kuimpikan, tetapi dari pilihan yang kubuat.” Percayalah: Anda memiliki banyak pilihan dalam hidup. Dan, biasanya semua itu akan menyusut menjadi pilihan antara “Apa yang kuinginkan?” dan “Apakah yang terbaik bagi orang lain?” Setelah [para] suami mereka meninggal, Rut dan Orpa menghadapi pilihan yang sulit (ay. 11). Ibu mertua mereka, Naomi, menyuruh mereka pulang. Ia tidak ingin mereka merasa memiliki kewajiban padanya, walaupun kenyataannya ia jauh lebih berduka akibat kehilangan yang dialaminya. Ia telah kehilangan suaminya sendiri dan juga kedua putranya. Orpa dan Rut dapat memilih untuk pulang ke tempat asalnya dan memulai hidup baru, atau menemani Naomi untuk membantunya saat ia sangat memerlukan bantuan. Mereka berdua tahu betul bahwa pilihan yang kedua membuat mereka harus tinggal di negeri asing sebagai janda seumur hidup, karena hanya sedikit laki-laki Yahudi yang mau menikah dengan wanita asing. Namun, Rut lebih memilih melayani kebutuhan Naomi daripada melayani dirinya sendiri. Adapun Orpa memilih meninggalkan Naomi untuk menjalani hidup yang menurutnya lebih baik. Dalam hidupnya kemudian, Rut memiliki peran yang signifikan dalam sejarah bansa Yahudi dan menjadi leluhur Yesus (Mat 1:5). Ambillah pilihan yang terbaik. Pilihlah untuk melayani sesama. ---JS Saat kita bertekun melayani Dan memenuhi kebutuhan sesama, Kristuslah yang kita teladani Dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan ---Fitzhugh Pokok Pikiran: LAYANILAH ALLAH DENGAN MELAYANI SESAMA [Kutipan dari Renungan Harian, Selasa, 20 Februari 2007 , terj. (Yogyakarta: Yayasan Gloria/RBC Ministries]
----------------
Y E R E M I A 3 3 : 1 – 9 (Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar 1.1. Susunan dan Konteks Fasal 26-35 suatu kumpulan ceritera-ceritera mengenai kehidupan Yeremia, yang berasal dari Barukh. [ . . . ] Fasal 33: Janji pemulihan kepada Yerusalem dan Yehuda (ayat 1-13). Perjan- jian dengan keturunan Daud dan keturunan Lewi (ayat 14-26) [kutipan dari J. Blommen- daal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 119 dan 121]. 1.2. Sinopsis Dengan latar belakang kota yang terkepung [ayat 10 menyiratkan jatuhnya Ye- rusalem], Yeremia menyampaikan janji-janji: (a) Yerusalem akan dipulihkan dan dibangun kembali; (b) pengampunan dosa --- yakni dosa yang telah menyebabkan malapetaka me- nimpa mereka; (c) Yerusalem akan dimuliakan dan dengan itu menimbulkan kekaguman dari se- luruh dunia terhadap karya-karya agung dan besar yang telah dilakukan Tu- han. “This writer breathes the spirit of Apocalyptic: the revelation is given in answer to prayer and it concerns mysteries” [ay. 3] . [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Peake’s Commentary on the Bible (London: Thomas Nelson, 1972), p. 557]. 2. Eksposisi 2.1. Ayat 2: Apakah yang tersirat dibalik penggambaran Tuhan dalam ayat ini? Apa yang akan dinyatakan dan/atau diungkapkan pada bagian berikutnya adalah hal-hal yang serius dan berbobot. Sebagai jaminan untuk terpenuh- inya semua itu, maka dalam ayat 2 ini Allah menyertakan sapaan-sapaan atau gelar-gelar kebesaranNya yang menyatakan siapakah Dia. Itulah juga yang memberi jaminan bahwa janji-janjiNya itu pasti akan dipenuhi. “What is about to be declared will come about, for the Creator and Sustainer of all things has signed his name to it” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1138]. 2.2. Ayat 6: Ungkapan “kesembuhan” (NIV: “healing”; Ibr.: rapa’) bersangkut paut dengan penyembuhan spiritual dari orang-orang Israel, sehubungan dengan dosa-dosa mereka. Namun juga jelas bahwa Allah diyakini sebagai sumber kesembuhan fisik. Bnd. Kel 15: 26, di mana kedua pemahaman tadi digabungkan [Sumber: New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, `1991), p. 329]. 2.3. Ayat 7: Di sini Allah digambarkan sebagai “pembangun” (Inggris: builder) dan umat Israel menjadi semacam proyek yang akan dibangun. Penggambar- an ini digunakan oleh para nabi untuk menjelaskan hukuman Tuhan yang menimbulkan kehancuran, namun sekaligus menawarkan pengharapan bagi mereka yang hidup di pembuangan. “Disaster came because of the evil ways of the people (Jer 18:9-10). Tetapi dalam 33:7-9 Allah me- nyampaikan janjinya untuk memulihkan dan membangun [kembali] Yerusalem. “Re-established, Israel would bring glory to God, her builder” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid., p. 144]. 3. Excursus 3.1. JANJI Dalam PL bh Ibrani tidak ada istilah khusus bagi konsep atau tindakan berjanji. Orang Ibrani hanya menyatakan, bahwa seseorang ‘berkata’ atau ‘berbicara’ (‘amar, davar) beberapa kata yang menunjuk ke masa depan. Dalam PB istilah teknis, epangelia, muncul terutama dalam Kis, Gal, Rm dan Ibr. Janji ialah suatu kata yg keluar memasuki waktu yg belum dipenuhi. Kata itu men- dahului orang yang mengucapkannya dan yg menerimanya, untuk menandai sebuah penentuan antara mereka di masa depan. Janji dapat mewujudkan jaminan terhadap perbuatan yg terus-menerus atau tindakan pada masa depan demi kepentingan sese- orang, ‘Aku akan bersamamu’; ‘Mereka yg berdukacita akan dihibur’; ‘Jika kita mengakui dosa kita, Allah akan mengampuni dosa kita’. Janji dapat berarti persetujuan yg sungguh-sungguh mengenai hubungan dua pihak (walaupun tidak setaraf) yg abadi: seperti perjanjian Allah dengan Israel. Janji juga mung- kin pemberitahuan tentang suatu kejadian di masa depan, ‘Jika kamu telah membawa umat itu keluar dari Mesir, kamu harus melayani Allah di gunung ini’. Karena itu penelitian tentang janji-janji Alkitab jauh lebih banyak dari melulu pemunculan kata itu dalam Alkitab. Suatu sumpah sering menyertai kata yg berisi janji (Kel 6:8; Ul 9:5; Ibr 6:13 dab). Apa yg telah difirmankan Allah dengan mulut-Nya, dapat dan akan dilakukan-Nya dengan tangan-Nya. Itulah ciri khas Allah menurut Alkitab, sebab firman-Nya tidak akan kembali kosong. Berbeda dari manusia dan ilah-ilah orang kafir, Allah mengenal masa depan dan memerintahnya . . . Melalui kitab-kitab yg berisi sejarah, suatu pola dari janji Ilahi dan pemenuhannya dalam sejarah, telah dilacak sebagai mengungkapkan kebenaran ini . . . [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, t.t.], hlm. 479]. 3.2. Apakah Janji-Janji Allah Akan Benar-Benar Menjadi Kenyataan? Waktu kita menyelidiki janji-janji Tuhan, kita melihat bahwa dalam beberapa hal janji- janji itu “terlalu baik untuk menjadi kenyataan” [Inggris: too good to be true]. Dapatkah kita menerima semua janji Tuhan itu begitu saja dan percaya bahwa Allah akan memenuhi- nya? Rasul Petrus menulis, “Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia” (2 Petrus 1:3,4). Petrus menulis kata-kata itu sehubungan dengan latar belakangnya yang merupakan trauma, ketegangan dan kegagalan dalam hibungannya dengan Yesus Kristus. Kata-kata ini merupakan kesaksiannya. Maksud kata-kata itu pada hakikatnya adalah, “Aku menge- tahui janji-janji Tuhan itu benar. Aku dapat memberikan kesaksian tentang hal itu berda- sarkan pengalamanku sendiri.” Petrus mendengar banyak janji dari mulut Guru sendiri. Yesus berjanji untuk menja- dikannya seorang “penjala manusia”. Yesus berjanji bahwa Petrus, si “Batu Karang”, adalah orang yang di atasnya Kristus akan membangun jemaat-Nya. Bertahun-tahun berlalu sebelum janji itu terbukti benar, dan kata-kata Petrus dalam suratnya kepada orang-orang percaya itu merupakan bukti yang indah tentang kebenaran janji-janji tersebut [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm.304]. - - - NR - -
------------
R A T A P A N 3 : 19 - 33 PENGHARAPAN DI TENGAH KESUKARAN
Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN (3:26) Kesedihan dan dukacita dapat membuat kehidupan menjadi seimbang. Kedua hal ini menimbulkan dampak dengan tingkat yang berbeda dalam kehidupan kita. Kadang-kadang penderitaan dialami seluruh penduduk dalam satu negara. Pada tahun 1994 kita dikejutkan oleh peristiwa yang menimpa Rwanda dan Bosnia. Dan kita semua terenyuh dengan kejadian-kejadian dalam lingkup kecil: kecelakaan, sakit-penyakit, masalah keluarga, dan kesulitan keuangan. Betapa pun optimisnya kita, penderitaan pasti akan menghampiri kita. Namun ada sisi lain dari hal ini. Meskipun kehidupan yang kita jalani penuh dengan penderitaan, meskipun kita diperhadapkan pada tekanan-tekanan hidup dan keputusasaan, bukannya kebahagiaan atau sukacita, kita tidak akan dibiarkan sendiri dengan tanpa pengharapan. Hal ini terjadi karena kehidupan bukanlah sekedar sesuatu yang terjadi secara tidak disengaja. Kehidupan memiliki dimensi rohani yang ditopang oleh kasih, kemurahan, dan anugerah dari Allah. Perhatikanlah yang terjadi pada Ratapan 3, misalnya. Renungkanlah dalam-dalam; ketika penduduk kota Yerusalem mengalami kesengsaraan, mereka tetap memiliki pengharapan. Di tengah-tengah pembunuhan dan keputusasaan karena kota tersebut menghadapi serangan, penulis menambahkan pengharapan terbaik bagi penduduk kota untuk tetap bertahan, yakni: kasih Allah yang besar. Untuk menghadapi penderitaan dan kesedihan, penulis mengungkapkan tentang belas-kasihan Allah, kasih setiaNya, kebaikanNya dan kesematanNya (ayat 22-26). Sungguh menakjubkan! Tidak menjadi masalah seberat apa pun penderitaan yang mingkin kita alami, kita dapat meyakini bahwa Allah tidak akan membiarkan kita tanpa pengharapan. --- JDB Pokok Pikiran: Setiap orang yang menaruh pengharapannya pada Allah selalu Memiliki pengharapan. [Kutipan dari Renungan Harian, Sabtu 12 Agustus 1995, terj. (Yogyakarta: Yayasan Gloria/RBC Ministries)].
--------
R A T A P A N 3 : 37 – 43 (Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar 1.1. Kronologi Tahun 930 sM (sebelum Masehi) : Kerajaan Israel pecah menjadi dua. Di wilayah utara tetap dipertahankan nama Kerajaan Israel. Di selatan dipilih nama Kerajaan Yehuda. kr. (kira-kira) antara tahun 875-797 sM: Masa pelayanan nabi Elia dan Elisa. kr. antara tahun 760-715 sM : Masa pelayanan nabi Amos dan Hosea di Israel (Utara). kr. antara tahun 742-681 sM : Masa pelayanan nabi Mikha dan Yesaya di Yehuda. Tahun 722 sM : Israel Utara ditaklukkan. kr. antara tahun 626-585 sM : Masa pelayanan nabi Yeremia di Yehuda. Tahun 586 sM : Yerusalem direbut. Kota dan Bait Suci dimusnahkan. kr. antara tahun 586-580 sM : Kitab Ratapan ditulis. 1.2. Informasi Who wrote this book? Probably Jeremiah. When and why was it written? Jeremiah had predicted and witnessed the devastation of his homeland. Moved deeply, he wrote this poem to express his nation’s grief. He likely wrote it within a decade of Jerusalem’s fall to Babylon in 586 B.C. [Sumber dan kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1174]. 1.3. Latar Belakang Kitab Ratapan . . . sebenarnya tidak lain kecuali sekumpulan lima lagu ratapan . . . Yang khu- susnya ditangisi ialah pusat umat Allah, kota Yerusalem, Putri Sion, dengan Bait Allah sebagai intinya. Kematian [suatu] bangsa [Israel, umat Allah] yang diratapi terjadi waktu kota Yerusdalem dire- but, dirampoki dan dimusnahkan tentara Babel pada tahun 597 dan 586 seb.Mas.., waktu Bait Allah turut dibakar dan dihancurkan. Penduduk kota diangkut ke pembuangan. Peristiwa serta hal- ihwalnya itulah yang mencetuskan kelima ratapan yang sekarang terkumpul dalam kitab Ratapan. Masing-masing bab kitab itu memuat satu sajak. Lagu pertama, kedua dan keempat seluruhnya ratapan bersama atas kematian umat. Lagu ketiga terlebih keluhan hati seorang yang secara pri- badi turut menderita waktu bangsanya musnah. Sajak kelima berupa sebuah doa yang dipanjatkan umat waktu mengalami nasib buruk yang menyusul kemusnahan Yerusalem sambil seluruh negeri dijajah dan dirampoki musuh [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 265f.].
2. Eksposisi 2.1. Ayat 38-39: (A) Apakah kemalangan dan/atau penderitaan adalah selalu merupakan akibat dari dosa? Tidak selalu. Informasi: Not all suffering results from “individual” sin. Some suffering results from the “corpor- ate” sin of Adam and Eve that affects everyone. Each person makes specific choices that have consequences and is therefore accountable. Yet, we are also affected be- cause we stand under judgment of human sinfulness in general [kutipan dari Quest Study Bible, 1182]. Dosa itu agresif dan posesif. Paulus menggunakan analogi seorang narapidana untuk menggambarkan kuasa dosa: “. . . jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang mela- wan hukum akal budiku dan membuat aku mejadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepas- kan aku dari tubuh maut ini?” (Rm 7:21-24) [kutipan dari Tom Allen, 10 Hambatan ter- hadap Pertumbuhan Iman (Bandung: YKH, 1966), hlm. 91f.]. (B) Mengapa Allah membiarkan terjadinya malapetaka? Semua penderitaan di dunia ini berhulu pada sebuah peristiwa tragis, yakni ketidak-taatan Adam dan Hawa (Kej 3:6-7). Jadinya dosa dan semua akibatnya --- penderitaan dan kejahatan --- menjadi unsur yang tak terpisahkan dari dunia ini. Tapi tangan rahmat Allah tak terikat dengan akibat tadi. Informasi: Dengan tidak turun tangan serta membiarkan segalanya terjadi sewajarnya, Allah sedang mengajarkan pelajaran yang sangat berguna. Kebenaran ini juga sangat dekat kaitannya dengan hubungan orang tua-anak, yang Allah kehendaki buat kita. Sama seperti kita mengizinkan perkara tertentu terjadi atas anak-anak kita tanpa turun tangan, demikian juga Allah memperlakukan kita. Jikalau orang tua terlalu banyak membangun tembok perlindungan di sekeliling anak-anak mereka, maka anak-anak itu takkan pernah dapat mandiri. Seorang anak lelaki atau perempuan, misalnya, akan menjadi tidak bertanggung jawab dalam hal keuangan jika terus-menerus dibantu oleh orang tuanya. Kadang-kadang orang tua harus berpangku tangan dan melihat saja anak-anak mereka menggumuli soal keuangan mereka dan berusaha mengatasi kesulitan mereka agar membantu anak-anak mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 692]. A single family of Hebrew words focuses the OT concept of evil. Ra’a’ is the verb, which means “to be evil, or bad,” or more often, “to act wickedly,” “to do harm.” The masculine noun ra’ means “evil,” or “bad.” [ . . . ] [Another] major meaning of ra’, “evil,” in the OT is expressed in the NIV and the NASB in words such as “harm,” “distress,” “disaster,” “troubles,” and a number of similar terms. The extent to which the OT explores this aspect of evil is illustrated by the following list of passages in which the adjective ra’ carried the meaning of trouble or harm: [among others] La [LAI: Rat] 1:21; 3:38 [LAI; “yang buruk”] [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 251f.].
3. Refleksi PENGHIBURAN ALLAH
Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku,
dan melepaskan aku dari segala kesukaranku (Mzm 34:5)
Sebagai seorang perawat , secara berkala aku memberikan imunisasi kepada bayi dan anak-anak. Dengan tatapan yang manis, anak-anak memandangku. Namun, begitu jarum suntik menancap di tubuh mereka, tatapan manis pun berubah menjadi tangisan. Mereka menatapku seolah bertanya, “Mengapa kamu menyakitiku?” Aku tidak mungkin menjelaskan kepada anak-anak kecil itu bahwa suntikan yang kuberikan berguna bagi pembentukan antibodi dalam tubuh untuk melawan penyakit. Para bayi belum mengerti bahwa rasa sakit sesaat itu membawa kebaikan seumur hidup. Satu-satunya yang mereka ketahui adalah bahwa mereka mempercayaiku (atau orang tua mereka) yang penuh kasih memegangi mereka, tetapi ternyata mereka kemudian disakiti. Kedengarannya biasa, bukan? Tangisan anak-anak itu mengingatkanku pada saat aku mengalami hal yang begitu menyakitkan. Kala itu, aku bertanya kepada Allah mengapa itu menimpaku? Kita mungkin belum memiliki hikmat atau kebijaksanaan untuk memahami manfaat kepedihan yang hari ini kita alami. Apa yang kita pahami adalah bahwa Allah mengasihi kita seperti orang tua mengasihi anak kesayangannya. Bahkan dalam kesakitan, kita harus tetap mengingat bahwa Ia selalu mengingin- kan yang terbaik bagi kita dan tidak akan pernah meninggalkan kita [kutipan dari Saat Teduh, Senin, 29 Mei 2006 (Jakarta: BPK-GM, the Upper Room]. - - - NR - - -
12 November 2007
10 November 2007
5 Kinds of Christians
The following article is located at:
http://www.christianitytoday.com/le/2007/004/1.19.html
Leadership Journal
5 Kinds of Christians
Understanding the disparity of those who call themselves Christian in America.
A new national survey co-sponsored by Leadership. Reported by Helen Lee
Survey Shows 5 Kinds of Christians in U.S.
Jennifer Hua identifies herself as a Christian. A 35-year-old former attorney studying Christian counseling at the Wheaton College Graduate School (Illinois), she has gone to church all her life and is a lay leader in her suburban Chicago congregation. She furthers her spiritual development by daily Bible reading, prayer, listening to and singing worship songs, and interacting with other Christians. And every few months, she carves out time for a silent retreat. "I do all of these things because I know from past experience I need to recalibrate my mind and my heart to be in tune with God," she says.
James Smith also identifies himself as a Christian. He attended church as a child, but his attendance was minimal as a young adult. He believes in God, occasionally attends Redeemer Presbyterian in Manhattan when his time-consuming job in the finance district allows, but he does not often participate in other activities to further his spiritual life. He has a Bible but rarely opens it; what leisure time he has he spends with friends, most of whom are of different faiths, and he does not necessarily believe that his God is any different from the one his Muslim friend worships.
"I don't think that God would be a God who would shut others out of heaven because they don't use the word 'Christian' to describe themselves," he says.
The United States is described in mainstream media as largely Christian (between 70 and 80 percent, depending on the study, identify themselves as "Christian"), and compared to the rest of the world, this is certainly the case. However, not all within this vast group of Christians are alike.
To understand the range and differences among American Christians, Christianity Today International (publisher of Leadership) recently partnered with Zondervan Publishers to commission Knowledge Networks to conduct attitudinal and behavioral research of U.S. Christians. In September 2006, more than 1,000 self-identified Christians 18 years of age and older were surveyed on their religious beliefs and practices. The results reveal a number of significant differences, illustrated by the examples of Hua and Smith. In fact, portraits of five distinct segments emerged from the study. We have named them Active, Professing, Liturgical, Private, and Cultural Christians.
Each group represents about one-fifth of those identifying themselves as Christian, with Active Christians (such as Hua) most likely to have a personal commitment to Jesus Christ that affects their beliefs and inspires an active church life; Cultural Christians (such as Smith) are least likely to align their beliefs or practices with biblical teachings, or attend church. Between the two is a range of beliefs, commitment levels, and public practice of the faith.
Leadership discussed the survey results with leading pastors and religious experts to ascertain the ramifications for church leaders. Three critical issues emerged:
* The local church is no longer considered the only outlet for spiritual growth.
* Churches must develop relational- and community-oriented outreach.
* Lay people have to be better equipped to be God's ambassadors.
Faith Yes, Church Maybe
The survey shows that for nearly half of Christians, involvement in a local church body is a minimal part of their daily lives (see chart 1).
Click on the image to enlarge.
"Faith is relevant for many people, but church is not," says Bryan Wilkerson, senior pastor of Grace Chapel in Lexington, Massachusetts. "People want to attend to the spiritual side of their lives, they are interested in God, but their experience of church has not been relevant. They say, 'Why do I have to sit through boring sermons and old music that don't speak to my real needs and problems?'"
"A growing element of the Christian population is disappointed with or frustrated by the local church," says D. Michael Lindsay, assistant professor of sociology at Rice University and former consultant with the Gallup Institute. In part, this trend can be attributed to factors within local church bodies themselves, such as lack of strong leadership or teaching.
Given that 60 percent of all Christians worship in churches with fewer than 300 people (see chart 2), most Christians are in congregations that continually struggle with resource issues. Previous generations were accustomed to that, and today's worshipers have higher expectations.
"These days, people can get good teaching, wonderful music, and excellent writing, whether through iPods, TV, or online," says Wilkerson. "They learn to shop around and pick and choose. Then they expect the same high quality in their local church. A generation ago, the average person learned to accept his home pastor and was faithful to his local church. But now, people's appetites for excellence have been heightened."
As pastor of a large church himself, Wilkerson acknowledges "we probably end up perpetuating that kind of appetite by trying to be as high-quality as what we find out there. The temptation of larger churches is to compete and to be as good as the others are."
Even for those Private and Cultural Christians who do not typically consume Christian media, access to it can still play a significant role in their spiritual development in ways that may not be reflected in the survey.
"Private and Cultural Christians might not use traditional Christian media, but I would bet they disproportionately watch [Lakewood Church pastor] Joel Osteen on cable," says Lindsay. Cultural Christians are the group that spends the most time watching TV and using the Internet.
Spiritual growth, then, may be occurring for many of today's Christians in non-traditional ways. Instead of attending church on Sunday mornings, many opt for personal, individual ways to stretch themselves spiritually.
"Emerging generations may not see themselves as churched, but neither do they see themselves as any less committed," says Joel Hunter, senior pastor of Northland Church in Longwood, Florida. "The traditional programming that churches do is becoming less essential to work out faith for many people."
Personal or Media Relationships?
The danger, however, is that the multimedia availability of religious content helps people become spiritual do-it-yourselfers. As a result, they lack an important aspect of faith development: interaction with other Christians in community. This privatizing of Christian faith fits with the American spirit of individualism, but it may not produce Christians with enduring and long-term spiritual vitality.
"It's fine to use religious media as an addition if you are part of a local Christian community," says Lindsay. "It becomes problematic if you have no binding commitment to a local community and you become a Lone Ranger Christian. Before long your faith becomes something you put on and off like a jacket."
Instead of trying to win underchurched people back to a traditional church context, leaders say the approach to bringing Private, Cultural, and non-Christians into the church is relational and outward-looking rather than programmatic and inward-focused. Lindsay notes many Christians who are not involved in traditional churches are "much, much more interested in personal connection. The ways in which they nourish their faith are through home churches or one-on-one Bible study or non-church related small groups."
Click on the image to enlarge.
In fact, house churches have recently become a noteworthy trend in the United States. Time magazine in March 2007 quoted pollster George Barna as saying that house churches were evidence of a "seminal transition that may be akin to a third spiritual awakening in the U.S." and that in two decades, "only about one-third of the population" will attend traditional churches.
"The old paradigm of evangelism was a transactional sharing of the gospel," says Ken Fong, senior pastor of Evergreen Baptist Church of Los Angeles. "I would try to get people to intellectually agree with me. But the new paradigm is different, an approach in which I invite you to walk alongside me, examine my life, and see evidence of the truth, and hopefully there will be something compelling that you see. It's a no-strings-attached invitation to enter my life as I follow Jesus."
Another necessary shift is recognizing that the old metrics of success may no longer apply. Wilkerson says, "We need to spend the next ten years investing in the life of our surrounding community and finding ways to regain a hearing for the gospel. Instead of going to the nursing home and holding a church service, we're just going to go and love and serve people for years and years, until the staff and residents ask, 'Why do they care so much?' This won't result in 150 decisions for Christ in a year. You might not see results for five or ten years."
Churches that do engage their local communities may discover that what they gain surpasses what they give. At Evergreen Baptist Church-LA, the demographics of the city of Rosemead, where the church is located—Asian, Hispanic, and lower-income—differ from the congregation itself—predominantly Asian and largely middle- and upper-middle class. Fong strives to encourage the right attitude as his church engages the surrounding community.
"As we reach out to kids in the neighborhood, we tell our congregation that we don't just do this to be good Christians. We tell them that maybe these poor kids know something more than we do about knowing God, more so than us middle-class snobs," he says. "It's not enough to reach out because we think it's the right thing to do. That is paternalistic. We need to see that there is something that different people with different perspectives can show us that we're missing."
Hunter believes the way the church responds to the forces affecting today's Christians and non-Christians will have significant ramifications. "As the traditional church has a rougher and rougher time, our challenge will become a motivational factor: either we build relationships with people in our communities, or we will die."
New Need for Apologetics
The survey indicated that self-identified Christians hold a wide range of theological and doctrinal beliefs. For many, Private and Cultural Christians in particular, Bible-reading is minimally important (see chart 3). Thus, as churches encourage their congregants to engage with the surrounding communities and build relational bridges with people, they must simultaneously equip these Christians to handle the questions and attitudes they may encounter, both with non-Christians as well as with other Christians who hold different beliefs.
But the current level of biblical and theological teaching in the church may not be meeting the challenge of preparing people in the pews to explain the power and significance of the Scriptures to those who rarely read them. "I do think there is decline and unbelievable degrees of biblical illiteracy that we haven't seen in previous generations, among all five of these categories of Christians," says Lindsay. "People used to know their Bible, but now they can go week-in and week-out and not even know the order of the books. Many churches feed their congregants a steady diet of messages that do not require intellectual engagement or an understanding of the biblical narrative. And that is a huge problem."
Hunter says, "We need to preach with apologetics in mind, with a rational explanation and defense of the Christian faith in mind, so that the people who are in the church really know how to phrase that to people who aren't in the church. We should say, 'You need to be able to tell other people what I'm telling you.'"
During one recent Easter Sunday, Grace Chapel focused on the disciple Thomas and his doubts about Jesus after the resurrection. Wilkerson told his own story of spiritual darkness and doubt, then planned a service the following Sunday entitled "Doubters Anonymous."
Wilkerson asked people to e-mail their questions to the church, and he had three pastors up front to handle the questions. Those who attended were also able to text message questions or turn them in on a card.
Click on the image to enlarge.
"There had to be an authenticity about it that demonstrated this was real, not canned, that these were genuine questions and answers, and that it was okay to ask these questions," says Wilkerson. "It also gave the Christians in the audience more confidence, that they now had some tools to answer the hard questions about Christianity."
Ultimately, though, Northland's Hunter feels that the way to counter biblical illiteracy is to equip Active Christians as teachers, ambassadors, and apologists. "We have to go out and be with those who do not know or understand. People will always default to what they know, and if they believe general statements such as 'We're all God's children' or 'Jesus was just a representative of God,' then that is all they will know. Unless they have a relationship with someone who can explain theological doctrines of atonement or of original sin, they will always just believe their own general concepts."
What About Jesus?
In addition to these findings about the church, we found a most defining dichotomy over the Jesus question: Active and Professing Christians said "accepting Christ as Savior and Lord" is the key to being a Christian (almost 9 in 10), while Liturgical, Private, and Cultural Christians favored more generally "believing in God" as the main element in being a Christian. So, for a vast number of people who consider themselves Christian, Christ is not the central figure of their faith.
Leith Anderson, senior pastor of Wooddale Church in Eden Prairie, Minnesota, believes that the high value placed on tolerance in this country is partly to blame. "'God' as a term is transferable amongst different religious sects, but 'Christ' is not. It seems intolerant. What we need to do is reintroduce people to Jesus, his story, his life and his teachings. Not by forcing people to agree with us, but by giving them adequate examples and reasons to believe in Christ."
Hunter agrees that trying to provide intellectual arguments for the Christian faith will only go so far. "Christianity is about Christ, and it is about that personal relationship. We have to not focus on explaining Pauline theology, but on the person and ministry of Christ. We have to be people who live out the life of Christ. People aren't generally interested in theological teaching. But everyone has a heart for the one who had a heart for us."
Active Christians 19%
* Believe salvation comes through Jesus Christ
* Committed churchgoers
* Bible readers
* Accept leadership positions
* Invest in personal faith development through the church
* Feel obligated to share faith; 79% do so.
Professing Christians 20%
* Believe salvation comes through Jesus Christ
* Focus on personal relationship with God and Jesus
* Similar beliefs to Active Christians, different actions
* Less involved in church, both attending and serving
* Less commitment to Bible reading or sharing faith
Liturgical Christians 16%
* Predominantly Catholic and Lutheran
* Regular churchgoers
* High level of spiritual activity, mostly expressed by serving in church and/or community
* Recognize authority of the church
Private Christians 24%
* Largest and youngest segment
* Believe in God and doing good things
* Own a Bible, but don't read it
* Spiritual interest, but not within church context
* Only about a third attend church at all
* Almost none are church leaders
Cultural Christians 21%
* Little outward religious behavior or attitudes
* God aware, but little personal involvement with God
* Do not view Jesus as essential to salvation
* Affirm many ways to God
* Favor universality theology
Copyright © 2007 by the author or Christianity Today International/Leadership Journal.
Click here for reprint information onLeadership Journal.
Fall 2007, Vol. XXVIII, No. 4, Page 19
http://www.christianitytoday.com/le/2007/004/1.19.html
Leadership Journal
5 Kinds of Christians
Understanding the disparity of those who call themselves Christian in America.
A new national survey co-sponsored by Leadership. Reported by Helen Lee
Survey Shows 5 Kinds of Christians in U.S.
Jennifer Hua identifies herself as a Christian. A 35-year-old former attorney studying Christian counseling at the Wheaton College Graduate School (Illinois), she has gone to church all her life and is a lay leader in her suburban Chicago congregation. She furthers her spiritual development by daily Bible reading, prayer, listening to and singing worship songs, and interacting with other Christians. And every few months, she carves out time for a silent retreat. "I do all of these things because I know from past experience I need to recalibrate my mind and my heart to be in tune with God," she says.
James Smith also identifies himself as a Christian. He attended church as a child, but his attendance was minimal as a young adult. He believes in God, occasionally attends Redeemer Presbyterian in Manhattan when his time-consuming job in the finance district allows, but he does not often participate in other activities to further his spiritual life. He has a Bible but rarely opens it; what leisure time he has he spends with friends, most of whom are of different faiths, and he does not necessarily believe that his God is any different from the one his Muslim friend worships.
"I don't think that God would be a God who would shut others out of heaven because they don't use the word 'Christian' to describe themselves," he says.
The United States is described in mainstream media as largely Christian (between 70 and 80 percent, depending on the study, identify themselves as "Christian"), and compared to the rest of the world, this is certainly the case. However, not all within this vast group of Christians are alike.
To understand the range and differences among American Christians, Christianity Today International (publisher of Leadership) recently partnered with Zondervan Publishers to commission Knowledge Networks to conduct attitudinal and behavioral research of U.S. Christians. In September 2006, more than 1,000 self-identified Christians 18 years of age and older were surveyed on their religious beliefs and practices. The results reveal a number of significant differences, illustrated by the examples of Hua and Smith. In fact, portraits of five distinct segments emerged from the study. We have named them Active, Professing, Liturgical, Private, and Cultural Christians.
Each group represents about one-fifth of those identifying themselves as Christian, with Active Christians (such as Hua) most likely to have a personal commitment to Jesus Christ that affects their beliefs and inspires an active church life; Cultural Christians (such as Smith) are least likely to align their beliefs or practices with biblical teachings, or attend church. Between the two is a range of beliefs, commitment levels, and public practice of the faith.
Leadership discussed the survey results with leading pastors and religious experts to ascertain the ramifications for church leaders. Three critical issues emerged:
* The local church is no longer considered the only outlet for spiritual growth.
* Churches must develop relational- and community-oriented outreach.
* Lay people have to be better equipped to be God's ambassadors.
Faith Yes, Church Maybe
The survey shows that for nearly half of Christians, involvement in a local church body is a minimal part of their daily lives (see chart 1).
Click on the image to enlarge.
"Faith is relevant for many people, but church is not," says Bryan Wilkerson, senior pastor of Grace Chapel in Lexington, Massachusetts. "People want to attend to the spiritual side of their lives, they are interested in God, but their experience of church has not been relevant. They say, 'Why do I have to sit through boring sermons and old music that don't speak to my real needs and problems?'"
"A growing element of the Christian population is disappointed with or frustrated by the local church," says D. Michael Lindsay, assistant professor of sociology at Rice University and former consultant with the Gallup Institute. In part, this trend can be attributed to factors within local church bodies themselves, such as lack of strong leadership or teaching.
Given that 60 percent of all Christians worship in churches with fewer than 300 people (see chart 2), most Christians are in congregations that continually struggle with resource issues. Previous generations were accustomed to that, and today's worshipers have higher expectations.
"These days, people can get good teaching, wonderful music, and excellent writing, whether through iPods, TV, or online," says Wilkerson. "They learn to shop around and pick and choose. Then they expect the same high quality in their local church. A generation ago, the average person learned to accept his home pastor and was faithful to his local church. But now, people's appetites for excellence have been heightened."
As pastor of a large church himself, Wilkerson acknowledges "we probably end up perpetuating that kind of appetite by trying to be as high-quality as what we find out there. The temptation of larger churches is to compete and to be as good as the others are."
Even for those Private and Cultural Christians who do not typically consume Christian media, access to it can still play a significant role in their spiritual development in ways that may not be reflected in the survey.
"Private and Cultural Christians might not use traditional Christian media, but I would bet they disproportionately watch [Lakewood Church pastor] Joel Osteen on cable," says Lindsay. Cultural Christians are the group that spends the most time watching TV and using the Internet.
Spiritual growth, then, may be occurring for many of today's Christians in non-traditional ways. Instead of attending church on Sunday mornings, many opt for personal, individual ways to stretch themselves spiritually.
"Emerging generations may not see themselves as churched, but neither do they see themselves as any less committed," says Joel Hunter, senior pastor of Northland Church in Longwood, Florida. "The traditional programming that churches do is becoming less essential to work out faith for many people."
Personal or Media Relationships?
The danger, however, is that the multimedia availability of religious content helps people become spiritual do-it-yourselfers. As a result, they lack an important aspect of faith development: interaction with other Christians in community. This privatizing of Christian faith fits with the American spirit of individualism, but it may not produce Christians with enduring and long-term spiritual vitality.
"It's fine to use religious media as an addition if you are part of a local Christian community," says Lindsay. "It becomes problematic if you have no binding commitment to a local community and you become a Lone Ranger Christian. Before long your faith becomes something you put on and off like a jacket."
Instead of trying to win underchurched people back to a traditional church context, leaders say the approach to bringing Private, Cultural, and non-Christians into the church is relational and outward-looking rather than programmatic and inward-focused. Lindsay notes many Christians who are not involved in traditional churches are "much, much more interested in personal connection. The ways in which they nourish their faith are through home churches or one-on-one Bible study or non-church related small groups."
Click on the image to enlarge.
In fact, house churches have recently become a noteworthy trend in the United States. Time magazine in March 2007 quoted pollster George Barna as saying that house churches were evidence of a "seminal transition that may be akin to a third spiritual awakening in the U.S." and that in two decades, "only about one-third of the population" will attend traditional churches.
"The old paradigm of evangelism was a transactional sharing of the gospel," says Ken Fong, senior pastor of Evergreen Baptist Church of Los Angeles. "I would try to get people to intellectually agree with me. But the new paradigm is different, an approach in which I invite you to walk alongside me, examine my life, and see evidence of the truth, and hopefully there will be something compelling that you see. It's a no-strings-attached invitation to enter my life as I follow Jesus."
Another necessary shift is recognizing that the old metrics of success may no longer apply. Wilkerson says, "We need to spend the next ten years investing in the life of our surrounding community and finding ways to regain a hearing for the gospel. Instead of going to the nursing home and holding a church service, we're just going to go and love and serve people for years and years, until the staff and residents ask, 'Why do they care so much?' This won't result in 150 decisions for Christ in a year. You might not see results for five or ten years."
Churches that do engage their local communities may discover that what they gain surpasses what they give. At Evergreen Baptist Church-LA, the demographics of the city of Rosemead, where the church is located—Asian, Hispanic, and lower-income—differ from the congregation itself—predominantly Asian and largely middle- and upper-middle class. Fong strives to encourage the right attitude as his church engages the surrounding community.
"As we reach out to kids in the neighborhood, we tell our congregation that we don't just do this to be good Christians. We tell them that maybe these poor kids know something more than we do about knowing God, more so than us middle-class snobs," he says. "It's not enough to reach out because we think it's the right thing to do. That is paternalistic. We need to see that there is something that different people with different perspectives can show us that we're missing."
Hunter believes the way the church responds to the forces affecting today's Christians and non-Christians will have significant ramifications. "As the traditional church has a rougher and rougher time, our challenge will become a motivational factor: either we build relationships with people in our communities, or we will die."
New Need for Apologetics
The survey indicated that self-identified Christians hold a wide range of theological and doctrinal beliefs. For many, Private and Cultural Christians in particular, Bible-reading is minimally important (see chart 3). Thus, as churches encourage their congregants to engage with the surrounding communities and build relational bridges with people, they must simultaneously equip these Christians to handle the questions and attitudes they may encounter, both with non-Christians as well as with other Christians who hold different beliefs.
But the current level of biblical and theological teaching in the church may not be meeting the challenge of preparing people in the pews to explain the power and significance of the Scriptures to those who rarely read them. "I do think there is decline and unbelievable degrees of biblical illiteracy that we haven't seen in previous generations, among all five of these categories of Christians," says Lindsay. "People used to know their Bible, but now they can go week-in and week-out and not even know the order of the books. Many churches feed their congregants a steady diet of messages that do not require intellectual engagement or an understanding of the biblical narrative. And that is a huge problem."
Hunter says, "We need to preach with apologetics in mind, with a rational explanation and defense of the Christian faith in mind, so that the people who are in the church really know how to phrase that to people who aren't in the church. We should say, 'You need to be able to tell other people what I'm telling you.'"
During one recent Easter Sunday, Grace Chapel focused on the disciple Thomas and his doubts about Jesus after the resurrection. Wilkerson told his own story of spiritual darkness and doubt, then planned a service the following Sunday entitled "Doubters Anonymous."
Wilkerson asked people to e-mail their questions to the church, and he had three pastors up front to handle the questions. Those who attended were also able to text message questions or turn them in on a card.
Click on the image to enlarge.
"There had to be an authenticity about it that demonstrated this was real, not canned, that these were genuine questions and answers, and that it was okay to ask these questions," says Wilkerson. "It also gave the Christians in the audience more confidence, that they now had some tools to answer the hard questions about Christianity."
Ultimately, though, Northland's Hunter feels that the way to counter biblical illiteracy is to equip Active Christians as teachers, ambassadors, and apologists. "We have to go out and be with those who do not know or understand. People will always default to what they know, and if they believe general statements such as 'We're all God's children' or 'Jesus was just a representative of God,' then that is all they will know. Unless they have a relationship with someone who can explain theological doctrines of atonement or of original sin, they will always just believe their own general concepts."
What About Jesus?
In addition to these findings about the church, we found a most defining dichotomy over the Jesus question: Active and Professing Christians said "accepting Christ as Savior and Lord" is the key to being a Christian (almost 9 in 10), while Liturgical, Private, and Cultural Christians favored more generally "believing in God" as the main element in being a Christian. So, for a vast number of people who consider themselves Christian, Christ is not the central figure of their faith.
Leith Anderson, senior pastor of Wooddale Church in Eden Prairie, Minnesota, believes that the high value placed on tolerance in this country is partly to blame. "'God' as a term is transferable amongst different religious sects, but 'Christ' is not. It seems intolerant. What we need to do is reintroduce people to Jesus, his story, his life and his teachings. Not by forcing people to agree with us, but by giving them adequate examples and reasons to believe in Christ."
Hunter agrees that trying to provide intellectual arguments for the Christian faith will only go so far. "Christianity is about Christ, and it is about that personal relationship. We have to not focus on explaining Pauline theology, but on the person and ministry of Christ. We have to be people who live out the life of Christ. People aren't generally interested in theological teaching. But everyone has a heart for the one who had a heart for us."
Active Christians 19%
* Believe salvation comes through Jesus Christ
* Committed churchgoers
* Bible readers
* Accept leadership positions
* Invest in personal faith development through the church
* Feel obligated to share faith; 79% do so.
Professing Christians 20%
* Believe salvation comes through Jesus Christ
* Focus on personal relationship with God and Jesus
* Similar beliefs to Active Christians, different actions
* Less involved in church, both attending and serving
* Less commitment to Bible reading or sharing faith
Liturgical Christians 16%
* Predominantly Catholic and Lutheran
* Regular churchgoers
* High level of spiritual activity, mostly expressed by serving in church and/or community
* Recognize authority of the church
Private Christians 24%
* Largest and youngest segment
* Believe in God and doing good things
* Own a Bible, but don't read it
* Spiritual interest, but not within church context
* Only about a third attend church at all
* Almost none are church leaders
Cultural Christians 21%
* Little outward religious behavior or attitudes
* God aware, but little personal involvement with God
* Do not view Jesus as essential to salvation
* Affirm many ways to God
* Favor universality theology
Copyright © 2007 by the author or Christianity Today International/Leadership Journal.
Click here for reprint information onLeadership Journal.
Fall 2007, Vol. XXVIII, No. 4, Page 19
08 November 2007
Cancer, update RS Johns Hopkins
SETELAH BERTAHUN2 MENGATAKAN PADA KHALAYAK BAHWA KEMOTERAPI ADALAH CARA SATU2NYA UNTUK MENCOBA (KATA KUNCI:MENCOBA) DAN MENGHILANGKAN PENYAKIT CANCER, JOHN HOPKINS AKHIRNNYA MULAI MENGATAKAN: "ADA CARA ALTERNATIF".
Update dari John Hopkins:
1. Tiap orang mempunyai sel kanker. Sel kanker ini tidak tampak dalam pemeriksaan standar sampai sel2 ini berkembang biak hingga berjuta jumlah nya. Pada saat dokter memberitahu pasien bahwa "tidak ada sel kanker lagi" setelah menjalani pengobatan, itu artinya pemeriksaan yang dilakukan sudah tidak dapat mendeteksi sel2 cancer karena sel2 tersebut sudah berada di bawah ukuran/jumlah yang dapat terdeteksi
2. Sel cancer tumbuh antara 6 sampai lebih dari 10 kali dalam jangka waktu hidup manusia.
3. Pada saat kekebalan tubuh seseorang tinggi, sel2 cancer akan dihancurkan dan dicegah sehingga tidak dapat bertambah banyak dan membentuk tumor.
4. Pada saat seseorang menderita cancer ini menunjukkan bahwa orang tersebut mengalami beberapa kekurangan nutrisi. Ini dapat terjadi karena faktor genetika, lingkungan, makanan dan cara hidup.
5. Untuk menanggulangi kekurangan nutrisi dan memperkuat sistem kekebalan tubuh dapat ditempuh dengan merubah diet (cara makan) dan menambahkan asupan suplemen.
6. Kemoterapi, meracuni sel cancer yang bertumbuh cepat, tapi pada saat yang sama juga menghancurkan pertumbuhan sel sehat dalam tulang sumsum,gastro-intestinal tracts (saluran pencernaan) dll, dan dapat menyebabkan kerusakan pada organ2 lain, seperti hati, ginjal, jantung, paru2 dll.
7. Sedangkan radiasi, bersamaan dengan fungsinya yang menghancurkan sel cancer, juga menyebabkan luka bakar, meninggalkan bekas luka, dan merusak sel, tissues, dan organ yang sehat.
8. Perawatan dini dengan kemoterapi dan radiasi dapat mengurangi ukuran tumor. Namun penerapan kemoterapi dan radiasi yang berkepanjangan tidak akan menghasilkan pengurangan tumor lebih lanjut.
9. Pada saat tubuh menanggung beban racun yang berlebihan dari kemoterapi dan radiasi, sistem kekebalan tubuh akan terancam atau hancur, karena itulah seseorang akan mengalami berbagai macam infeksi dan komplikasi.
10. Kemoterapi dan radiasi dapat menyebabkan sel kanker bermutasi dan menjadi tahan dan sulit untuk dihancurkan. Operasi juga dapat menyebabkan sel cancer menyebar ke tempat2 lainnya.
11. Cara efektif untuk melawan cancer adalah dengan membuatnya kelaparan, yaitu dengan cara tidak memberikan makanan yg dibutuhkan dalam sel untuk dapat berkembang biak
SEL CANCER MEMAKAN:
· Gula. Dengan meniadakan gula dalam asupan makanan itu berarti menghilangkan makanan utama sel cancer. Pengganti gula seperti NutraSweet, Equal, Spoonful, dll dibuat dari Aspartame, dan ini berbahaya. Pengganti yang lebih natural yaitu madu Manuka atau molasses, tapi dalam jumlah yang sedikit. Garam meja mengandung bahan kimia tambahan untuk menjadikannya putih. Alternatif yang lebih baik yaitu Bragg's aminos atau garam laut.
· Susu menyebabkan tubuh menghasilkan mucus, terutama di dalam gastro-intestinal tract (saluran pencernaan). Mucus juga makanan sel kanker. Dengan meniadakan susu dan menggantikannya dengan susu kedelai (tanpa gula) sel-sel cancer akan kelaparan.
· Sel2 cancer berkembang dengan baik di lingkungan yang tinggi asam. Dietari yang berbasis daging sangat tinggi kadar asamnya. Oleh karena itu lebih baik mengkonsumsi ikan, sedikit ayam daripada sapi atau babi. Daging juga mengandung antibiotic, hormon tambahan dan parasit2 untuk peternakan. Kesemuanya ini sangat berbahaya, terutama untuk penderita cancer.
· Dietari yang 80% berbasis sayuran segar dan sarinya (jus), whole grain , kacang2an dan sedikit buah akan membantu menjadikan tubuh dalam situasi alkaline. 20% dari persentasi tadi dapat diambil dari makanan yang dimasak termasuk kecambah. Sari sayuran segar mengandung enzim2 aktif/hidup yang dapat diserap dengan mudah dan dapat mencapai titik selular dalam waktu 15 menit untuk memberi makan dan mempercepat pertumbuhan sel2 sehat. Guna memperoleh enzim2 aktif untuk membangun sel sehat, minumlah sari sayuran segar (hampir semua jenis sayuran, termasuk kecambah) dan makanlah sejumlah sayuran mentah 2-3 kali sehari. Enzim2 ini hancur pada temperature 40 derajat Celcius.
· Hindari kopi, teh dan coklat, karena mengandung kafein yang tinggi. The hijau lebih baik sebagai alternatifnya, dan mempunyai unsur2 yang memerangi cancer. Air, yang paling baik yaitu air yang sudah di saring (filtered) guna menhindari racun2 dan kandungan2 logam dalam air keran. Hindari air yang sudah melewati proses distilasi karena mengandung asam.
· Protein dari daging sulit untuk di cerna dan membutuhkan enzim pencerna yang cukup banyak. Kandungan daging yang tidak tercerna dan tertinggal di saluran pencernaan akhirnya akan membusuk dan menambah timbunan racun.
· Dinding sel2 kanker mempunyai selaput protein yang kuat. Dengan menghindari makanan mengandung daging, tubuh membutuhkan jauh lebih sedikit enzim untuk mencerna makanan, sehingga sebagian besar enzim dapat menyerang dinding protein pada sel2 cancer dan selanjutnya memungkinkan bagi sel2 tubuh untuk menghancurkan sel2 cancer.
· Beberapa suplemen menaikan system kekebalan tubuh (IP6, Floressence, Essiac, anti-oxidants, vitamins, mineral, EFAs dll) sehingga memungkinkan sel2 tubuh sehat untuk menghancurkan sel2 cancer. Suplemen lain seperti Vitamin E diketahui menyebabkan apoptosis, atau sel mati terprogram, yaitu metode natural dari tubuh untuk membuang sel2 yang rusak, yang tidak dikehendaki, atau tidak dibutuhkan.
· Cancer adalah penyakit yang melibatkan pikiran, tubuh dan jiwa. Jiwa yang proaktif dan positif akan membantu penderita cancer untuk sembuh. Kemarahan, tidak dapat memaafkan, dan kegetiran menjadikan tubuh dalam situasi yang tegang dan berkadar asam tinggi. Belajar untuk berjiwa lembut dan pemaaf. Belajar untuk bersantai dan menikmati hidup.
· Sel cancer tidak dapat berkembang dalam lingkungan yang tinggi oksigen. Berolahraga setiap hari dan menghirup nafas dalam2 dapat membantu asupan oksigen dalam tahap selular. Terapi oksigen juga salah satu cara yang digunakan untuk menghancurkan sel2 cancer.
Jangan menggunakan tempat plastic di microwave
1. Jangan memasukan botol air ke freezer
2. Jangan menggunakan 'plastic wrap' di microwave
Rumah Sakit John Hopkins baru-baru ini memasukkan berita ini di newsletters -nya. Informasi ini juga diedarkan di Walter Reed Army Medical Center .
Dioxin adalah jenis bahan kimia yang menyebabkan cancer, terutama cancer payudara. Dioxin juga berkadar racun tinggi bagi sel2 di tubuh kita.
Jangan membekukan botol plastik dengan air di dalamnya karena ini melepaskan kandungan dioxin yang terdapat dalam plastik.
Baru2 ini Dr. Edward Fujimoto, Wellness Program Manager di Rumah Sakit Castle, hadir di satu program televisi untuk menjelaskan bahaya kesehatan ini. Beliau menjelaskan sebaiknya tidak memanaskan makanan di dalam microwave menggunakan tempat plastik.
Terlebih untuk makanan yang mengandung lemak. Beliau juga mengatakan bahwa kombinasi lemak, panas tinggi dan plastic melepaskan dioxin ke dalam makanan yang akhirnya akan masuk ke dalam sel2 tubuh. Beliau menghimbau untuk memanaskan makanan di microwave dengan Corning Ware, Pyrex atau keramik. Produk kertas tidak begitu jelek namun kita tidak tau apa yang ada di kertas tersebut. Lebih aman menggunakan produk2 di atas. Dia mengingatkan kita bahwa beberapa waktu lalu restoran cepat saji beralih dari produk foam ke kertas. Hal ini juga disebabkan karena masalah dioxin.
Beliau juga mengungkapkan tentang plastic wrap seperti Saran, juga berbahaya untuk digunakan menutup makanan yang akan di panaskan dalam microwave. Panas yang tinggi dapat menyebabkan zat2 beracun meleleh dan menetes ke dalam makanan. Tutuplah makanan dengan paper towel (tissue dapur)
Kirimkanlah artikel ini ke semua orang penting di dalam hidup anda.
Update dari John Hopkins:
1. Tiap orang mempunyai sel kanker. Sel kanker ini tidak tampak dalam pemeriksaan standar sampai sel2 ini berkembang biak hingga berjuta jumlah nya. Pada saat dokter memberitahu pasien bahwa "tidak ada sel kanker lagi" setelah menjalani pengobatan, itu artinya pemeriksaan yang dilakukan sudah tidak dapat mendeteksi sel2 cancer karena sel2 tersebut sudah berada di bawah ukuran/jumlah yang dapat terdeteksi
2. Sel cancer tumbuh antara 6 sampai lebih dari 10 kali dalam jangka waktu hidup manusia.
3. Pada saat kekebalan tubuh seseorang tinggi, sel2 cancer akan dihancurkan dan dicegah sehingga tidak dapat bertambah banyak dan membentuk tumor.
4. Pada saat seseorang menderita cancer ini menunjukkan bahwa orang tersebut mengalami beberapa kekurangan nutrisi. Ini dapat terjadi karena faktor genetika, lingkungan, makanan dan cara hidup.
5. Untuk menanggulangi kekurangan nutrisi dan memperkuat sistem kekebalan tubuh dapat ditempuh dengan merubah diet (cara makan) dan menambahkan asupan suplemen.
6. Kemoterapi, meracuni sel cancer yang bertumbuh cepat, tapi pada saat yang sama juga menghancurkan pertumbuhan sel sehat dalam tulang sumsum,gastro-intestinal tracts (saluran pencernaan) dll, dan dapat menyebabkan kerusakan pada organ2 lain, seperti hati, ginjal, jantung, paru2 dll.
7. Sedangkan radiasi, bersamaan dengan fungsinya yang menghancurkan sel cancer, juga menyebabkan luka bakar, meninggalkan bekas luka, dan merusak sel, tissues, dan organ yang sehat.
8. Perawatan dini dengan kemoterapi dan radiasi dapat mengurangi ukuran tumor. Namun penerapan kemoterapi dan radiasi yang berkepanjangan tidak akan menghasilkan pengurangan tumor lebih lanjut.
9. Pada saat tubuh menanggung beban racun yang berlebihan dari kemoterapi dan radiasi, sistem kekebalan tubuh akan terancam atau hancur, karena itulah seseorang akan mengalami berbagai macam infeksi dan komplikasi.
10. Kemoterapi dan radiasi dapat menyebabkan sel kanker bermutasi dan menjadi tahan dan sulit untuk dihancurkan. Operasi juga dapat menyebabkan sel cancer menyebar ke tempat2 lainnya.
11. Cara efektif untuk melawan cancer adalah dengan membuatnya kelaparan, yaitu dengan cara tidak memberikan makanan yg dibutuhkan dalam sel untuk dapat berkembang biak
SEL CANCER MEMAKAN:
· Gula. Dengan meniadakan gula dalam asupan makanan itu berarti menghilangkan makanan utama sel cancer. Pengganti gula seperti NutraSweet, Equal, Spoonful, dll dibuat dari Aspartame, dan ini berbahaya. Pengganti yang lebih natural yaitu madu Manuka atau molasses, tapi dalam jumlah yang sedikit. Garam meja mengandung bahan kimia tambahan untuk menjadikannya putih. Alternatif yang lebih baik yaitu Bragg's aminos atau garam laut.
· Susu menyebabkan tubuh menghasilkan mucus, terutama di dalam gastro-intestinal tract (saluran pencernaan). Mucus juga makanan sel kanker. Dengan meniadakan susu dan menggantikannya dengan susu kedelai (tanpa gula) sel-sel cancer akan kelaparan.
· Sel2 cancer berkembang dengan baik di lingkungan yang tinggi asam. Dietari yang berbasis daging sangat tinggi kadar asamnya. Oleh karena itu lebih baik mengkonsumsi ikan, sedikit ayam daripada sapi atau babi. Daging juga mengandung antibiotic, hormon tambahan dan parasit2 untuk peternakan. Kesemuanya ini sangat berbahaya, terutama untuk penderita cancer.
· Dietari yang 80% berbasis sayuran segar dan sarinya (jus), whole grain , kacang2an dan sedikit buah akan membantu menjadikan tubuh dalam situasi alkaline. 20% dari persentasi tadi dapat diambil dari makanan yang dimasak termasuk kecambah. Sari sayuran segar mengandung enzim2 aktif/hidup yang dapat diserap dengan mudah dan dapat mencapai titik selular dalam waktu 15 menit untuk memberi makan dan mempercepat pertumbuhan sel2 sehat. Guna memperoleh enzim2 aktif untuk membangun sel sehat, minumlah sari sayuran segar (hampir semua jenis sayuran, termasuk kecambah) dan makanlah sejumlah sayuran mentah 2-3 kali sehari. Enzim2 ini hancur pada temperature 40 derajat Celcius.
· Hindari kopi, teh dan coklat, karena mengandung kafein yang tinggi. The hijau lebih baik sebagai alternatifnya, dan mempunyai unsur2 yang memerangi cancer. Air, yang paling baik yaitu air yang sudah di saring (filtered) guna menhindari racun2 dan kandungan2 logam dalam air keran. Hindari air yang sudah melewati proses distilasi karena mengandung asam.
· Protein dari daging sulit untuk di cerna dan membutuhkan enzim pencerna yang cukup banyak. Kandungan daging yang tidak tercerna dan tertinggal di saluran pencernaan akhirnya akan membusuk dan menambah timbunan racun.
· Dinding sel2 kanker mempunyai selaput protein yang kuat. Dengan menghindari makanan mengandung daging, tubuh membutuhkan jauh lebih sedikit enzim untuk mencerna makanan, sehingga sebagian besar enzim dapat menyerang dinding protein pada sel2 cancer dan selanjutnya memungkinkan bagi sel2 tubuh untuk menghancurkan sel2 cancer.
· Beberapa suplemen menaikan system kekebalan tubuh (IP6, Floressence, Essiac, anti-oxidants, vitamins, mineral, EFAs dll) sehingga memungkinkan sel2 tubuh sehat untuk menghancurkan sel2 cancer. Suplemen lain seperti Vitamin E diketahui menyebabkan apoptosis, atau sel mati terprogram, yaitu metode natural dari tubuh untuk membuang sel2 yang rusak, yang tidak dikehendaki, atau tidak dibutuhkan.
· Cancer adalah penyakit yang melibatkan pikiran, tubuh dan jiwa. Jiwa yang proaktif dan positif akan membantu penderita cancer untuk sembuh. Kemarahan, tidak dapat memaafkan, dan kegetiran menjadikan tubuh dalam situasi yang tegang dan berkadar asam tinggi. Belajar untuk berjiwa lembut dan pemaaf. Belajar untuk bersantai dan menikmati hidup.
· Sel cancer tidak dapat berkembang dalam lingkungan yang tinggi oksigen. Berolahraga setiap hari dan menghirup nafas dalam2 dapat membantu asupan oksigen dalam tahap selular. Terapi oksigen juga salah satu cara yang digunakan untuk menghancurkan sel2 cancer.
Jangan menggunakan tempat plastic di microwave
1. Jangan memasukan botol air ke freezer
2. Jangan menggunakan 'plastic wrap' di microwave
Rumah Sakit John Hopkins baru-baru ini memasukkan berita ini di newsletters -nya. Informasi ini juga diedarkan di Walter Reed Army Medical Center .
Dioxin adalah jenis bahan kimia yang menyebabkan cancer, terutama cancer payudara. Dioxin juga berkadar racun tinggi bagi sel2 di tubuh kita.
Jangan membekukan botol plastik dengan air di dalamnya karena ini melepaskan kandungan dioxin yang terdapat dalam plastik.
Baru2 ini Dr. Edward Fujimoto, Wellness Program Manager di Rumah Sakit Castle, hadir di satu program televisi untuk menjelaskan bahaya kesehatan ini. Beliau menjelaskan sebaiknya tidak memanaskan makanan di dalam microwave menggunakan tempat plastik.
Terlebih untuk makanan yang mengandung lemak. Beliau juga mengatakan bahwa kombinasi lemak, panas tinggi dan plastic melepaskan dioxin ke dalam makanan yang akhirnya akan masuk ke dalam sel2 tubuh. Beliau menghimbau untuk memanaskan makanan di microwave dengan Corning Ware, Pyrex atau keramik. Produk kertas tidak begitu jelek namun kita tidak tau apa yang ada di kertas tersebut. Lebih aman menggunakan produk2 di atas. Dia mengingatkan kita bahwa beberapa waktu lalu restoran cepat saji beralih dari produk foam ke kertas. Hal ini juga disebabkan karena masalah dioxin.
Beliau juga mengungkapkan tentang plastic wrap seperti Saran, juga berbahaya untuk digunakan menutup makanan yang akan di panaskan dalam microwave. Panas yang tinggi dapat menyebabkan zat2 beracun meleleh dan menetes ke dalam makanan. Tutuplah makanan dengan paper towel (tissue dapur)
Kirimkanlah artikel ini ke semua orang penting di dalam hidup anda.
05 November 2007
Yosua 24: 14-18
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
1.1. Kronologi
Kira-kira (kr.) thn. 1406 sM: Umat Israel mulai memasuki Tanah Kanaan. Kr. thn. 1406-1375 sM : Secara bertahap Tanah Kanaan diduduki. Kr. thn. 1390 sM : Yosua meninggal. Kitab Yosua ditulis. Kr. thn 1375 sM : Dimulainya masa pelayanan para hakim. Thn. 1050 sM : Saul diangkat menjadi raja. Thn. 1010 sM : Daud diangkat menjadi raja. Thn. 930 sM : Kerajaan Israel pecah menjadi dua --- utara: Israel; selatan: Yehuda [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 298].
1.2. “Why Read this book?” Have you ever wished for a second chance? Perhaps you squandered a rare opportunity. May be you tried something, but your halfhearted attempt failed. Or perhaps you wasted the prime time of you life, a precious gift or a valued friendship. The book of Joshua reminds us that God often offers us a second chance. Though the Israelites failed to enter the promised land the first time, and though they wasted 40 years for the failure, God gave the next generation another chance. Having learned their lesson, the results were different the second time around. The story of their conquest and settlement of the land is inspiring [kutipan dari Ibid.].
2. Susunan, Konteks dan Sinopsis
Fasal 24: Pembaharuan perjanjian di Sikhem (ayat 1-28). Yosua dan Elieser mati dan dikubur- kan. Tulang-tulang Yusuf dikuburkan (29-33) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanji- an Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 71]. Informasi: Bagian paling akhir Kitab Yosua (bab 24) memang menceritakan bahwa Yosua memperbaharui perjanjian Allah dengan umat. Mungkin aslinya cerita ini menge- nai peristiwa bahwa sejumlah suku yang tetap tinggal di negeri Palestina mengga- bungkan diri dengan mereka yang memasuki negeri. Suku-suku yang mengga- bungkan diri mengambil alih agama dari suku-suku lain. Rupanya perayaan pembaharuan perjanjian dengan Tuhan berulang kali diadakan. Tetapi dalam Kitab Yosua sekarang, cerita itu menegaskan bahwa perebutan negeri Palestina merupakan pelaksanaan perjanjian. Dalam perebutan itu ternyata Tuhan kembali melimpahkan anugerah-Nya atas umat pilihan-Nya. Tetapi umat mesti menang- gapi kasih karunia Tuhan itu dengan kesetiaan dan ketaatan. Dengan demikian terjaminlah bahwa Tanah Suci tetap dapat dan boleh dinimati oleh umat [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 141f.].
3. Eksposisi
3.1. Ayat 14: “ . . . takutlah akan Tuhan”. Seruan “janganlah takut” telah disampaikan beberapa kali (8:1; 10:8,25). Tetapi di sini, seruannya ialah “takutlah”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Alkitab pada kesempatan Abrahan telah selesai membawa putranya Ishak ke atas bukit Moria. Abraham diperintahkan Tuhan ke situ untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran. Persis ketika Abraham akan menyembelih putranya itu, malaikat Tuhan meng-interupsi-nya dan berkata: “. . . telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah . . .” (Kej 22:12). Dalam konteks ini “takut akan Allah” adalah patuh kepada kehendakNya, apapun konsekuensi-konsekuensinya. “Takutlah akan Tuhan” hendaklah diwujudnyatakan dalam “beribadahlah kepadaNya dengan tulus ikhlas dan setia” (NIV: “serve him with all faithfulness”). “It is true that God had served Israel, as he had earlier reminded them, but they were also to serve God, and do it faithfully” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Charles Price, Dis- cover ing Joshua (Leicester,England: Crossway Books, IVP, 1997), p. 177f.]. Mengapa mereka diperintahkan untuk menjauhkan allah yang kepadanya nenek moyang mereka telah beribadah? Allah menuntut “mono loyalitas”. Dalam keseluruhannya umat Israel telah berpaut kepada Tuhan (23:8). Tetapi dalam berbagai kasus mereka ternyata tidak “tulus dan jujur” kepada Tuhan. Ini tentunya karena pengaruh bangsa- bangsa tetangga mereka yang menyembah berhala. Kemungkinan lain ialah bahwa mereka beranggapan: siapa tahu, Allah tidak lagi mempedulikan mere- ka, toh, masih ada allah lain yang juga bisa diandalkan [Sumber: Quest . . ., p. 331].
3.2. Ayat 15: Yosua cukup bijaksana menyatakan bahwa ada kemungkinan memilih: atau allah yg kepadanya nenek moyangmu beribadah . . . atau allah orang Amori yg negerinya kamu diami ini. Yg terakhir ini menjadi pencobaan yg terus-mene- rus dalam sejarah kemudian dari Israel. Ada kesempatan memilih. Yosua me- nyatakan pilihannya yg tak dapat diganggu-gugat. Tetapi aku dan seisi rumah- ku, kami akan akan beribadah kepada TUHAN! [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 380f.]. Informasi: In every action of life man is confronted with a choice; and he can never evade the choice, because he can never stand still. He must always take one way or the other. Because of that, it has always been one of the supreme functions of the great men of history that they should confront men with that inevitable choice. . . . When Joshua was laying down leadership of the nation at the end of his life, he presented [the Israelites] with the . . . choice: “Choose this day whom you will serve” (Joshua 24:15) [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1977), pp. 277f.].
3.3. Ayat 16-18: Pilihan Umat Umat memilih untuk beribadah kepada Tuhan. Mereka mengakui karya Tuhan yang membebaskan mereka dari Mesir, mengantar mereka memasuki Tanah Kanaan, dan mendudukinya. Yosua mengikat mereka dalam perjanjian yang diperbaharui dalam cara sekhidmat mungkin Informasi: Berbeda dengan perjanjian-perjanjian lain dalam Alkitab, perjanjian Musa [di Sinai] haruslah selalu diperbaharui lagi oleh umat. Setiap generasi wajib ber- janji untuk mematuhi hukum (Taurat) yang diberikan Tuhan kepada mereka melalui Musa di Sinai. Setiap generasi wajib memilih kepada siapa mereka beribadah. Hingga saat ini anak-anak orang Yahudi yang telah berusia 12 tahun diwajibkan untuk memilih kepada siapa mereka akan beribadah (bnd. upacara “sidi”]. When he becomes bar mitzvah, a “son of the commandment”, he accepts responsibility to live in accord with the stipulations lain down in the ancient Mosaic code” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari New International Encyclo- pedia of Bile Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p.196].
- - - NR - - -
1. Pengantar
1.1. Kronologi
Kira-kira (kr.) thn. 1406 sM: Umat Israel mulai memasuki Tanah Kanaan. Kr. thn. 1406-1375 sM : Secara bertahap Tanah Kanaan diduduki. Kr. thn. 1390 sM : Yosua meninggal. Kitab Yosua ditulis. Kr. thn 1375 sM : Dimulainya masa pelayanan para hakim. Thn. 1050 sM : Saul diangkat menjadi raja. Thn. 1010 sM : Daud diangkat menjadi raja. Thn. 930 sM : Kerajaan Israel pecah menjadi dua --- utara: Israel; selatan: Yehuda [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 298].
1.2. “Why Read this book?” Have you ever wished for a second chance? Perhaps you squandered a rare opportunity. May be you tried something, but your halfhearted attempt failed. Or perhaps you wasted the prime time of you life, a precious gift or a valued friendship. The book of Joshua reminds us that God often offers us a second chance. Though the Israelites failed to enter the promised land the first time, and though they wasted 40 years for the failure, God gave the next generation another chance. Having learned their lesson, the results were different the second time around. The story of their conquest and settlement of the land is inspiring [kutipan dari Ibid.].
2. Susunan, Konteks dan Sinopsis
Fasal 24: Pembaharuan perjanjian di Sikhem (ayat 1-28). Yosua dan Elieser mati dan dikubur- kan. Tulang-tulang Yusuf dikuburkan (29-33) [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanji- an Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 71]. Informasi: Bagian paling akhir Kitab Yosua (bab 24) memang menceritakan bahwa Yosua memperbaharui perjanjian Allah dengan umat. Mungkin aslinya cerita ini menge- nai peristiwa bahwa sejumlah suku yang tetap tinggal di negeri Palestina mengga- bungkan diri dengan mereka yang memasuki negeri. Suku-suku yang mengga- bungkan diri mengambil alih agama dari suku-suku lain. Rupanya perayaan pembaharuan perjanjian dengan Tuhan berulang kali diadakan. Tetapi dalam Kitab Yosua sekarang, cerita itu menegaskan bahwa perebutan negeri Palestina merupakan pelaksanaan perjanjian. Dalam perebutan itu ternyata Tuhan kembali melimpahkan anugerah-Nya atas umat pilihan-Nya. Tetapi umat mesti menang- gapi kasih karunia Tuhan itu dengan kesetiaan dan ketaatan. Dengan demikian terjaminlah bahwa Tanah Suci tetap dapat dan boleh dinimati oleh umat [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 141f.].
3. Eksposisi
3.1. Ayat 14: “ . . . takutlah akan Tuhan”. Seruan “janganlah takut” telah disampaikan beberapa kali (8:1; 10:8,25). Tetapi di sini, seruannya ialah “takutlah”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Alkitab pada kesempatan Abrahan telah selesai membawa putranya Ishak ke atas bukit Moria. Abraham diperintahkan Tuhan ke situ untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran. Persis ketika Abraham akan menyembelih putranya itu, malaikat Tuhan meng-interupsi-nya dan berkata: “. . . telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah . . .” (Kej 22:12). Dalam konteks ini “takut akan Allah” adalah patuh kepada kehendakNya, apapun konsekuensi-konsekuensinya. “Takutlah akan Tuhan” hendaklah diwujudnyatakan dalam “beribadahlah kepadaNya dengan tulus ikhlas dan setia” (NIV: “serve him with all faithfulness”). “It is true that God had served Israel, as he had earlier reminded them, but they were also to serve God, and do it faithfully” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Charles Price, Dis- cover ing Joshua (Leicester,England: Crossway Books, IVP, 1997), p. 177f.]. Mengapa mereka diperintahkan untuk menjauhkan allah yang kepadanya nenek moyang mereka telah beribadah? Allah menuntut “mono loyalitas”. Dalam keseluruhannya umat Israel telah berpaut kepada Tuhan (23:8). Tetapi dalam berbagai kasus mereka ternyata tidak “tulus dan jujur” kepada Tuhan. Ini tentunya karena pengaruh bangsa- bangsa tetangga mereka yang menyembah berhala. Kemungkinan lain ialah bahwa mereka beranggapan: siapa tahu, Allah tidak lagi mempedulikan mere- ka, toh, masih ada allah lain yang juga bisa diandalkan [Sumber: Quest . . ., p. 331].
3.2. Ayat 15: Yosua cukup bijaksana menyatakan bahwa ada kemungkinan memilih: atau allah yg kepadanya nenek moyangmu beribadah . . . atau allah orang Amori yg negerinya kamu diami ini. Yg terakhir ini menjadi pencobaan yg terus-mene- rus dalam sejarah kemudian dari Israel. Ada kesempatan memilih. Yosua me- nyatakan pilihannya yg tak dapat diganggu-gugat. Tetapi aku dan seisi rumah- ku, kami akan akan beribadah kepada TUHAN! [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, Kejadian-Ester, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 380f.]. Informasi: In every action of life man is confronted with a choice; and he can never evade the choice, because he can never stand still. He must always take one way or the other. Because of that, it has always been one of the supreme functions of the great men of history that they should confront men with that inevitable choice. . . . When Joshua was laying down leadership of the nation at the end of his life, he presented [the Israelites] with the . . . choice: “Choose this day whom you will serve” (Joshua 24:15) [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible: the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1977), pp. 277f.].
3.3. Ayat 16-18: Pilihan Umat Umat memilih untuk beribadah kepada Tuhan. Mereka mengakui karya Tuhan yang membebaskan mereka dari Mesir, mengantar mereka memasuki Tanah Kanaan, dan mendudukinya. Yosua mengikat mereka dalam perjanjian yang diperbaharui dalam cara sekhidmat mungkin Informasi: Berbeda dengan perjanjian-perjanjian lain dalam Alkitab, perjanjian Musa [di Sinai] haruslah selalu diperbaharui lagi oleh umat. Setiap generasi wajib ber- janji untuk mematuhi hukum (Taurat) yang diberikan Tuhan kepada mereka melalui Musa di Sinai. Setiap generasi wajib memilih kepada siapa mereka beribadah. Hingga saat ini anak-anak orang Yahudi yang telah berusia 12 tahun diwajibkan untuk memilih kepada siapa mereka akan beribadah (bnd. upacara “sidi”]. When he becomes bar mitzvah, a “son of the commandment”, he accepts responsibility to live in accord with the stipulations lain down in the ancient Mosaic code” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari New International Encyclo- pedia of Bile Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p.196].
- - - NR - - -
Yeremia 26:12-19
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
1.1. Kronologi Thn. 930 sM : Kerajaan Israel pecah menjadi dua: Israel (utara) dan Yehuda (selatan). kr. (kira-kira) thn. 875-797 sM: Masa pelayanan nabi Elia dan Elisa di Israel (utara). kr. thn. 760-715 sM : Masa pelayanan nabi Amos dan Hosea di Israel (utara). kr. thn. 742-681 sM : Masa pelayanan nabi Mikha dan Yesaya di Yehuda. Thn. 722 sM : Israel (utara) ditaklukkan oleh Asyur. Orang-orang Israel (utara) dibuang [tidak semua]. kr. thn. 626-585 : Masa pelayanan nabi Yeremia di Yehuda. Thn. 586 sM : Yerusalem direbut oleh bala tentara Babilonia. Bait Suci dihancurkan. Orang-orang Israel ditawan dan dibuang [tidak semua] ke Babel. kr. thn. 585-580 sM : Kitab Yeremia ditulis [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), hlm. 1081].
Informasi: Pada tahun 612 seb. Kr. Niniwe (Asyur), yang pada waktu itu sudah sangat lemah, terancam jatuh oleh Babylon yang muncul menjadi negara yang kuat. Firaun Nekho dari Mesir telah melihat bahaya itu, sehingga ia mau memban- tu Asyur. Dengan angkatan perangnya ia bergerak melalui daerah-daerah Yehuda menuju Asyur. Akan tetapi raja Yosia, yang menghendaki sikap netral negaranya, tidak senang melihat daerahnya dimasuki pasukan- pasukan asing. Karena itu dia bersama tentaranya menghadang Firaun Nekho di Megido. Terjadilah pertempuran dan Yosia ditewaskan. Kemudian Firaun Nekho mengangkat Yoyakim menjadi raja Yehuda. Yoyakim menjadi raja taklukkan Nekho. [ . . . ] Pada tahun 605 seb. Kr. Firaun Nekho dikalahkan oleh Nebukadnezar di dekat Karkhemis. Dengan demikian terbukalah jalan bagi Babylon untuk menguasai seluruh Timur-Tengah kuno pada masa itu. Pada masa ini Yeremia menubuatkan bahwa Yehuda akan dihancurkan oleh Babylon,sebab pada saat itu Yehuda berada dalam keadaan politis yang sangat berbahaya. Pemberitaannya ini membuat ia makin dibenci oleh bangsanya, terutama oleh Yoyakim. Pada masa inilah Yeremia mendiktekan segala nubuatnya kepada Barukh, dan menyuruh Barukh membacakan semua nubuat itu kepada semua orang yang datang ke Bait Allah. Yoyakim marah sekali, setelah membaca gulungan-gulungan nubuat Yeremia itu, makanya ia membakarnya habis. Tetapi kemudian Barukh mulai menulis semua nubuat itu lagi. Dan inilah yang menjadi dasar bagi kitab Yeremia yang kita kenal sekarang ini [kutipan dari J. Blommendahl, Pengantar kepada Pejanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 117f.].
1.2. Susunan dan Sinopsis
Fasal 26-35 berisi suatu kumpulan ceritera-ceritera mengenai kehidupan Yeremia, yang berasal dari Barukh. [ . . . ] Fasal 26: [Bnd. 7:1-8:3] Yeremia mau dibunuh karena menubuatkan kemusnahan Bait Suci; Nabi Uria dihukum mati (ayat 1-24) [kutipan dari Ibid., hlm. 119 dan 121].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 10-16: Bagaimanakah asal-musababnya, sehingga Yeremia mau dibunuh? Pemberitaan Yeremia mempermaklumkan kebenaran. Rakyat dan para pejabat memaklumi ini. Tetapi para imam dan nabi palsu tidak. Rupanya mereka sudah kebal terhadap kemurnian dan kebenaran firman Tuhan. Berlawanan dengan sikap mereka ini, Yeremia menyuguhkan “ketulusan dan kejujuran”, bahkan bersedia mati, demi kebenaran (ay. 14-15).“God honored Jeremiah for saying what had to be said, regardless of the cost . . .” dan dengan kuat-kuasa Tuhan pula, niat jahat orang-orang yang mau membu- nuhnya dibatalkan [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 1125]. Informasi: The prophets Jeremiah and Ezekiel were particularly critical of the immoral “conduct and actions” of the people of Judah just prior to the Babylonian captivity (Jer 4:18; 7:3,5; 18:11; 26:13; 35:15; . . .) [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 18].
Relentlessly the prophets exposed the sins of naturalism, nationalism, ritualism, and individual and national egoism. Whereas in earlier years the prophets were often thought of as predicters of the future, nowadays the vogue is to regard them as preachers who sought to warn Israel and call her to repentance. . . . But Israel . . . refused to walk quietly with her God and wait upon him. She ignored or manipulated her God. While willing to look to him in comfort and protection, she refused surrender and obedience to him. Therefore Israel’s rejection by her God is an accomplished fact. That is how it is in Amos and Hosea, in Micah and Isaiah. And shortly before the Babylonian captivity this preaching of rejection reaches its climax in Jeremiah . . . [kutipan dari Hendrikus Berkhof, The Christian Faith, trans. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1983), pp. 237f.].
2.2. Ayat 16 : Apa yang menyebabkan sehingga orang-orang bisa merubah niatnya? “[It is] because of the power and integrity of [Jeremiah’s] message.” Tadinya rakyat sempat terhasut oleh para imam dan nabi palsu. Tetapi ketika para pejabat mendengar keributan itu, mereka mengizinkan Yeremiah menyam- paikan pesannya. Lalu dengan “ketulusan dan kejujuran” dalam pemberitaan- nya, orang-orang tidak jadi mewujudkan niat jahat mereka [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 1126]. Informasi: Here reason began to prevail. The princes (members of the royal household) and other high officials were obviously impressed by the sincerity of a man who was willing to risk his life in the dis- charge of his prophetic function. Jeremiah’s defence is simply that he is carrying out the divine command (cf. Am. 3:8), and further states that the judgment may yet be turned away by repentance. An appeal to conscience (14) accompanies the caution that the shedding of innocent blood will aggravate their iniquity and demand requital . . . Like Pilate (Lk. 23:22) the authorities found no fault worthy of death. And in this case the decision lay with the authorities and not with priests and [false] prophets [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (London: Thomas Nelson, 1972), pp. 553f.].
3. Refleksi
Ketakutan merupakan suatu kekuatan dahsyat yang dapat menghalangi kita berbuat sesu- atu. Orang yang mengalami dampak negatif ketakutan secara psikologis mengerti makna “di- lumpuhkan oleh ketakutan”. Ketakutan yang sangat besar menghalangi kita untuk melakukan suatu tugas sederhana sekalipun [Yeremia tidak demikian!] [kutipan dari Saat Teduh, Kamis, 2 Agus- tus 2007, terj. (Jakarta: BPK-GM/the Upper Room]. ( NR ) Diposting oleh STAKN TORAJA di 17:41 0 komentar 02 November 2007 Manusia Baru 1. Kerygma: Jaman Baru Berita pokok dari gereja perdana (mula-mula) disebut kerygma, yakni “maklumat seorang bentara dan merupakan berita utama khotbah para rasul” (Barclay, 1989:34). Pengumuman pertama dari kerygma ialah: “jaman yang baru telah terbit melalui kehidupan, kematian dan kebang- kitan Yesus Kristus”. Jaman yang baru ini dapat dibuktikan kebenarannya dalam empat bidang kehidupan:
1.1. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk anak-anak kecil. Di zaman kuno, hidup itu berbahaya untuk anak kecil. Kalau seorang bayi dilahirkan, ia diletakkan di kaki ayahnya. Kalau ayahnya membongkok dan mengangkatnya, bayi itu tetap dipelihara. Tetapi jika ayahnya berpaling dan berjalan pergi, bayi itu dibuang.
1.2. Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum perem– puan. Di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak lebih dari benda.
1.3. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum buruh. Dalam kepercayaan Kristen-lah manusia beroleh nilainya, yakni manusia adalah citra Allah, artinya: manusia berharga bagi Allah.
1.4. Di atas segalanya, dalam Yesus Kristus sesuatu terjadi untuk orang berdosa. “. . . kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11).
2. Masa Roh Kudus Juga masih sejak zaman gereja perdana telah dikembangkan anggapan bahwa orang-orang percaya berada dalam masa Roh Kudus (Boff, 1981:196ff.). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, yakni dalam Rm 5-7, Paulus membedakan tiga tahap sejarah yang menyangkut hubungan Allah dan manusia.
2.1. Situasi kekuasaan dosa “sebelum hukum Taurat ada”. yakni masa antara Adam dan Musa (Rm 5:13-14).
2.2. Situasi kekuasaan dosa “di bawah hukum Taurat”, yakni sejak Musa hingga kedatangan Yesus Kristus (Rm 6:14).
2.3. Situasi kehidupan di dalam Kristus “di bawah kasih karunia” (Rm 6:14). Dalam masa yang terakhir inilah kita kini hidup, di bawah hukum Roh, yang telah memerdekakan kita dari hukum dosa dan maut (Rm 8:2). Itu berarti bahwa dosa berkuasa hingga Kristus tiba. Kini kasih karunia yang berkuasa (Rm 5:21). Ini adalah situasi dan keadaan baru, yang dijelaskan oleh Paulus demikian: “. . . sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum Taurat” (Rm 7:6). Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah selama ini, demikian pun selanjutnya, semuanya terhisab dalam masa Roh Kudus.
3. Manusia Baru Apa yang diutarakan di muka adalah dimaksudkan untuk menyatakan bahwa di dalam Yesus Kristus pembaharuan telah terjadi. Paulus menulis: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguh- nya yang baru sudah datang” (2 Kor 5:17). Di sini pertanyaan perlu diapung- kan: bagaimana kita harus memahami “manusia baru” itu? Dalam Ef 5:8 Paulus melukiskan perubahan inti keberadaan kita yang terjadi ketika kita diselamatkan: “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak te- rang.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa kita dahulu berada di dalam kegelapan, tetapi bahwa dahulu “kamu adalah kegelapan”. Dahulu hakikat kita adalah kegelapan. Menurut Paulus begitulah keberadaan kita secara hakiki, yakni sebagai orang yang belum percaya. Ayat ini juga tidak mengatakan bahwa sekarang kita berada di dalam terang, tetapi bahwa kita “adalah terang.” Menurut Paulus, Allah mengubah hakikat kita dari gelap menjadi terang. Masalah yang dilukiskan dalam ayat tadi bukanlah soal memperbaiki hakikat kita. Hakikat kita yang baru itu sudah menjadi kenyataan dalam diri kita yang sudah diselamatkan. Tegasnya, kita sekarang menjadi manusia baru di dalam Yesus Kristus. Yang menjadi masalah ialah kita selanjutnya perlu belajar menja- lani hidup ini selaras dengan hakikat kita yang baru itu. Bagaimana caranya? Dengan belajar hidup beriman dan hidup menurut pimpinan Roh.
4. Kelahiran Baru, Kehidupan Baru Kepada Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi, Yesus berkata: “. . . sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yoh 3:3). Menurut Barclay (1979:125ff.), istilah dan gagasan “lahir kembali” merupakan benang merah yang mewarnai keseluruhan Perjanjian Baru. Dalam 1 Pet 1:3 Rasul Petrus menulis bahwa kita telah dilahirkan kembali karena rahmat Allah yang besar. Lalu dalam ayat 22 dan 23, Petrus menjelaskan bahwa kita telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari yang tidak fana. Dalam Yak 1:18 diungkapkan bahwa atas kehendakNya sendiri Tuhan telah menjadikan (melahirkan) kita oleh firman kebenaran. Dalam Tit 3:5 dinyatakan bahwa Allah menyelamatkan kita oleh “pemandian kelahiran kembali”. Gagasan yang sama diungkapkan melalui istilah kematian yang diikuti dengan kebangkitan atau ciptaan baru (cf. Rm 6:1-11). Istilah lain yang dipakai ialah “belum dewasa [Inggris “babe”] dalam Kristus (1Kor 3:1, 2). Dalam 2 Kor 5:17 dan Gal 6:15 dinyatakan sebagai “ciptaan baru”. Sedangkan dalam Ef 4:22-24 “manusia baru” telah “diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sebenarnya”. Dalam Ibr 5:12-14, orang Kristen baru disebut sebagai “anak kecil”. Pendek kata, dalam Perjanjian Baru ada empat gagasan yang terkait erat satu terhadap yang lain: (i) kelahiran kembali; (ii) kerajaan Allah, yang tidak bisa dima- suki tanpa kelahiran baru; (iii) menjadi anak/anggota keluarga Allah, dan (iv) kehi- dupan kekal.
5. Pengembangan dan Peningkatan Magnis-Suseno (1992:11f.) mengemukakan bahwa manusia mengambil sikap terhadap tiga dimensi:
5.1. terhadap alam, a.l. pekerjaan;
5.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
5.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi tadi memerlukan beberapa sikap yang tepat. Meng- arahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala. Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap yang tepat terhadap sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog. Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi seadanya dan sewajarnya. Dan sesama itu adalah partner atau mitra. Bertolak dari pemahaman Alkitab bahwa manusia adalah mahkota ciptaan, Kirchberger (1987:204ff.) memperinci hakikat manusia dalam hubungannya dengan ciptaan lain sbb.:
(1) Manusia pembangunan (homo faber). Didalam Alkitab manusia digambarkan sebagai partner Allah yang boleh juga mengambil bagian di dalam kreativitas Allah. Kerja dilihat sebagi berkah, di dalamnya manusia bisa merealisir diri sebagai ”pencipta yang diciptakan”. Melalui upayanya manusia bisa mengubah dunia, bisa membuatnya lebih manusiawi, sekaligus membawa dunia lebih dekat kepada Khaliknya.
(2) Manusia Pengasih (homo amans). Bertolak dari kenyataan bahwa manusia diciptakan untuk dikasihi dan mengasihi (cf. Kej 2:18, 23), kita mesti berusaha menciptakan suatu suasana sosial, di mana setiap orang bisa berkembang seturut kemampuannya. Tentu ia perlu berkembang sebagai manusia sosial yang tahu mencintai, memperhatikan orang lain, supaya ia sendiri memberikan lagi sumbangannya untuk perkembangan masyarakat. Dengan itu kasih tidak sekedar merupakan ucapan melalui mulut saja, tapi juga dan sekaligus merupakan tindakan konkret.
(3) Manusia Pendoa (homo orans). Kalau dalam doa manusia membuka diri terhadap Allah, ia akan mengalami bahwa Allah tidak asing untuk dia. Malah sebagai citra Allah, ia merasakan hakikatya yang terdalam. Dan kalau ia membiarkan diri dibentuk oleh Allah dalam dan melalui doa, maka ia menjadi dan mengungkap- kan diri sebagai manusia baru.
--- o0o ---
Buku-buku Bacaan dan Rujukan:
Alkitab (1986). Jakarta: LAI.
Anderson, Neil T. (1997). Siapa Anda Sesungguhnya. Terj. Bandung: LLB.
The Common Catechism, a Book of Christian Faith (1975). New York: Seabury.
Barclay, William (1979). The Daily Study Bible. The Gospel of John, Vol. I. Edinburgh: St. Andrews.
_____________ (1989). Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Blanchard, John (1990). Apa Sebenarnya Orang Kristen Itu? Terj. Malang: Gandum Mas.
Boff, Leonardo (1981). Liberating Grace. New York: Orbis.
Kastanja, Pieter J. (2004). “Manusia (Menurut Kesasian Alkitab)”, Materi Pembinaan Warga Jemaat.Malang: MUPEL GPIB, Regio II.
Kirchberger, G. (1987). Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa Indah.
Magnis-Suseno, Franz (1992). “Membangun Manusia?”. Artikel dalam Majalah Serasi, Proyek
Pembangunan Informasi dan Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 2092.
Rumpak, Nazarius (1990). Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia. Jakarta: BPK-GM.
Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak
1. Pengantar
1.1. Kronologi Thn. 930 sM : Kerajaan Israel pecah menjadi dua: Israel (utara) dan Yehuda (selatan). kr. (kira-kira) thn. 875-797 sM: Masa pelayanan nabi Elia dan Elisa di Israel (utara). kr. thn. 760-715 sM : Masa pelayanan nabi Amos dan Hosea di Israel (utara). kr. thn. 742-681 sM : Masa pelayanan nabi Mikha dan Yesaya di Yehuda. Thn. 722 sM : Israel (utara) ditaklukkan oleh Asyur. Orang-orang Israel (utara) dibuang [tidak semua]. kr. thn. 626-585 : Masa pelayanan nabi Yeremia di Yehuda. Thn. 586 sM : Yerusalem direbut oleh bala tentara Babilonia. Bait Suci dihancurkan. Orang-orang Israel ditawan dan dibuang [tidak semua] ke Babel. kr. thn. 585-580 sM : Kitab Yeremia ditulis [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), hlm. 1081].
Informasi: Pada tahun 612 seb. Kr. Niniwe (Asyur), yang pada waktu itu sudah sangat lemah, terancam jatuh oleh Babylon yang muncul menjadi negara yang kuat. Firaun Nekho dari Mesir telah melihat bahaya itu, sehingga ia mau memban- tu Asyur. Dengan angkatan perangnya ia bergerak melalui daerah-daerah Yehuda menuju Asyur. Akan tetapi raja Yosia, yang menghendaki sikap netral negaranya, tidak senang melihat daerahnya dimasuki pasukan- pasukan asing. Karena itu dia bersama tentaranya menghadang Firaun Nekho di Megido. Terjadilah pertempuran dan Yosia ditewaskan. Kemudian Firaun Nekho mengangkat Yoyakim menjadi raja Yehuda. Yoyakim menjadi raja taklukkan Nekho. [ . . . ] Pada tahun 605 seb. Kr. Firaun Nekho dikalahkan oleh Nebukadnezar di dekat Karkhemis. Dengan demikian terbukalah jalan bagi Babylon untuk menguasai seluruh Timur-Tengah kuno pada masa itu. Pada masa ini Yeremia menubuatkan bahwa Yehuda akan dihancurkan oleh Babylon,sebab pada saat itu Yehuda berada dalam keadaan politis yang sangat berbahaya. Pemberitaannya ini membuat ia makin dibenci oleh bangsanya, terutama oleh Yoyakim. Pada masa inilah Yeremia mendiktekan segala nubuatnya kepada Barukh, dan menyuruh Barukh membacakan semua nubuat itu kepada semua orang yang datang ke Bait Allah. Yoyakim marah sekali, setelah membaca gulungan-gulungan nubuat Yeremia itu, makanya ia membakarnya habis. Tetapi kemudian Barukh mulai menulis semua nubuat itu lagi. Dan inilah yang menjadi dasar bagi kitab Yeremia yang kita kenal sekarang ini [kutipan dari J. Blommendahl, Pengantar kepada Pejanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 117f.].
1.2. Susunan dan Sinopsis
Fasal 26-35 berisi suatu kumpulan ceritera-ceritera mengenai kehidupan Yeremia, yang berasal dari Barukh. [ . . . ] Fasal 26: [Bnd. 7:1-8:3] Yeremia mau dibunuh karena menubuatkan kemusnahan Bait Suci; Nabi Uria dihukum mati (ayat 1-24) [kutipan dari Ibid., hlm. 119 dan 121].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 10-16: Bagaimanakah asal-musababnya, sehingga Yeremia mau dibunuh? Pemberitaan Yeremia mempermaklumkan kebenaran. Rakyat dan para pejabat memaklumi ini. Tetapi para imam dan nabi palsu tidak. Rupanya mereka sudah kebal terhadap kemurnian dan kebenaran firman Tuhan. Berlawanan dengan sikap mereka ini, Yeremia menyuguhkan “ketulusan dan kejujuran”, bahkan bersedia mati, demi kebenaran (ay. 14-15).“God honored Jeremiah for saying what had to be said, regardless of the cost . . .” dan dengan kuat-kuasa Tuhan pula, niat jahat orang-orang yang mau membu- nuhnya dibatalkan [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 1125]. Informasi: The prophets Jeremiah and Ezekiel were particularly critical of the immoral “conduct and actions” of the people of Judah just prior to the Babylonian captivity (Jer 4:18; 7:3,5; 18:11; 26:13; 35:15; . . .) [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 18].
Relentlessly the prophets exposed the sins of naturalism, nationalism, ritualism, and individual and national egoism. Whereas in earlier years the prophets were often thought of as predicters of the future, nowadays the vogue is to regard them as preachers who sought to warn Israel and call her to repentance. . . . But Israel . . . refused to walk quietly with her God and wait upon him. She ignored or manipulated her God. While willing to look to him in comfort and protection, she refused surrender and obedience to him. Therefore Israel’s rejection by her God is an accomplished fact. That is how it is in Amos and Hosea, in Micah and Isaiah. And shortly before the Babylonian captivity this preaching of rejection reaches its climax in Jeremiah . . . [kutipan dari Hendrikus Berkhof, The Christian Faith, trans. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1983), pp. 237f.].
2.2. Ayat 16 : Apa yang menyebabkan sehingga orang-orang bisa merubah niatnya? “[It is] because of the power and integrity of [Jeremiah’s] message.” Tadinya rakyat sempat terhasut oleh para imam dan nabi palsu. Tetapi ketika para pejabat mendengar keributan itu, mereka mengizinkan Yeremiah menyam- paikan pesannya. Lalu dengan “ketulusan dan kejujuran” dalam pemberitaan- nya, orang-orang tidak jadi mewujudkan niat jahat mereka [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 1126]. Informasi: Here reason began to prevail. The princes (members of the royal household) and other high officials were obviously impressed by the sincerity of a man who was willing to risk his life in the dis- charge of his prophetic function. Jeremiah’s defence is simply that he is carrying out the divine command (cf. Am. 3:8), and further states that the judgment may yet be turned away by repentance. An appeal to conscience (14) accompanies the caution that the shedding of innocent blood will aggravate their iniquity and demand requital . . . Like Pilate (Lk. 23:22) the authorities found no fault worthy of death. And in this case the decision lay with the authorities and not with priests and [false] prophets [kutipan dari Peake’s Commentary on the Bible (London: Thomas Nelson, 1972), pp. 553f.].
3. Refleksi
Ketakutan merupakan suatu kekuatan dahsyat yang dapat menghalangi kita berbuat sesu- atu. Orang yang mengalami dampak negatif ketakutan secara psikologis mengerti makna “di- lumpuhkan oleh ketakutan”. Ketakutan yang sangat besar menghalangi kita untuk melakukan suatu tugas sederhana sekalipun [Yeremia tidak demikian!] [kutipan dari Saat Teduh, Kamis, 2 Agus- tus 2007, terj. (Jakarta: BPK-GM/the Upper Room]. ( NR ) Diposting oleh STAKN TORAJA di 17:41 0 komentar 02 November 2007 Manusia Baru 1. Kerygma: Jaman Baru Berita pokok dari gereja perdana (mula-mula) disebut kerygma, yakni “maklumat seorang bentara dan merupakan berita utama khotbah para rasul” (Barclay, 1989:34). Pengumuman pertama dari kerygma ialah: “jaman yang baru telah terbit melalui kehidupan, kematian dan kebang- kitan Yesus Kristus”. Jaman yang baru ini dapat dibuktikan kebenarannya dalam empat bidang kehidupan:
1.1. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk anak-anak kecil. Di zaman kuno, hidup itu berbahaya untuk anak kecil. Kalau seorang bayi dilahirkan, ia diletakkan di kaki ayahnya. Kalau ayahnya membongkok dan mengangkatnya, bayi itu tetap dipelihara. Tetapi jika ayahnya berpaling dan berjalan pergi, bayi itu dibuang.
1.2. Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum perem– puan. Di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak lebih dari benda.
1.3. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum buruh. Dalam kepercayaan Kristen-lah manusia beroleh nilainya, yakni manusia adalah citra Allah, artinya: manusia berharga bagi Allah.
1.4. Di atas segalanya, dalam Yesus Kristus sesuatu terjadi untuk orang berdosa. “. . . kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11).
2. Masa Roh Kudus Juga masih sejak zaman gereja perdana telah dikembangkan anggapan bahwa orang-orang percaya berada dalam masa Roh Kudus (Boff, 1981:196ff.). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, yakni dalam Rm 5-7, Paulus membedakan tiga tahap sejarah yang menyangkut hubungan Allah dan manusia.
2.1. Situasi kekuasaan dosa “sebelum hukum Taurat ada”. yakni masa antara Adam dan Musa (Rm 5:13-14).
2.2. Situasi kekuasaan dosa “di bawah hukum Taurat”, yakni sejak Musa hingga kedatangan Yesus Kristus (Rm 6:14).
2.3. Situasi kehidupan di dalam Kristus “di bawah kasih karunia” (Rm 6:14). Dalam masa yang terakhir inilah kita kini hidup, di bawah hukum Roh, yang telah memerdekakan kita dari hukum dosa dan maut (Rm 8:2). Itu berarti bahwa dosa berkuasa hingga Kristus tiba. Kini kasih karunia yang berkuasa (Rm 5:21). Ini adalah situasi dan keadaan baru, yang dijelaskan oleh Paulus demikian: “. . . sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum Taurat” (Rm 7:6). Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah selama ini, demikian pun selanjutnya, semuanya terhisab dalam masa Roh Kudus.
3. Manusia Baru Apa yang diutarakan di muka adalah dimaksudkan untuk menyatakan bahwa di dalam Yesus Kristus pembaharuan telah terjadi. Paulus menulis: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguh- nya yang baru sudah datang” (2 Kor 5:17). Di sini pertanyaan perlu diapung- kan: bagaimana kita harus memahami “manusia baru” itu? Dalam Ef 5:8 Paulus melukiskan perubahan inti keberadaan kita yang terjadi ketika kita diselamatkan: “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak te- rang.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa kita dahulu berada di dalam kegelapan, tetapi bahwa dahulu “kamu adalah kegelapan”. Dahulu hakikat kita adalah kegelapan. Menurut Paulus begitulah keberadaan kita secara hakiki, yakni sebagai orang yang belum percaya. Ayat ini juga tidak mengatakan bahwa sekarang kita berada di dalam terang, tetapi bahwa kita “adalah terang.” Menurut Paulus, Allah mengubah hakikat kita dari gelap menjadi terang. Masalah yang dilukiskan dalam ayat tadi bukanlah soal memperbaiki hakikat kita. Hakikat kita yang baru itu sudah menjadi kenyataan dalam diri kita yang sudah diselamatkan. Tegasnya, kita sekarang menjadi manusia baru di dalam Yesus Kristus. Yang menjadi masalah ialah kita selanjutnya perlu belajar menja- lani hidup ini selaras dengan hakikat kita yang baru itu. Bagaimana caranya? Dengan belajar hidup beriman dan hidup menurut pimpinan Roh.
4. Kelahiran Baru, Kehidupan Baru Kepada Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi, Yesus berkata: “. . . sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yoh 3:3). Menurut Barclay (1979:125ff.), istilah dan gagasan “lahir kembali” merupakan benang merah yang mewarnai keseluruhan Perjanjian Baru. Dalam 1 Pet 1:3 Rasul Petrus menulis bahwa kita telah dilahirkan kembali karena rahmat Allah yang besar. Lalu dalam ayat 22 dan 23, Petrus menjelaskan bahwa kita telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari yang tidak fana. Dalam Yak 1:18 diungkapkan bahwa atas kehendakNya sendiri Tuhan telah menjadikan (melahirkan) kita oleh firman kebenaran. Dalam Tit 3:5 dinyatakan bahwa Allah menyelamatkan kita oleh “pemandian kelahiran kembali”. Gagasan yang sama diungkapkan melalui istilah kematian yang diikuti dengan kebangkitan atau ciptaan baru (cf. Rm 6:1-11). Istilah lain yang dipakai ialah “belum dewasa [Inggris “babe”] dalam Kristus (1Kor 3:1, 2). Dalam 2 Kor 5:17 dan Gal 6:15 dinyatakan sebagai “ciptaan baru”. Sedangkan dalam Ef 4:22-24 “manusia baru” telah “diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sebenarnya”. Dalam Ibr 5:12-14, orang Kristen baru disebut sebagai “anak kecil”. Pendek kata, dalam Perjanjian Baru ada empat gagasan yang terkait erat satu terhadap yang lain: (i) kelahiran kembali; (ii) kerajaan Allah, yang tidak bisa dima- suki tanpa kelahiran baru; (iii) menjadi anak/anggota keluarga Allah, dan (iv) kehi- dupan kekal.
5. Pengembangan dan Peningkatan Magnis-Suseno (1992:11f.) mengemukakan bahwa manusia mengambil sikap terhadap tiga dimensi:
5.1. terhadap alam, a.l. pekerjaan;
5.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
5.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi tadi memerlukan beberapa sikap yang tepat. Meng- arahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala. Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap yang tepat terhadap sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog. Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi seadanya dan sewajarnya. Dan sesama itu adalah partner atau mitra. Bertolak dari pemahaman Alkitab bahwa manusia adalah mahkota ciptaan, Kirchberger (1987:204ff.) memperinci hakikat manusia dalam hubungannya dengan ciptaan lain sbb.:
(1) Manusia pembangunan (homo faber). Didalam Alkitab manusia digambarkan sebagai partner Allah yang boleh juga mengambil bagian di dalam kreativitas Allah. Kerja dilihat sebagi berkah, di dalamnya manusia bisa merealisir diri sebagai ”pencipta yang diciptakan”. Melalui upayanya manusia bisa mengubah dunia, bisa membuatnya lebih manusiawi, sekaligus membawa dunia lebih dekat kepada Khaliknya.
(2) Manusia Pengasih (homo amans). Bertolak dari kenyataan bahwa manusia diciptakan untuk dikasihi dan mengasihi (cf. Kej 2:18, 23), kita mesti berusaha menciptakan suatu suasana sosial, di mana setiap orang bisa berkembang seturut kemampuannya. Tentu ia perlu berkembang sebagai manusia sosial yang tahu mencintai, memperhatikan orang lain, supaya ia sendiri memberikan lagi sumbangannya untuk perkembangan masyarakat. Dengan itu kasih tidak sekedar merupakan ucapan melalui mulut saja, tapi juga dan sekaligus merupakan tindakan konkret.
(3) Manusia Pendoa (homo orans). Kalau dalam doa manusia membuka diri terhadap Allah, ia akan mengalami bahwa Allah tidak asing untuk dia. Malah sebagai citra Allah, ia merasakan hakikatya yang terdalam. Dan kalau ia membiarkan diri dibentuk oleh Allah dalam dan melalui doa, maka ia menjadi dan mengungkap- kan diri sebagai manusia baru.
--- o0o ---
Buku-buku Bacaan dan Rujukan:
Alkitab (1986). Jakarta: LAI.
Anderson, Neil T. (1997). Siapa Anda Sesungguhnya. Terj. Bandung: LLB.
The Common Catechism, a Book of Christian Faith (1975). New York: Seabury.
Barclay, William (1979). The Daily Study Bible. The Gospel of John, Vol. I. Edinburgh: St. Andrews.
_____________ (1989). Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Blanchard, John (1990). Apa Sebenarnya Orang Kristen Itu? Terj. Malang: Gandum Mas.
Boff, Leonardo (1981). Liberating Grace. New York: Orbis.
Kastanja, Pieter J. (2004). “Manusia (Menurut Kesasian Alkitab)”, Materi Pembinaan Warga Jemaat.Malang: MUPEL GPIB, Regio II.
Kirchberger, G. (1987). Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa Indah.
Magnis-Suseno, Franz (1992). “Membangun Manusia?”. Artikel dalam Majalah Serasi, Proyek
Pembangunan Informasi dan Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 2092.
Rumpak, Nazarius (1990). Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia. Jakarta: BPK-GM.
Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak
02 November 2007
Manusia Baru
1. Kerygma: Jaman Baru
Berita pokok dari gereja perdana (mula-mula) disebut kerygma, yakni
“maklumat seorang bentara dan merupakan berita utama khotbah para
rasul” (Barclay, 1989:34). Pengumuman pertama dari kerygma ialah:
“jaman yang baru telah terbit melalui kehidupan, kematian dan kebang-
kitan Yesus Kristus”.
Jaman yang baru ini dapat dibuktikan kebenarannya dalam empat
bidang kehidupan:
1.1. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk anak-anak kecil.
Di zaman kuno, hidup itu berbahaya untuk anak kecil. Kalau seorang
bayi dilahirkan, ia diletakkan di kaki ayahnya. Kalau ayahnya
membongkok dan mengangkatnya, bayi itu tetap dipelihara. Tetapi jika
ayahnya berpaling dan berjalan pergi, bayi itu dibuang.
1.2. Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum perem–
puan. Di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak
lebih dari benda.
1.3. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum buruh.
Dalam kepercayaan Kristen-lah manusia beroleh nilainya, yakni
manusia adalah citra Allah, artinya: manusia berharga bagi Allah.
1.4. Di atas segalanya, dalam Yesus Kristus sesuatu terjadi untuk orang
berdosa. “. . . kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah
dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus
dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11).
2. Masa Roh Kudus
Juga masih sejak zaman gereja perdana telah dikembangkan anggapan bahwa
orang-orang percaya berada dalam masa Roh Kudus (Boff, 1981:196ff.). Dalam
suratnya kepada jemaat di Roma, yakni dalam Rm 5-7, Paulus membedakan tiga
tahap sejarah yang menyangkut hubungan Allah dan manusia.
2.1. Situasi kekuasaan dosa “sebelum hukum Taurat ada”. yakni masa antara Adam
dan Musa (Rm 5:13-14).
2.2. Situasi kekuasaan dosa “di bawah hukum Taurat”, yakni sejak Musa hingga
kedatangan Yesus Kristus (Rm 6:14).
2.3. Situasi kehidupan di dalam Kristus “di bawah kasih karunia” (Rm 6:14). Dalam
masa yang terakhir inilah kita kini hidup, di bawah hukum Roh, yang telah
memerdekakan kita dari hukum dosa dan maut (Rm 8:2). Itu berarti bahwa
dosa berkuasa hingga Kristus tiba. Kini kasih karunia yang berkuasa (Rm 5:21).
Ini adalah situasi dan keadaan baru, yang dijelaskan oleh Paulus demikian: “. . .
sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi
dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan
baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum Taurat”
(Rm 7:6).
Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah selama ini, demikian pun selanjutnya,
semuanya terhisab dalam masa Roh Kudus.
3. Manusia Baru
Apa yang diutarakan di muka adalah dimaksudkan untuk menyatakan bahwa di
dalam Yesus Kristus pembaharuan telah terjadi. Paulus menulis: “Jadi siapa yang
ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguh-
nya yang baru sudah datang” (2 Kor 5:17). Di sini pertanyaan perlu diapung-
kan: bagaimana kita harus memahami “manusia baru” itu?
Dalam Ef 5:8 Paulus melukiskan perubahan inti keberadaan kita yang terjadi
ketika kita diselamatkan: “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang
kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak te-
rang.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa kita dahulu berada di dalam kegelapan,
tetapi bahwa dahulu “kamu adalah kegelapan”. Dahulu hakikat kita adalah
kegelapan. Menurut Paulus begitulah keberadaan kita secara hakiki, yakni sebagai
orang yang belum percaya. Ayat ini juga tidak mengatakan bahwa sekarang kita
berada di dalam terang, tetapi bahwa kita “adalah terang.” Menurut Paulus, Allah
mengubah hakikat kita dari gelap menjadi terang.
Masalah yang dilukiskan dalam ayat tadi bukanlah soal memperbaiki hakikat
kita. Hakikat kita yang baru itu sudah menjadi kenyataan dalam diri kita yang
sudah diselamatkan. Tegasnya, kita sekarang menjadi manusia baru di dalam
Yesus Kristus. Yang menjadi masalah ialah kita selanjutnya perlu belajar menja-
lani hidup ini selaras dengan hakikat kita yang baru itu. Bagaimana caranya?
Dengan belajar hidup beriman dan hidup menurut pimpinan Roh.
4. Kelahiran Baru, Kehidupan Baru
Kepada Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi, Yesus berkata: “. . .
sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan
Allah” (Yoh 3:3). Menurut Barclay (1979:125ff.), istilah dan gagasan “lahir kembali”
merupakan benang merah yang mewarnai keseluruhan Perjanjian Baru. Dalam 1 Pet
1:3 Rasul Petrus menulis bahwa kita telah dilahirkan kembali karena rahmat Allah
yang besar. Lalu dalam ayat 22 dan 23, Petrus menjelaskan bahwa kita telah
dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari yang tidak fana. Dalam
Yak 1:18 diungkapkan bahwa atas kehendakNya sendiri Tuhan telah menjadikan
(melahirkan) kita oleh firman kebenaran. Dalam Tit 3:5 dinyatakan bahwa Allah
menyelamatkan kita oleh “pemandian kelahiran kembali”. Gagasan yang sama
diungkapkan melalui istilah kematian yang diikuti dengan kebangkitan atau ciptaan
baru (cf. Rm 6:1-11). Istilah lain yang dipakai ialah “belum dewasa [Inggris “babe”]
dalam Kristus (1Kor 3:1, 2). Dalam 2 Kor 5:17 dan Gal 6:15 dinyatakan sebagai
“ciptaan baru”. Sedangkan dalam Ef 4:22-24 “manusia baru” telah “diciptakan
menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sebenarnya”.
Dalam Ibr 5:12-14, orang Kristen baru disebut sebagai “anak kecil”.
Pendek kata, dalam Perjanjian Baru ada empat gagasan yang terkait erat satu
terhadap yang lain: (i) kelahiran kembali; (ii) kerajaan Allah, yang tidak bisa dima-
suki tanpa kelahiran baru; (iii) menjadi anak/anggota keluarga Allah, dan (iv) kehi-
dupan kekal.
5. Pengembangan dan Peningkatan
Magnis-Suseno (1992:11f.) mengemukakan bahwa manusia mengambil sikap
terhadap tiga dimensi:
5.1. terhadap alam, a.l. pekerjaan;
5.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
5.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi tadi memerlukan beberapa sikap yang tepat. Meng-
arahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala.
Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap yang tepat terhadap
sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog.
Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi seadanya dan
sewajarnya. Dan sesama itu adalah partner atau mitra.
Bertolak dari pemahaman Alkitab bahwa manusia adalah mahkota ciptaan,
Kirchberger (1987:204ff.) memperinci hakikat manusia dalam hubungannya
dengan ciptaan lain sbb.:
(1) Manusia pembangunan (homo faber). Didalam Alkitab manusia digambarkan
sebagai partner Allah yang boleh juga mengambil bagian di dalam kreativitas
Allah. Kerja dilihat sebagi berkah, di dalamnya manusia bisa merealisir diri
sebagai ”pencipta yang diciptakan”. Melalui upayanya manusia bisa mengubah
dunia, bisa membuatnya lebih manusiawi, sekaligus membawa dunia lebih dekat
kepada Khaliknya.
(2) Manusia Pengasih (homo amans). Bertolak dari kenyataan bahwa manusia
diciptakan untuk dikasihi dan mengasihi (cf. Kej 2:18, 23), kita mesti berusaha
menciptakan suatu suasana sosial, di mana setiap orang bisa berkembang
seturut kemampuannya. Tentu ia perlu berkembang sebagai manusia sosial yang
tahu mencintai, memperhatikan orang lain, supaya ia sendiri memberikan lagi
sumbangannya untuk perkembangan masyarakat. Dengan itu kasih tidak
sekedar merupakan ucapan melalui mulut saja, tapi juga dan sekaligus
merupakan tindakan konkret.
(3) Manusia Pendoa (homo orans). Kalau dalam doa manusia membuka diri terhadap
Allah, ia akan mengalami bahwa Allah tidak asing untuk dia. Malah sebagai citra
Allah, ia merasakan hakikatya yang terdalam. Dan kalau ia membiarkan diri
dibentuk oleh Allah dalam dan melalui doa, maka ia menjadi dan mengungkap-
kan diri sebagai manusia baru.
--- o0o ---
Buku-buku Bacaan dan Rujukan:
Alkitab (1986). Jakarta: LAI.
Anderson, Neil T. (1997). Siapa Anda Sesungguhnya. Terj. Bandung: LLB.
The Common Catechism, a Book of Christian Faith (1975). New York: Seabury.
Barclay, William (1979). The Daily Study Bible. The Gospel of John, Vol. I. Edinburgh: St. Andrews.
_____________ (1989). Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Blanchard, John (1990). Apa Sebenarnya Orang Kristen Itu? Terj. Malang: Gandum Mas.
Boff, Leonardo (1981). Liberating Grace. New York: Orbis.
Kastanja, Pieter J. (2004). “Manusia (Menurut Kesasian Alkitab)”, Materi Pembinaan Warga Jemaat.Malang: MUPEL GPIB, Regio II.
Kirchberger, G. (1987). Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa Indah.
Magnis-Suseno, Franz (1992). “Membangun Manusia?”. Artikel dalam Majalah Serasi, Proyek
Pembangunan Informasi dan Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 2092.
Rumpak, Nazarius (1990). Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia. Jakarta: BPK-GM.
Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak
Berita pokok dari gereja perdana (mula-mula) disebut kerygma, yakni
“maklumat seorang bentara dan merupakan berita utama khotbah para
rasul” (Barclay, 1989:34). Pengumuman pertama dari kerygma ialah:
“jaman yang baru telah terbit melalui kehidupan, kematian dan kebang-
kitan Yesus Kristus”.
Jaman yang baru ini dapat dibuktikan kebenarannya dalam empat
bidang kehidupan:
1.1. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk anak-anak kecil.
Di zaman kuno, hidup itu berbahaya untuk anak kecil. Kalau seorang
bayi dilahirkan, ia diletakkan di kaki ayahnya. Kalau ayahnya
membongkok dan mengangkatnya, bayi itu tetap dipelihara. Tetapi jika
ayahnya berpaling dan berjalan pergi, bayi itu dibuang.
1.2. Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum perem–
puan. Di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak
lebih dari benda.
1.3. Dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum buruh.
Dalam kepercayaan Kristen-lah manusia beroleh nilainya, yakni
manusia adalah citra Allah, artinya: manusia berharga bagi Allah.
1.4. Di atas segalanya, dalam Yesus Kristus sesuatu terjadi untuk orang
berdosa. “. . . kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah
dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus
dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11).
2. Masa Roh Kudus
Juga masih sejak zaman gereja perdana telah dikembangkan anggapan bahwa
orang-orang percaya berada dalam masa Roh Kudus (Boff, 1981:196ff.). Dalam
suratnya kepada jemaat di Roma, yakni dalam Rm 5-7, Paulus membedakan tiga
tahap sejarah yang menyangkut hubungan Allah dan manusia.
2.1. Situasi kekuasaan dosa “sebelum hukum Taurat ada”. yakni masa antara Adam
dan Musa (Rm 5:13-14).
2.2. Situasi kekuasaan dosa “di bawah hukum Taurat”, yakni sejak Musa hingga
kedatangan Yesus Kristus (Rm 6:14).
2.3. Situasi kehidupan di dalam Kristus “di bawah kasih karunia” (Rm 6:14). Dalam
masa yang terakhir inilah kita kini hidup, di bawah hukum Roh, yang telah
memerdekakan kita dari hukum dosa dan maut (Rm 8:2). Itu berarti bahwa
dosa berkuasa hingga Kristus tiba. Kini kasih karunia yang berkuasa (Rm 5:21).
Ini adalah situasi dan keadaan baru, yang dijelaskan oleh Paulus demikian: “. . .
sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi
dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan
baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum Taurat”
(Rm 7:6).
Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah selama ini, demikian pun selanjutnya,
semuanya terhisab dalam masa Roh Kudus.
3. Manusia Baru
Apa yang diutarakan di muka adalah dimaksudkan untuk menyatakan bahwa di
dalam Yesus Kristus pembaharuan telah terjadi. Paulus menulis: “Jadi siapa yang
ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguh-
nya yang baru sudah datang” (2 Kor 5:17). Di sini pertanyaan perlu diapung-
kan: bagaimana kita harus memahami “manusia baru” itu?
Dalam Ef 5:8 Paulus melukiskan perubahan inti keberadaan kita yang terjadi
ketika kita diselamatkan: “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang
kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak te-
rang.” Ayat ini tidak mengatakan bahwa kita dahulu berada di dalam kegelapan,
tetapi bahwa dahulu “kamu adalah kegelapan”. Dahulu hakikat kita adalah
kegelapan. Menurut Paulus begitulah keberadaan kita secara hakiki, yakni sebagai
orang yang belum percaya. Ayat ini juga tidak mengatakan bahwa sekarang kita
berada di dalam terang, tetapi bahwa kita “adalah terang.” Menurut Paulus, Allah
mengubah hakikat kita dari gelap menjadi terang.
Masalah yang dilukiskan dalam ayat tadi bukanlah soal memperbaiki hakikat
kita. Hakikat kita yang baru itu sudah menjadi kenyataan dalam diri kita yang
sudah diselamatkan. Tegasnya, kita sekarang menjadi manusia baru di dalam
Yesus Kristus. Yang menjadi masalah ialah kita selanjutnya perlu belajar menja-
lani hidup ini selaras dengan hakikat kita yang baru itu. Bagaimana caranya?
Dengan belajar hidup beriman dan hidup menurut pimpinan Roh.
4. Kelahiran Baru, Kehidupan Baru
Kepada Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi, Yesus berkata: “. . .
sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan
Allah” (Yoh 3:3). Menurut Barclay (1979:125ff.), istilah dan gagasan “lahir kembali”
merupakan benang merah yang mewarnai keseluruhan Perjanjian Baru. Dalam 1 Pet
1:3 Rasul Petrus menulis bahwa kita telah dilahirkan kembali karena rahmat Allah
yang besar. Lalu dalam ayat 22 dan 23, Petrus menjelaskan bahwa kita telah
dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari yang tidak fana. Dalam
Yak 1:18 diungkapkan bahwa atas kehendakNya sendiri Tuhan telah menjadikan
(melahirkan) kita oleh firman kebenaran. Dalam Tit 3:5 dinyatakan bahwa Allah
menyelamatkan kita oleh “pemandian kelahiran kembali”. Gagasan yang sama
diungkapkan melalui istilah kematian yang diikuti dengan kebangkitan atau ciptaan
baru (cf. Rm 6:1-11). Istilah lain yang dipakai ialah “belum dewasa [Inggris “babe”]
dalam Kristus (1Kor 3:1, 2). Dalam 2 Kor 5:17 dan Gal 6:15 dinyatakan sebagai
“ciptaan baru”. Sedangkan dalam Ef 4:22-24 “manusia baru” telah “diciptakan
menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sebenarnya”.
Dalam Ibr 5:12-14, orang Kristen baru disebut sebagai “anak kecil”.
Pendek kata, dalam Perjanjian Baru ada empat gagasan yang terkait erat satu
terhadap yang lain: (i) kelahiran kembali; (ii) kerajaan Allah, yang tidak bisa dima-
suki tanpa kelahiran baru; (iii) menjadi anak/anggota keluarga Allah, dan (iv) kehi-
dupan kekal.
5. Pengembangan dan Peningkatan
Magnis-Suseno (1992:11f.) mengemukakan bahwa manusia mengambil sikap
terhadap tiga dimensi:
5.1. terhadap alam, a.l. pekerjaan;
5.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
5.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi tadi memerlukan beberapa sikap yang tepat. Meng-
arahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala.
Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap yang tepat terhadap
sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog.
Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi seadanya dan
sewajarnya. Dan sesama itu adalah partner atau mitra.
Bertolak dari pemahaman Alkitab bahwa manusia adalah mahkota ciptaan,
Kirchberger (1987:204ff.) memperinci hakikat manusia dalam hubungannya
dengan ciptaan lain sbb.:
(1) Manusia pembangunan (homo faber). Didalam Alkitab manusia digambarkan
sebagai partner Allah yang boleh juga mengambil bagian di dalam kreativitas
Allah. Kerja dilihat sebagi berkah, di dalamnya manusia bisa merealisir diri
sebagai ”pencipta yang diciptakan”. Melalui upayanya manusia bisa mengubah
dunia, bisa membuatnya lebih manusiawi, sekaligus membawa dunia lebih dekat
kepada Khaliknya.
(2) Manusia Pengasih (homo amans). Bertolak dari kenyataan bahwa manusia
diciptakan untuk dikasihi dan mengasihi (cf. Kej 2:18, 23), kita mesti berusaha
menciptakan suatu suasana sosial, di mana setiap orang bisa berkembang
seturut kemampuannya. Tentu ia perlu berkembang sebagai manusia sosial yang
tahu mencintai, memperhatikan orang lain, supaya ia sendiri memberikan lagi
sumbangannya untuk perkembangan masyarakat. Dengan itu kasih tidak
sekedar merupakan ucapan melalui mulut saja, tapi juga dan sekaligus
merupakan tindakan konkret.
(3) Manusia Pendoa (homo orans). Kalau dalam doa manusia membuka diri terhadap
Allah, ia akan mengalami bahwa Allah tidak asing untuk dia. Malah sebagai citra
Allah, ia merasakan hakikatya yang terdalam. Dan kalau ia membiarkan diri
dibentuk oleh Allah dalam dan melalui doa, maka ia menjadi dan mengungkap-
kan diri sebagai manusia baru.
--- o0o ---
Buku-buku Bacaan dan Rujukan:
Alkitab (1986). Jakarta: LAI.
Anderson, Neil T. (1997). Siapa Anda Sesungguhnya. Terj. Bandung: LLB.
The Common Catechism, a Book of Christian Faith (1975). New York: Seabury.
Barclay, William (1979). The Daily Study Bible. The Gospel of John, Vol. I. Edinburgh: St. Andrews.
_____________ (1989). Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Blanchard, John (1990). Apa Sebenarnya Orang Kristen Itu? Terj. Malang: Gandum Mas.
Boff, Leonardo (1981). Liberating Grace. New York: Orbis.
Kastanja, Pieter J. (2004). “Manusia (Menurut Kesasian Alkitab)”, Materi Pembinaan Warga Jemaat.Malang: MUPEL GPIB, Regio II.
Kirchberger, G. (1987). Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa Indah.
Magnis-Suseno, Franz (1992). “Membangun Manusia?”. Artikel dalam Majalah Serasi, Proyek
Pembangunan Informasi dan Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 2092.
Rumpak, Nazarius (1990). Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia. Jakarta: BPK-GM.
Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak
Sumber Daya Insani Kristiani & Perempuan
Sumber Daya Insani Kristiani & Perempuan
(Pembinaan Untuk Pemberdayaan Warga Jemaat)
1. Tingkat Keberadaan
Dalam salah satu bukunya, E.F. Schumacher (1977:3) memperbedakan empat tingkat
keberadaan:
1.1. Tingkat keberadaan benda-benda yang tidak hidup, misalnya batu. Keberadaannya
adalah sebagai bahan untuk dimanfaatkan atau secara empiris dapat diteliti.
1.2. Tingkat keberadaan yang didapati pada tanaman hidup. Berbeda dengan tingkat
keberadaan pertama di atas, maka pada tingkat ini terdapat kehidupan.
1.3. Tingkat keberadaan yang didapati pada binatang. Dengan adanya kesadaran pada
binatang, maka keberadaannya berbeda dari tingkat keberadaan tumbuh-
tumbuhan seperti yang telah disinggung di atas.
1.4. Tingkat keberadaan yang keempat didapati pada manusia. Perbedaan manusia
dari binatang ialah adanya kesadaran diri pada manusia. Manusia mampu
menyadari bahwa ia berpikir dan bisa mengatur pikirannya demi suatu tujuan.
Perbedaan tingkat keberadaan yang disebutkan di atas dapat dirangkumkan sbb.:
1.1. B a h a n.
1.2. Bahan + Kehidupan.
1.3. Bahan + Kehidupan + Kesadaran.
1.4. Bahan + Kehidupan + Kesadaran + Kesadaran Diri.
Seperti yang telah disinggung di atas, hanyalah bahan yang dapat diteliti secara empiris. Sedangkan kehidupan dan kesadaran dapat diselidiki oleh, antara lain, ilmu alam dan kimia. Namun berkata bahwa kehidupan adalah sekedar kombinasi atom-atom, itu sama dengan mengatakan bahwa “sajak cuma suatu kombinasi huruf-huruf” (Brownlee, 1993: 178)
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa pada setiap tingkat terdapat peningkatan dari ke-pasif-an ke ke-aktif-an, juga dari ke-harus-an ke ke-bebas-an. Salah satu sumber pemahaman tentang “sumber daya insani” berasal dari pemahaman tingkat keberadaan tadi. Tentu perlu disadari bahwa manusia pun tidaklah sama sekali bebas dari ke-pasif-an dan ke-harus-an.
2. Arti Kemanusian
Apakah arti kemanusiaan itu? Jawabannya dapat dirangkumkan ke dalam tiga
unsur pokok (Brownlee, 1993:128f ):
2.1. Manusia adalah makhluk hidup yang kreatif dan berdaya. Pada penciptaan ia
diberi kuasa dan tanggung jawab atas alam (cf. Kej 1:28). Manusia memiliki
kemampuan untuk mejadi subjek perbuatan-perbuatannya, dan bukan sekedar
objek. Ini merupakan landasan lain untuk pengertian “sumber daya insani”.
Karena itu pembangunan haruslah memungkinkan orang mengembangkan
kemampuan dan keberdayaannya untuk berdikari.
2.2. Manusia berhubungan dengan sesamanya. “Tidak baik, kalau manusia itu seorang
diri saja” (Kej 2:18), demikian Allah berfirman pada penciptaan. Tegasnya,
manusia diciptakan untuk bersekutu. Memang ia perlu berdikari, namun ia tidak
dimaksudkan untuk hidup dan berdiri sendirian. Karena itu pembangunan
termasuk memungkinkan terciptanya suatu masyarakat yang para warganya
solider satu terhadap yang lain. Jurang antara orang-orang kaya dan yang miskin
perlu ditutup.
2.3. Pandangan teologis menambahkan unsur ketiga, yakni persekutuan dengan Allah.
Suatu kemanusiaan yang terkungkung, artinya yang tidak terbuka bagi nilai-nilai rohani
dan bagi Allah, yang menjadi sumbernya, hanya dapat mencapai hasil semu . . . . Tiada
kemanusiaan sejati selain terbuka bagi Tuhan dan yang sadar akan panggilan yang
memberikan arti yang tulen kepada hidup manusiawi. Manusia bukan ukuran tertinggi
bagi segalanya. Manusia hanya dapat merealisir dirinya bila ia mengatasi dirinya sendiri
(Populum Progressio, seperti yang dikutip dalam Brownlee, 1933:129).
Berdasarkan pandangan alkitabiah-teologis di atas, maka ada dasar untuk memakai
istilah dan berbicara tentang “sumber daya insani Kristiani”.
3. Manusia Modern dan Alam
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam bersifat teknokratis (dari bahasa
Yunani: tekne = ketrampilan; kratein = menguasai). Jadinya manusia modern cenderung
hanya mau menguasai alam. Alam dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam adalah sumber daya untuk dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu perlu dipelihara, kesadaran ini tidaklah seutuhnya termasuk dalam wawasan teknokratis. Pendek kata, sikap teknokratis cenderung bersifat merampas dan membuang. Alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan. Lalu apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk samping pekerjaan manusia, dibuang atau diterbengkalaikan begitu saja.
Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dalam sikap manusia modern terhadap lingkungan hidup dan alam. Yang diperlukan ialah suatu sikap dasar yang dapat dirumuskan sebagai berikut: “menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil memelihara” (Magnis-Suseno, 1989:151). Untuk mendaya gunakannya, manusia haruslah tetap menguasai alam. Yang perlu dirubah adalah cara penguasaan dan pemanfaatannya. Menguasai tidak sebagai pihak di luar dan di atas alam, melainkan sebagai bagian alam, sebagai partisipan dalam ekosistem bumi. Maksudnya, “menguasai sambil menghargai, mencintai, mendukung dan mengembangkannya”.
Sejalan dengan itu sudah waktunya disadari tanggung jawab terhadap generasi-generasi mendatang. Kita dibebani kewajiban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan terpelihara bagi anak-cucu-buyut kita. Dalam hubungannya dengan pembangunan, kita hendaknya mengupayakan pembangunan yang terlanjutkan (sustainable), yakni pembangunan yang mengupayakan agar lingkungan tetap mendukung kehidupan kita pada tingkat hidup yang lebih tinggui.
Dengan pendekatan ini pembangunan tidaklah berlawanan dengan lingkungan. Patut diingat bahwa “hanya dalam lingkungan yang optimal, manusia akan berkembang dengan baik. Dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan akan berkembang ke arah optimal” (Otto Soemarmoto, seperti yang dikutip oleh Subadi H., 1989:71).
3. Pengembangan dan Peningkatan
Karena manusia bukanlah batu atau benda mati, melainkan makhluk hidup yang
memiliki kesadaran diri, maka manusia mengambil sikap terhadap tiga dimensi
(Magnis-Suseno, 1992:11f ):
3.1. terhadap alam, a.l. perkerjaan;
3.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
3.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi di atas memerlukan beberapa sikap yang tepat. Mengarahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala. Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap tepat manusia terhasap sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog. Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi
seadanya dan sewajarnya. Dan sesama itu adalah mitra.
4. Siapakah Perempuan menurut Alkitab?
Perempuan adalah juga Gambar Allah, sama seperti laki-laki. Karena itu perempuan memiliki posisi yang sama dan sejajar dengan laki-laki (Kej 1:27 : “. . . Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka”).
Bahwa laki-laki diciptakan lebih dulu, baru setelah itu perempuan, soal ini tidak boleh diartikan bahwa perempuan di-nomor-dua-kan. Mengutip Kej. 2:18 : “TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’”, maka fakta penciptaan harus dilihat dari perspektif perfeksionatif. Maksudnya, penciptaan perempuan adalah untuk menyempurnakan manusia secara utuh. Dengan kata lain, keberadaan laki-laki disempurnakan oleh keberadaan perempuan. Itu berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan ada dalam hubungan saling memberi arti, saling menyempur -nakan.
Bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama --- mempunyai hak, martabat dan kewajiban yang sama, pemahaman ini diangkat dari a.l. Gal 3:28 : “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”
Excursus: (kutipan dari “Kontroversi sekitar Pendeta Wanita”, Majalah Sahabat Gembala, Bandung: YKH,
Desember 1995, hlm. 22f):
. . . Alkitab sebaiknya dipahami seutuhnya, tidak hanya menonjolkan ayat-ayat yang meninggikan pria
atau wanita, tetapi harus dilihat secara representatif sehingga dapat mewakili Alkitab secara keseluruh-
an.
. . . secara representatif ada tiga konsep gender yang utama dalam seluruh Perjanjian Lama, yaitu konsep gender yang ideal, reflektif, dan insidentil.
Jadi pria dan wanita diberi hak dan kuasa yang sama untuk mendominasi bumi, baik dalam posisi sebagai pekerja atau pemimpin dalam masyarakat. Dengan demikian, baik pria maupun wanita, diberi hak serta kuasa untuk menjadi penatua gereja, pendeta, walikota, gubernur atau bahkan presiden. Amsal 31:10-31 juga memberikan gambaran yang rinci mengenai kesempatan bagi wanita untuk berperan dalam masyarakat.
. . . konsep gender yang ideal sering tidak dapat diterima oleh masyarakat yang menganut paham patriarkhal, sehingga ada peraturan yang ‘memenangkan’ kaum pria, seperti yang tertulis dalam Kitab Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Misalnya, wanita dapat dituntut mengenai status keperawanannya, disangsikan kesetiaannya, dimadu, diceraikan, bahkan dihukum mati bila kedapatan berzinah. Sedangkan kaum pria tidak dikenai aturan seperti itu.
. . . peraturan-peraturan itu tidak merefleksikan konsep gender ideal yang seharusnya ditiru, melainkan merupakan refleksi dari masyarakat yang patriarkhal seperti umat Israel. Ayat-ayat tersebut masih berfungsi di abad ke dua puluh ini. Justru inilah yang ditolak oleh golongan feminis yang radikal. Mereka lupa bahwa ini bukan konsep ideal, yang sebenarnya tidak perlu ditolak. Ini semua terjadi karena salah tafsir dan bukan karena Alkitab yang salah, melainkan karena persepsi masyarakat yang salah.
Konsep gender yang ketiga, yaitu yang insidentil, sering juga muncul dalam Perjanjian Lama, yaitu konsep gender ideal yang direalisasikan sesuai dengan situasi dan kemampuan yang luar biasa dari kaum wanita. Dalam konsep ini, wanita berperan menjadi mitra kaum pria, bahkan bisa menjadi pemimpin kaum pria dalam masyarakat, seperti Debora.
Hal ini membuktikan bahwa Perjanjian Lama tidak menghambat wanita untuk menjadi pemimpin, bahkan atas kaum pria, bila situasi mengizinkan dan bila wanita memiliki kemampuan untuk mendukung posisinya sebagai pemimpin (huruf miring oleh penulis).
Namun dalam kenyataannya posisi dan peranan perempuan tidaklah seperti yang
digambarkan Alkitab. Diskriminasi terjadi atas dan dalam kehidupan perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia --- politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Bahkan diskrimasi pun berlangsung di lingkungan gereja. Di gereja-gerja tertentu
perempuan tidak diberi tempat yang layak secara fungsional maupun struktural.
Yang paling merisaukan ialah kenyataan trafficking dalam berbagai bentuk. Menurut salah satu sumber (Sapardjaja, 2004:tanpa nomor hlm.), trafficking adalah
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalah-gunaan kekuasaan atau posisi rentan,
atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang
yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Menurut sumber yang sama tadi, bentuk-bentuk trafficking ialah a.l.: untuk keperluan prostitusi dan pornografi, penyelundupan perempuan hamil, perdagangan bayi, menjadi pembantu rumah tangga, eksploitasi seksual oleh pengidap pedofilia, dst.
5. Bagaimana Gereja Berperan?
Salah satu persoalan utama yang harus dibereskan oleh gereja ialah bagaimana kaum perempuan dipandang dan diakui sebagai subyek dari keseluruhan misi gereja. Bagi gereja-gereja yang belum melampaui agenda ini, maka posisi perempuan akan selalu dilihat sebagai obyek pelayanan. Dan ini akan berakibat buruk untuk model dan strategi pelayanan bagi kaum perempuan, khususnya dalam menanggulangi trafficking yang menyangkut eksploitasi perempuan.
Gereja hendaknya bercermin pada gaya pelayanan Yesus. Dia mendobrak kekakuan budaya Yahudi, dan memberi ruang dan tempat bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam pelayananNya, termasuk melayani Dia sampai saat-saat terakhir hidupNya. Usaha Yesus tadi tersirat a.l. dalam kisah Maria dan Marta (Luk 10:38-42), Yesus diurapi oleh seorang perempuan (Mrk 14:3-9), percakapan dengan perempuan Samaria (Yoh 4:1-42), dan perempuan yang berzinah (Yoh 7:53-8:11). Dalam salah satu bukunya, William Barclay (1989:36f), seorang pakar Perjanjian Baru, menulis sebagai berikut:
Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum wanita. Benarlah
bahwa di dalam lingkup rumah tangga seorang ibu selalu amat berpengaruh. Tetapi
di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak lebih dari benda; dia
tidak memiliki hak hukum apapun. Memberikan pendidikan kepada seorang wanita
sama dengan membuang mutiara kepada babi, jadi kaum wanita sama sekali tidak
berpendidikan. Dalam hukum, misalnya, seorang wanita tidak boleh menceraikan
suaminya, sedangkan suaminya boleh menyuruhnya pergi begitu saja.
………………………………………………………………………………………………..
Benar-benar merupakan fakta bahwa baru dengan kedatangan Kristus, hormat
kepada kaum wanita telah lahir.
Gereja tidak bisa tinggal diam, jika harkat dan martabat manusia sebagi ciptaan Allah direndahkan dan dilecehkan. Keprihatinan gereja tidaklah sekedar keprihatinan yang ber-dimensi sosiologis-etis, melainkan berakar pada dan berdasarkan firman
Tuhan.
- - - o0o - - -
Pelayanan Gereja dan Kaum Perempuan
5. Membangun dan Bertumbuh
Adalah Rasul Paulus yang paling sering memakai istilah “membangun” dan “bertumbuh” dalam surat-suratnya. Kedua istilah ini hendaknya dipahami dalam kaitannya dengan sebuah istilah lain yang khas berasal dari Paulus. Istilah yang dimaksud ialah “tubuh Kristus”. 1 Kor 12 menunjukkan secara terperinci bagaimana kesatuan tubuh jasmani manusia merupakan contoh untuk jenis kesatuan yang harus diwujudkan dalam tubuh (rohani) Kristus. Menarik untuk diperhatikan bahwa sebagian besar pasal ini lebih banyak berbicara tentang jenis orang-orang yang akan menerima karunia khusus dan tidak semata-mata berbicara tentang rupa-rupa karunia. Sebenarnya dengan menggunakan istilah-istilah “membangun” dan “bertumbuh” ada tersirat pertanyaan-pertanyaan, antara lain, apa yang dibangun?; untuk apa membangun?; ke mana bertumbuh?
Bukanlah tanpa alasan yang mendasar, mengapa Paulus memahami dan mengiaskan gereja sebagai “tubuh Kristus”. Dengan memakai istilah “tubuh”, Paulus ingin memberi kesan bahwa tubuh adalah sesuatu yang hidup dan bertumbuh, dan bukan sesuatu yang tak bergerak atau tak berubah. Dari sinilah muncul gagasan “membangun” (dalam pengertian mekanis) dan “bertumbuh” (dalam pengertian organis).
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, “membangun/pemba-
ngunan” merupakan terjemahan dari istilah oikodome, sedangkan “bertumbuh/
pertumbuhan” adalah terjemahan dari istilah auxo. Dalam kaitan inilah, maka keberadaan dan kehadiran (raison d’etre) “para rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar”, menurut Paulus, adalah “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Ef 4:11, 12).
6. Pemberdayaan Warga Jemaat
Adalah menarik untuk memahami lebih mendalam istilah “memperlengkapi” yang
digunakan Paulus dalam ayat kutipan dari Ef. di atas. Menurut Barclay (1966:176), istilah “memperlengkapi”, yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Yunani katartizein, mempunyai beberapa arti:
6.1. upaya untuk memulihkan tulang yang patah, atau sendi yang terkilir;
6.2. upaya politik praktis untuk mempertemukan dan mendamaikan dua kelompok
yang berselisih, agar pemerintahan dapat berlangsung lancar kembali;
6.3. dalam Perjanjian Baru sendiri istilah tersebut berarti:
6.3.1. “membereskan jala” (Mrk 1:19);
6.3.2. upaya mendisiplinkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran, agar
kembali layak untuk ikut mengambil bagian dalam persekutuan (Gal 6:1).
Jadinya gagasan pokok yang mendasari istilah “memperlengkapi” (Yunani: katartizein) ialah mengembalikan atau memulihkan sesuatu atau seseorang kepada kondisi atau keadaan semula, yang memang adalah merupakan kondisi atau keadaan yang semestinya atau sepatutnya. Dengan itu dapat dirangkumkan bahwa keberadaan dan kehadiran (raison d’etre) para pejabat/pelayan gerejawi adalah untuk memberdayakan para warga jemaat, agar mereka menjadi “what they ought to be”.
7. Revitalisasi dan Refungsionalisasi Warga Jemaat
============================================================
PERSEKUTUAN BERHIMPUN JANGKAUAN KE DALAM (IN-REACH): P E M B I N A A N, P E M U R I D A N
DIMENSI-DIMENSI TUGAS & PANGGILAN GEREJA: MISI (APOSTOLAT)
PERSEKUTUAN MENYEBAR JANGKAUAN KE LUAR (OUT-REACH) : P E R A S U L A N
------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Sekolah Minggu, katekisasi, KESAKSIAN dan
pengaderan, pelatihan, seminar/ PEWARTAAN P.I.
diskusi, penataran, retreat, etc. (marturia & kerugma) (evangelism)
- Khotbah, P.A.
- Penyegaran Iman
- Penggembalaan, konseling PELAYANAN - Pelayanan, keterlibatan dan
(diakonia) kegiatan sosial (transformatif),
- Pelayanan kasih (karitatif) a.l. sekolah, rumah sakit, LSM.
- Keluarga/rumah tangga PERSEKUTUAN - Organisasi sosial, RT/RW
- Kategorial: anak-anak, (koinonia) - Fungsional/professional, a.l.
teruna, pemuda, wanita, dokter, guru, mahasiswa
bapak-bapak - Dialog/kerjasama antar atau
- Gerakan keesaan (oikumene) lintas agama/budaya
- Ibadah hari Minggu I B A D A H - Ibadah Keluarga, Sektor/
- Sakramen-sakramen dan Wilayah, Kebaktian Padang
- Perayaan Natal, Paskah, etc PERAYAAN - Ibadah/Perayaan Bersama
antar-gerejawi (ekumenis)
- Musik Gerejawi (leitourgia)
- Pawai/festival religius
- PESPARAWI, KKR
============================================================
Untuk pembinaan warga jemaat kita perlu bertitik tolak dari suatu model ber-jemaat,
misalnya jemaat missioner. Bagan di atas menyuguhkan ciri-ciri ber-jemaat sbb.:
7.1. Irama (rhythm) ber-jemaat adalah “kumpul-mencar”. Berkumpul untuk mewujudkan
“persekutuan yang berhimpun/beribadah” (gathered community). Lalu memencar
untuk mewujudkan “persekutuan yang menyebar/terpencar “ (scattered community).
7.2. Ada “jangkauan ke dalam” (in-reach), tetapi sekaligus dibarengi “jangkauan ke luar”
(out- reach). Ke dalam adalah untuk melakukan pembinaan untuk kemuridan/pemuridan
(discipleship/discipling), sedangkan menyebar ke luar untuk melakukan tugas perasulan
(apostolat) dalam rangka misi.
Perlu ditambahkan di sini bahwa pembangunan dan pertumbuhan jemaat seperti yang telah disinggung di muka mempunyai dua sisi: intensif dan ekstensif. Sisi intensif tersirat dalam Ef 4:15: “. . . dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Sedangkan sisi ekstensif tercermin, umpamanya, dalam Kisah Para Rasul. Di situ gereja bertumbuh dan melebar melampaui batas-batas atau pengkotakan-pengkotakan geografis, sosial, maupun politis.
Hendaknya diperhatikan bahwa kedua sisi tadi, yakni ekstensif (cf. “jangkauan ke luar”) dan intensif (cf. “jangkauan ke dalam”) haruslah berjalan bergandengan. Bahwasanya pada suatu waktu atau tempat tertentu, juga pada situasi dan kondisi tertentu, mungkin saja tekanan perlu diberikan kepada salah satu sisi tertentu, namun itu bukan berarti bahwa sisi lain diabaikan atau diterbengkalaikan. “Extensive growth,” demikian Berkhof (1979:408), “is no excuse for the lack of intensive growth, nor vice versa.” Pendek kata, pertumbuhan intensif mengarah kepada pertumbuhan ekstensif, sedangkan pertumbuhan ekstensif adalah prasyarat bagi pertumbuhan intensif. Keduanya saling mengisi dan melengkapi seperti “mur dan baut.” Pada hakikatnya itu jugalah yang merupakan upaya pembangunan jemaat (Hendriks, 1993:8).
Oleh karena itu adalah keliru memahami hakikat pembangunan jemaat dengan berkata: “Sebelum kita melakukan tugas panggilan ke luar, seyogyanya kita terlebih dahulu memusat-kan perhatian pada pertumbuhan ke dalam.” Adalah tidak mungkin bahwasanya pembangunan ke dalam dilakukan tanpa, umpamanya, P.I. dalam pengertian yang luas (cf. PELKES). Singkatnya, alasan keberadaan gereja/jemaat adalah berganda: penginjilan (cf. PELKES) ketika menyebar/tersebar, pembinaan ketika gereja/jemaat berhimpun (Leigh, 1996:187).
--- o0o ---
GENDER DALAM PERJANJIAN LAMA
(Kutipan dari Majalah Sahabat Gembala, Desember 1995, Bandung: YKH, hlm. 22f)
YESUS KRISTUS DAN KAUM WANITA
(Kutipan dari William Barclay, Mengkomunikasikan Injil, Jakarta: BPK-GM, 1989, hlm. 36f)
Buku-buku Bacaan dan Rujukan:
Barclay, William
1966 The Daily Study Bible: the Letter to the Galatians and Ephesians. Edinburgh: St. Andrews.
_____________
1989 Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Berkhof, Hendrikus
1979 Christian Faith. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
Biro Pelayanan Wanita
1996 Pelayanan Gereja bagi TKW di Indonesia. Jakarta: PGI.
Brownlee, Malcolm
1989 Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK-GM.
Fackre, Gabriel
1978 The Christian Story. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
1975 Word in Deed. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
Gangel, Kenneth O.
2001 Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Terj. Malang: Gandum Mas.
Hendriks, J.
1993 Jemaat yang Vital (Seri Patoral 218). Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Lembaga Alkitab Indonesia
1992 Alkitab. Jakarta: LAI.
Leigh, Ronald W.
1996 Melayani dengan Efektif. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Magnis-Suseno, Franz (Ketua Team Penyusun)
1989 Etika Sosial. Jakarta: Gramedia.
1992 “Membangun Manusia?” dalam Majalah Serasi, Proyek Pembangunan Informasi dan
Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 20/92,
hlm. 11ff.
Moss, Rowland
1982 The Earth in Our Hands. Leicester, England: IVP.
(tanpa nama penulis)
1990 Restoring Creation for Ecology and Justice (A Report Adopted by the 202nd General Assembly
[1990], Presbyterian Church [USA]). Louisville, Kentucky: the Office of the General Assembly.
(tanpa nama penulis)
Desember 1995 “Kontroversi Sekitar Pendeta Wanita” dalam Majalah Sahabat Gembala, Bandung: YKH, hlm. 22f.
Sapardjaja, Komariah Emong
2004 Trafficking. Bandung: Pusat Penelitian Peranan Wanita, Lembaga Penelitian UNPAD.
Schumacher, E.F.
1977 A Guide for the Perplexed. New York: Harper & Row.
Subadi H., Adjar
1989 “Konsep Ekologi sebagai Landasan Pembangunan yang Berkelanjutan” dalam Majalah Bina
Marga, Salatiga, No. 24, hlm. 70ff.
Voltelen, Nel H.
1996 Berani Berkomunikasi. Makassar: LPGM, STT INTIM.
Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak
(Pembinaan Untuk Pemberdayaan Warga Jemaat)
1. Tingkat Keberadaan
Dalam salah satu bukunya, E.F. Schumacher (1977:3) memperbedakan empat tingkat
keberadaan:
1.1. Tingkat keberadaan benda-benda yang tidak hidup, misalnya batu. Keberadaannya
adalah sebagai bahan untuk dimanfaatkan atau secara empiris dapat diteliti.
1.2. Tingkat keberadaan yang didapati pada tanaman hidup. Berbeda dengan tingkat
keberadaan pertama di atas, maka pada tingkat ini terdapat kehidupan.
1.3. Tingkat keberadaan yang didapati pada binatang. Dengan adanya kesadaran pada
binatang, maka keberadaannya berbeda dari tingkat keberadaan tumbuh-
tumbuhan seperti yang telah disinggung di atas.
1.4. Tingkat keberadaan yang keempat didapati pada manusia. Perbedaan manusia
dari binatang ialah adanya kesadaran diri pada manusia. Manusia mampu
menyadari bahwa ia berpikir dan bisa mengatur pikirannya demi suatu tujuan.
Perbedaan tingkat keberadaan yang disebutkan di atas dapat dirangkumkan sbb.:
1.1. B a h a n.
1.2. Bahan + Kehidupan.
1.3. Bahan + Kehidupan + Kesadaran.
1.4. Bahan + Kehidupan + Kesadaran + Kesadaran Diri.
Seperti yang telah disinggung di atas, hanyalah bahan yang dapat diteliti secara empiris. Sedangkan kehidupan dan kesadaran dapat diselidiki oleh, antara lain, ilmu alam dan kimia. Namun berkata bahwa kehidupan adalah sekedar kombinasi atom-atom, itu sama dengan mengatakan bahwa “sajak cuma suatu kombinasi huruf-huruf” (Brownlee, 1993: 178)
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa pada setiap tingkat terdapat peningkatan dari ke-pasif-an ke ke-aktif-an, juga dari ke-harus-an ke ke-bebas-an. Salah satu sumber pemahaman tentang “sumber daya insani” berasal dari pemahaman tingkat keberadaan tadi. Tentu perlu disadari bahwa manusia pun tidaklah sama sekali bebas dari ke-pasif-an dan ke-harus-an.
2. Arti Kemanusian
Apakah arti kemanusiaan itu? Jawabannya dapat dirangkumkan ke dalam tiga
unsur pokok (Brownlee, 1993:128f ):
2.1. Manusia adalah makhluk hidup yang kreatif dan berdaya. Pada penciptaan ia
diberi kuasa dan tanggung jawab atas alam (cf. Kej 1:28). Manusia memiliki
kemampuan untuk mejadi subjek perbuatan-perbuatannya, dan bukan sekedar
objek. Ini merupakan landasan lain untuk pengertian “sumber daya insani”.
Karena itu pembangunan haruslah memungkinkan orang mengembangkan
kemampuan dan keberdayaannya untuk berdikari.
2.2. Manusia berhubungan dengan sesamanya. “Tidak baik, kalau manusia itu seorang
diri saja” (Kej 2:18), demikian Allah berfirman pada penciptaan. Tegasnya,
manusia diciptakan untuk bersekutu. Memang ia perlu berdikari, namun ia tidak
dimaksudkan untuk hidup dan berdiri sendirian. Karena itu pembangunan
termasuk memungkinkan terciptanya suatu masyarakat yang para warganya
solider satu terhadap yang lain. Jurang antara orang-orang kaya dan yang miskin
perlu ditutup.
2.3. Pandangan teologis menambahkan unsur ketiga, yakni persekutuan dengan Allah.
Suatu kemanusiaan yang terkungkung, artinya yang tidak terbuka bagi nilai-nilai rohani
dan bagi Allah, yang menjadi sumbernya, hanya dapat mencapai hasil semu . . . . Tiada
kemanusiaan sejati selain terbuka bagi Tuhan dan yang sadar akan panggilan yang
memberikan arti yang tulen kepada hidup manusiawi. Manusia bukan ukuran tertinggi
bagi segalanya. Manusia hanya dapat merealisir dirinya bila ia mengatasi dirinya sendiri
(Populum Progressio, seperti yang dikutip dalam Brownlee, 1933:129).
Berdasarkan pandangan alkitabiah-teologis di atas, maka ada dasar untuk memakai
istilah dan berbicara tentang “sumber daya insani Kristiani”.
3. Manusia Modern dan Alam
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam bersifat teknokratis (dari bahasa
Yunani: tekne = ketrampilan; kratein = menguasai). Jadinya manusia modern cenderung
hanya mau menguasai alam. Alam dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam adalah sumber daya untuk dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu perlu dipelihara, kesadaran ini tidaklah seutuhnya termasuk dalam wawasan teknokratis. Pendek kata, sikap teknokratis cenderung bersifat merampas dan membuang. Alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan. Lalu apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk samping pekerjaan manusia, dibuang atau diterbengkalaikan begitu saja.
Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dalam sikap manusia modern terhadap lingkungan hidup dan alam. Yang diperlukan ialah suatu sikap dasar yang dapat dirumuskan sebagai berikut: “menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil memelihara” (Magnis-Suseno, 1989:151). Untuk mendaya gunakannya, manusia haruslah tetap menguasai alam. Yang perlu dirubah adalah cara penguasaan dan pemanfaatannya. Menguasai tidak sebagai pihak di luar dan di atas alam, melainkan sebagai bagian alam, sebagai partisipan dalam ekosistem bumi. Maksudnya, “menguasai sambil menghargai, mencintai, mendukung dan mengembangkannya”.
Sejalan dengan itu sudah waktunya disadari tanggung jawab terhadap generasi-generasi mendatang. Kita dibebani kewajiban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan terpelihara bagi anak-cucu-buyut kita. Dalam hubungannya dengan pembangunan, kita hendaknya mengupayakan pembangunan yang terlanjutkan (sustainable), yakni pembangunan yang mengupayakan agar lingkungan tetap mendukung kehidupan kita pada tingkat hidup yang lebih tinggui.
Dengan pendekatan ini pembangunan tidaklah berlawanan dengan lingkungan. Patut diingat bahwa “hanya dalam lingkungan yang optimal, manusia akan berkembang dengan baik. Dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan akan berkembang ke arah optimal” (Otto Soemarmoto, seperti yang dikutip oleh Subadi H., 1989:71).
3. Pengembangan dan Peningkatan
Karena manusia bukanlah batu atau benda mati, melainkan makhluk hidup yang
memiliki kesadaran diri, maka manusia mengambil sikap terhadap tiga dimensi
(Magnis-Suseno, 1992:11f ):
3.1. terhadap alam, a.l. perkerjaan;
3.2. terhadap manusia dan masyarakat, a.l. komunikasi dan interaksi;
3.3. terhadap Tuhan, a.l. doa dan/atau ibadah.
Mengenali ketiga dimensi di atas memerlukan beberapa sikap yang tepat. Mengarahkan doa kepada alam atau manusia adalah sama dengan menyembah berhala. Mengadakan komunikasi dengan alam adalah takhayul. Sikap tepat manusia terhasap sesama manusia adalah komunikasi. Lalu model komunikasi yang tepat ialah dialog. Dalam dialog masing-masing pihak saling menerima dan menanggapi
seadanya dan sewajarnya. Dan sesama itu adalah mitra.
4. Siapakah Perempuan menurut Alkitab?
Perempuan adalah juga Gambar Allah, sama seperti laki-laki. Karena itu perempuan memiliki posisi yang sama dan sejajar dengan laki-laki (Kej 1:27 : “. . . Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka”).
Bahwa laki-laki diciptakan lebih dulu, baru setelah itu perempuan, soal ini tidak boleh diartikan bahwa perempuan di-nomor-dua-kan. Mengutip Kej. 2:18 : “TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’”, maka fakta penciptaan harus dilihat dari perspektif perfeksionatif. Maksudnya, penciptaan perempuan adalah untuk menyempurnakan manusia secara utuh. Dengan kata lain, keberadaan laki-laki disempurnakan oleh keberadaan perempuan. Itu berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan ada dalam hubungan saling memberi arti, saling menyempur -nakan.
Bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama --- mempunyai hak, martabat dan kewajiban yang sama, pemahaman ini diangkat dari a.l. Gal 3:28 : “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”
Excursus: (kutipan dari “Kontroversi sekitar Pendeta Wanita”, Majalah Sahabat Gembala, Bandung: YKH,
Desember 1995, hlm. 22f):
. . . Alkitab sebaiknya dipahami seutuhnya, tidak hanya menonjolkan ayat-ayat yang meninggikan pria
atau wanita, tetapi harus dilihat secara representatif sehingga dapat mewakili Alkitab secara keseluruh-
an.
. . . secara representatif ada tiga konsep gender yang utama dalam seluruh Perjanjian Lama, yaitu konsep gender yang ideal, reflektif, dan insidentil.
Jadi pria dan wanita diberi hak dan kuasa yang sama untuk mendominasi bumi, baik dalam posisi sebagai pekerja atau pemimpin dalam masyarakat. Dengan demikian, baik pria maupun wanita, diberi hak serta kuasa untuk menjadi penatua gereja, pendeta, walikota, gubernur atau bahkan presiden. Amsal 31:10-31 juga memberikan gambaran yang rinci mengenai kesempatan bagi wanita untuk berperan dalam masyarakat.
. . . konsep gender yang ideal sering tidak dapat diterima oleh masyarakat yang menganut paham patriarkhal, sehingga ada peraturan yang ‘memenangkan’ kaum pria, seperti yang tertulis dalam Kitab Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Misalnya, wanita dapat dituntut mengenai status keperawanannya, disangsikan kesetiaannya, dimadu, diceraikan, bahkan dihukum mati bila kedapatan berzinah. Sedangkan kaum pria tidak dikenai aturan seperti itu.
. . . peraturan-peraturan itu tidak merefleksikan konsep gender ideal yang seharusnya ditiru, melainkan merupakan refleksi dari masyarakat yang patriarkhal seperti umat Israel. Ayat-ayat tersebut masih berfungsi di abad ke dua puluh ini. Justru inilah yang ditolak oleh golongan feminis yang radikal. Mereka lupa bahwa ini bukan konsep ideal, yang sebenarnya tidak perlu ditolak. Ini semua terjadi karena salah tafsir dan bukan karena Alkitab yang salah, melainkan karena persepsi masyarakat yang salah.
Konsep gender yang ketiga, yaitu yang insidentil, sering juga muncul dalam Perjanjian Lama, yaitu konsep gender ideal yang direalisasikan sesuai dengan situasi dan kemampuan yang luar biasa dari kaum wanita. Dalam konsep ini, wanita berperan menjadi mitra kaum pria, bahkan bisa menjadi pemimpin kaum pria dalam masyarakat, seperti Debora.
Hal ini membuktikan bahwa Perjanjian Lama tidak menghambat wanita untuk menjadi pemimpin, bahkan atas kaum pria, bila situasi mengizinkan dan bila wanita memiliki kemampuan untuk mendukung posisinya sebagai pemimpin (huruf miring oleh penulis).
Namun dalam kenyataannya posisi dan peranan perempuan tidaklah seperti yang
digambarkan Alkitab. Diskriminasi terjadi atas dan dalam kehidupan perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia --- politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Bahkan diskrimasi pun berlangsung di lingkungan gereja. Di gereja-gerja tertentu
perempuan tidak diberi tempat yang layak secara fungsional maupun struktural.
Yang paling merisaukan ialah kenyataan trafficking dalam berbagai bentuk. Menurut salah satu sumber (Sapardjaja, 2004:tanpa nomor hlm.), trafficking adalah
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalah-gunaan kekuasaan atau posisi rentan,
atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang
yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Menurut sumber yang sama tadi, bentuk-bentuk trafficking ialah a.l.: untuk keperluan prostitusi dan pornografi, penyelundupan perempuan hamil, perdagangan bayi, menjadi pembantu rumah tangga, eksploitasi seksual oleh pengidap pedofilia, dst.
5. Bagaimana Gereja Berperan?
Salah satu persoalan utama yang harus dibereskan oleh gereja ialah bagaimana kaum perempuan dipandang dan diakui sebagai subyek dari keseluruhan misi gereja. Bagi gereja-gereja yang belum melampaui agenda ini, maka posisi perempuan akan selalu dilihat sebagai obyek pelayanan. Dan ini akan berakibat buruk untuk model dan strategi pelayanan bagi kaum perempuan, khususnya dalam menanggulangi trafficking yang menyangkut eksploitasi perempuan.
Gereja hendaknya bercermin pada gaya pelayanan Yesus. Dia mendobrak kekakuan budaya Yahudi, dan memberi ruang dan tempat bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam pelayananNya, termasuk melayani Dia sampai saat-saat terakhir hidupNya. Usaha Yesus tadi tersirat a.l. dalam kisah Maria dan Marta (Luk 10:38-42), Yesus diurapi oleh seorang perempuan (Mrk 14:3-9), percakapan dengan perempuan Samaria (Yoh 4:1-42), dan perempuan yang berzinah (Yoh 7:53-8:11). Dalam salah satu bukunya, William Barclay (1989:36f), seorang pakar Perjanjian Baru, menulis sebagai berikut:
Di dalam Yesus Kristus sesuatu yang baru terjadi untuk kaum wanita. Benarlah
bahwa di dalam lingkup rumah tangga seorang ibu selalu amat berpengaruh. Tetapi
di mata hukum Yahudi dan Romawi seorang perempuan tidak lebih dari benda; dia
tidak memiliki hak hukum apapun. Memberikan pendidikan kepada seorang wanita
sama dengan membuang mutiara kepada babi, jadi kaum wanita sama sekali tidak
berpendidikan. Dalam hukum, misalnya, seorang wanita tidak boleh menceraikan
suaminya, sedangkan suaminya boleh menyuruhnya pergi begitu saja.
………………………………………………………………………………………………..
Benar-benar merupakan fakta bahwa baru dengan kedatangan Kristus, hormat
kepada kaum wanita telah lahir.
Gereja tidak bisa tinggal diam, jika harkat dan martabat manusia sebagi ciptaan Allah direndahkan dan dilecehkan. Keprihatinan gereja tidaklah sekedar keprihatinan yang ber-dimensi sosiologis-etis, melainkan berakar pada dan berdasarkan firman
Tuhan.
- - - o0o - - -
Pelayanan Gereja dan Kaum Perempuan
5. Membangun dan Bertumbuh
Adalah Rasul Paulus yang paling sering memakai istilah “membangun” dan “bertumbuh” dalam surat-suratnya. Kedua istilah ini hendaknya dipahami dalam kaitannya dengan sebuah istilah lain yang khas berasal dari Paulus. Istilah yang dimaksud ialah “tubuh Kristus”. 1 Kor 12 menunjukkan secara terperinci bagaimana kesatuan tubuh jasmani manusia merupakan contoh untuk jenis kesatuan yang harus diwujudkan dalam tubuh (rohani) Kristus. Menarik untuk diperhatikan bahwa sebagian besar pasal ini lebih banyak berbicara tentang jenis orang-orang yang akan menerima karunia khusus dan tidak semata-mata berbicara tentang rupa-rupa karunia. Sebenarnya dengan menggunakan istilah-istilah “membangun” dan “bertumbuh” ada tersirat pertanyaan-pertanyaan, antara lain, apa yang dibangun?; untuk apa membangun?; ke mana bertumbuh?
Bukanlah tanpa alasan yang mendasar, mengapa Paulus memahami dan mengiaskan gereja sebagai “tubuh Kristus”. Dengan memakai istilah “tubuh”, Paulus ingin memberi kesan bahwa tubuh adalah sesuatu yang hidup dan bertumbuh, dan bukan sesuatu yang tak bergerak atau tak berubah. Dari sinilah muncul gagasan “membangun” (dalam pengertian mekanis) dan “bertumbuh” (dalam pengertian organis).
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, “membangun/pemba-
ngunan” merupakan terjemahan dari istilah oikodome, sedangkan “bertumbuh/
pertumbuhan” adalah terjemahan dari istilah auxo. Dalam kaitan inilah, maka keberadaan dan kehadiran (raison d’etre) “para rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar”, menurut Paulus, adalah “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Ef 4:11, 12).
6. Pemberdayaan Warga Jemaat
Adalah menarik untuk memahami lebih mendalam istilah “memperlengkapi” yang
digunakan Paulus dalam ayat kutipan dari Ef. di atas. Menurut Barclay (1966:176), istilah “memperlengkapi”, yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Yunani katartizein, mempunyai beberapa arti:
6.1. upaya untuk memulihkan tulang yang patah, atau sendi yang terkilir;
6.2. upaya politik praktis untuk mempertemukan dan mendamaikan dua kelompok
yang berselisih, agar pemerintahan dapat berlangsung lancar kembali;
6.3. dalam Perjanjian Baru sendiri istilah tersebut berarti:
6.3.1. “membereskan jala” (Mrk 1:19);
6.3.2. upaya mendisiplinkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran, agar
kembali layak untuk ikut mengambil bagian dalam persekutuan (Gal 6:1).
Jadinya gagasan pokok yang mendasari istilah “memperlengkapi” (Yunani: katartizein) ialah mengembalikan atau memulihkan sesuatu atau seseorang kepada kondisi atau keadaan semula, yang memang adalah merupakan kondisi atau keadaan yang semestinya atau sepatutnya. Dengan itu dapat dirangkumkan bahwa keberadaan dan kehadiran (raison d’etre) para pejabat/pelayan gerejawi adalah untuk memberdayakan para warga jemaat, agar mereka menjadi “what they ought to be”.
7. Revitalisasi dan Refungsionalisasi Warga Jemaat
============================================================
PERSEKUTUAN BERHIMPUN JANGKAUAN KE DALAM (IN-REACH): P E M B I N A A N, P E M U R I D A N
DIMENSI-DIMENSI TUGAS & PANGGILAN GEREJA: MISI (APOSTOLAT)
PERSEKUTUAN MENYEBAR JANGKAUAN KE LUAR (OUT-REACH) : P E R A S U L A N
------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Sekolah Minggu, katekisasi, KESAKSIAN dan
pengaderan, pelatihan, seminar/ PEWARTAAN P.I.
diskusi, penataran, retreat, etc. (marturia & kerugma) (evangelism)
- Khotbah, P.A.
- Penyegaran Iman
- Penggembalaan, konseling PELAYANAN - Pelayanan, keterlibatan dan
(diakonia) kegiatan sosial (transformatif),
- Pelayanan kasih (karitatif) a.l. sekolah, rumah sakit, LSM.
- Keluarga/rumah tangga PERSEKUTUAN - Organisasi sosial, RT/RW
- Kategorial: anak-anak, (koinonia) - Fungsional/professional, a.l.
teruna, pemuda, wanita, dokter, guru, mahasiswa
bapak-bapak - Dialog/kerjasama antar atau
- Gerakan keesaan (oikumene) lintas agama/budaya
- Ibadah hari Minggu I B A D A H - Ibadah Keluarga, Sektor/
- Sakramen-sakramen dan Wilayah, Kebaktian Padang
- Perayaan Natal, Paskah, etc PERAYAAN - Ibadah/Perayaan Bersama
antar-gerejawi (ekumenis)
- Musik Gerejawi (leitourgia)
- Pawai/festival religius
- PESPARAWI, KKR
============================================================
Untuk pembinaan warga jemaat kita perlu bertitik tolak dari suatu model ber-jemaat,
misalnya jemaat missioner. Bagan di atas menyuguhkan ciri-ciri ber-jemaat sbb.:
7.1. Irama (rhythm) ber-jemaat adalah “kumpul-mencar”. Berkumpul untuk mewujudkan
“persekutuan yang berhimpun/beribadah” (gathered community). Lalu memencar
untuk mewujudkan “persekutuan yang menyebar/terpencar “ (scattered community).
7.2. Ada “jangkauan ke dalam” (in-reach), tetapi sekaligus dibarengi “jangkauan ke luar”
(out- reach). Ke dalam adalah untuk melakukan pembinaan untuk kemuridan/pemuridan
(discipleship/discipling), sedangkan menyebar ke luar untuk melakukan tugas perasulan
(apostolat) dalam rangka misi.
Perlu ditambahkan di sini bahwa pembangunan dan pertumbuhan jemaat seperti yang telah disinggung di muka mempunyai dua sisi: intensif dan ekstensif. Sisi intensif tersirat dalam Ef 4:15: “. . . dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Sedangkan sisi ekstensif tercermin, umpamanya, dalam Kisah Para Rasul. Di situ gereja bertumbuh dan melebar melampaui batas-batas atau pengkotakan-pengkotakan geografis, sosial, maupun politis.
Hendaknya diperhatikan bahwa kedua sisi tadi, yakni ekstensif (cf. “jangkauan ke luar”) dan intensif (cf. “jangkauan ke dalam”) haruslah berjalan bergandengan. Bahwasanya pada suatu waktu atau tempat tertentu, juga pada situasi dan kondisi tertentu, mungkin saja tekanan perlu diberikan kepada salah satu sisi tertentu, namun itu bukan berarti bahwa sisi lain diabaikan atau diterbengkalaikan. “Extensive growth,” demikian Berkhof (1979:408), “is no excuse for the lack of intensive growth, nor vice versa.” Pendek kata, pertumbuhan intensif mengarah kepada pertumbuhan ekstensif, sedangkan pertumbuhan ekstensif adalah prasyarat bagi pertumbuhan intensif. Keduanya saling mengisi dan melengkapi seperti “mur dan baut.” Pada hakikatnya itu jugalah yang merupakan upaya pembangunan jemaat (Hendriks, 1993:8).
Oleh karena itu adalah keliru memahami hakikat pembangunan jemaat dengan berkata: “Sebelum kita melakukan tugas panggilan ke luar, seyogyanya kita terlebih dahulu memusat-kan perhatian pada pertumbuhan ke dalam.” Adalah tidak mungkin bahwasanya pembangunan ke dalam dilakukan tanpa, umpamanya, P.I. dalam pengertian yang luas (cf. PELKES). Singkatnya, alasan keberadaan gereja/jemaat adalah berganda: penginjilan (cf. PELKES) ketika menyebar/tersebar, pembinaan ketika gereja/jemaat berhimpun (Leigh, 1996:187).
--- o0o ---
GENDER DALAM PERJANJIAN LAMA
(Kutipan dari Majalah Sahabat Gembala, Desember 1995, Bandung: YKH, hlm. 22f)
YESUS KRISTUS DAN KAUM WANITA
(Kutipan dari William Barclay, Mengkomunikasikan Injil, Jakarta: BPK-GM, 1989, hlm. 36f)
Buku-buku Bacaan dan Rujukan:
Barclay, William
1966 The Daily Study Bible: the Letter to the Galatians and Ephesians. Edinburgh: St. Andrews.
_____________
1989 Mengkomunikasikan Injil. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Berkhof, Hendrikus
1979 Christian Faith. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
Biro Pelayanan Wanita
1996 Pelayanan Gereja bagi TKW di Indonesia. Jakarta: PGI.
Brownlee, Malcolm
1989 Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK-GM.
Fackre, Gabriel
1978 The Christian Story. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
1975 Word in Deed. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans.
Gangel, Kenneth O.
2001 Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Terj. Malang: Gandum Mas.
Hendriks, J.
1993 Jemaat yang Vital (Seri Patoral 218). Yogyakarta: Pusat Pastoral.
Lembaga Alkitab Indonesia
1992 Alkitab. Jakarta: LAI.
Leigh, Ronald W.
1996 Melayani dengan Efektif. Terj. Jakarta: BPK-GM.
Magnis-Suseno, Franz (Ketua Team Penyusun)
1989 Etika Sosial. Jakarta: Gramedia.
1992 “Membangun Manusia?” dalam Majalah Serasi, Proyek Pembangunan Informasi dan
Kependudukan, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, No. 20/92,
hlm. 11ff.
Moss, Rowland
1982 The Earth in Our Hands. Leicester, England: IVP.
(tanpa nama penulis)
1990 Restoring Creation for Ecology and Justice (A Report Adopted by the 202nd General Assembly
[1990], Presbyterian Church [USA]). Louisville, Kentucky: the Office of the General Assembly.
(tanpa nama penulis)
Desember 1995 “Kontroversi Sekitar Pendeta Wanita” dalam Majalah Sahabat Gembala, Bandung: YKH, hlm. 22f.
Sapardjaja, Komariah Emong
2004 Trafficking. Bandung: Pusat Penelitian Peranan Wanita, Lembaga Penelitian UNPAD.
Schumacher, E.F.
1977 A Guide for the Perplexed. New York: Harper & Row.
Subadi H., Adjar
1989 “Konsep Ekologi sebagai Landasan Pembangunan yang Berkelanjutan” dalam Majalah Bina
Marga, Salatiga, No. 24, hlm. 70ff.
Voltelen, Nel H.
1996 Berani Berkomunikasi. Makassar: LPGM, STT INTIM.
Pdt. (Em.) Dr. Nazarius Rumpak
Langganan:
Postingan (Atom)