(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar . . .
[G]agasan tentang perjanjian merupakan hal yang pokok bagi pikiran penulis. Ia meng- artikan perjanjian sebagai hubungan antara Allah dan manusia. Perjanjian yang pertama tergantung pada ketaatan manusia terhadap hukum. Kalau manusia melanggar hukum, maka perjanjian itu batal. Kita harus ingat bahwa bagi penulis Surat Ibrani agama berarti jalan ma- suk kepada Allah. Oleh karena itu arti yang pokok dari perjanjian yang baru yang disahkan oleh Yesus adalah supaya manusia dapat sampai kepada Allah atau dapat bersekutu dengan Allah. Tetapi justru di sini terdapat kesulitan. Manusia yang datang pada perjanjian yang baru ternyata sudah penuh dengan noda yang disebabkan oleh dosa-dosa yang dilakukan dalam hukum perjanjian yang lama. Tata upacara korban yang lama tidak berdaya menebus dosa- dosa itu. Nah, penulis Surat Ibrani mempunyai pikiran yang hebat dan mengatakan bahwa korban Yesus Kristus berlaku surut. Artinya, korban Yesus Kristus berkuasa menghapuskan dosa-dosa manusia yang dilakukan di bawah perjanjian lama, dan berkuasa mengesahkan persekutuan yang dijanjikan di bawah perjanjian yang baru. Kesemuanya itu nampaknya sangat ruwet; tetapi di belakangnya terdapat dua kebenaran abadi. Pertama, korban Yesus menghasilkan pengampunan bagi dosa-dosa yang lama. Ka- rena perbuatan-perbuatan kita, maka kita seharusnya dihukum dan dikucilkan dari Allah. Teta- pi karena pengorbanan Yesus maka hutang dihapuskan, pelanggaran diampuni dan pengha- lang disingkirkan. Kedua, pengorbanan Yesus membuka hidup baru untuk hari depan. Jalan menuju persekutuan dengan Allah telah terbuka. Allah yang karena dosa-dosa kita telah men- jadi terasing bagi kita, kini karena pengorbanan Yesus menjadi sahabat kita. Karena pengor- bananNya, maka beban masa lalu telah disingkirkan jauh-jauh dan kini hidup menjadi hidup dengan Allah [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat Ibrani, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 142f]. Informasi: The writer . . . show[s] that the new covenant that has replaced the Mosaic was instituted by Jesus’ sacrifice of himself (vv. 15-22). That sacrifice was so efficacious that “once for all at the end of the ages” Jesus was able to “do away with sin by the sacrifice of himself” (v. 26). This one sacrifice was enough to “take away the sins of many people” (v. 28) [kutipan dari New Internatioanl Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 468].
2. Eksposisi
2.1. Ayat 15-21: Bagaimana sampai “perjanjian baru” itu bagaikan sebuah “wasiat”? Wasiat merupakan suatu kontrak yang diatur sebelum si pembuat wasiat itu meninggal. Kristus membuat suatu perjanjian baru [Inggris: new cove- nant] dengan umatNya (Yer 31:31; Mrk 14:24; Ibr 8:8), yang, bagaikan sebuah wasiat, berlaku sesudah kematianNya. Dengan itu orang-orang Kristen kini bisa akrab dengan Allah (8:11) dan memperoleh pengampun- an (8:12). Keseluruhan Perjanjian Baru berisikan ajaran yang didasarkan pada perjanjian baru tadi.
2.2. Ayat 22 : Mengapa Allah menghendaki “penumpahan darah” untuk “pengampunan” dosa? Dosa adalah pelecehan terhadap kekudusan Allah. Oleh karena itu dosa hanya dapat dihapuskan melalui penghukuman mati. Maka ketika darah --- yang oleh orang-orang Israel dipahami sebagai dasar kehidupan --- dicurahkan, maka tindakan ini menyiratkan bahwa kehidupan telah dilepas pergi alias mati. Dalam Perjanjian Lama, tindakan tadi digambarkan melalui upacara korban sembelihan hewan. Dalam Perjanjian Baru pencurahan darah Yesus memenuhi tuntutan Allah tadi. Hanya dengan itu, maka peng- ampunan atas dosa diwujudnyatakan. [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), pp. 1733f].
3. Excursus
Perjanjian Lama . . . memainkan peranan yang penting dalam nasihat-nasihat surat Ibrani, yaitu sebagai “firman yang hidup dan yang kuat” (4:12), yang “pada hari ini” masih tetap dide- ngar (3:7,15). Namun Perjanjian Lama tidak lagi berfungsi sebagai kitab hukum, melainkan sebagai kitab yang mengandung contoh-contoh yang dapat dipakai untuk mendukung nasihat-nasihat yang diberikan. Dengan mengutip Yeremia 31:31 dst, maka si penulis men- jelaskan pendiriannya terhadap hukum Taurat; yaitu dengan mengadakan perjanjian yang baru antara Allah dan manusia, maka hukum yang lama juga diubah menjadi hukum yang baru (8:8 dst). Perjanjian yang baru itu ditandai oleh hubungan antara Allah dan manusia yang didasarkan pada pengetahuan yang langsung dan ketaatan yang bebas (ay. 10-11). Peraturan-peraturan yang lama seperti peraturan yang menyangkut makanan, minuman serta pelbagai macam persembahan, oleh si penulis dianggap sebagai “peraturan-perauran untuk hidup insani” saja, yang hanya berlaku untuk sementara waktu dan akan diganti de- ngan aturan-aturan yang lebih baik (9:9 dyb). Hanya karena Kristus yang mempersembahkan diriNya itulah perbuatan-perbuatan yang sia-sia itu dapat diganti dengan ibadah kepada “Al- lah yang hidup” (9:14 dyb) [kutipan dari Henk ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 191]. Pekejaan Kristus Menyoroti latar belakang kelemahan-kelemahan peraturan Harun, penulis menyingkap super- ioritas Kristus dalam pekerjaan-Nya yg mendamaikan, dan faktor-faktor utama yg terkait ada- lah: (i) final dan sempurnanya korban persembahan Kristus (7:27; 9:12,28; 10:10); (ii) sifat pribadi korban persembahan Kristus ialah Dia mempersembahkan diri-Nya sendiri (9:14); (iii) sifat rohani korban persembahan Kristus (9:14); dan (iv) dampak abadi dari pekerjaan Kristus sebagai Imam, yakni penebusan yg kekal (9;12). Peraturan Harun dengan upacara keagamaannya yg terus-menerus diulangi, tidak memiliki kualitas sifat korban persembahan Kristus . . . Klimaks dari uraian soteriologis ini mencapai kemuncaknya pada 9:14, di mana Kristus dikatakan telah mempersembahkan dirinya sendiri ‘oleh Roh yang kekal’. Inilah yg memberi- kan perbedaan mencolok sekali dari korban-korban upacara ibadah Harun yg tidak bisa me- nolong diri, dibandingkan persembahan Kristus sendiri yg dengan ikhlas dan sengaja Ia per- sembahkan sebagai Imam Besar kita [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1 (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 415f].
- - - NR - - -
26 Februari 2008
Yohanes 1 9 : 2 8 – 2 9
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1.Pengantar
Tidak lama kemudian tubuhNya menjadi kering akibat penyaliban itu. BibirNya melepuh. Dalam penderitaanNya yang dalam, regu serdadu mendengar bisikanNya, “Aku haus” (Yoh 19:28c). Salah seorang serdadu berbelas-kasihan terhadap Yesus. Ia mengambil bunga karang, mencelupnya dalam anggur asam, suatu minuman yang digunakan serdadu-serdadu itu untuk membius kesakitan. Dengan sebatang hisop, bunga karang itu disentuhkannya ke mulut Yesus. Yesus bersyukur kepada serdadu yang hatinya belum membatu itu dan masih mampu bersim- pati dengan penderitaan hebat seseorang [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebeneranya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 95]. Informasi: Ketika Yohanes menulis injilnya, kira-kira pada tahun 100, ajaran sesat gnostik sedang berpengaruh. Salah satu ciri ajaran ini ialah anggapannya bahwa yang rohani semuanya baik, sedangkan yang bersifat jasmani/benda semuanya jelek. Dengan anggapan ini, maka bagi mereka disimpulkan bahwa Yesus, sebagai Allah yang adalah roh adanya, sebenarnya tidak merasakan penderitaan di kayu salib. Menentang ajaran ini, Yohanes adalah satu-satunya penulis injil yang menyuguh- kan fakta bahwa Yesus merasa haus; “he wishes to show that [Jesus] was really human and really underwent the agony of the Cross [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of John, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), pp. 257f.]. . . . John sees deeper than the natural. Jesus here fulfils the Scripture, and, John implies, to some degree deliberately. Already so many details of the Old Testament depictions of the divine sufferer have been fulfilled; Jesus seeks one more, that in Psalm 69:3, 21, ‘my throat is parched . . . and gave me vinegar for my thirst’ (cf. also Ps. 22:12-18). So the one who offered living water, which would mean never thirsting again, the one who cried on the last day of feast, ‘If anyone is thirsty, let him come to me and drink’, he now cries, I am thirsty [kutipan dari Bruce Milne, The Message of John (Leicester, England: IVP, 1993), p. 281].
2. Renungan [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib (Yogyakarta: Andi, April 2002), hlm 23 dan 25].
2.1. KEHAUSAN ILAHI Di dalam sebuah film dokumenter tentang kehidupan di gurun, banyak binatang maupun manusia yang mati kekeringan jika tidak segera mendapat air. Suku setempat biasanya menanam orang yang mengalami dehidrasi ke dalan tanah agar cairan tubuhnya tidak habis. Apa yang Yesus alami jauh lebih mengerikan daripada di gurun. Dia tidak meng- alami dehidrasi tubuh, namun kekeringan jiwa yang luar biasa. Pemazmur sangat paham akan hal ini ketika dia berkata, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bi- lakah aku boleh datang melihat Allah?” (42:3). Kehausan Tuhan kita di atas kayu salib jauh lebih berat ketimbang yang dihasilkan dari dahi yang pening, lidah yang bengkak, dan tubuh yang kekeringan. Yang dialami Tuhan kita bukan hanya penderitaan fisik. Selama jam-jam yang panjang di atas kayu salib, Dia melalui siksaan neraka. Dia, Allah yang kasih-Nya tak terbatas, dibebani dengan kebencian umat manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dia, Allah dengan kekudusan sempurna, dibuat berdosa karena kita. Dia, Allah yang Mahakuasa, digantung “tak berdaya” di kayu salib untuk di- olok-olok oleh manusia yang rapuh. Kemudian, panasnya murka Allah diarahkan kepada- Nya. Semua penderitaan yang digabungkan jadi satu ini membuat-Nya mengalami dehi- drasi “jiwa” Yesus Kristus saat Dia merendahkan Diri-Nya sendiri dan patuh sampai mati. Tidaklah mengherankan jika Dia berteriak, “Aku haus.” Karena penderitaan yang dialami oleh Yesus, piala kita penuh saat ini, dan kelak kita akan bersama Dia di tanah di mana tidak ada lagi orang kehausan.
2.2. APA YANG ENGKAU LAKUKAN KEPADA SESAMA “Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum” --- Matius 25:42 Kisah pemisahan antara domba dan kambing sangat akrab di telinga kita. Kepada domba Raja itu berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Kepada kambing Dia berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyah- lah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuik Iblis dan malaikat-malaikatnya. Se- bab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus; kamu tidak mem- beri Aku minum.” Tanggapan dari domba dan kambing sama, “Bilamanakah kami melihat Engkau haus dan kami memberi (tidak memberi) Engkau minum?” Dan jawaban Raja itu adalah, “Se- sungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan (tidak kamu lakukan) untuk salah se- orang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya (tidak melaku- kannya) untuk Aku.” Kapan saja orang kesepian, tertekan, sakit, putus asa, dan terbelunggu dosa, ada Yesus yang berkata, “Aku haus.” Marilah kita memberi diri kita sendiri dan sumber daya yang kita miliki kepada orang lain. Marilah kita tanpa jemu-jemu besaksi kepada sesame tentang Air Hidup. Dengan jalan demikian, kita memuaskan dahaga orang banyak. Kare- na Dia berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untk Aku” (lih. Mat 25:31- 46).
3. Excursus Ucapan-ucapan Yesus . . . pada kenyataannya ada petunjuk yang kuat dalam Perjanjian Baru bahwa ucapan- ucapan Yesus sangat dihormati sebagaimana adanya. Itulah yang selayaknya dapat diha- rapkan dalam situasi Palestina abad pertama, mengingat para ahli Yahudi menuntut dengan tegas bahwa pengajaran yang berwenang harus dipelihara dengan saksama, dan kelihatan- nya umat Kristen khususnya para rasul memainkan peranan penting di dalam memelihara tradisi pengajaran Kristus dengan teliti. Lagi pula para ahli yang telah mempelajari secara rinci ciri-ciri linguistik dan gaya bahasa ucapan-ucapan Yesus dalam kitab-kitab Injil terkesan dengan gaya mengajar khas yang masih tetap dapat dilihat di dalamnya, walaupun selama bertahun-tahun diteruskan secara lisan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Tentu ini tidak berarti bahwa ucapan-ucapan Yesus selalu dimuat secara kata demi kata ke dalam kitab-kitab Injil. Mungkin sekali Yesus pada umumnya berbicara dalam bahasa Aram, sehingga ucapan-ucapan itu sekurang-kurangnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Jelas juga telah terjadi proses pemilihan akan ucapan-ucapan mana yang dipelihara dan dimasukkan ke dalam kitab-kitab Injil, dan dalam proses itu ucapan-ucapan tertentu kadang-kadang diatur kembali ke dalam kelompok-kelompok yang cocok bagi tujuan menga- jar. Perbandingan antara kitab-kitab Injil juga menunjukkan bahwa pengalimatan suatu ucap- an dapat berbeda-beda, guna menonjolkan hal-hal yang paling cocok dengan konteks para penulis. Kadang-kadang, terutama dalam Injil Yohanes, ucapan Yesus disadur dengan agak bebas. Tetapi semuanya itu sangat berbeda dengan menciptakan “ucapan-ucapan Yesus” sesuai dengan kebutuhan pada dasa warsa berikutnya, dan bahan bukti menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin ada kebiasaan seperti itu. Walaupun ada sedikit perbedaan di dalam pengalimatan dan urutan ucapan-ucapan yang terpelihara, kita mempunyai alasan yang kuat untuk mengandalkan isi pengajaran Yesus seperti yang tercatat dalam kitab-kitab Injil [kutipan dari R.T. France, Yesus Sang Radikal, terj. (Jakarta: BOPK-GM, 1996), hlm. 184f.].
- - - NR - - -
1.Pengantar
Tidak lama kemudian tubuhNya menjadi kering akibat penyaliban itu. BibirNya melepuh. Dalam penderitaanNya yang dalam, regu serdadu mendengar bisikanNya, “Aku haus” (Yoh 19:28c). Salah seorang serdadu berbelas-kasihan terhadap Yesus. Ia mengambil bunga karang, mencelupnya dalam anggur asam, suatu minuman yang digunakan serdadu-serdadu itu untuk membius kesakitan. Dengan sebatang hisop, bunga karang itu disentuhkannya ke mulut Yesus. Yesus bersyukur kepada serdadu yang hatinya belum membatu itu dan masih mampu bersim- pati dengan penderitaan hebat seseorang [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebeneranya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 95]. Informasi: Ketika Yohanes menulis injilnya, kira-kira pada tahun 100, ajaran sesat gnostik sedang berpengaruh. Salah satu ciri ajaran ini ialah anggapannya bahwa yang rohani semuanya baik, sedangkan yang bersifat jasmani/benda semuanya jelek. Dengan anggapan ini, maka bagi mereka disimpulkan bahwa Yesus, sebagai Allah yang adalah roh adanya, sebenarnya tidak merasakan penderitaan di kayu salib. Menentang ajaran ini, Yohanes adalah satu-satunya penulis injil yang menyuguh- kan fakta bahwa Yesus merasa haus; “he wishes to show that [Jesus] was really human and really underwent the agony of the Cross [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of John, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), pp. 257f.]. . . . John sees deeper than the natural. Jesus here fulfils the Scripture, and, John implies, to some degree deliberately. Already so many details of the Old Testament depictions of the divine sufferer have been fulfilled; Jesus seeks one more, that in Psalm 69:3, 21, ‘my throat is parched . . . and gave me vinegar for my thirst’ (cf. also Ps. 22:12-18). So the one who offered living water, which would mean never thirsting again, the one who cried on the last day of feast, ‘If anyone is thirsty, let him come to me and drink’, he now cries, I am thirsty [kutipan dari Bruce Milne, The Message of John (Leicester, England: IVP, 1993), p. 281].
2. Renungan [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib (Yogyakarta: Andi, April 2002), hlm 23 dan 25].
2.1. KEHAUSAN ILAHI Di dalam sebuah film dokumenter tentang kehidupan di gurun, banyak binatang maupun manusia yang mati kekeringan jika tidak segera mendapat air. Suku setempat biasanya menanam orang yang mengalami dehidrasi ke dalan tanah agar cairan tubuhnya tidak habis. Apa yang Yesus alami jauh lebih mengerikan daripada di gurun. Dia tidak meng- alami dehidrasi tubuh, namun kekeringan jiwa yang luar biasa. Pemazmur sangat paham akan hal ini ketika dia berkata, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bi- lakah aku boleh datang melihat Allah?” (42:3). Kehausan Tuhan kita di atas kayu salib jauh lebih berat ketimbang yang dihasilkan dari dahi yang pening, lidah yang bengkak, dan tubuh yang kekeringan. Yang dialami Tuhan kita bukan hanya penderitaan fisik. Selama jam-jam yang panjang di atas kayu salib, Dia melalui siksaan neraka. Dia, Allah yang kasih-Nya tak terbatas, dibebani dengan kebencian umat manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dia, Allah dengan kekudusan sempurna, dibuat berdosa karena kita. Dia, Allah yang Mahakuasa, digantung “tak berdaya” di kayu salib untuk di- olok-olok oleh manusia yang rapuh. Kemudian, panasnya murka Allah diarahkan kepada- Nya. Semua penderitaan yang digabungkan jadi satu ini membuat-Nya mengalami dehi- drasi “jiwa” Yesus Kristus saat Dia merendahkan Diri-Nya sendiri dan patuh sampai mati. Tidaklah mengherankan jika Dia berteriak, “Aku haus.” Karena penderitaan yang dialami oleh Yesus, piala kita penuh saat ini, dan kelak kita akan bersama Dia di tanah di mana tidak ada lagi orang kehausan.
2.2. APA YANG ENGKAU LAKUKAN KEPADA SESAMA “Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum” --- Matius 25:42 Kisah pemisahan antara domba dan kambing sangat akrab di telinga kita. Kepada domba Raja itu berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Kepada kambing Dia berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyah- lah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuik Iblis dan malaikat-malaikatnya. Se- bab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus; kamu tidak mem- beri Aku minum.” Tanggapan dari domba dan kambing sama, “Bilamanakah kami melihat Engkau haus dan kami memberi (tidak memberi) Engkau minum?” Dan jawaban Raja itu adalah, “Se- sungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan (tidak kamu lakukan) untuk salah se- orang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya (tidak melaku- kannya) untuk Aku.” Kapan saja orang kesepian, tertekan, sakit, putus asa, dan terbelunggu dosa, ada Yesus yang berkata, “Aku haus.” Marilah kita memberi diri kita sendiri dan sumber daya yang kita miliki kepada orang lain. Marilah kita tanpa jemu-jemu besaksi kepada sesame tentang Air Hidup. Dengan jalan demikian, kita memuaskan dahaga orang banyak. Kare- na Dia berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untk Aku” (lih. Mat 25:31- 46).
3. Excursus Ucapan-ucapan Yesus . . . pada kenyataannya ada petunjuk yang kuat dalam Perjanjian Baru bahwa ucapan- ucapan Yesus sangat dihormati sebagaimana adanya. Itulah yang selayaknya dapat diha- rapkan dalam situasi Palestina abad pertama, mengingat para ahli Yahudi menuntut dengan tegas bahwa pengajaran yang berwenang harus dipelihara dengan saksama, dan kelihatan- nya umat Kristen khususnya para rasul memainkan peranan penting di dalam memelihara tradisi pengajaran Kristus dengan teliti. Lagi pula para ahli yang telah mempelajari secara rinci ciri-ciri linguistik dan gaya bahasa ucapan-ucapan Yesus dalam kitab-kitab Injil terkesan dengan gaya mengajar khas yang masih tetap dapat dilihat di dalamnya, walaupun selama bertahun-tahun diteruskan secara lisan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Tentu ini tidak berarti bahwa ucapan-ucapan Yesus selalu dimuat secara kata demi kata ke dalam kitab-kitab Injil. Mungkin sekali Yesus pada umumnya berbicara dalam bahasa Aram, sehingga ucapan-ucapan itu sekurang-kurangnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Jelas juga telah terjadi proses pemilihan akan ucapan-ucapan mana yang dipelihara dan dimasukkan ke dalam kitab-kitab Injil, dan dalam proses itu ucapan-ucapan tertentu kadang-kadang diatur kembali ke dalam kelompok-kelompok yang cocok bagi tujuan menga- jar. Perbandingan antara kitab-kitab Injil juga menunjukkan bahwa pengalimatan suatu ucap- an dapat berbeda-beda, guna menonjolkan hal-hal yang paling cocok dengan konteks para penulis. Kadang-kadang, terutama dalam Injil Yohanes, ucapan Yesus disadur dengan agak bebas. Tetapi semuanya itu sangat berbeda dengan menciptakan “ucapan-ucapan Yesus” sesuai dengan kebutuhan pada dasa warsa berikutnya, dan bahan bukti menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin ada kebiasaan seperti itu. Walaupun ada sedikit perbedaan di dalam pengalimatan dan urutan ucapan-ucapan yang terpelihara, kita mempunyai alasan yang kuat untuk mengandalkan isi pengajaran Yesus seperti yang tercatat dalam kitab-kitab Injil [kutipan dari R.T. France, Yesus Sang Radikal, terj. (Jakarta: BOPK-GM, 1996), hlm. 184f.].
- - - NR - - -
21 Februari 2008
Lukas 23 : 33 – 34
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Lukas menyuguhkan tiga dari tujuh ucapan Yesus di kayu salib.
[1] “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (23:34). [2] “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (23:43). [3] “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (23:46).
2. Informasi
2.1. Ucapan yang kedua menguatkan hati salah seorang penjahat yang bertobat dari semua tindakannya yang melanggar Kehendak Allah. Apakah alasan dia memandang Yesus dari sudut yang lain daripada rekannya, yang menghujat Yesus dengan menyatakan, “Bukan- kah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami (Luk 23:39), itu tidak kita ke- tahui. Tetapi ia merasa dirinya terdorong untuk bersandar kepada Yesus yang sama le- mahnya seperti dia. “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” [ay. 42]. Pernyataan iman itu menerima penghiburan yang setimpal, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firda- us” [ay. 43b] [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 94].
2.2. Why is Luke the only writer who tells the thief’s repentance? (23:40-42) According to Luke, one robber had a change of heart. The apparent difference between Luke’s account and that of Matthew and Mark seems to stem from the timing of events when both robbers hurled insults at Jesus (Matt. 27:41-44; Mark 15:27-32). Luke picks up the story when one of them, seeing Jesus forgive his executioners (Luke 23:34), deter- mined that Jesus could be trusted. The contrast of responses from each of the criminals is striking [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1519].
2.3. “Firdaus” (Inggris: paradise) berasal dari bahasa Persia. Artinya: sebuah kebun bertem- bok (Inggris: a walled garden). Kalau Raja Persia hendak menyatakan penghargaannya kepada seseorang, ia mengundang orang tsb. untuk menemaninya berjalan-jalan di kebun istana. “It was more than immortality that Jesus promised the penitent thief. He promised him the honoured place of a companion of the garden in the courts of heaven” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981].
3. Renungan [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 9ff.].
3.1. KESAKSIAN PENJAHAT YANG BERTOBAT Setelah Yesus berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka,” Dia lalu berkata kepada penjahat yang bertobat bahwa dosanya sudah diampuni. Sumber dari tradisi gereja menyatakan bahwa penjahat yang bertobat tersebut bernama Dymas. Dia divonis hukuman mati atas tuduhan pemberontakan. Yang menarik adalah pandangan si pemberontak ini tentang Kristus. Ketika penjahat yang lainnya mengejek Yesus dengan berkata: “Bukankah Eng- kau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami (Luk 23:39). Tetapi penjahat yang bertobat itu menegornya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang eng- kau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita me- nerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesu- atu yang salah” (Luk 23:39-41). Inilah kesaksian orang yang menyadari bahwa penghakiman Allah haruslah ditakuti, bahwa setiap perbuatan dosa pasti ada hukumannya dan bahwa Dia yang disalib di tengah-tengah mereka sebenarnya tidak patut mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana penjahat itu bisa tahu bahwa Dia yang disalib suatu saat akan memerintah sebagai Raja? Apa yang terjadi selama masa-masa siksan itu sehingga bisa membuatnya yakin bahwa Yesus akan membawanya kepada keabadian? Kita tidak tahu pasti. Tetapi mungkin saja ia mengambil kesimpulan setelah ia mendengar Yesus berdoa: “Ya, Bapa, ampunilah mereka”. Adakah orang yang tidak tersentuh hatinya mendengar doa seperti itu? Tuhan sering memakai roh pengampunan untuk membawa banyak orang berdoa da- tang kepada-Nya. Bersediakah Anda dipakai Allah menjadi saluran pengampunan bagi orang lain?
3.2. AJARAN TENTANG KESELAMATAN Doktor C.L. Edman pernah berkata: “Kisah tentang penjahat yang bertobat menjadi suatu peristiwa yang pernah ditulis dalam Alkitab yang paling mengesankan, menyentuh, dan menggerakkan hati.” Janji sang Juru Selamat kepada orang berdosa di saat menit-menit terakhir di sisa hi- dupnya ini langsung menyanggah pengajaran yang saat itu diterima orang banyak. Sudah jelas sekarang bahwa keselamatan dan hidup kekal ini tidak bisa diperoleh dengan berbu- at baik. Si pemberontak yang dieksekusi ini semasa hidupnya penuh dengan perbuatan dosa, tetapi saat itu juga diampuni dan masuk surga. Padahal dia belum sempat melaku- kan perbuatan baik. Kejadian ini juga mematahkan ajaran tentang api penyucian. Penjahat yang bertobat ini jelas tidak punya cukup waktu untuk menghapus dosa-dosanya. Janji Tuhan sudah jelas, yaitu “Hari ini juga, engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus”. Janji Yesus yang hampir wafat kepada penjahat yang bertobat ini sekaligus merontok- kan paham universalisme. Yesus hanya menjanjikan keselamatan kepada satu di antara dua penjahat. Hanya penjahat yang menyesali dosanya saja yang bisa masuk sorga. Percaya dengan hati dan mengakui dengan mulut merupakan hubungan pribadi yang mendasar antara manusia dengan Juru Selamat [bnd. Rm 10:9-10]. Penjahat yang satu masuk ke dalam kemuliaan Surga, sedangkan yang lainnya tidak. Bila Anda mati hari ini, ke mana roh Anda akan pergi? Bagi orang yang sudah menge- nal Yesus secara pribadi, jawabannya sudah pasti, yaitu bersama Dia di Firdaus.
3.3. BERSAKSI DI DEPAN PENENTANG
Di taman Firdaus atau kerajaan Surga, keadaannya adalah selalu “hari ini”. Menurut Dr. R.G. Lee, Tuhan tidak pernah berjanji esok hari bagi manusia, melainkan selalu untuk hari ini. Yesus berkata kepada Zakheus yang menyesali dosanya, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini” (Luk 19:9).Yesus tidak pernah mengecewakan orang yang datang dan percaya kepada-Nya. Dia segera memberikan tanggapan secara positif pada iman orang itu. Iman yang dimiliki penjahat yang disalib bersama Yesus sangat menyentuh perasaan kita. Dia menyadari bahwa dirinya adalah orang yang penuh dengan dosa dan patut untuk dihukum. Dia paham bahwa setiap kejahatan memang layak mendapatkan hukuman. Dia percaya bahwa Yesus sebenarnya tidak berdosa dan telah dihukum secara tidak adil. Dia percaya adanya kebangkitan orang mati. Dia sepenuhnya yakin bahwasanya penyaliban itu bukan merupakan akhir dari segalanya bagi Kristus maupun dirinya. Sambl meringis menahan sakit, penjahat ini mengungkapkan semua keyakinan iman- nya. Di hadapan banyak orang yang menghujat dan menentang Yesus, penjahat ini justru mengakui dengan tegas bahwa Yesus adalah Tuhan. Betapa indahnya pengakuan iman ini. Maka tak heran Tuhan segera menanggapinya. Ada orang yang berkata, “Hari ini adalah hari pertama dalam sisa hidupku”. Tapi bisa jadi hari ini justru “hari terakhior” dalam hidupnya. Karenanya cukup beralasan bila dalam Alkitab tertulis, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hati- mu” (Ibr 3:7-8). Jangan tunggu sampai besok hari untuk mendengarkan suara Tuhan. Bu- ka hatimu hari ini juga. - - - NR - - -.
1. Lukas menyuguhkan tiga dari tujuh ucapan Yesus di kayu salib.
[1] “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (23:34). [2] “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (23:43). [3] “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (23:46).
2. Informasi
2.1. Ucapan yang kedua menguatkan hati salah seorang penjahat yang bertobat dari semua tindakannya yang melanggar Kehendak Allah. Apakah alasan dia memandang Yesus dari sudut yang lain daripada rekannya, yang menghujat Yesus dengan menyatakan, “Bukan- kah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami (Luk 23:39), itu tidak kita ke- tahui. Tetapi ia merasa dirinya terdorong untuk bersandar kepada Yesus yang sama le- mahnya seperti dia. “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” [ay. 42]. Pernyataan iman itu menerima penghiburan yang setimpal, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firda- us” [ay. 43b] [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 94].
2.2. Why is Luke the only writer who tells the thief’s repentance? (23:40-42) According to Luke, one robber had a change of heart. The apparent difference between Luke’s account and that of Matthew and Mark seems to stem from the timing of events when both robbers hurled insults at Jesus (Matt. 27:41-44; Mark 15:27-32). Luke picks up the story when one of them, seeing Jesus forgive his executioners (Luke 23:34), deter- mined that Jesus could be trusted. The contrast of responses from each of the criminals is striking [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1519].
2.3. “Firdaus” (Inggris: paradise) berasal dari bahasa Persia. Artinya: sebuah kebun bertem- bok (Inggris: a walled garden). Kalau Raja Persia hendak menyatakan penghargaannya kepada seseorang, ia mengundang orang tsb. untuk menemaninya berjalan-jalan di kebun istana. “It was more than immortality that Jesus promised the penitent thief. He promised him the honoured place of a companion of the garden in the courts of heaven” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981].
3. Renungan [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 9ff.].
3.1. KESAKSIAN PENJAHAT YANG BERTOBAT Setelah Yesus berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka,” Dia lalu berkata kepada penjahat yang bertobat bahwa dosanya sudah diampuni. Sumber dari tradisi gereja menyatakan bahwa penjahat yang bertobat tersebut bernama Dymas. Dia divonis hukuman mati atas tuduhan pemberontakan. Yang menarik adalah pandangan si pemberontak ini tentang Kristus. Ketika penjahat yang lainnya mengejek Yesus dengan berkata: “Bukankah Eng- kau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami (Luk 23:39). Tetapi penjahat yang bertobat itu menegornya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang eng- kau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita me- nerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesu- atu yang salah” (Luk 23:39-41). Inilah kesaksian orang yang menyadari bahwa penghakiman Allah haruslah ditakuti, bahwa setiap perbuatan dosa pasti ada hukumannya dan bahwa Dia yang disalib di tengah-tengah mereka sebenarnya tidak patut mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana penjahat itu bisa tahu bahwa Dia yang disalib suatu saat akan memerintah sebagai Raja? Apa yang terjadi selama masa-masa siksan itu sehingga bisa membuatnya yakin bahwa Yesus akan membawanya kepada keabadian? Kita tidak tahu pasti. Tetapi mungkin saja ia mengambil kesimpulan setelah ia mendengar Yesus berdoa: “Ya, Bapa, ampunilah mereka”. Adakah orang yang tidak tersentuh hatinya mendengar doa seperti itu? Tuhan sering memakai roh pengampunan untuk membawa banyak orang berdoa da- tang kepada-Nya. Bersediakah Anda dipakai Allah menjadi saluran pengampunan bagi orang lain?
3.2. AJARAN TENTANG KESELAMATAN Doktor C.L. Edman pernah berkata: “Kisah tentang penjahat yang bertobat menjadi suatu peristiwa yang pernah ditulis dalam Alkitab yang paling mengesankan, menyentuh, dan menggerakkan hati.” Janji sang Juru Selamat kepada orang berdosa di saat menit-menit terakhir di sisa hi- dupnya ini langsung menyanggah pengajaran yang saat itu diterima orang banyak. Sudah jelas sekarang bahwa keselamatan dan hidup kekal ini tidak bisa diperoleh dengan berbu- at baik. Si pemberontak yang dieksekusi ini semasa hidupnya penuh dengan perbuatan dosa, tetapi saat itu juga diampuni dan masuk surga. Padahal dia belum sempat melaku- kan perbuatan baik. Kejadian ini juga mematahkan ajaran tentang api penyucian. Penjahat yang bertobat ini jelas tidak punya cukup waktu untuk menghapus dosa-dosanya. Janji Tuhan sudah jelas, yaitu “Hari ini juga, engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus”. Janji Yesus yang hampir wafat kepada penjahat yang bertobat ini sekaligus merontok- kan paham universalisme. Yesus hanya menjanjikan keselamatan kepada satu di antara dua penjahat. Hanya penjahat yang menyesali dosanya saja yang bisa masuk sorga. Percaya dengan hati dan mengakui dengan mulut merupakan hubungan pribadi yang mendasar antara manusia dengan Juru Selamat [bnd. Rm 10:9-10]. Penjahat yang satu masuk ke dalam kemuliaan Surga, sedangkan yang lainnya tidak. Bila Anda mati hari ini, ke mana roh Anda akan pergi? Bagi orang yang sudah menge- nal Yesus secara pribadi, jawabannya sudah pasti, yaitu bersama Dia di Firdaus.
3.3. BERSAKSI DI DEPAN PENENTANG
Di taman Firdaus atau kerajaan Surga, keadaannya adalah selalu “hari ini”. Menurut Dr. R.G. Lee, Tuhan tidak pernah berjanji esok hari bagi manusia, melainkan selalu untuk hari ini. Yesus berkata kepada Zakheus yang menyesali dosanya, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini” (Luk 19:9).Yesus tidak pernah mengecewakan orang yang datang dan percaya kepada-Nya. Dia segera memberikan tanggapan secara positif pada iman orang itu. Iman yang dimiliki penjahat yang disalib bersama Yesus sangat menyentuh perasaan kita. Dia menyadari bahwa dirinya adalah orang yang penuh dengan dosa dan patut untuk dihukum. Dia paham bahwa setiap kejahatan memang layak mendapatkan hukuman. Dia percaya bahwa Yesus sebenarnya tidak berdosa dan telah dihukum secara tidak adil. Dia percaya adanya kebangkitan orang mati. Dia sepenuhnya yakin bahwasanya penyaliban itu bukan merupakan akhir dari segalanya bagi Kristus maupun dirinya. Sambl meringis menahan sakit, penjahat ini mengungkapkan semua keyakinan iman- nya. Di hadapan banyak orang yang menghujat dan menentang Yesus, penjahat ini justru mengakui dengan tegas bahwa Yesus adalah Tuhan. Betapa indahnya pengakuan iman ini. Maka tak heran Tuhan segera menanggapinya. Ada orang yang berkata, “Hari ini adalah hari pertama dalam sisa hidupku”. Tapi bisa jadi hari ini justru “hari terakhior” dalam hidupnya. Karenanya cukup beralasan bila dalam Alkitab tertulis, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hati- mu” (Ibr 3:7-8). Jangan tunggu sampai besok hari untuk mendengarkan suara Tuhan. Bu- ka hatimu hari ini juga. - - - NR - - -.
Ayub17 : 11 – 16
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)
1. Pengantar
Ayub sungguh-sungguh kini telah terpuruk, merana dan menderita. Hewan ternaknya dirampok, sebagian lagi mati dilalap api. Anak-anaknya semua mati tertimpa rumah yang rubuh ditiup oleh angin ribut. Tidak lama sesudah itu Ayub sendiri diserang sejenis penyakit kulit, yang setiap saat menimbulkan siksaan fisik baginya. Tiga orang teman akrabnya datang untuk menghibur Ayub. Terjadilah dialog antara ketiga temannya tadi dengan Ayub. Bagaikan dalam pertandingan tinju, selama tiga ronde yang panjang (pasal 3-27), Ayub dan teman-temannya saling menyerang. Pada dasarnya ketiga temannya itu senada dalam keyakinan bahwa Allah memberi pahala kepada mereka yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat. Untuk mereka, Ayub menderita karena dosa-dosanya. Dan itu berarti, Allah sedang menghukum Ayub! Elifas telah selesai berbicara dalam memulai ronde kedua.(pasal 15). Menurut Elifas, orang fasik akan binasa. Ayub menanggapi (pasal 16-17) pandangan Elifas tadi. Jadinya bacaan kita hari ini (17:11-16) terdapat dalam bagian ini, yang merupakan kata-kata Ayub kepada Elifas
2. Sinopsis (16:1-5) :
Ayub menyebut para sahabatnya ‘penghibur sialan” (ayat 2). (16:6-17) : Ayub mengeluh terhadap Allah. Ayub merasa bahwa Allah telah membuat dia lelah/kecapekan (ayat 7). Kesalehan Ayub kembali menjadi paradoks --- Ayub bisa mengerti kalau Allah bertindak demikian terhadap orang fasik --- tetapi bukan terhadap dia! (ayat 11-17). (16:18-17:2): Ayub memohon dengan berharap kepada ‘saksi’-nya di sorga. (17:3-16) : Ayub menanti-nantikan kematian. Mata Ayub makin kabur karena kepe- dihan hatinya (17:7), dan para sahabatnya tidak berguna sebagai penghibur (17:10). Selanjutnya Ayub merasa tiada lagi harapan baginya (17:15). [Sumber dan kutipan dari David Atkinson, Ayub, terj. (Jakarta:YKBK/OMF, n.d.), hlm. 115 dst.].
Excursus: Sebagai manusia biasa di dunia ini, Ayub dipanggil untuk menjalani ujian cobaan dengan akibat-akibat kosmis. Ia tidak melihat secercah cahaya untuk memimpinnya, tidak ada petunjuk sedikit pun bahwa dunia yang tidak nampak itu [yakni sorga] memperhatikan- nya atau bahkan ada. Bagaikan binatang percobaan di laboratorium, ia dicomot untuk membereskan salah satu masalah paling mendesak dari umat manusia dan untuk menentukan sebagian kecil dari sejarah alam semesta. ………………………………………………………………………………………
Teladan yang diberikan Ayub menunjukkan dengan jelas bagaimana kehidupan dunia ini membawa pengaruh terhadap alam semesta. Pada waktu saya baru memulai penyeli- dikan, saya cenderung menghindari adegan yang “memalukan” di dalam pasal 1. Namun saya sekarang percaya bahwa entah itu berupa drama atau sejarah, Pertaruhan [antara Allah dan iblis] itu telah menawarkan berita pengharapan yang besar bagi kita semua. Hal ini mungkin merupakan pelajaran terpenting dan abadi dari Kitab Ayub. Pada akhirnya, Pertaruhan itu secara meyakinkan telah menentukan bahwa iman seorang percaya sungguh sangat berarti. Kitab Ayub menegaskan bahwa tanggapan kita terhadap ujian benar-benar berarti. Sejarah manusia dan sejarah iman saya pribadi [adalah] termasuk di dalam drama agung tentang sejarah alam semesta ini. Pascal berkata bahwa Allah telah memberikan “martabat yang mendatangkan akibat” kepada kita. Sama seperti Elihu, kita dapat saja meragukan apakah satu orang mampu membawa akibat berarti. Namun Alkitab sarat dengan petunjuk bahwa sesuatu seperti Pertaruhan itu juga dijalankan terhadap sejumlah orang percaya lainnya. Kita merupakan andalan Allah, suatu karya yang patut dipamerkan kepada dunia yang tidak nampak itu. Rasul Paulus meminjam adegan yang diambil dari pawai gladiator di Koloseum lalu melukiskan dirinya seolah-olah sedang ditonton orang banyak. “Sebab kami telah men- jadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia.” Dan didalam surat yang sama ia menimpali dengan bisikan bernada heran, “Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?” Kita menghuni sebuah planet yang hanya merupakan setitik kecil di pinggiran galaksi yang juga sekedar salah satu dari jutaan galaksi lainnya di alam semesta yang teramati. Namun Perjanjian Baru menegaskan bahwa apa yang terjadi atas kita di sini akan turut menentukan masa depan alam semesta itu sendiri. Rasul Paulus mengatakan dengan tegas, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.” Ciptaan alamiah yang sedang “mengerang” dalam kebusukan hanya dapat dibebaskan melalui perubahan dalam diri manusia [kutipan dari Philip Yancey, Kepercayaan terhadap Allah, terj. (Surabaya: Yakin, t.t.), hlm. 139f.].
3. Pertanyaan-Pertanyaan
3.1. Bagaimana “mereka” (yakni para sahabat Ayub) telah memunculkan terang (ayat 12)? Kemungkinan pertama, Ayub mengejek (“sarcasm’) para sahabatnya. Kemungkinan lain ialah Ayub secara tersamar mau menyatakan betapa tidak bermanfaatnya para sahabatnya itu, termasuk saran-saran mereka, betapapun mereka berusaha menghi- burnya [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003, p. 725].
3.2. Pertanyaan untuk diskusi: Bagaimana berharap dalam keadaan yang kelihatannya tidak ada harapan (ayat 15)? What hope is there for the discouraged or depressed? (17:15) That we are not alone. God is present with us even in the depths of our despair [Mzm 139]. We also need to be reminded that stretches of depression or discouragement are not forever but only for a season, though long the season may seem. Our ultimate hope, however, lies in Christ, who promises one day to wipe away every tear (Rev. 21:4) [kutipan dari Quest Study Bible, loc. cit.]. Hidup artinya mengharapkan. Itu benar. Kita berharap, sepanjang kita hidup, dan kita hidup dan bangun selama kita masih dapat berharap. Bila kita berharap maka kita membuka diri bagi masa depan. Kesadaran kita menjadi waspada. Hati kita menjadi luas dan mau menerima hal-hal yang akan datang. . . .
Tetapi, pengharapan juga akan membuat kita mudah tersinggung secara mendalam terhadap sakitnya kekecewaan. Pengharapan membuat kehidupan menjadi hidup dan indah. Tetapi, pengharapan juga membuat kematian menjadi mati dan mengubah penderitaan yang bisu menjadi kesakitan yang sadar. Jadi, hal itu mengundang risiko bagi kita jika kita hidup berdasarkan pengharapan. Oleh karena itu, kita sesungguhnya berpengharapan dan membuka diri melalui pengharapan sejauh kita dapat percaya. Tanpa keyakinan akan nasib yang penuh rahmat, kita tidak akan membukakan diri terhadap apa yang akan datang. Kita akan menutup diri kita dengan kekhawatiran dan kita memper- tahankan diri terus-menerus terhadap masa depan yang tidak berkesinambungan itu. Tanpa keya- kinan, kita sama sekali tidak berani dan juga tidak dapat menang. Berharap, membuka diri terhadap pengalaman, dan suatu keyakinan yang mantap, membuat hidup menjadi kehidupan yang berharaga karena keyakinan membuat kehidupan berharga. . . .
Apabila hidup berarti mengharapkan, maka kebalikannya adalah juga benar: Barangsiapa yang kehilangan pengharapan dari kehidupannya, dia mati [kutipan dari J. Moltmann, Khotbah Masa Kini (5), terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 149f.]. - - - NR - - -
1. Pengantar
Ayub sungguh-sungguh kini telah terpuruk, merana dan menderita. Hewan ternaknya dirampok, sebagian lagi mati dilalap api. Anak-anaknya semua mati tertimpa rumah yang rubuh ditiup oleh angin ribut. Tidak lama sesudah itu Ayub sendiri diserang sejenis penyakit kulit, yang setiap saat menimbulkan siksaan fisik baginya. Tiga orang teman akrabnya datang untuk menghibur Ayub. Terjadilah dialog antara ketiga temannya tadi dengan Ayub. Bagaikan dalam pertandingan tinju, selama tiga ronde yang panjang (pasal 3-27), Ayub dan teman-temannya saling menyerang. Pada dasarnya ketiga temannya itu senada dalam keyakinan bahwa Allah memberi pahala kepada mereka yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat. Untuk mereka, Ayub menderita karena dosa-dosanya. Dan itu berarti, Allah sedang menghukum Ayub! Elifas telah selesai berbicara dalam memulai ronde kedua.(pasal 15). Menurut Elifas, orang fasik akan binasa. Ayub menanggapi (pasal 16-17) pandangan Elifas tadi. Jadinya bacaan kita hari ini (17:11-16) terdapat dalam bagian ini, yang merupakan kata-kata Ayub kepada Elifas
2. Sinopsis (16:1-5) :
Ayub menyebut para sahabatnya ‘penghibur sialan” (ayat 2). (16:6-17) : Ayub mengeluh terhadap Allah. Ayub merasa bahwa Allah telah membuat dia lelah/kecapekan (ayat 7). Kesalehan Ayub kembali menjadi paradoks --- Ayub bisa mengerti kalau Allah bertindak demikian terhadap orang fasik --- tetapi bukan terhadap dia! (ayat 11-17). (16:18-17:2): Ayub memohon dengan berharap kepada ‘saksi’-nya di sorga. (17:3-16) : Ayub menanti-nantikan kematian. Mata Ayub makin kabur karena kepe- dihan hatinya (17:7), dan para sahabatnya tidak berguna sebagai penghibur (17:10). Selanjutnya Ayub merasa tiada lagi harapan baginya (17:15). [Sumber dan kutipan dari David Atkinson, Ayub, terj. (Jakarta:YKBK/OMF, n.d.), hlm. 115 dst.].
Excursus: Sebagai manusia biasa di dunia ini, Ayub dipanggil untuk menjalani ujian cobaan dengan akibat-akibat kosmis. Ia tidak melihat secercah cahaya untuk memimpinnya, tidak ada petunjuk sedikit pun bahwa dunia yang tidak nampak itu [yakni sorga] memperhatikan- nya atau bahkan ada. Bagaikan binatang percobaan di laboratorium, ia dicomot untuk membereskan salah satu masalah paling mendesak dari umat manusia dan untuk menentukan sebagian kecil dari sejarah alam semesta. ………………………………………………………………………………………
Teladan yang diberikan Ayub menunjukkan dengan jelas bagaimana kehidupan dunia ini membawa pengaruh terhadap alam semesta. Pada waktu saya baru memulai penyeli- dikan, saya cenderung menghindari adegan yang “memalukan” di dalam pasal 1. Namun saya sekarang percaya bahwa entah itu berupa drama atau sejarah, Pertaruhan [antara Allah dan iblis] itu telah menawarkan berita pengharapan yang besar bagi kita semua. Hal ini mungkin merupakan pelajaran terpenting dan abadi dari Kitab Ayub. Pada akhirnya, Pertaruhan itu secara meyakinkan telah menentukan bahwa iman seorang percaya sungguh sangat berarti. Kitab Ayub menegaskan bahwa tanggapan kita terhadap ujian benar-benar berarti. Sejarah manusia dan sejarah iman saya pribadi [adalah] termasuk di dalam drama agung tentang sejarah alam semesta ini. Pascal berkata bahwa Allah telah memberikan “martabat yang mendatangkan akibat” kepada kita. Sama seperti Elihu, kita dapat saja meragukan apakah satu orang mampu membawa akibat berarti. Namun Alkitab sarat dengan petunjuk bahwa sesuatu seperti Pertaruhan itu juga dijalankan terhadap sejumlah orang percaya lainnya. Kita merupakan andalan Allah, suatu karya yang patut dipamerkan kepada dunia yang tidak nampak itu. Rasul Paulus meminjam adegan yang diambil dari pawai gladiator di Koloseum lalu melukiskan dirinya seolah-olah sedang ditonton orang banyak. “Sebab kami telah men- jadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia.” Dan didalam surat yang sama ia menimpali dengan bisikan bernada heran, “Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?” Kita menghuni sebuah planet yang hanya merupakan setitik kecil di pinggiran galaksi yang juga sekedar salah satu dari jutaan galaksi lainnya di alam semesta yang teramati. Namun Perjanjian Baru menegaskan bahwa apa yang terjadi atas kita di sini akan turut menentukan masa depan alam semesta itu sendiri. Rasul Paulus mengatakan dengan tegas, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.” Ciptaan alamiah yang sedang “mengerang” dalam kebusukan hanya dapat dibebaskan melalui perubahan dalam diri manusia [kutipan dari Philip Yancey, Kepercayaan terhadap Allah, terj. (Surabaya: Yakin, t.t.), hlm. 139f.].
3. Pertanyaan-Pertanyaan
3.1. Bagaimana “mereka” (yakni para sahabat Ayub) telah memunculkan terang (ayat 12)? Kemungkinan pertama, Ayub mengejek (“sarcasm’) para sahabatnya. Kemungkinan lain ialah Ayub secara tersamar mau menyatakan betapa tidak bermanfaatnya para sahabatnya itu, termasuk saran-saran mereka, betapapun mereka berusaha menghi- burnya [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003, p. 725].
3.2. Pertanyaan untuk diskusi: Bagaimana berharap dalam keadaan yang kelihatannya tidak ada harapan (ayat 15)? What hope is there for the discouraged or depressed? (17:15) That we are not alone. God is present with us even in the depths of our despair [Mzm 139]. We also need to be reminded that stretches of depression or discouragement are not forever but only for a season, though long the season may seem. Our ultimate hope, however, lies in Christ, who promises one day to wipe away every tear (Rev. 21:4) [kutipan dari Quest Study Bible, loc. cit.]. Hidup artinya mengharapkan. Itu benar. Kita berharap, sepanjang kita hidup, dan kita hidup dan bangun selama kita masih dapat berharap. Bila kita berharap maka kita membuka diri bagi masa depan. Kesadaran kita menjadi waspada. Hati kita menjadi luas dan mau menerima hal-hal yang akan datang. . . .
Tetapi, pengharapan juga akan membuat kita mudah tersinggung secara mendalam terhadap sakitnya kekecewaan. Pengharapan membuat kehidupan menjadi hidup dan indah. Tetapi, pengharapan juga membuat kematian menjadi mati dan mengubah penderitaan yang bisu menjadi kesakitan yang sadar. Jadi, hal itu mengundang risiko bagi kita jika kita hidup berdasarkan pengharapan. Oleh karena itu, kita sesungguhnya berpengharapan dan membuka diri melalui pengharapan sejauh kita dapat percaya. Tanpa keyakinan akan nasib yang penuh rahmat, kita tidak akan membukakan diri terhadap apa yang akan datang. Kita akan menutup diri kita dengan kekhawatiran dan kita memper- tahankan diri terus-menerus terhadap masa depan yang tidak berkesinambungan itu. Tanpa keya- kinan, kita sama sekali tidak berani dan juga tidak dapat menang. Berharap, membuka diri terhadap pengalaman, dan suatu keyakinan yang mantap, membuat hidup menjadi kehidupan yang berharaga karena keyakinan membuat kehidupan berharga. . . .
Apabila hidup berarti mengharapkan, maka kebalikannya adalah juga benar: Barangsiapa yang kehilangan pengharapan dari kehidupannya, dia mati [kutipan dari J. Moltmann, Khotbah Masa Kini (5), terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 149f.]. - - - NR - - -
11 Februari 2008
Matius 2 7 : 4 5 – 4 9
DITINGGALKAN ALLAH
“Suatu perasaan akan kehadiran Allah.” Ini [adalah] satu di antara pasal-pasal yang paling menggentarkan di dalam seluruh Alkitab, yaitu di mana Yesus, pada saat Dia digantung di atas salib, berteriak, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46; Mar- kus 15:34). Di bagian luarnya kata-kata ini menunjukkan bahwa di saat kebutuhanNya yang pa- ling dalam Yesus ditinggalkan oleh Bapa yang telah menjadi tempat menaruh kepercayaan sede- mikian rupa. Orang-orang Kristen yang saleh dan sungguh-sungguh selalu menemukan kata-kata ini sangat sulit, dan penggalian terhadap ayat-ayat yang memuatnya [bnd. Mzm 22] telah mema- kai nada ingin tahu.
Beberapa orang merasakan ini “suatu perkataan yang sulit”, memang benar, terlalu sulit untuk diterima. Mereka telah mencari perlindungan dalam perbedaan antara apa yang dirasakan seseo-rang dan apa yang benar-benar terjadi. . . . Kita semua tahu apa artinya merasa terpencil. Setiap orang menentang kita, kita pikir, dan Allah tidak peduli. Tetapi kemudian setelah saat-saat paling buruk berlalu dan kita dapat berpikir dengan lebih jelas, kita menyadari bahwa semuanya ini ha- nya khayalan, bahwa sebenarnya Allah mempedulikan kita dan bahwa kita tidak seharusnya me- makai perasaan kita di saat-saat kita yang paling buruk, seakan-akan memberikan suatu catatan akurat mengenai kenyataan dari situasi itu.
Namun apakah kita dibenarkan dalam memakai kesalahpahaman kita terhadap segala kesulitan kita sebagai petunjuk akurat terhadap pemikiran Yesus pada waktu kematianNya? Tampaknya ti- dak ada alasan untuk ini. Kita tidak dapat berkata bahwa karena kita begitu mudah menjadi lemah dan salah sangka, inilah yang terjadi pada diri Yesus. Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa di dalam perkataan ini pun Yesus berbicara mengenai Allah-”ku”; keyakinanNya tetap nyata dan teguh. Pada waktu Dia ditinggalkan itupun Dia dapat berkata tentang Allah sebagai AllahNya
sendiri. Dan yang penting bagaimanapun Dia tidak mengumpat atau mengkritik Allah. Kata-kata itu adalah kata-kata kebingungan, tetapi juga merupakan kata-kata yang menyatakan kepercaya- an. Tentunya Yesus sedang memandang dengan mata tajam pada apa yang sedang terjadi, dan untuk mengatakan bahwa Dia telah benar-benar salah mengerti akan situasi itu, tidak dapat dije- laskan sama sekali. Malahan tampaknya kita lebih banyak salah paham terhadap Dia dibanding- kan Dia salah paham terhadap Allah. [ . . . ]
Itu tidak berarti bahwa Yesus berhenti mempercayai Bapa. Teriakan yang sebenarnya “Allah- Ku” dengan kata ganti empunyanya “Ku” menghubungkan Orang yang mengucapkannya dengan Allah yang telah meninggalkanNya. Dia mempunyai iman yang teguh dan tabah terhadap Allah, sekalipun Dia tahu Allah telah meninggalkanNya. Kosuke Koyama [seorang teolog Jepang] me- ngutip Luther, “Dia melarikan diri kepada Allah terhadap Allah! O iman yang teguh! [ . . . ]
Mungkin kita harus mengerti keadaan ditinggalkan itu sebagai perwujudan murka Allah ter- hadap segala kejahatan, murka yang ditanggung Kristus di dalam kematianNya yang menyela- matkan. Alan Richardson mengutip Markus 15:34 sebagai salah satu di antara pasal-pasal yang membenarkan dia dalam berkata, “Salib Kristus adalah sesuatu yang kelihatan, wahyu historis mengenai orge tou Theou: itulah wahyu yang teragung tentang murka Allah terhadap segala kefasikan dan kelaliman manusia” (ayat-ayatnya yang lain adalah Roma 1:18, II Korintus 5:21) [kutipan dari Leon Morris, Salib Yesus, terj. (Malang: SAAT, 1991), hlm. 80ff.].
MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU
AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku? --- Matius 27:4
Allah ditinggalkan Allah? Bagaimana kita bisa mengerti misteri agung ini? Kita tidak dapat mengerti. Meskipun membingungkan, Roh Allah memberi kesaksian kepada roh kita bahwa hal itu benar.
Tidak pernah ada dalam pelayanan Tuhan kita saat Dia sangat sadar akan ketidakhadiran Bapa-Nya. Dia tahu Bapa-Nya selalu dekat, selalu terlihat dan selalu mendengarkan-Nya. Namun, seka- rang situasinya berbeda. Dia ditinggalkan oleh Teman abadi-Nya. Dan bagaimanpun Dia tahu hal ini benar --- memang harus seperti itulah adanya. Karena pada jam-jam seperti itulah Kristus, yang tidak mengenal dosa, dibuat berdosa untuk kita. Dan Allah, yang mata suci-Nya tidak bisa melihat kejahatan, tidak dapat melihatnya.
Selama tiga jam yang panjang dan gelap itu, Yesus mengalami siksa kutuk. Dari semua sik- saan itu tidak ada yang lebih besar ketimbang kesadaran bahwa Dia terpisah dari Bapa-Nya. Hal ini berarti ada tanpa damai, sukacita, dan harapan. Hal ini berarti menderita penderitaan, rasa ber- salah, dan pengutukan diri yang datang dari kesadaran bahwa Allah tidak senang melihat Anda. Dan begitu dalamnya penderitaan itu menusuk hati-Nya yang pernah mendengar Bapa-Nya ber- kata, “Inilah anak yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”
Ya, tali-tali maut telah menjerat-Nya (Mzm 116:3). Namun Allah telah menjanjikan pembe- basan, meskipun janji itu baru terwujud saat Yesus minum dari cawan maut yang menanggung dosa kita.
Dia menjerit penderitaan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Menyediakan jawaban bagi ucapan syukur kita, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau menerima Aku?” Marilah kita berhenti sejenak untuk mengucap syukur kepada-Nya . . .
[kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 18].
Informasi: Yang satu ini, adalah puncak yang paling tinggi dan sekaligus dasar yang paling dalam dari semua
penderitaan! Topnya semua penderitaan! Yaitu: konsekuensi atau akibat yang paling fatal dari dosa!
Apa itu? Tidak lain adalah: keterpisahan dan keterasingan dari Allah. Dosa tidak lain adalah meninggalkan
Allah. Karena itu akibat dosa yang paling hebat adalah: ditinggalkan oleh Allah!
Semua bentuk penderitaan yang lain tidak membuat Yesus berteriak. Tetapi ketika yang satu ini Ia alami, Ia
berteriak menyayat hati: Eloi, Eloi, lama sabakhtani!
Dan ingat, Ia sampai berteriak begitu, adalah karena kita. Ia yang tidak berdosa telah dijadikan berdosa ganti
kita, karena kita, sebab kita! Supaya apa? Supaya kita tidak perlu lagi mengalami apa yang Ia alami.
Teriakan Yesus pada hari Jumat siang itu, dari satu sudut, memang sudah merupakan sejarah. Sudah lewat.
Sudah lalu. Tetapi dari sudut lain, teriakan itu sebaiknya kita dengar terus seperti bunyi sirene tanda bahaya!
Ya, tanda bahaya!
Tanda bahaya apa? Bahaya dosa! Yaitu betapa fatalnya akibat dosa itu! Yesus saja sampai berteriak ketika
mesti mengalaminya! Teriakan itu ibarat bunyi sirene yang mau mengingatkan kita: Awas dosa! Jangan pan-
dang enteng dosa! Jangan main-main dengan dosa! Ingat akibatnya!
Dosa itu kadang-kadang memang enak. Enak saja kita meninggalkan Allah. Tetapi ingat, eling, apa akibatnya
kalau kita ditinggalkan Allah! Ini tidak main-main. Yesus saja sampai berteriak: Eloi, Eloi, lama sabakhtani! Be-
lum pernah ‘kan Dia berteriak sepedih itu? [kutipan dari Eka Darmaputera, Jalan Kematian, Jalan Kehi-
dupan (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 32f.].
Did God actually forsake Jesus? (27:46)
The divine and human natures of Jesus were never separated, even during the crucifixion. Yet it is clear,
difficult as it is to explain, that Jesus’ intimate fellowship with God the Father was temporarily broken as he
took the sin of the entire world on himself. Jesus used the words of Psalm 22, which begins with despair but
ends with renewed trust in God [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
2003), p. 1432].
- - - NR - - -
“Suatu perasaan akan kehadiran Allah.” Ini [adalah] satu di antara pasal-pasal yang paling menggentarkan di dalam seluruh Alkitab, yaitu di mana Yesus, pada saat Dia digantung di atas salib, berteriak, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46; Mar- kus 15:34). Di bagian luarnya kata-kata ini menunjukkan bahwa di saat kebutuhanNya yang pa- ling dalam Yesus ditinggalkan oleh Bapa yang telah menjadi tempat menaruh kepercayaan sede- mikian rupa. Orang-orang Kristen yang saleh dan sungguh-sungguh selalu menemukan kata-kata ini sangat sulit, dan penggalian terhadap ayat-ayat yang memuatnya [bnd. Mzm 22] telah mema- kai nada ingin tahu.
Beberapa orang merasakan ini “suatu perkataan yang sulit”, memang benar, terlalu sulit untuk diterima. Mereka telah mencari perlindungan dalam perbedaan antara apa yang dirasakan seseo-rang dan apa yang benar-benar terjadi. . . . Kita semua tahu apa artinya merasa terpencil. Setiap orang menentang kita, kita pikir, dan Allah tidak peduli. Tetapi kemudian setelah saat-saat paling buruk berlalu dan kita dapat berpikir dengan lebih jelas, kita menyadari bahwa semuanya ini ha- nya khayalan, bahwa sebenarnya Allah mempedulikan kita dan bahwa kita tidak seharusnya me- makai perasaan kita di saat-saat kita yang paling buruk, seakan-akan memberikan suatu catatan akurat mengenai kenyataan dari situasi itu.
Namun apakah kita dibenarkan dalam memakai kesalahpahaman kita terhadap segala kesulitan kita sebagai petunjuk akurat terhadap pemikiran Yesus pada waktu kematianNya? Tampaknya ti- dak ada alasan untuk ini. Kita tidak dapat berkata bahwa karena kita begitu mudah menjadi lemah dan salah sangka, inilah yang terjadi pada diri Yesus. Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa di dalam perkataan ini pun Yesus berbicara mengenai Allah-”ku”; keyakinanNya tetap nyata dan teguh. Pada waktu Dia ditinggalkan itupun Dia dapat berkata tentang Allah sebagai AllahNya
sendiri. Dan yang penting bagaimanapun Dia tidak mengumpat atau mengkritik Allah. Kata-kata itu adalah kata-kata kebingungan, tetapi juga merupakan kata-kata yang menyatakan kepercaya- an. Tentunya Yesus sedang memandang dengan mata tajam pada apa yang sedang terjadi, dan untuk mengatakan bahwa Dia telah benar-benar salah mengerti akan situasi itu, tidak dapat dije- laskan sama sekali. Malahan tampaknya kita lebih banyak salah paham terhadap Dia dibanding- kan Dia salah paham terhadap Allah. [ . . . ]
Itu tidak berarti bahwa Yesus berhenti mempercayai Bapa. Teriakan yang sebenarnya “Allah- Ku” dengan kata ganti empunyanya “Ku” menghubungkan Orang yang mengucapkannya dengan Allah yang telah meninggalkanNya. Dia mempunyai iman yang teguh dan tabah terhadap Allah, sekalipun Dia tahu Allah telah meninggalkanNya. Kosuke Koyama [seorang teolog Jepang] me- ngutip Luther, “Dia melarikan diri kepada Allah terhadap Allah! O iman yang teguh! [ . . . ]
Mungkin kita harus mengerti keadaan ditinggalkan itu sebagai perwujudan murka Allah ter- hadap segala kejahatan, murka yang ditanggung Kristus di dalam kematianNya yang menyela- matkan. Alan Richardson mengutip Markus 15:34 sebagai salah satu di antara pasal-pasal yang membenarkan dia dalam berkata, “Salib Kristus adalah sesuatu yang kelihatan, wahyu historis mengenai orge tou Theou: itulah wahyu yang teragung tentang murka Allah terhadap segala kefasikan dan kelaliman manusia” (ayat-ayatnya yang lain adalah Roma 1:18, II Korintus 5:21) [kutipan dari Leon Morris, Salib Yesus, terj. (Malang: SAAT, 1991), hlm. 80ff.].
MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU
AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku? --- Matius 27:4
Allah ditinggalkan Allah? Bagaimana kita bisa mengerti misteri agung ini? Kita tidak dapat mengerti. Meskipun membingungkan, Roh Allah memberi kesaksian kepada roh kita bahwa hal itu benar.
Tidak pernah ada dalam pelayanan Tuhan kita saat Dia sangat sadar akan ketidakhadiran Bapa-Nya. Dia tahu Bapa-Nya selalu dekat, selalu terlihat dan selalu mendengarkan-Nya. Namun, seka- rang situasinya berbeda. Dia ditinggalkan oleh Teman abadi-Nya. Dan bagaimanpun Dia tahu hal ini benar --- memang harus seperti itulah adanya. Karena pada jam-jam seperti itulah Kristus, yang tidak mengenal dosa, dibuat berdosa untuk kita. Dan Allah, yang mata suci-Nya tidak bisa melihat kejahatan, tidak dapat melihatnya.
Selama tiga jam yang panjang dan gelap itu, Yesus mengalami siksa kutuk. Dari semua sik- saan itu tidak ada yang lebih besar ketimbang kesadaran bahwa Dia terpisah dari Bapa-Nya. Hal ini berarti ada tanpa damai, sukacita, dan harapan. Hal ini berarti menderita penderitaan, rasa ber- salah, dan pengutukan diri yang datang dari kesadaran bahwa Allah tidak senang melihat Anda. Dan begitu dalamnya penderitaan itu menusuk hati-Nya yang pernah mendengar Bapa-Nya ber- kata, “Inilah anak yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”
Ya, tali-tali maut telah menjerat-Nya (Mzm 116:3). Namun Allah telah menjanjikan pembe- basan, meskipun janji itu baru terwujud saat Yesus minum dari cawan maut yang menanggung dosa kita.
Dia menjerit penderitaan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Menyediakan jawaban bagi ucapan syukur kita, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau menerima Aku?” Marilah kita berhenti sejenak untuk mengucap syukur kepada-Nya . . .
[kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 18].
Informasi: Yang satu ini, adalah puncak yang paling tinggi dan sekaligus dasar yang paling dalam dari semua
penderitaan! Topnya semua penderitaan! Yaitu: konsekuensi atau akibat yang paling fatal dari dosa!
Apa itu? Tidak lain adalah: keterpisahan dan keterasingan dari Allah. Dosa tidak lain adalah meninggalkan
Allah. Karena itu akibat dosa yang paling hebat adalah: ditinggalkan oleh Allah!
Semua bentuk penderitaan yang lain tidak membuat Yesus berteriak. Tetapi ketika yang satu ini Ia alami, Ia
berteriak menyayat hati: Eloi, Eloi, lama sabakhtani!
Dan ingat, Ia sampai berteriak begitu, adalah karena kita. Ia yang tidak berdosa telah dijadikan berdosa ganti
kita, karena kita, sebab kita! Supaya apa? Supaya kita tidak perlu lagi mengalami apa yang Ia alami.
Teriakan Yesus pada hari Jumat siang itu, dari satu sudut, memang sudah merupakan sejarah. Sudah lewat.
Sudah lalu. Tetapi dari sudut lain, teriakan itu sebaiknya kita dengar terus seperti bunyi sirene tanda bahaya!
Ya, tanda bahaya!
Tanda bahaya apa? Bahaya dosa! Yaitu betapa fatalnya akibat dosa itu! Yesus saja sampai berteriak ketika
mesti mengalaminya! Teriakan itu ibarat bunyi sirene yang mau mengingatkan kita: Awas dosa! Jangan pan-
dang enteng dosa! Jangan main-main dengan dosa! Ingat akibatnya!
Dosa itu kadang-kadang memang enak. Enak saja kita meninggalkan Allah. Tetapi ingat, eling, apa akibatnya
kalau kita ditinggalkan Allah! Ini tidak main-main. Yesus saja sampai berteriak: Eloi, Eloi, lama sabakhtani! Be-
lum pernah ‘kan Dia berteriak sepedih itu? [kutipan dari Eka Darmaputera, Jalan Kematian, Jalan Kehi-
dupan (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 32f.].
Did God actually forsake Jesus? (27:46)
The divine and human natures of Jesus were never separated, even during the crucifixion. Yet it is clear,
difficult as it is to explain, that Jesus’ intimate fellowship with God the Father was temporarily broken as he
took the sin of the entire world on himself. Jesus used the words of Psalm 22, which begins with despair but
ends with renewed trust in God [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
2003), p. 1432].
- - - NR - - -
Islam and Christianity:
Changing the subject; Pope Benedict and Muslims
by Richard John Neuhaus
First Things: A Monthly Journal of Religion and Public Life 2-01-2008 After Pope Benedict's historic address on faith and reason at Regensburg University on September 12, 2006, a group of thirty-eight prominent Muslims from diverse schools of thought wrote him a letter in the hope of arriving at "mutual understanding." The thirty-eight grew to 138, and this past October 13 they addressed a second letter to the pope and an array of other Christian leaders. The letter is titled "A Common Word Between Us and You" and calls for theological and doctrinal dialogue based on the dual commandment of love for God and neighbor.
The October letter received rave reviews in the mainline media of the West, with John Esposito, a scholar of Islam at Georgetown University, declaring it a "historic event" that puts the ball in the Vatican's court. A group at Yale Divinity School composed a letter in response, Loving God and Neighbor Together," and solicited about three hundred signers for its full-page publication in the New York Times of November 13.
The Yale letter lavishes praise on the initiative of the 138 and is almost gushing in its gratitude for the expression of Muslim goodwill. The 138 had written: "As Muslims, we say to Christians that we are not against them and that Islam is not against them--so long as they do not wage war against Muslims on account of their religion, oppress them, and drive them out of their homes." In Iraq and Afghanistan,soldiers, most of whom are Christian, have waged war against fighters who are Muslim, but not on account of their religion. Unless, of course, the 138 agree with al-Qaeda that the Jihadists are indeed fighting in the cause of Islam.
The response of the Yale letter is very, well, very Christian. Very Christian, that is, in the way that Nietzsche caricatured Christianity as the supine morality of losers. The letter says: "Since Jesus Christ says: 'First take the log out of your own eye and then you willsee clearly to take the speck out of your neighbor's eye,' we want to begin by acknowledging that in the past (e.g. in the Crusades) and in the present (e.g. in excesses of the 'war on terror') many Christians have been guilty of sinning against our Muslim neighbor. ... We ask forgiveness of the All-Merciful One and of the Muslim community around the world."
The question of whether the Christian effort to reconquer the HolyLand after it had been conquered by Muslims was sinful is, to say the least, debatable and much debated. Placing the war on terror between quotes is telling. That murderous Jihadists have, in the name of Islam, declared a terrorist war on the West is a subject delicately evaded in both the letter of the 138 and the Yale response.
Certainly every opportunity for dialogue is to be nurtured, but dialogue that makes for peace is dialogue in truth that does not indulge sentimentality and wishful thinking at the expense of honesty and justice. The great majority of those who signed the Yale letter are, as one might expect, from the mainstream of liberal Protestantism. There are a few Catholics: the aforementioned John Esposito; Thomas Rausch, S.J., of Loyola Marymount; and Donald Senior of the Chicago Theological Union. There are a surprising number of evangelicals, some of whom have a reputation for thoughtfulness: Richard Cizik, Timothy George, Bill Hybels, Duane Litfin, Richard Mouw, David Neff, Robert Schuller, John Stackhouse, Glenn Stassen, John Stott, Jim Wallis, Rick Warren, and Nicholas Wolterstorff.
A prominent evangelical who declined to sign the letter told me, "I'm telling our guys to wait and see how the Vatican responds. Rome has guys who know this stuff and has been dealing with Muslims for centuries. Our guys don't know from squat and are jumping on a train runby liberals who have been wrong on just about everything you can name." Thereby hangs a tale.
Rome's response to this letter from Muslims, as to the letter of 2006, has been both calm and cool. The reason is that Muslim leaders have been persistently changing the subject. The subject is not theological dialogue about how or whether Christianity and Islam teach the love of God and neighbor. The subject, Benedict has said at Regensburg and elsewhere, is the relationship between faith and reason, between violence and persuasion, between coercion and religious freedom.
Pope Benedict said in his Christmas 2006 address to the Roman Curia: "In a dialogue to be intensified with Islam, we must bear in mind the fact that the Muslim world today is finding itself faced with an urgent task. This task is very similar to the one that was imposed upon Christians since the Enlightenment, and to which the Second Vatican Council, as the fruit of long and difficult research, found real solutions for the Catholic Church. ... On the one hand, one must counter a dictatorship of positivist reason that excludes God from the lifeof the community and from public organizations. ... On the other hand, one must welcome the true conquests of the Enlightenment, human rights, and especially the freedom of faith and its practice, and recognize these as being essential elements for the authenticity of religion. ... Also the Islamic world with its own tradition faces the immense task of finding the appropriate solutions to these problems. ... We Christians feel ourselves in solidarity with all those who, precisely on the basis of their religious convictions as Muslims, work to oppose violence and for the synergy between faith and reason, between religion and freedom."
These are the questions that need to be engaged in an honest and constructive dialogue with Islam. As Jean-Louis Cardinal Tauran, head of the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, has explained,what we in the West mean by theological dialogue is exceedingly difficult with Islam. "Muslims," he says, "do not accept discussion aboutthe Koran, because they say it was written under the dictates of God. With such an absolutist interpretation, it is difficult to discuss the contents of the faith." The questions posed by Benedict about reason and faith, religion and freedom, entail an understanding of reciprocity. "In dialogue between believers," says Tauran, "it is understood that what is good for one is good for the other. It should be explained to Muslims, for example, that, if they are allowed to have mosques in Europe, it is normal for churches to be allowed in their countries." Rome has indeed had centuries of experience in these matters.
On November 29, Tarcisio Cardinal Bertone, secretary of state, wrote to Prince Ghazi bin Muhammad bin Talal of Jordan, the chief organizer of the letter of the 138, on behalf of the pope: "Common ground allows us to base dialogue on effective respect for the dignity of every human person, on objective knowledge of the religion of the other,on the sharing of religious experience, and, finally, on common commitment to promoting mutual respect and acceptance among the younger generation. The Pope is confident that, once this is achieved, it willbe possible to cooperate in a productive way in the areas of cultureand society, and for the promotion of justice and peace in society and throughout the world."
The letter concludes: "With a view to encouraging your praiseworthy initiative, I am pleased to communicate that His Holiness would be most willing to receive Your Royal Highness and a restricted group ofsignatories of the open letter, chosen by you. At the same time, a working meeting could be organized between your delegation and the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, with the cooperation of some specialized Pontifical Institutes (such as the Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies and the Pontifical Gregorian University). The precise details of these meetings could be decided later,should this proposal prove acceptable to you in principle."
In sharpest contrast to the embarrassing effusions of the Yale letter, the response of the Holy See represents, I believe, just the right mix of cordiality, clarity, candor, and caution. Of most particular importance, it keeps the focus on the sources of terrorism and oppression perpetrated in the name of Islam. That, after all, is what prompted these exchanges in the first place, and it serves neither peacenor understanding to acquiesce in the efforts of Muslim leaders to change the subject. As of this writing, the response of Prince Ghazi bin Muhammad bin Talal, if any, has not been made public.
by Richard John Neuhaus
First Things: A Monthly Journal of Religion and Public Life 2-01-2008 After Pope Benedict's historic address on faith and reason at Regensburg University on September 12, 2006, a group of thirty-eight prominent Muslims from diverse schools of thought wrote him a letter in the hope of arriving at "mutual understanding." The thirty-eight grew to 138, and this past October 13 they addressed a second letter to the pope and an array of other Christian leaders. The letter is titled "A Common Word Between Us and You" and calls for theological and doctrinal dialogue based on the dual commandment of love for God and neighbor.
The October letter received rave reviews in the mainline media of the West, with John Esposito, a scholar of Islam at Georgetown University, declaring it a "historic event" that puts the ball in the Vatican's court. A group at Yale Divinity School composed a letter in response, Loving God and Neighbor Together," and solicited about three hundred signers for its full-page publication in the New York Times of November 13.
The Yale letter lavishes praise on the initiative of the 138 and is almost gushing in its gratitude for the expression of Muslim goodwill. The 138 had written: "As Muslims, we say to Christians that we are not against them and that Islam is not against them--so long as they do not wage war against Muslims on account of their religion, oppress them, and drive them out of their homes." In Iraq and Afghanistan,soldiers, most of whom are Christian, have waged war against fighters who are Muslim, but not on account of their religion. Unless, of course, the 138 agree with al-Qaeda that the Jihadists are indeed fighting in the cause of Islam.
The response of the Yale letter is very, well, very Christian. Very Christian, that is, in the way that Nietzsche caricatured Christianity as the supine morality of losers. The letter says: "Since Jesus Christ says: 'First take the log out of your own eye and then you willsee clearly to take the speck out of your neighbor's eye,' we want to begin by acknowledging that in the past (e.g. in the Crusades) and in the present (e.g. in excesses of the 'war on terror') many Christians have been guilty of sinning against our Muslim neighbor. ... We ask forgiveness of the All-Merciful One and of the Muslim community around the world."
The question of whether the Christian effort to reconquer the HolyLand after it had been conquered by Muslims was sinful is, to say the least, debatable and much debated. Placing the war on terror between quotes is telling. That murderous Jihadists have, in the name of Islam, declared a terrorist war on the West is a subject delicately evaded in both the letter of the 138 and the Yale response.
Certainly every opportunity for dialogue is to be nurtured, but dialogue that makes for peace is dialogue in truth that does not indulge sentimentality and wishful thinking at the expense of honesty and justice. The great majority of those who signed the Yale letter are, as one might expect, from the mainstream of liberal Protestantism. There are a few Catholics: the aforementioned John Esposito; Thomas Rausch, S.J., of Loyola Marymount; and Donald Senior of the Chicago Theological Union. There are a surprising number of evangelicals, some of whom have a reputation for thoughtfulness: Richard Cizik, Timothy George, Bill Hybels, Duane Litfin, Richard Mouw, David Neff, Robert Schuller, John Stackhouse, Glenn Stassen, John Stott, Jim Wallis, Rick Warren, and Nicholas Wolterstorff.
A prominent evangelical who declined to sign the letter told me, "I'm telling our guys to wait and see how the Vatican responds. Rome has guys who know this stuff and has been dealing with Muslims for centuries. Our guys don't know from squat and are jumping on a train runby liberals who have been wrong on just about everything you can name." Thereby hangs a tale.
Rome's response to this letter from Muslims, as to the letter of 2006, has been both calm and cool. The reason is that Muslim leaders have been persistently changing the subject. The subject is not theological dialogue about how or whether Christianity and Islam teach the love of God and neighbor. The subject, Benedict has said at Regensburg and elsewhere, is the relationship between faith and reason, between violence and persuasion, between coercion and religious freedom.
Pope Benedict said in his Christmas 2006 address to the Roman Curia: "In a dialogue to be intensified with Islam, we must bear in mind the fact that the Muslim world today is finding itself faced with an urgent task. This task is very similar to the one that was imposed upon Christians since the Enlightenment, and to which the Second Vatican Council, as the fruit of long and difficult research, found real solutions for the Catholic Church. ... On the one hand, one must counter a dictatorship of positivist reason that excludes God from the lifeof the community and from public organizations. ... On the other hand, one must welcome the true conquests of the Enlightenment, human rights, and especially the freedom of faith and its practice, and recognize these as being essential elements for the authenticity of religion. ... Also the Islamic world with its own tradition faces the immense task of finding the appropriate solutions to these problems. ... We Christians feel ourselves in solidarity with all those who, precisely on the basis of their religious convictions as Muslims, work to oppose violence and for the synergy between faith and reason, between religion and freedom."
These are the questions that need to be engaged in an honest and constructive dialogue with Islam. As Jean-Louis Cardinal Tauran, head of the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, has explained,what we in the West mean by theological dialogue is exceedingly difficult with Islam. "Muslims," he says, "do not accept discussion aboutthe Koran, because they say it was written under the dictates of God. With such an absolutist interpretation, it is difficult to discuss the contents of the faith." The questions posed by Benedict about reason and faith, religion and freedom, entail an understanding of reciprocity. "In dialogue between believers," says Tauran, "it is understood that what is good for one is good for the other. It should be explained to Muslims, for example, that, if they are allowed to have mosques in Europe, it is normal for churches to be allowed in their countries." Rome has indeed had centuries of experience in these matters.
On November 29, Tarcisio Cardinal Bertone, secretary of state, wrote to Prince Ghazi bin Muhammad bin Talal of Jordan, the chief organizer of the letter of the 138, on behalf of the pope: "Common ground allows us to base dialogue on effective respect for the dignity of every human person, on objective knowledge of the religion of the other,on the sharing of religious experience, and, finally, on common commitment to promoting mutual respect and acceptance among the younger generation. The Pope is confident that, once this is achieved, it willbe possible to cooperate in a productive way in the areas of cultureand society, and for the promotion of justice and peace in society and throughout the world."
The letter concludes: "With a view to encouraging your praiseworthy initiative, I am pleased to communicate that His Holiness would be most willing to receive Your Royal Highness and a restricted group ofsignatories of the open letter, chosen by you. At the same time, a working meeting could be organized between your delegation and the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, with the cooperation of some specialized Pontifical Institutes (such as the Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies and the Pontifical Gregorian University). The precise details of these meetings could be decided later,should this proposal prove acceptable to you in principle."
In sharpest contrast to the embarrassing effusions of the Yale letter, the response of the Holy See represents, I believe, just the right mix of cordiality, clarity, candor, and caution. Of most particular importance, it keeps the focus on the sources of terrorism and oppression perpetrated in the name of Islam. That, after all, is what prompted these exchanges in the first place, and it serves neither peacenor understanding to acquiesce in the efforts of Muslim leaders to change the subject. As of this writing, the response of Prince Ghazi bin Muhammad bin Talal, if any, has not been made public.
Matius 2 5 : 3 1 – 4 6
Kini marilah kita beralih kepada perumpamaan “Penghakiman Terakhir”. “Apabila anak manusia datang dalam kemulianNya”, begitulah ia dimulai “Ia akan bersemayam di atas takhta kemulianNya, lalu semua bangsa akan berkumpul di hadapanNya”. Ini me-
nunjuk kepada penggenapan kerajaan Allah pada akhir zaman waktu umat manusia tiba di akhir perjalanannya, akan bertemu bukan dengan ketiadaan tetapi dengan Allah di dalam Kristus. Lalu [pertanyaan pertama] siapakah yang akan bertindak sebagai hakim? Jawabnya ialah “Anak Manusia”, yang kemudian dalam perumpamaan ini disebut juga sebagai “Raja”, yaitu Kristus sendiri. [ . . . ]
Pertanyaan kedua ialah: Siapakah orang-orang yang berdiri di hadapan takhta pengha- kimanNya? Siapakah subyek penghakiman ini? Para ahli bersepakat bahwa “bangsa-bangsa” di sini berarti orang-orang bukan Yahudi, yakni dunia kafir. Disini kita mene- mui jawaban Tuhan terhadap pertanyaan kita, “Dengan ukuran apakah orang-orang kafir yang belum mengenal Engkau itu akan dihakimi?” JawabNya, “Orang-orang kafir itu telah bertemu dengan Aku melalui saudara-saudaraKu, sebab orang-orang miskin itu adalah saudara-saudaraKu. Karena itu, mereka akan diadili menurut belas kasihan mereka terhadap orang-orang yang menderita, melalui siapa mereka telah bertemu dengan Aku secara incognito; dan kalau mereka telah memenuhi tuntutan hukum kasih yang agung itu, mereka akan mengambil bagian di dalam kerajaan sorgawi BapaKu.”
Jadi, “pembenaran” pada hari akhir untuk mereka yang belum mengenal Kristus akan merupakan pembenaran berdasarkan kasih. Dan jika akan dijatuhkan hukuman kepada orang-orang lain, itu adalah karena mereka tidak menunjukkan kasih kepada orang-orang yang berkesusahan.
Ada orang yang menyebut perumpamaan ini “kisah kejutan besar”; di satu pihak ke- jutan bagi orang-orang “benar” yang “tersandung di pintu masuk sorga”, yang sama seka- li tidak menyadari bahwa dengan menolong orang yang berkekurangan, mereka telah ber- hadapan dengan Kristus sendiri. Di pihak lain, adalah kejutan bagi mereka yang terhu- kum, yang pasti akan bertindak lain sekiranya mereka tahu bahwa orang-orang miskin yang ditolaknya itu adalah saudara-saudara Kristus sendiri.
Apakah pesan Allah yang terkandung dalam perumpamaan ini bagi kita sekarang ini? Bukankah perumpamaan ini mengajarkan kepada kita tentang pandangan Kristus bahwa salah satu dosa terbesar ialah sikap tidak berperikemanusiaan terhadap sesama kita, dan bahwa walau kini Dia telah “naik ke atas”, Dia masih memperhatikan mereka yang lapar, sakit, tersingkir, dan terpenjara? Bukankah Ia menantang kita untuk bertanya: Apa yang kini kita lakukan untuk menolong orang-orang miskin, lapar, dan menderita, yaitu yang disebut oleh Kristus sebagai saudara-saudaraNya? Tepat sekali apa yang dikatakan oleh martyr modern terbesar, Dietrich Bonhoeffer: Gereja sejati adalah gereja yang bereksis- tensi untuk orang lain [“pro-eksistensi”]. Seperti Allah sudah memelihara kita dalam Kristus, maka pada gilirannya kita pun terpanggil untuk memelihara anak-anakNya yang menderita yang melaluinya kini Kristus berhadapan dengan kita secara tersembunyi [kutip- an dari A.M. Hunter, Khotbah-Khotbah Masa Kini 2, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1985), hlm. 51ff.].
APA YANG ENGKAU LAKUKAN TERHADAP SESAMA?
Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum – Matius 25:42
Kisah pemisahan antara domba dan kambing sangat akrab di telinga kita. Kepada domba Raja itu berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah diediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Kepada kambing Dia berkata, “Enyahlah dari hadapanKu, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum.”
Tanggapan dari domba dan kambing sama, “Bilamanakah kami melihat Engkau haus dan kami memberi/tidak memberi Engkau minum?” Dan jawaban raja itu adalah, “Se- sungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan/tidak kamu lakukan untuk salah seorang daru saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannnya/tidak melakukannya untuk Aku.”
Kapan saja orang kesepian, tertekan, sakit, putus asa, dan terbelenggu dosa, ada Yesus yang berkata, “Aku haus.” Marilah kita memberi diri kita sendiri dan sumber daya yang kita miliki kepada orang lain. Marilah kita tanpa jemu-jemu bersaksi kepada sesama ten- tang Air Hidup. Dengan jalan demikian, kita memuaskan dahaga orang banyak. Karena Dia berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2002), hlm. 25].
ARE GOOD WORKS NECESSARY FOR ETERNAL LIFE? (25:35-36)
Jesus did not teach that good deeds form the basis of our salvation. The Bible shows
clearly that eternal life results from what God does, not by our works. Still, God intends that those who receive his grace will also do good works (Eph. 2:8-10).
True faith is more than just claiming to have faith. Genuine love for God will be expressed through service to others (1 Joh 3:16-18) --- not to earn salvation, but because a heart that truly loves God will be filled with compassion for others. Jesus wanted his followers to set the pace by helping those who were hurting. Good works that come from people grateful for God’s grace are at the heart of true religion (James 1:27) [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1426].
- - - NR - - -
nunjuk kepada penggenapan kerajaan Allah pada akhir zaman waktu umat manusia tiba di akhir perjalanannya, akan bertemu bukan dengan ketiadaan tetapi dengan Allah di dalam Kristus. Lalu [pertanyaan pertama] siapakah yang akan bertindak sebagai hakim? Jawabnya ialah “Anak Manusia”, yang kemudian dalam perumpamaan ini disebut juga sebagai “Raja”, yaitu Kristus sendiri. [ . . . ]
Pertanyaan kedua ialah: Siapakah orang-orang yang berdiri di hadapan takhta pengha- kimanNya? Siapakah subyek penghakiman ini? Para ahli bersepakat bahwa “bangsa-bangsa” di sini berarti orang-orang bukan Yahudi, yakni dunia kafir. Disini kita mene- mui jawaban Tuhan terhadap pertanyaan kita, “Dengan ukuran apakah orang-orang kafir yang belum mengenal Engkau itu akan dihakimi?” JawabNya, “Orang-orang kafir itu telah bertemu dengan Aku melalui saudara-saudaraKu, sebab orang-orang miskin itu adalah saudara-saudaraKu. Karena itu, mereka akan diadili menurut belas kasihan mereka terhadap orang-orang yang menderita, melalui siapa mereka telah bertemu dengan Aku secara incognito; dan kalau mereka telah memenuhi tuntutan hukum kasih yang agung itu, mereka akan mengambil bagian di dalam kerajaan sorgawi BapaKu.”
Jadi, “pembenaran” pada hari akhir untuk mereka yang belum mengenal Kristus akan merupakan pembenaran berdasarkan kasih. Dan jika akan dijatuhkan hukuman kepada orang-orang lain, itu adalah karena mereka tidak menunjukkan kasih kepada orang-orang yang berkesusahan.
Ada orang yang menyebut perumpamaan ini “kisah kejutan besar”; di satu pihak ke- jutan bagi orang-orang “benar” yang “tersandung di pintu masuk sorga”, yang sama seka- li tidak menyadari bahwa dengan menolong orang yang berkekurangan, mereka telah ber- hadapan dengan Kristus sendiri. Di pihak lain, adalah kejutan bagi mereka yang terhu- kum, yang pasti akan bertindak lain sekiranya mereka tahu bahwa orang-orang miskin yang ditolaknya itu adalah saudara-saudara Kristus sendiri.
Apakah pesan Allah yang terkandung dalam perumpamaan ini bagi kita sekarang ini? Bukankah perumpamaan ini mengajarkan kepada kita tentang pandangan Kristus bahwa salah satu dosa terbesar ialah sikap tidak berperikemanusiaan terhadap sesama kita, dan bahwa walau kini Dia telah “naik ke atas”, Dia masih memperhatikan mereka yang lapar, sakit, tersingkir, dan terpenjara? Bukankah Ia menantang kita untuk bertanya: Apa yang kini kita lakukan untuk menolong orang-orang miskin, lapar, dan menderita, yaitu yang disebut oleh Kristus sebagai saudara-saudaraNya? Tepat sekali apa yang dikatakan oleh martyr modern terbesar, Dietrich Bonhoeffer: Gereja sejati adalah gereja yang bereksis- tensi untuk orang lain [“pro-eksistensi”]. Seperti Allah sudah memelihara kita dalam Kristus, maka pada gilirannya kita pun terpanggil untuk memelihara anak-anakNya yang menderita yang melaluinya kini Kristus berhadapan dengan kita secara tersembunyi [kutip- an dari A.M. Hunter, Khotbah-Khotbah Masa Kini 2, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1985), hlm. 51ff.].
APA YANG ENGKAU LAKUKAN TERHADAP SESAMA?
Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum – Matius 25:42
Kisah pemisahan antara domba dan kambing sangat akrab di telinga kita. Kepada domba Raja itu berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah diediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Kepada kambing Dia berkata, “Enyahlah dari hadapanKu, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum.”
Tanggapan dari domba dan kambing sama, “Bilamanakah kami melihat Engkau haus dan kami memberi/tidak memberi Engkau minum?” Dan jawaban raja itu adalah, “Se- sungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan/tidak kamu lakukan untuk salah seorang daru saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannnya/tidak melakukannya untuk Aku.”
Kapan saja orang kesepian, tertekan, sakit, putus asa, dan terbelenggu dosa, ada Yesus yang berkata, “Aku haus.” Marilah kita memberi diri kita sendiri dan sumber daya yang kita miliki kepada orang lain. Marilah kita tanpa jemu-jemu bersaksi kepada sesama ten- tang Air Hidup. Dengan jalan demikian, kita memuaskan dahaga orang banyak. Karena Dia berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2002), hlm. 25].
ARE GOOD WORKS NECESSARY FOR ETERNAL LIFE? (25:35-36)
Jesus did not teach that good deeds form the basis of our salvation. The Bible shows
clearly that eternal life results from what God does, not by our works. Still, God intends that those who receive his grace will also do good works (Eph. 2:8-10).
True faith is more than just claiming to have faith. Genuine love for God will be expressed through service to others (1 Joh 3:16-18) --- not to earn salvation, but because a heart that truly loves God will be filled with compassion for others. Jesus wanted his followers to set the pace by helping those who were hurting. Good works that come from people grateful for God’s grace are at the heart of true religion (James 1:27) [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1426].
- - - NR - - -
Langganan:
Postingan (Atom)