30 April 2008

Ibr 6:13-20

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
1.1. Kronologi
kr. (kira-kira) 30 M (A.D.) : Yesus wafat, bangkit dan terangkat ke surga.
kr. 35 M : Pertobatan Saulus/Paulus.
kr. 50-51 M : Sidang gerejawi (Konsili) di Yerusalem.
kr. 54-68 M : Masa kekuasaan Kaisar Nero.
kr. 60-70 M : Surat Ibrani ditulis.
kr. 67-68 M : Rasul Paulus dipenjarakan.
kr. 70 M : Yerusalem direbut dan dihancurkan oleh bala
tentara Romawi, termasuk Bait Suci. “Diaspora”
orang-orang Yahudi.
[Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1724].
1.2. Informasi
Who wrote this [letter]? The author does not identify himself. Some think it was Paul,
but others suggest Barnabas, Luke or Apollos as possible
writers.
To whom was it written and why? Hebrews sounded a warning to early Jewish believers
(originally called Hebrews before being called Israelites) who,
because of persecution and hardship, were tempted to revert
back to their Old Testament way of life and give up their
newfound faith and freedom in Jesus Christ.
[kutipan dari Ibid.].

2. Eksposisi
2.1. Latar belakang dan Konteks
Tema ajaran: superioritas Kristus, 1:1 – 10:18
Pekerjaan Kristus, 4:14 – 10:18
Ke-imam-anNya sesuai peraturan Melkisedek (5:11 – 7:28).
[Sumber: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 411f.].
After an introductory paragraph, this long central section [4:14 – 10:39] begins and ends with
powerful exhortations in which the author underlines his warning (5:11 – 6:12; 10:19-39). In
between fall two long passages in which he considers first the person of Jesus the High Priest
(6:13 – 7:28), and then his ministry (8:1 – 10:18) [kutipan dari John Stott, Men with a Message (Suffolk,
England: ELT, 1996), p. 110].
2.2. Ayat 13: Mengapa Allah “bersumpah demi diriNya sendiri”?
Untuk menunjukkan kepada Abraham, sekaligus membuatnya yakin, bahwa Allah pasti
akan memenuhi apa yang dijanjikanNya (lihat ayat 14).
Untuk DISKUSI: Kalau Allah sendiri bersumpah, apakah kita juga bisa
bersumpah?
Informasi: Is it wrong to swear to tell the truth in court? (Matt. 5:34-37)
Jesus was talking about misuse of oaths common in Jewish culture (the equivalent of some-
one today saying, “I swear to God”). He was not prohibiting solemn vows. Jesus’ point is
that truth-telling is essential, no matter how costly. At times it may be appropriate to commit
ourselves to the truthfulness of our words. Even God set an example of swearing by himself
to prove his word trustworthy . . . (Heb. 6:13) [kutipan dari Quest Study Bible . . ., p. 1391].
Kristus mengajarkan bahwa sumpah mengikat (Mat 5:33). Percakapan sehari-hari orang
Kristen haruslah sama sucinya dengan sumpahnya. Dia tidak boleh mempunyai dua ukuran
tentang kebenaran, seperti orang Yahudi tertentu yg memakai ukuran licik berkaitan dengan
sumpah. Dalam Kerajaan Allah pada akhirnya sumpah tidak diperlukan (Mat 5:34-37). Kris-
tus sendiri diperhadapkan dengan sumpah (Mat 26:63 dab), dan Paulus juga bersumpah
(2 Kor 1:23; Gal 1:20).
Alkitab mencatat bahwa Allah mengikat diriNya dengan sumpah (Ibr 6:13-18) . . . Dalam
kedatanganNya, Yesus Kristus memenuhi janji-janji Allah yg lama kepada Bapak-bapak
leluhur (Luk 1:68-73; 2:6-14), kepada Daud (Kis 2:30), dan kepada Raja-Imam PL (Ibr 7:20
dab, 28) [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm. 426].
SUMPAH PALSU
Berjanji di hadapan Tuhan Allah, dengan menyebut “NamaNya” secara resmi, tetapi apa
yang diucapkan itu tidak dihayati dan tidak ditepati. Misalnya: untuk meraih gelar, untuk
gengsi belaka, untuk naik pangkat, supaya kemudian dapat keuntungan dari jabatannya itu.
Sumpaj palsu = menghina Tuhan. Sebab apa yang dikatakan sebenarnya untuk menipu
orang lain atau untuk menutupi kelemahannya dan maksud jahatnya [kutipan dari Al. Budyaprana-
ta pr., Etika Praktis (Yogyakarta: Andi, 1987), hlm. 13].
2.3. Ayat 18: Apa yang dimaksudkan dengan “dua kenyataan yang tidak berubah-
ubah”(Inggris: “two unchangeable things” [NIV])?
[1] Janji Allah, dan [2] sumpahNya (ayat 13).
What was true of God’s promise to Abraham is equally true of his promise to Christians.
Our author might almost have quoted Ro. 4:23f., ‘But the words . . . were not written
for his sake alone, but for ours also’ (for 11:8-19 shows that Abraham was promised
the same heavenly blessings to which Christians look forward) [kutipan dari Peake’s Com-
mentary on the Bible (London: Nelson, 1972), p. 1012].
2.4. Ayat 19-20: Bagaimana kita memahami pernyataan bahwa Yesus “telah masuk
sebagai Perintis bagi kita”?
Penulis memanfaatkan dua gagasan untuk menggambarkan apa yang telah dilakukan
oleh Yesus. Gagasan pertama ialah Imam Besar Perjanjian Lama yang mewakili umat
memasuki Bilik Maha Kudus di Bait Suci. Yesus sebagai Imam Besar bagi kita telah
melakukan itu. Gagasan kedua ialah sebuah kapal mendekati pelabuhan. Tapi karena
ombak keras, kabut tebal atau air surut, jadinya kapal itu tak bisa merapat ke dermaga.

Ialah bahwa kapal itu, walaupun terombang-ambing, berlayar terus dengan susah
payah dan akhirnya merapat di dermaga. Yesus mendahului kita memasuki pelabuhan,
yang menjadi sauh pengharapan kita dan merintis kita ke hadirat Allah [Sumber: Quest
Study Bible . . ., loc. cit.].
Let us put it very simply in [this] way. Before Jesus came, God was the distant
stranger whom only a very few might approach and that at peril of their lives. But
because of what Jesus was and did, God has become the friend of every man. Once
men thought of him as barring the door; now they think of the door to his presence as
thrown wide open to all [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Letter to the Hebrews
(Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 63].


- - - NR - - -

Mz 130

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Garis Besar: Susunan dan Sinopsis
Ay. 1-2 : meminta perhatian Tuhan dari dalam jurang;
3-4 : hanya Tuhan saja dapat mengatasi pemisahan yang disebabkan dosa;
5-6 : menanti-nantikan TUHAN;
7-8 : yang membebaskan umat-Nya
[kutipan dari Marie C. Barth dan B.A. Pareira, Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm.
408].
Informasi: Mazmur ini mempunyai ke-khas-an sendiri. Dibandingkan dengan Mzm 51, maka
Mzm 130 mempunyai nuansa permohonan tobat yang lebih kental. Sedangkan
Mzm 51 mengetengahkan bobot pengakuan dosa. Namun terlepas dari perbeda-
an penekanan tadi, kedua Mazmur ini mencerminkan konteks unsur pengakuan
dosa dalam tata ibadah. Perlu juga diperhatikan bahwa ayat 7a dan 8, di mana
dosa umat Israel dimohonkan untuk diampuni, merupakan tambahan kemudian
[Sumber: Claus Westermann, The Living Psalms, trans. (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans,
1989), p. 117].

2. Eksposisi
2.1. Ayat 1 : Tersirat di sini bahwa Allah mau mendengarkan doa orang-orang yang dengan
“ketulusan dan kejujuran” mengakui kegagalan dan keterpurukan mereka diha-
dapanNya. Sekaligus ini menjadi suatu “model for how we might express our-
selves to Him” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari What does the Bible Say About . . .
(Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2002), p. 82].
2.2. Ayat 3-4: Apa Tuhan memangnya punya sejenis ‘buku catatan’ (Inggris: book of
record)?
Ya (bnd. Mzm 56:9: “menghitung-hitung”; “Kaudaftarkan”). Namun dalam
PL juga disaksikan bahwa untuk catatan-catatan [dosa] ini, Tuhan rela meng-
hapusnya. “God’s mercy provided a means for his people to start over again
with a clean record” --- asal mereka dengan “tulus dan jujur” mengakui dosa-
dosanya dan sungguh-sungguh bertobat [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest
Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 881; untuk seterusnya sumber ini dipen-
dekkan QSB].
Informasi: God’s motive in forgiving is clear in the OT, and there is celebration
of God’s character as a forgiving Person [Kel 34:7; Bil 14:18; Neh 9:
17; Mzm 86:5; 99:8; 130:3-4; Dan 9:9] [kutipan bahasa Inggris dari New
International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan,
1991), p. 289].
2.3. Ayat 5-6: Mengapa si pemazmur sebegitu mendambakan Tuhan?
Dengan menyadari bahwa Allah rela mengampuni, maka ini menimbulkan
hasrat dan niat yang dalam dari pemazmur untuk lebih mengenal Allah. Juga
dengan meyakini kasih setia Allah, maka si pemazmur tidak ragu-ragu men-
curahkan isi hatinya kepada Allah. Keyakinannya ini melebihi keyakinan
seorang pengawal akan kepastian berlalunya malam dan terbitnya surya pagi
2.4. Ayat 7-8: Bagaimana Perjanjian Lama memahami “pembebasan” [NIV: “redemp-
tion” = “penebusan”]?
Dengan latar belakang tindakan pembebasan Allah bagi Israel, baik dari
perhambaan di Mesir, maupun dari pembuangan di Babel, maka pembebasan/
penyelamatan adalah untuk seluruh umat, yakni secara kolektif, bukan secara
pribadi. Walaupun di sana-sini ada tersirat dalam PL (a.l. Yeh 18:14-20) tentang
pembebasan/penyelamatan pribadi, baru kelak dalam PB gagasan penyelamatan
pribadi berkembang penuh dalam hubungannya dengan tindakan pembebasan/
penyelamatan/penebusan Yesus Kristus [Sumber: QSB, loc. cit.].
Informasi: Perlu diperhatikan bahwa dalam keseluruhan PL, hanyalah dalam Mzm
130:7-8 inilah istilah “pembebasan” (Ibrani: padah] dikaitkan dengan pembe-
basan dari dosa. Gagasan ini baru kelak dikembangkan secara penuh dalam
PB [Sumber: New International Encyclopedia . . ., p. 516].
Ungkapan “berharap” [Ibrani: yahal] sering sekali muncul dalam Mazmur-
Mazmur. Dengan seruan “berharaplah”, maka kita diundang untuk sekarang ini
berharap dalam hubungan kita dengan Allah. Pendek kata, “harapan” menyirat-
kan relasi. Dalam pemahaman inilah, maka PL beranggapan bahwa [1] Allah
adalah Pembebas yang akan membebaskan seseorang yang berharap kepa-
daNya, dan oleh karena itu [2] adalah patut bahwa kita menanti dengan “tawak-
kal” sampai Allah bertindak [Sumber: Ibid., p. 343f.].
“Kasih setia” (Ibrani: khesed) dalam Mazmur-Mazmur dikaitkan dengan (1)
ibadah (5:8; 26:3); dengan (2) diluputkan dari musuh (6:5; 17:7; dsb.); dengan
(3) perlindungan (21:8; 32:10; 6 dsb.); dengan (4) pengampunan (25:7; 51:3;
86:5; 130: 7; dsb.) [Sumber: Ibid., p. 419].
Kasih setia merupakan padanan kata Ibrani khesed. Paling banyak muncul
dalam Mzm. Di tempat-tempat lain khesed diterjemahkan ‘belas kasihan’,
‘kemurahan hati’, dan ‘kebaikan’. . . . Asal usul etimologisnya tidak jelas. Suatu
penyelidikan mengenai ay-ay di mana kata itu dijumpai (mis Mzm 89), meng-
ungkapkan bahwa kata itu sangat erat hubungannya dengan dua pengertian,
yaitu ‘perjanjian [anugerah]’ dan ‘kesetiaan’. Artinya mungkin dapat dirangkum
sebagai ‘kasih yang mantap teguh atas dasar perjanjian yg telah dibuat’. Arti ini
digunakan untuk menggambarkan baik sikap Allah terhadap umat-Nya maupun
sikap umat Allah terhadap Dia; penggunaan yg kedua khususnya dalam Hos.
[kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jild 1, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, t.t.), hlm. 528].

3. Refleksi
C a t a t a n D o s a K i t a
Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-
kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?
(Mzm 130:3)

“Dari jurang yang dalam”, pemazmur berseru kepada Allah (Mzm 130:1). Lalu, masalahnya dikemuka-
kan, yaitu rasa bersalah yang luar biasa karena berbagai hal yang telah ia lakukan dan tidak lakukan di
masa lalu. “Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat
tahan?” (ayat 3).
Namun, puji Tuhan, Allah mengampuni. Dia tak menyimpan catatan dosa masa lalu, entah betapa
banyak atau menyedihkannya dosa itu. “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka
yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1). Pengampunan Allah membuat kita takut akan Dia (Mzm
130:4). Kita menyembah dan mengagungkan Allah, karena anugerah dan pengampunan yang membu-
at kita mengasihi Dia.
Namun bagaimana jika kita terpeleset lagi ke dosa lama? Bagaimana jika dosa itu masih ada? Kita
harus bertobat dan “menanti-nantikan Tuhan” (Mzm 130:5). Dan, bersabar saat Allah bekerja. Kita bu-
kan orang sakit yang tak berpengharapan. Kita bisa “berharap” kepada Pribadi yang akan melepaskan
sesuai waktu-Nya.
Kita tahu dua kepastian: Kasih Allah tak pernah gagal, yaitu bahwa Dia tak akan pernah meninggal-
kan kita atau mengabaikan kita (Ibrani 13:5). Dan, janji Allah tentang penebusan total akan berlangsung
pada waktunya --- Dia akan menebus kita dari semua pelanggaran kita (Mzm 130:8), lalu membawa ki-
ta ke dalam kemuliaan-Nya tanpa noda dan penuh sukacita (Yudas 24).
Kita diampuni! Kita bebas! Bersama pemazmur, mari kita menyembah Tuhan saat menantikan keda-
tangan-Nya ---DHR [kutipan dari Renungan Harian, Kamis, 30 Agustus 2007, terj. (Yogyakarta: Yaya-
san Gloria/RBC Ministries)].

4. Excursus: “Kesalahan [dan Rasa Bersalah] . . .”
Banyak ahli psikologi mencatat kesalahan [yakni rasa bersalah] sebagai salah satu masalah utama
para klien mereka. Seringkali kesalahan mempengaruhi sebagian besar orang beragama. Mengapa
ajaran Kristen, yang menjanjikan pengampunan dan perbaikan terhadap kesalahan, kadang-kadang
seakan-akan menjadi penyebab persoalan lebih besar?
Sarana yang menyatakan kepada Anda bahwa Anda bersalah biasanya disebut kesadaran. Kesa-
daran berkomunkasi melalui emosi Anda dan memberi peringatan kepada Anda apabila ada masalah
di dalam kehidupan Anda. [ . . . ]
Kalau Anda Benar-Benar Bersalah
[ . . . ] Bagaimana kalau kesalahan Anda ternyata kesalahan yang sesungguhnya? Apakah yang
akan Anda lakukan kemudian? Saya dapat memperkirakan tiga tindakan yang memungkinkan untuk
dilaksanakan.
Yang pertama adalah menghukum diri Anda sendiri. “Saya tentulah orang yang buruk laku. Oh, be-
tapa bersalahnya saya! Wah, saya sangat menyakiti Tuhan!” [ . . . ]
Tindakan lainnya adalah menyangkali bahwa kesalahan akan menampakkan diri. “Kesalahan adalah
getaran perasaan saja. Ia melumpuhkan dan menekan perasaan banyak orang yang hebat serta mem-
buat mereka tidak menikmati kehidupan mereka. Tuhan menghendaki agar saya merasa bahagia. Ka-
rena itu saya tidak membiarkan diri saya merasa bersalah.” [ . . . ]
Tindakan ketiga ialah berusaha menemukan alasannya mengapa Anda merasa bersalah dan beru-
saha menghentikannya. Secara analogi, hal ini sama seperti Anda merasa sakit sekali pada kaki Anda,
kemudian Anda melepas sepatu Anda serta mencari sumber rasa sakit itu. Itulah cara terbaik untuk
menghadapi rasa sakit. Pada kenyataannya, tujuan rasa sakit itu adalah untuk menarik perhatian Anda.
Sama saja, rasa bersalah dimaksudkan supaya Anda menemukan sumber perasaan Anda. [ . . . ]
Dengan ini, saya tidak bermaksud untuk mulai mendorong seseorang menilik dirinya. Itu tidak sehat.
Kita dapat menemukan banyak sekali dosa kalau kita mau berusaha cukup keras untuk menemukan-
nya, dan beberapa di antara kita bahkan menemukan dosa-dosa yang sama sekali bukan hasil perbuat-
an mereka. Jangan lakukan hal itu! Cukup Anda bertanya: Adakah Tuhan menghendaki saya melaku-
kan sesuatu yang telah saya abaikan selama ini? Adakah hal itu benar-benar dikehendaki Tuhan untuk
saya lakukan, sesuatu yang akan disetujui oleh orang Kristen lain? Kalau benar demikian, lakukanlah.
Jangan terlalu lama berdoa, mendoakan sambil menangis untuk mendapatkan pengampunan. Cukup
ubahlah perilaku Anda.
Mengobati Luka
Namun Anda juga perlu penyembuhan. Ketika Anda jatuh, Anda dapat segera membuat keputusan
untuk tidak berlari dan lebih berhati-hati lagi, tetapi Anda masih harus memperhatikan lutut Anda yang
terluka yang memerlukan obat. [Rasa bersalah] juga memerlukan obat: obat yang berupa pengampun-
an dan pemeliharaan Tuhan. Sekali lagi, 1 Yohanes menolong: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia
adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala
kejahatan” (1:9). Janganlah hal ini kita jadikan pokok persoalan besar dengan memeriksa diri secara
berlebihan. Firman ini sederhana bunyinya. Satu-satunya harapannya ialah bahwa pengakuan Anda
hendaknya tulus: “Tuhan, saya menyadari bahwa saya salah dan Engkau benar. Saya bingung, saya
menyesal. Apakah Engkau berkenan mengampuni saya dan menempatkan saya di jalan yang benar
lagi?” Sudah cukup, dan Yohanes berkata dengan jelas bahwa setelah Anda melakukan tindakan
berdoa itu, Tuhan akan membersihkan Anda dari semua dosa Anda. Tuhan tidak [sekedar] member-
sihkan sampai mencapai kebersihan 80 % [saja] atau melalui proses pengampunan yang memerlukan
bertahun-tahun lamanya. Saat itu juga, Ia membersihkan Anda dari dosa tersebut [kutipan dari Verne
Becker et al., Muda-Mudi, Inilah Jawabannya, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2000), hlm. 34ff.].
- - - NR - - -

Kis 1: 1-11

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Latar belakang Naskah
Lukas menceritakan kisah pengangkatan Yesus ke surga dengan dua cara: yang pertama berperanan sebagai pujian (doxology) bagi hidup publik Yesus. Yesus secara pribadi diangkat
dalam kemuliaan Bapa, setelah berjuang dengan gigih melaksanakan kehendak Bapa-Nya. . .
Sedangkan, yang kedua berperan sebagai pembukaan sejarah kehidupan Gereja, yang sebe-
tulnya merupakan perkembangan awal kehidupan jemaat setelah Yesus masuk dalam kemu-
liaan. Kalau diperhatikan dari segi seni sastra, yang pertama lebih sastra ibadah/liturgis; se-
dangkan yang kedua lebih sastra sejarah/missioner. Keduanya merumuskan peristiwa: Yesus
dimuliakan [kutipam dari St. Darmawijaya, Pr, Inspirasi Hari Minggu, Tahun A, Masa Khusus dan Hari Raya
(Yogyakarta: Kanisius1999), hlm. 172].
Informasi: Jesus’ ascension is universally viewed in the NT as a victorious return to glory to
minister to believers as their High Priest (Heb 7:23-8:2) and to serve as the all-
powerful head over all things for the church (Eph 1:15-22). The ascension of
Jesus thus stands with his incarnation as a foundation of biblical Christian faith
[kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan,
1991), p. 76].
2. Eksposisi
Ayat 1-2 --- Sebenarnya Kisah Para Rasul lebih tepat dinamai Kisah Perbuatan Roh Kudus,
sebab Roh Kuduslah yang memegang peranan penting di sini. Dalam fasal pertrama Roh
Kudus disebutkan lima kali. Dengan membaca seluruh kitab ini, maka kita akan menginsafi
bahwa Roh Kudus itu merupakan kekuatan pribadi dalam hidup orang-orang Kristen yang
mula-mula itu.
Dalam ayat pertama, penulis Kisah Para Rasul menyinggung adanya buku pertama. Telah
ia kirim buku itu kepada penerima buku itu. Penerima buku ini adalah Teofilus dan buku lain
dalam Alkitab yang dikirim kepada seorang bernama Teofilus adalah: Injil Lukas (lihat Luk
1:1).
Rupanya Teofilus adalah seorang ternama yang dikenal baik oleh Lukas sehingga Lukas
ingin memberitahukan dia tentang Yesus Kristus. Kepada Teofilus Lukas mengirim Injilnya
lebih dahulu. Kemudian dari itu, bagaikan susulan ia mengirim Kisah Para Rasul ini. [ . . . ]
Ayat 3 --- Dalam ayat ketiga, kita lihat bahwa Tuhan Yesus ada bersama-sama murid-murid-
Nya selama 40 hari setelah Ia bangkit. Hanya Lukas saja memberi keterangan ini tentang
pelayanan Kristus. Yesus berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka.
Bukan sedikit Tuhan Yesus membuktikan kebangkitan-Nya. Cukup lama ia melayani mereka
setelah Ia bangkit, yaitu 40 hari lamanya.
Ayat 4-5 --- Di dalam ayat keempat, Tuhan Yesus memberi suatu perintah kepada murid-
murid-Nya. . . . “Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem . . .” Mereka disuruh tinggal
di Yerusalem untuk menantikan sesuatu. . . . [Sesuatu] itu [terlihat] dalam ayat kelima.
Baptisan Roh Kudus. . . . Dalam bahasa aslinya --- bahasa Yunani/Gerika, kata baptis-
an diterjemahkan dari kata baptizo. Dalam hubungan dengan Roh Kudus, kata baptizo ini di-
pakai hanya dua kali dalam Kisah Para Rasul ini. Satu kali di sini, dan satu kali lagi didalam
fasal 11:16. Dua ayat ini menyinggung nama Yohane Pembaptis. Di sini kita mulai mempela-
jari pekerjaan Roh Kudus. Di antara lain, orang yang percaya pada Yesus Kristus dibaptis
dengan Roh Kudus. [ . . . ]
Ayat 6-7 --- Murid-murid Tuhan Yesus masih mengharapkan suatu kerajaan, ini jelas dari
pertanyaannya. Tetapi jawaban Tuhan Yesus dalam ayat 7 tidak mengindahkan pertanyaan
ini, seolah-olah Yesus menegur mereka.
Istilah “Kerajaan” untuk orang Yahudi pada waktu itu berarti kerajaan yang berdasarkan
kuasa atau kerajaan dunia. Mereka ingin bebas dari orang-orang Romawi yang menjajah
mereka. Tetapi Tuhan Yesus menjanjikan suatu “kerajaan”, dan mereka dijanjikan tempat/
kedudukan tinggi dalam kerajaan itu (baca: Lukas 22:29-30). [Itu berarti] di dalam Injil Lukas,
Lukas telah memberitahukan Teofilus tentang “Kerajaan” Kristus yang akan ditetapkan. Di
sini Lukas menyinggung lagi “Kerajaan” itu, bahwa masa dan waktunya tidak diberitahukan.
Ayat 8 --- Inilah janji dan perintah Tuhan Yesus yang penghabisan kepada kita semua.Dalam
ayat ini kita temui rencana Tuhan mengenai pekabaran Injil. Kita harus mengenal dahulu ke-
kuasaan Roh Kudus, kemudian kita menjadi saksi bagi Kristus dibawah bimbingan Roh Ku-
dus. [ . . . ]
Ayat 9-11 --- Pada waktu Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya, Ia sering berjanji bahwa
Ia akan kembali untuk kedua kalinya (baca: Mrk 13:24-27).
Dalam ayat 11, kita baca bahwa seorang malaikat membenarkan dan mengiakan perka-
taan Tuhan Yesus itu. Ia pasti akan datang kembali dengan cara yang sama seperti mereka
lihat Dia naik ke Sorga [kutipan dari R. Dixon, Tafsiran Kisah Para Rasul, terj. (Malang: Gandum Mas, 1997),
hlm. 2f.].
Informasi: Of the four Gospels, Luke alone records the historical account of Jesus’ ascen-
sion, but he is by no means the only New Testament writer who refers to the
event. Peter, Luke reports, referred to it in the upper room shortly after it oc-
curred (Acts 1:22) and mentioned it in his sermons later (2:33-35; 3:21; 5:31);
he also writes of it directly in 1 Peter 3:22. Stephen’s statement in Acts 7:56 pre-
supposes the past occurrence of it. Paul presupposes its historical actuality in his
reference to Christ’s session at the Father’s right hand in Romans 8:34 and
Colossians 3:1, alludes to it in his words of Ephesians 4:8-10 and 1 Timothy 3:
16. The writer of Hebrews presupposes it in 1:3, 13, 2:9, 8:1, 10:12, and 12:2,
and expressly refers to it in 4:14, 6:20, and 9:24. John informs us that Jesus
himself alluded to it (John 6:62; 7:33-34; 8:21; 13:33; 14:2,28; 16:7-10; 20:17),
and that he “knew that . . . he had come from God and was returning to God”
(13:3). Finally, it is clear that Jesus presupposed it in his testimony before the
Sanhedrin at his trial when he said: “you will see the Son of Man sitting at the
right hand of the Mighty One” (Matt. 26:64; Mark 14:62;Luke 22:69) [kutipan dari
Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas
Nelson, 1998), pp. 575f.].
3. Excursus
Mengapa Yesus naik ke sorga?
1. Sebagai tanda bahwa masa penampakan diri sudah selesai. Selanjutnya Yesus akan me-
nyertai murid-murid-Nya dengan perantaraan Roh Kudus. Kalau Yesus tidak naik ke sorga,
Roh Kudus tidak akan datang (Yoh 14:28; 16:7).
2. Yesus kembali ke tempat kemuliaan yang dimiliki-Nya sebelum dunia ada (Yoh 17:5; Ibr 2:
9).
3. Yesus duduk di sebelah kanan Allah Bapak:
a. bukti bahwa karya penyelamatan sudah genap dan selesai dan Yesus tidak menderita
lagi (Ibr 10:11,12);
b. karena segala kuasa di sorga dan di bumi telah diberikan kepada-Nya (Mat 28:18; 1 Kor
15:276; Flp 2:9-11; Ef 1:20-23);
c. untuk menantikan saatnya musuh dijadikan tumpuan kaki-Nya (Ibr 10:13);
4. Yesus datang sebagai Imam Besar ke tempat Mahasuci dengan membawa korban yang
sempurna dan yang berlaku untuk selama-lamanya (Ibr 9:11,12,24-28);
5. Yesus hidup di sorga sebagai pengantara bagi umat-Nya (1 Yoh 2:1; Ibr 7:25);
6. Yesus menyediakan tempat bagi semua orang yang percaya kepada-Nya (Yoh 14:2);
7. Yesus menantikan saat kedatangan-Nya yang kedua kali, pada saat mana Jemaat sudah
lengkap dan semua orang pilihan Allah diselamatkan (2 Ptr 3:9).
[kutipan dari R.J. Porter, Kateki sasi Masa Kini (Jakarta: YKBK/OMF, 2000), hlm. 96].
- - - NR - - -

22 April 2008

2Sam 22 : 1 – 30

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Mula-mula [1 dan 2 Sam] hanya satu kitab saja, yaitu kitab Samuel, tetapi kemudian kitab ini dibagi atas dua bagian, yaitu I dan II Samuel. Pokok ceritera I dan II Samuel ialah Peng- gantian (pergantian takhta) atau ceritera mengenai keluarga Daud. Ceritera ini berisi sejarah mengenai penggantian (pergantian takhta) Daud, dan bermaksud untuk mempropagandakan Salomo sebagai raja yang sah. Di samping itu sejarah ini menitik-beratkan hak waris atas takhta dinasti Daud. Raja Daud digambarkan sebagai raja yang adil dan bijaksana, yang di- panggil dan dipimpin oleh Allah sendiri [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 81]. [2 Sam] 22:1-23:7 Dua mazmur Daud Tidak mungkin membuktikan (tapi juga menyanggah) bahwa Daud adalah penulis kedua syair rohani ini. Tapi perlu diperhatikan, bahwa [Prof.] Hertzberg mengakui bahwa Daud adalah pe- nulis kedua syair tsb, seperti diterima sejak dahulu kala. Mazmur yg pertama [2 Sam 22:1-30] sama dengan Mzm 18 (kecuali beberapa perbedaan kecil). Dalam hal ini [Prof.] A. Weiser, da- lam tafsirannya tentang Mzm 18 . . . menyetujui bahwa setidak-tidaknya mazmur ini ditulis pa- da zaman Daud. Kedua mazmur ini masing-masing ada kesamaannya dengan Puji-pujian dan Berkat Musa (Ul 32:33). 22:1-51 Nyanyian Pujian Daud Untuk catatan terperinci tentang Mazmur ini, lih tafs tentang Mzm 18. [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 2005), hlm. 498]. Informasi: What to look for in 2 Samuel? Look for God’s hand in human events. David rose to power because God select- ed him. David’s heroic exploits were possible because God was with him. And David’s disappointments (such as his adultery and the rebellion of his son Absa- lom) show God’s justice and mercy in response to sin [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 418]

2. Eksposisi [Sumber utama: Quest Stdudy Bible, pp. 453f.].

Mengapa karya seni sastra (syair) dimasukkan ke dalam sebuah buku sejarah? Seperti sudah disinggung di atas bahwa dalam kitab sejarah ini Daud digambarkan sebagai raja yang adil dan bijaksana. Bagi penulis kitab ini, adalah tidak komplet kalau tidak ikut di-infor- masi-kan bahwa Daud juga adalah seorang penyair dan penggubah musik. Maka dicantumkan- lah contoh karya sastranya dalam pasal pembacaan kita. Ayat 6 : Apa yang dimaksud dengan “tali-tali dunia orang mati” [NIV: “the cords of the grave”]? Sebuak metafor untuk kematian. Asal-usulnya adalah dari mitologi Kanani yang menggambarkan dewa orang Kanani terjerat tali dari dewa lautan yang berupaya menyeret dan menenggelamkannya ke lautan dalam. Tenggelam berarti kematian. Demikian pula Daud, dalam perjuangan dan pergumulannya melawan kuasa-kuasa kafir/asing/jahat, maka ia dikiaskan bagaikan dewa Kanani tersebut. Tetapi bagi Daud, Allah memutuskan tali-tali itu dan membebaskannya dari bahaya yang mema- tikan dan/atau yang dapat membinasakannya. Ayat 21-25: Tekanan pada perilaku yg pantas yg dikemukakan dalam ay 21-25 agaknya me- rupakan nasehat yg patut ditaati dan ditujukan khususnya kepada anak-cucu Daud yg akan mewarisi takhta kerajaan Yehuda [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, hlm. 498]. Ayat 24: Apa memang Daud sungguh-sungguh “tidak bercela” (NIV: “blameless”)? Daud menulis mazmur ini jauh sebelum ia melakukan dosa perzinahan dan pembu- nuhan (ay. 1). Kalau pun ia menulis kemudian sesudah melakukan dosa tadi, paling tidak ia masih tetap bisa berkata bahwa ia tidak bercela. Tidak bercela mempunyai arti yang berbeda dari tanpa dosa (Inggris: sinless). “When he sinned, David repent- ed and confessed his sin” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 454]. Ayat 27: Bagaimana caranya orang-orang “bengkok” (berdosa) melihat Allah, be- tapapun Ia “berlaku belat-belit” (NIV: “shrewd”)? Allah dikenal oleh orang-orang percaya sebagai Allah yang pengasih dan murah hati dalam mengampuni. Sebaliknya bagi orang-orang berdosa, mereka menganggap Al- lah itu hanya sebagai Allah yang menghakimi/menghukum setimpal dengan kejahat- an mereka. Bagi mereka yang memberontak kepadaNya, Allah itu patut diwaspadai, dicurigai dan bila perlu di-manipulasi. Itu berarti bahwa pemahaman kita tentang Allah tergantung banyak dari jenis ke- lakuan, sifat dan watak kita masing-masing. “We see God through the grid of our own character.” Namun terlepas dari itu semua, Allah adalah tetap selalu: kudus, a- dil/benar, pengasih, suci dan murah hati [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid.].

3. Excursus

Biasanya orang lebih suka berada di tempat yang aman daripada harus berpetualang dan meninggalkan kenyamanan. Begitu juga banyak orang kristiani sudah cukup puas dengan keadaan rohaninya yang “aman-aman” saja. Daripada memulai petualangan rohani yang seru bersama Tuhan, mereka lebih suka memiliki keadaan rohani mono- ton dan datar saja. Sedapat mungkin mereka berharap situasi akan terus stabil, tidak ada gangguan, masalah, ataupun hambatan. Seorang yang luar biasa bernama Sir Francis Drake, merindukan petualangan ro- hani bersama Tuhan, sehingga saat keadaan “aman”, ia berdoa demikian: “Ganggulah kami Tuhan, ketika kami berpuas diri karena mimpi-mimpi kecil kami menjadi nyata. Ketika kelimpahan harta benda membuat kami kehilangan rasa haus terhadap air kehi- dupan. Ketika kecintaan pada hidup ini membuat kami berhenti memimpikan kekekal- an. Ketika keinginan kami membangun bumi baru meredupkan visi kami akan sorga. Ganggulah kami agar berani berpetualang di lautan luas yang lebih luas, di mana ba- dai akan memperlihatkan kuasa-Mu yang dahsyat. Doa di atas sebenarnya ingin menunjukkan betapa bahayanya sebuah tempat di mana kita merasa nyaman di situ. Lihatlah kehidupan Daud ketika jatuh dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba. Ia jatuh bukan saat ia ada dalam pelarian atau peperang- an yang menegangkan, tetapi justru saat ia santai di istananya yang nyaman. Hati-hati jika kita sudah cukup puas dengan kekristenan kita selama ini. Daripada puas dengan kehidupan rohani yang biasa-biasa, sebaiknya kita berdoa meminta kebe- ranian untuk mengalami perkara yang besar --- PK [kutipan dari Renungan Harian (Yogyakarta: Yayasan Gloria, Kamis, 29 Mei 2008].

- - - NR - - -

Mat 5 : 43 – 58

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Pertama-tama kita akan meninjau apa yang disebut ‘antitese-antitese’ dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:21-48). Enam kali diulangi ucapan [antitese]: “Kamu telah mendengar . . . tetapi Aku berkata kepadamu . . .” Corak keenam antitese ini tidak seragam. [ . . . ] . . . [Antitese] keenam agak berbeda jenisnya: “Kamu telah mendengar, kasihilah sesama- mu manusia dan bencilah musuhmu” (Mat 5:43). Di mana[kah] hukum Taurat memerintahkan agar musuh dibenci? Sesungguhnya rumusan serupa itu tidak terdapat dalam hukum Musa. Akan tetapi dalam Imamat (19:18), perintah “kasihilah sesamamu” terbatas pada “orang-orang sebangsamu”. Lagi pula, mazmur-mazmur penuh dengan ucapan tentang kebencian terhadap musuh. Mungkin juga antitese ini menunjuk pada kaum Eseni dan kaum Zelot yang mengang- gap kebencian terhadap musuh sebagai kewajiban agamawi. Bagaimanapun, kentaralah bah- wa menurut kesaksian antitese-antitese ini, Yesus bertindak dengan wibawa atas hukum Tau- rat entah untuk memperdalam dan menjernihkan, maupun meniadakan juga [kutipan dari Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! (Yogyajarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 163f.; huruf-huruf miring oleh NR].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 34-35: Pada zaman Yesus pemahaman populer dari “kasihilah sesamamu manusia” mempunyai konsekwensi logis “bencilah musuhmu” (ayat 43). Yesus mengoreksi dan me- luruskan pemahaman tadi. AjaranNya dalam ayat 44 tidak didapati dalam Perjanjian La- ma, walaupun ada himbauan untuk “jangan bersuka cita kalau musuhmu jatuh” (Ams 24: 17). Informasi: If you and I are to bear the family resemblance as children of God, we must model our interpersonal relationship on the example His actions provide. We must not respond to hostility with hostility, but instead we must respond with love. When we respond to our enemies with love, we become partners in God’s radical solution to hostility and hatred. Our love communicates His, and we become agents of reconciliation, introducing our enemies to the transforming power of God. [Sumber dan kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 249]. . . . sesama mausia kita itu, seperti yang diilustrasikan-Nya demikian gamblang di kemu- dian hari dalam perumpamaan Orang Samaria Yang Baik Hati (Luk 10:29-37), tidak harus orang sebangsa, sekedudukan atau seagama dengan kita. Orangnya bahkan tidak perlu punya sangkut-paut dengan kita. Mungkin juga ia musuh kita, yang mengejar kita dengan belati terhunus atau pistol yang pelatuknya sudah ditarik. . . ‘Sesama manusia’ kita dalam kamus Allah mencakup musuh kita. Yang menetapkan dia menjadi sesama manusia kita ialah kenyataan yang sangat bersahaja, yakni bahwa ia adalah sesama insani yang mem- butuhkan, yang kebutuhannya kita sadari dan, sejauh kemampuan kita mengizinkannya, bisa kita penuhi [kutipan dari John Stott, Khotbah di Bukit, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1989), hlm 150]. Ilustrasi: Pernah seorang pengusaha peternakan kehilangan beberapa ternaknya yang amat mahal. Ia pikir pengusaha ternak disebelahnya yang mencurinya. Ia datang ke te- tangganya itu dan menuntut, “Mana ternakku itu?” “Aku tidak mencuri ternakmu,” jawab tetangganya. Perselisihan terjadi yang di- akhiri dengan ancaman, “Jika kau berani kembali ke tempatku ini lagi, aku akan membu- nuhmu!” Orang yang ternaknya dicuri itu adalah seorang Kristen. Ia datang ke salah satu pertemuan saya, dan saya menantangnya, bersama semua orang lain yang hadir, untuk mengasihi musuhnya. Ia merasa bersalah bahwa ia telah menjadi saksi buruk bagi sesa- manya manusia dan ia memutuskan untuk meminta maaf dari tetangganya itu. Ia me- nyadari bahwa ia bisa dibunuh, sebab orang itu telah mengancamnya akan melakukan tindakan itu, kalau ia berani kembali lagi. Orang ini dengan ketakutan dan gemetar pergi menuju rumah tetangganya. “Apa lagi yang kau inginkan?” tanya tetangganya itu dengan amarah waktu ia memberi salam di serambi depan. “Aku datang untuk memohon maaf,” kata pengusaha ternak yang beragama Kristen itu. “Aku seorang Kristen. Aku telah mengunjungi suatu persekutuan, dan aku di- ingatkan bahwa aku seharusnya mengampuni dan mengasihi musuhku, dan aku ingin engkau mengetahui bahwa aku datang untuk menunjukkan kasihku.” Tetangganya itu tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia bukan orang Kristen. Tetapi ia berkata, “Aku memohon maaf juga atas caraku yang kasar. Aku ingin eng- kau memaafkan aku juga.” Kemudian katanya, “Engkau menuduhku mencuri ternakmu. Aku tidak mencurinya, tetapi binatang itu mematahkan pagar dan masuk ke pekarangan- ku. Jika engkau tidak menuduhku mencuri, aku tentu sudah memberitahukan hal itu ke- padamu. Tetapi karena engkau sudah datang minta maaf, aku memberitahu kepadamu bahwa ternakmu iru ada di sini. Binatang-binatang itu telah bertambah jumlahnya, jadi engkau mempunyai lebih banyak ternak daripada yang hilang. Semuanya itu milikmu” [kutipan dari William Bright, “Mengasihi Orang yang Tidak Bisa Dikasihi” dalam Pola Hidup Krosten, Pene- rapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 35f.].
2.2. Ayat 46-47: . . . kasih itu tidak dibuat berdasarkan prinsip do ut des, yaitu memberikan se- suatu dengan maksud untuk menerima pembalasan, seperti yang dipraktekkan pemungut- pemungut cukai dan orang-orang kafir . . . Agape mengasihi tanpa memperhitungkan ke- untungannya dan tanpa membatasi diri hanya pada kelompok-kelompok tertentu saja [kuti- pan dari Henk ten Napel, Jalan yang Le bih Utama Lagi (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 35].
2.3. Ayat 48: Siapa yang dapat “sempurna” seperti Tuhan? Tak seorang pun dapat. Namun Yesus pun tidak meminta kita untuk melakukan suatu upa- ya yang tak mungkin dicapai. Istilah “sempurna” (Yunani: teleios) yang dipakai di sini mempunyai makna “matang” dan “rampung”. Informasi: It is when man reproduces in his life the unwearied, forgiving, sacrificial be- nevolence of God that he becomes like God, and is therefore perfect [Indo- nesia: matang, rampung] in the New Testament sense of the word. To put it at its simplest, the man who cares most for men is the most perfect man [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Matthew, Vol. 1 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1977), p. 178; kata-kata miring oleh NR].

3. Excursus

Aku ingat ketika ibuku pulang ke rumah dan bercerita tentang seorang rekan sekerjanya yang terus-menerus mengusiknya. Orang ini mengejek ibu dan memberi komentar yang menjatuh- kan. Hal ini terjadi hampir setiap hari. Ibuku bukanlah orang yang suka mengeluh. Jadi aku tahu betapa hal ini sungguh-sungguh mengganggunya. Beberapa bulan kemudian, aku bertanya tentang keadaan di kantornya. Dia menjawab, “Baik-baik saja.” Kemudian dia bercerita bahwa wanita itu sekarang lebih menghormatinya, bahkan mengucapkan hal-hal baik tentang ibu. Wanita itu sudah berubah. Aku bertanya kepada ibu apa yang ia lakukan sehingga rekan kerjanya itu bisa berubah. Ibu berkata, “Tidak ada, kecuali aku mendoakannya setiap hari.” Lalu, ibu berkata juga bah- wa untuk dapar berdoa bagi wanita itu, ia harus terlebih dahulu mengampuni dan mengasihi- nya. Sebenarnya bisa saja ibu membenci dan membalas perbuatan wanita itu. Pengampunan dan doa mengubah hubungan persahabatan. Allah ingin kita mengampuni sama seperti Ia sudah mengampni kita. Hubungan yang buruk dapat diubah melalui pengam- punan dan kasih --- Gary Hubley, Maine, USA [kutipan dari Saat Teduh, Senin, 31 Juli 2006, terj. (Ja- karta: BPK-GM/the Upper Room].

- - - NR - - -

14 April 2008

Ayub 33 : 14 – 30

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Thema kitab Ayub ialah “PERSOALAN PENDERITAAN MANUSIA YANG SALEH”. Me- ngapa orang yang baik atau saleh itu harus menderita? Pada umumnya dalam kepercayaan orang Yehuda dan di dalam sastera hokmah (hikmat) Yehuda terdapat konsepsi dasar bahwa Allah menghukum orang yang bersalah dan fasik, sehingga mereka menderita, sedangkan Allah menyayangi orang yang benar dan saleh. Dengan menonjolkan tokoh Ayub, penulis mau menyatakan bahwa kepercayaan orang Ye- huda selama ini tidaklah selalu benar, sebab kenyataan dalam hidup sehari-hari ialah bahwa orang-orang benar yang selalu hidup menurut kehendak Allah, namun demikian mereka men- derita. Dalam diskusi antara Ayub dengan kawan-kawannya penulis ingin mencari jawaban terhadap persoalan ini, akan tetapi ternyata penulis sendiri tidak menemukan jalan keluar. Akhirnya dia tiba pada kesimpulan bahwa semuanya itu adalah kehendak Allah yang terlalu tinggi bagi manusia untuk bisa dimengerti [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 150f.]. Informasi: What can we learn from Job’s [three] friends? Job’s friends came to console him by sharing in his grief. But they soon began to accuse him, rigidly applying general principles to Job’s specific situation. By dis- torting the truth in this way, Job’s friends only added to his suffering. So what are we to make of the large sections of this book that come from the lips of Job’s [three] friends (15 chapters compared to 20 for Job)? How much of what they say is true? How can we tell they distort or misapply the truth and arrive at a wrong conclusion? The key to a correct understanding of these passages in Job is context. Taken apart from the rest of the book (as well as the rest of the Bible), the words of Eli- phaz and the others can be misleading. For example, when Eliphaz suggests that the innocent and the upright are never destroyed (4:7), we should remember that the Bible as a whole teaches that the righteous may at times suffer undeserved calamities, persecutions or even death (see Luke 13:1-5). On the other hand when Eliphaz says that God performs wonders that cannot be fathomed, miracles that cannot be counted (5:9), we can se the thought to be consistent with the rest of the Bible. Even Job echoes the same words (9:10). Beyond comparing what Job’s friends say with the rest of the Bible, we can learn from their faulty logic. If sin causes suffering, they reasoned, then all suffer- ing must be caused by sin. Not so. Jesus contradicted such simplistic explanations when he showed his disciples that some suffering comes not because of sin, but to bring glory to God (John 9:1-3). We can also learn from the example of Job’s [three] friends that we should not pass judgment on those who suffer. Rather than attempt to offer short-sighted ex- planations, Job’s friends would have helped Job more to simply share his grief and admit that they did not know all the “whys” of life [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 710]. Fasal 32-37: Elihu, kawan yang keempat, muncul dengan mengatakan bahwa selain Allah bi- sa memberi penderitaan, agar orang yang berdosa itu bertobat, maka Allah juga bisa memberi penderitaan kepada orang saleh untuk mencobai mereka [kutipan dari Blommen- daal, op. cit., hlm. 152].

Informasi:

Ciri khas pembicaraan-pembicaraan Elihu ialah, suasana hormat yg khudu kepada Allah, pandangan yg lebih dalam mengenai dosa daripada yang terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan kawan-kawan yang lain [Elifas, Bildad dan Zo- far]; tampilnya Allah selaku Guru (35:11; 36:22) yg bermaksud untuk menuntun manusia dengan disiplin penderitaan ke suatu peri-kehidupan yg lebih bijaksana. [Prof.] Budde mempertahankan bahwa fungsi yg tertinggi dari pembicaraan- pembicaraan itu ialah untuk menyingkapkan sifat Ayub yg dapat sangat berbaha- ya --- kecongkakan rohani (33:17; 35:12). Bahwasanya penderitaan menyembuh- kan memang tampil dalam pembicaraan-pembicaraan lain, tapi bukan dengan te- kanan yang sama [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 2 (Jakarta: YKBK/OMF, 2004), hlm. 100f.].

2. Eksposisi

Ayat 13-14: Apa faedahnya jika tak seorang pun tahu kalau Allah “berfirman”? Elihu menyatakan bahwa orang-orang mungkin saja tidak menyadari kalau Allah berfirman kepada mereka. Pada saat yang sama ia menyadari bahwa Allah “dapat menghalangi manusia dari perbuatannya [yang salah]” (ayat 17), betapa pun firmanNya tidak didengar/dipahami. “It is sometimes hard to hear God’s voice in the busyness of life, but God always hears our con- cerns, even when he sometimes appears silent or hidden” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 743]. Ayat 14-17: Dengan kiat apa Allah mengingatkan perbuatan yang salah? Menurut Elihu, Allah berbicara dalam berbagai cara, termasuk melalui penglihatan (visi) atau mimpi.. Semuanya ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang terhadap perbuatan mereka yang salah. Contoh, Abimelekh (Kej 20:3) dan Laban (Kej 31:24) diperingati Tuhan melalui mimpi. Excursus: What does ancient visions mean to us today? The visions of the Old Testament prophets often were the means by which they received the word from the Lord. Because these visions were revelations from God they can benefit us centuries after they were first given. First, we can observe what the visions did for the people who originally re- ceived them. As they were inspired or challenged, so can we. Often God reveals principles that apply to many different situations even though specific details may change. Second, many visions contained revelation from God that transcended imme- diate circumstances. Prophecy about a coming glorious age, for example, was understood by the original listeners to mean a prosperous future for Israel. But it may refer to God’s eternal plans for his people, and is thus relevant to us today [kutipan dari Ibid., p. 1361]. Does God [still] speak through visions and dreams? God still can communicate in any way he chooses [bnd. Ayb 33:14-15]. Some believe he continues to send special revelations, especially to those with the gift of prophecy and that these must be interpreted within strict guidelines (1 Cor. 14:26- 33). Others believe that the need for such revelations ceased after the early days of the church, when every Christians began to be guided personally by the Holy Spirit and the written Scriptures (John 16:13). Evaluating people’s claims that they have had dreams or visions from God must be done carefully. The Law of Moses demanded the death penalty for the false interpreters of dreams who tried to mislead God’s people (Deut. 13:1-5). Even Daniel knew his abilities were limited; he had to ask God for the meaning of Nebuchadnezzar’s dream (2:18-19) and needed help to interpret his own visions (7:15-16; 8:15-16) [kutipan dari Ibid., p. 1262]. Ayat 19: Bagaimana caranya penderitaan menegur kita? Penderitaan dapat merupakan sarana dengan mana kita berpaling kepada Allah, setelah kita memeriksa dan menyadari keadaan diri kita. Dengan merujuk kasus Ayub, maka penderitaan tidak harus bersifat sebagai hukuman atau pembalasan atas dosa kita. Kadang-kadang pende- ritaan bersifat mendidik. Ayat 28: Di dalam PL juga sudah ada harapan akan kebangkitan orang mati . . ., sekali- pun gambaran orang beriman mengenai maut adalah suram sekali . . . Hal ini semuanya men- jadikan orang saleh takut akan mati. Mereka berharap jangan sampai mati pada pertengahan umur hidupnya (Mzm 102:24,25), dan mereka yakin, bahwa umur orang jahat disingkatkan (Ams 10:27) [ . . . ] Sekalipun demikian, di dalam PL ada keyakinan bahwa keadaan orang di dalam alam maut itu tidak sama . . . Mati bukannya dipandang sebagai suatu nasib yang tak dapat diatasi. Tuhan adalah Allah yang hidup, yang lebih berkuasa daripada maut dan alam maut . . . Kuasa Tuhan itu akan dinyatakan di dalam Ia akan menelan maut dengan kemenangan (Yes 25:8), menghidupkan kembali orang beriman dan membangkitkan jenazahnya (Yes 26:19), sehingga mereka akan gemerlapan seperti terang cuaca di langit kekal selama-lamanya (Dan 12:2,3) [kutipan dari Haroen Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK-GM, 1973), hlm. 386 dst.]. Informasi: There are two Old Testament passages, both of them in the prophets, which ex- plicitly speak of the resurrection of the body. The first of these is Isaiah 26:19 . . . Isaiah here contrasts the future lot of the believing dead . . . with the lot of Judah’s enemies, about whom he had spoken in verse 14 . . . Isaiah 26:19, therefore, speaks only about the future bodily resurrection of believers --- specifically of believers among the Israelites [kutipan dari Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1979), p. 245].

3. Refleksi

Apakah memang Allah yang mengirimkan banyak kesusahan dan malapetaka kepada orang-orang percaya ? (bnd. Mzm 71:20) Penderitaan sudah merupakan bagian kehidupan dalam dunia yang berdosa ini. Manusia dapat berusaha menghindarinya, tetapi mereka tidak behasil; oleh kaena itu mereka hidup dalam ketakutan akan penderitaan dan merasa kecewa ketika mereka mengalaminya. Tuhan dapat memanggil kita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada penderitaan, sesuatu yang memberi kita kekuatan untuk menghadapi penderitaan, tanpa rasa takut. Sesuatu itu ialah hubungan kita dengan Tuhan kita yang kekal dan tidak berubah. [ . . . ] Karena teologi yang keliru, kita menjadi percaya bahwa Tuhan menghendaki agar kita semua sehat dan kaya. Tidak begitu! Alkitab tidak pernah menjanjikan bahwa seba- gai orang Kristen kita akan bebas dari pencobaan dan penderitaan . . . Sebenarnya ada saat- saat ketika Alkitab menjanjikan kepada kita justru sebaliknya! Yesus berkata, “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan (Yoh 16:33). Dan Paulus menulis: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya”; tetapi sisa ayat itu berbunyi, “dan persekutuan dalam penderitaanNya, di mana aku menjdi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (Flp 3:10). Kristus tidak berjanji akan mencegah kita dari mengalami berbagai kesulitan, tetapi Ia ber- janji akan menjagai kita dalam semua kesulitan itu. Kalau kita ingin menjadi serupa dengan Yesus, terutama kita harus dengan senang menerima apa saja yang muncul dalam hidup kita untuk membantu berlanjutnya proses [keserupaan] tersebut. Kita harus melakukan hal itu de- ngan menyadari bahwa Tuhan itu mahakuasa dan yang Ia lakukan dalam hidup kita adalah untuk kemulian-Nya [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 495 dan 499f.; kata-kata miring oleh NR]. We have trouble in the world and in our lives of humanity’s sinful nature. The book of Job, however, shows that troubles do not necessarily come in direct proportion to our sin. Troubles may come when someone else sins against us --- not always because we have committed a particular sin [kutipan dari Quest Study Bible, p. 822].

- - - NR - - -

Yeh 37: 24 – 28

(Bebarapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar Kronologi

c. 742-681 sM: Masa pelayanan Mikha dan Yesaya di Yehuda.. c. 626-585 sM: Masa pelayanan Yeremia di Yehuda. c. 605-536 sM: Masa pembuangan Daniel di Babilonia. c. 593-571 sM: Masa pelayanan Yehezkiel. 586 sM : Yerusalem direbut dan dibinasakan. c. 571 sM : Kitab Yehezkiel ditulis. 538 sM : Rombongan pertama orang-orang Israel kembali ke Yerusalem dari pembuangan. Sesudah seabad lebih Asyur (Assyria) menaklukkan Israel (Utara) pada 722 sM, Babi- lonia muncul sebagai kekuatan besar di kawasan itu. Yehuda ditaklukkan Babilonia dalam tiga tahap. Pertama pada 605 sM, dan termasuk yang ditawan dan dibuang ke Babilonia adalah Nabi Daniel. Kedua pada 597 sM, dan Nabi Yehezkiel adalah terma- suk yang ditawan dan dibuang ke Babilonia. Terakhir ialah pada 586 sM. [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1187]. Sampai tahun 587 seb. Kr., Yehezkiel menubuatkan jatuhnya Yerusalem, dan sesudah tahun ini, dia menubuatkan kelepasan Israel. Bagian akhir Kitab Yehezkiel (psl. 33- 48) berisi nubuat-nubuat mengenai pembuangan dan keselamatan bagi Israel. Khusus untuk pasal 37, ada dua penggalan: (i) kebangkitan Israel (ayat 1-14) dan (ii) Kerajaan Israel dan Yehuda dipersatukan kembali (ayat 15-28) [Sumber: J. Blommendaal, Pengantar ke- pada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 123ff.]. Informasi: Kemungkinan besar lembah di mana Yehezkiel menerima penglihatannya ten- tang tulang-tulang kering dalam Yehezkiel 37:1 adalah tempat yang sama, di mana ia menerima penyataan pertamanya tentang hampir tibanya penghancuran Yeru- salem (3:22). Jika begitu, kitab ini akan dirangkaikan dengan cara yang agak unik. Tulang-tulang yang kering adalah keseluruhan kaum Israel (37:11), kepada sia- pa Yehezkiel diberi perintah untuk “bernubuat” (ay. 4). Perintah itu tentu membi- ngungkan Yehezkiel. Ketika ia mematuhi, keajaiban berupa tersusunnya kembali tulang-tulang itu terjadi melalui perantaraan firman Allah yang diucapkannya serta oleh karya Allah yang penuh kuasa. Tetapi umat ini, walaupun mereka sudah dipulihkan, masih tetap belum hidup; mereka mati! Karena itu Yehezkiel disuruh “bernubuat” lagi, lalu napas dan hidup datang kepada orang-orang yang sudah terbunuh itu (37:9). Pengajaran itu secara jelas diberikan oleh Yehezkiel dalam 37:12-14 . . . Jadi sebagaimana Adam mendapat hembusan napas kehidupan ke dalam hidung- nya dan ia menjadi “hidup”, begitu juga Israel akan dipulihkan. Pasal ini dengan demikian tidak membicarakan doktrin tentang kebangkitan tubuh secara pribadi, tetapi tentang kebangkitan bangsa Selain itu, dua bersaudara yang terpisah, sepuluh suku Yusuf atau Efraim di utara dan dua suku Yehuda dan Benyamin di selatan disatukan lagi di bawah Daud yang baru pada hari kebangkitan bangsa menurut Yehezkiel 37:16-28. Dalam bagian itu Yehezkiel disuruh menggabungkan dua papan, yang bertanda Yehuda dan Yusuf, berturut-turut, menjadi satu papan (ay. 16-19). Maka mereka akan sekali lagi, untuk pertama kali sesudah 931 sM, menjadi “satu bangsa” (ay. 22a), dibawah “satu raja” (ayat 22b), dengan “satu Allah (ay. 23) dan satu gemba- la” hamba-Ku Daud (ay. 24) [kutipan dari Walter C. Kaiser, Jr., Teologi Perjanjian Lama, terj. (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 307f.].

2. Eksposisi

Ayat 24-25: Bagaimana mungkin seorang raja yang telah lama mati dapat meme- rintah lagi? Itu bukan berarti bahwa Daud sungguh-sungguh bangkit dan muncul dari ku- burnya untuk kembali memerintah umat Israel. Di sini sosok Daud dimuncul- kan untuk berfungsi sebagai model untuk jenis sang raja yang akan datang --- yang akan memerintah sebagai wali Allah. Dengan merujuk Mat 1:1-17, maka tersirat di sini tokoh Yesus Kristus yang memang adalah keturunan Daud [Sum- ber: Quest Study Bible, p. 1241]. Informasi : Kadang-kadang ada yg mempersoalkan bahwa hal ini belum pernah terjadi da- lam sejarah Israel sesudah pembuangan. Tapi yg ditatap jauh oleh Yehezkiel di sini adalah kedatangan Kerajaan Mesianis, bilamana Kemah Suci Allah akan ada kembali di tengah-tengah umat-Nya (ay. 27; lih. Why 21:3). Pada saat itu bangsa-bangsa akan mengakui kekuasaan Yahweh melalui keselamatan umat- Nya (ayat 28) [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 2004), hlm. 538]. Ayat 25-28: . . . negara ini akan ada “selama-lamanya” (ay. 25) sebagai bagian dari “perjan- jian yang kekal” dari Allah (ay. 26). “Tempat kediaman [Tuhan] akan ada pada mereka” . . . dan Ia “akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat[-Nya]: Maka bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Aku, Tuhan, mengu- duskan Israel, pada waktu tempat kudus[-Ku] berada di tengah-tengah mereka untuk selama-lamanya (ay. 27-28) [kutipan dari Kaiser, op.cit., hlm. 308].

3. Excursus

Dengan cara tertentu nabi Yehezkiel memelopori gerakan pikiran, yg selanjutnya berkem- bang menjadi ciri-ciri khas Yudaisme di hari kemudian. Dia-lah yg pertama menekankan seca- ra dogmatis dan jelas mengenai tanggung jawab perseorangan. Dengan penglihatan-pengli- hatan yg berulang-ulang dan banyaknya ucapannya yang bersifat luapan perasaan, dan teru- tama dengan nubuatan-nubuatannya mengenai Gog [ps 38-39] dan kerajaan yg akan datang, ia menciptakan sejenis nubuatan, yg pada waktunya menuju ke gerakan apokaliptik [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, hlm. 511]. When will peace come to the Middle East? (37:26-28) Some believe that the national and political elements of this prophecy were fulfilled in the time of Ezekiel the prophet. They further understand the covenant of peace to mean the new cove- nant in which all are now invited to participate (Heb. 10:16-17). They say God’s sanctuary means God’s presence among his people (Rev. 21:3). Others think this can also refer to the physical peace to be ushered in by the Messianic kingdom. They believe Israel’s Messiah brought spiritual peace (Romans 5:1), but they also expect him to bring literal peace to the earth one day. They say that a temple to the Lord literally will be built and filled with God’s glory (Ezek. 43:1-12). Though this prophecy is addressed first to Israel, the New Testament suggests that this covenant of peace looks to the final peace that will characterize life in the new heaven and the new earth (Rev. 21:1-4) [kutipan dari Quest Study Bible, op. cit., p. 1241].
- - - NR - - -

07 April 2008

Mz 118 : 2 5 – 2 9

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Ciri dan/atau warna liturgis dari Mazmur bacaan kita sekarang ini dapat segera dike- nali --- pergantian dan/atau penggiliran kata-ganti-orang dan adanya pengulangan jawaban/respons. Jenis atau sifatnya sebagai ungkapan pengucapan syukur (“thanks- giving”) jelas sekali --- mensyukuri tindakan Allah yang menyelamatkan. Mari kita bayangkan adanya suatu prosesi dari serambi luar bergerak masuk ke da- lam Bait Suci yang dipimpin oleh seorang tokoh penting dan yang menjadi pembicara utama (ay 5-19,21,28). Tokoh ini adalah jelas “a person whose fate is of supreme im- portance to the nation as a whole”. Dengan itu sudah dapat diterka bahwa tokoh yang dimaksud adalah sang Raja dari keturunan Daud [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari The Broadman Bible Commentary, Vol. 4 (London: Marshall, Morgan & Scott, 1972), p. 407]. Mazmur bacaan kita ini dimulai dengan panggilan bersyukur secara antifonal (bersahut-sahutan: ay 1-4). Lalu sang Raja mengungkapkan rasa syukurnya (ay 5- 19,21). Ayat 20 barangkali merupakan jawaban penjaga pintu gerbang terhadap permohonan sang Raja dalam ayat 19. Ketika prosesi itu memasuki Bait Suci, umat menyatakan pujian dan doa mereka (ay 22-25). Ayat 26-27 merekam sambutan dan salam sang imam. Ungkapan syukur sang Raja (ay 28) dan umat (ay 29) menutup mazmur ini [Sumber: H.L. Ellison, The Psalms (London: Scripture Union, 1968), p. 97].

Informasi:

That this psalm was early regarded as Messianic is shown by Mark 11:9-10; ‘Hosanna’ = hoshia-na, i.e. ‘Save, we beseech Thee (25). The use of the ‘leafy branches” (Mark 11:8) and palm branches (John 12:3) was taken from Taber- nacles; they were waved in the ritual. The answer of the gate-keepers (20) is a reference to Pss. 15 and 24 [kutipan dari Ibid.].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 22-23: Umat bergabung dan ikut bersyukur. Dengan memakai kata-kata kiasan yang berasal dari lingkungan pembangunan (konstruksi) gedung, mereka memuji tindakan Allah yang mengagumkan itu. “Batu penjuru” adalah batu penting untuk menopang dua baris deretan batu-batu yang saling bertemu di sebuah penjuru suatu bangunan. Juga menjadi penopang di bagian lain dari bangunan tersebut, a.l. fondasi bangunan (bnd. Yes 28:16). Tindakan Allah yang telah menjadikan “batu penjuru” itu dari sebuah batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan menjadi dasar dan alasan untuk pengucapan syukur umat. Jadi bobot ucapan syukur mereka adalah bagi Tuhan, karena “suatu perbu- atan ajaib di mata kita” (ayat 23). Bahwa mazmur ini dapat dikaitkan dengan penderitaan dan kemenangan Sang Penebus kita, Yesus Kristus, hal ini terungkap dalam Mat 21:42; Mrk 12:10; Luk 20:17; Kis 4:11; Ef 2:20 dan 1 Ptr 2:7. Ditolak dan menderita oleh ulah manusia, namun Allah memilih “Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef 2:20). Bagi umat yang sedang menderita ungkapan tadi menjadi suatu landasan pengharapan dan penghiburan [Sumber: The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 5 (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 735]. 2.2. Ayat 24-25: “hari” adalah hari penyelamatan (Inggris: day of salvation). Pernyataan ini merangsang umat untuk bertekun dalam doa dan sekaligus memperbaharui pengharapan mereka: “Ya Tuhan, berilah kiranya keselamatan!” (ayat 25). Dalam bahasa Ibrani seruan hosiana (“berilah kiranya [kami] keselamatan”) berkaitan dengan istilah yesuah (kesela- matan, kemenangan, ay 14-15, 21). Umat memohon Tuhan agar terus melakukan tindak- anNya yang mengagumkan itu demi “kemujuran” umat yang diberkahiNya [Sumber: Ibid.].

2.3. Ayat 26-27 dan 28-29 lihat Pengantar di muka.

3. Rangkuman dan Refleksi

Mazmur 118 kembali mengungkapkan tema-tema pokok yang selalu diapungkan dalam Kitab Mazmur: kasih setia Allah yang berkesinambungan bagi umatNya dan kenyataan dari tindakan penyelamatan dari dan oleh Allah semata-mata. Refleksi: [Psalm 118] also incorporates a motif which was dear to the existence of a people who believed their significance to transcend the normal values of the world because of God’s Presence, the motif of the little become great, the least most, the last first. It is a motif which serves as a continuing reminder of just how wrong men’s values and priorities can be, and one which came to have its most eloquent illustration in the life, the ministry, and the death of our Lord [kutipan dari The Broadman Bible Comment- ary, pp. 409f.].

4. Excursus

ALLAH : PEMURAH ATAU PEMARAH? Dalam Alkitab, Allah sering ditampilkan dengan dua wajah, yaitu Allah yang Pemurah dan Allah yang Pemarah. Di satu pihak Allah mengampuni, melindungi , dan memberkati banyak orang. Di pihak lain, Ia mengancam dan menghukum mereka yang berbuat jahat, berkhianat, cemar, dan licik. Allah yang menyenangkan, tetapi sekaligus Allah yang mengerikan. Menye- nangkan karena pengampunan-Nya, perlindungan-Nya, dan berkat-Nya sungguh amat besar dan mengatasi segala kelemahan [dan kenajisan] kita. Mengerikan karena ternyata semua orang, termasuk tokoh-tokoh teladan seperti Musa dan Daud, tidak luput dari hukuman-Nya. Meskipun setiap orang ingin mendapatkan kemurahan ketimbang kemarahan Allah, banyak orang lebih suka memberitakan Allah yang Pemarah dan kurang rela memberitakan kemurah- an Allah. Nabi Yunus begitu bersemangat memberitakan kemarahan Allah kepada rakyat Nine- ve, dan begitu kecewa ketika ternyata Allah lebih pemurah ketimbang pemarah. Pertentangan antara Yesus dan orang-orang Farisi adalah pertentangan dari orang yang memberitakan Allah yang Pemurah (yang mampu menerima orang-orang berdosa) dan orang- orang yang memberitakan Allah yang Pemarah (yang selalu siap menghukum para pendosa). [ . . . ] Di dalam Yesus Kristus, Allah membatalkan kemarahan-Nya, untuk menyatakan kemurah- an-Nya! Itu sebabnya sejak kedatangan Yesus Kristus, berita tentang Allah yang pemarah se- benarnya sudah menjadi berita basi. Sebaliknya, berita tentang Allah yang pemurah selalu baru dan relevan di segala tempat dan waktu, sebab kemurahan itu sendiri tidak berkesudah- an, selalu baru setiap hari. Tetapi mengapa banyak orang Kristen ragu-ragu memberitakan kemurahan Allah? Karena banyak orang kuatir bahwa kita menjadi terlalu murah hati, takut dianggap murahan. Kemurah- an bukanlah murahan! . . . Kasih karunia itu tak ternilai harganya, karena bersumber pada pengorbanan Allah sendiri. Ia yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, menjadi seorang makhluk biasa. Ia yang berhak menjadi hakim atas segala hidup, rela menjadi seorang terhukum dengan hukuman paling be- rat. Ia [yang] berhak menuntut korban, malahan mengorbankan diri-Nya sendiri [kutipan dari Yahya Wijaya, Kemarahan, Keramahan & Kemurahan Allah (Jakarta: BPK-GM, 2008), hlm. 1ff.] .

- - - NR - - -

Yeh 3 7 : 1 – 7

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Kronologi Peristiwa 930 seb. M :

Kerajaan Israel pecah menjadi dua. Di bagian utara tetap dipertahankan nama Kerajaan Israel. Sedangkan di selatan dipilih nama Kerajaan Yerhuda, dan yang tetap diperintah oleh raja-raja keturunan Daud.
c. 742-681 seb. M : Masa pelayanan Nabi Mikha dan Yesaya di Yehuda.
c. 626-585 seb. M : Masa pelayanan Nabi Yeremia di Yehuda.
c. 605-536 seb. M : Nabi Daniel dibuang ke Babilonia.
c. 593-571 seb. M : Masa pelayanan nabi Yehezkiel.
586 seb. M : Yerusalem jatuh dan dihancurkan oleh Babilonia. Penawanan ke Babilonia.
c. 571 seb.
M : Kitab Yehezkiel ditulis.
538 seb. M : Rombongan pertama orang-orang Israel kembali dari Babilonia ke Yerusalem.
[Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1187].

2. Pasal 37 Keselamatan Yehezkiel diangkat oleh Roh dan ditempatkan di tengah-tengah lembah yang penuh dengan tulang-tulang (Yeh 37:1). Dan Tuhan berfirman kepada Yehezkiel: “Hai anak manusia, dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?” (Yeh 37:3). Yehezkiel menjawab: “Ya TUHAN Allah, Engkaulah yang mengetahui!” (Yeh 37:3).Dalam penglihatan, Yehezkiel melihat bahwa tulang- tulang itu diberi daging dan kulit. Penglihatan itu menjadi janji tentang kebangkitan bangsa Israel. Tuhan berfirman kepada Yehezkiel: “Hai, anak manusia, tulang-tulang ini adalah seluruh kaum Israel” (Yeh 37:11). Pengharapan bangsa Israel dalam pembuangan sudah lenyap. Mereka sudah menjadi seperti mati. Tetapi TUHAN mengatakan: “Sungguh, Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umatKu, dari dalamnya, dan Aku akan membawa kamu ke tanah Israel” (Yeh 37:12). Bangsa Israel akan dibangkitkan dan dibawa pulang ke Israel [kutipan dari A.Th. Kramer, Singa Telah Mengaum (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 77f.]. Two images of death appear in the text, the valley of dry bones and graves. The question, “Can these bones live?” (v. 3) was addressed to a people who had lost hope. So was the prophecy, “Come from four winds, O breath, and breathe upon these slain, that they may live” (v. 10). God’s power and initiative are revealed [kutipan dari Abingdon Preacher’s Annual 1993 (Nashville, Tenn.: 1993), p. 104].

3. Penjelasan/Informasi

3.1. Ayat 1: Dimanakah letak “lembah . . . penuh dengan tulang-tulang” itu? Merujuk pada Yeh 1:1 mungkin lembah yang dimaksud berada di tepi sungai Kebar.
3.2. Ayat 3: Mengapa Yehezkiel disapa dengan “anak manusia”(bnd. 2:1)? Used some 90 times in the book of Ezekiel, this label underscores Ezekiel’s humanity and his dependence on God’s supernatural power. It may also have reminded Ezekiel that his job was to “convey,” not “create,” the message [kutipan dari Quest Study Bible, 1189]. “Son of man” in the OT. The phrase is used often in the OT, being applied to Ezekiel alone almost one hundred times. What is its significance? The phrase probably implies little more than one would mean by addressing a male person “man” [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 572; huruf-huruf miring oleh NR]. 3.3. “Roh Allah” . . . the Scriptures affirm the full, unabridged deity of the Holy Spirit: ………………………………………………………………………………………. . . . he does divine works : he creates (Gen. 1:2; Job 26:13a; 33:4; Ps. 104: 30a), regenerates (Ezek. 37:1-14; John 3:5-6; Titus 3:5), resurrects (Ezek. 37:12-14; Rom. 8:110), . . . [ kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), p. 313f.; huruf- huruf tebal dan miring oleh NR).

4. Refleksi

Kesadaran Yehezkiel akan kekudusan Allah yang betindak demi diri-Nya sendiri melandaskan pengharapan Yehezkiel akan keselamatan di masa mendatang. Ditinjau dari pihak manusia memang tidak ada harapan, tetapi ditinjau dari segi Allah yang kudus serta kekuatan roh-Nya keselamatan terjamin. Hal itu paling jelas terungkap dalam penglihatan Yehezkiel tentang tulang-tulang kering (37:1 dst.). Tulang-tulang kering itu melambangkan keadaan umat dalam pembuangan. Tidak ada harapan lagi. Tetapi roh Tuhan bahkan mampu menghidupkan kembali tulang-tulang kering itu. Demikian pun Ia menghidupkan kembali, memulihkan umat-Nya di masa mendatang. Seperti dikatakan Injil: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi segala sesuatu mungkin bagi Allah [kutipan dari C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 276]. By no legitimate kind of exegesis can this be applied solely to postexilic Judaism. The postexilic regathering can only be a type, a foretaste, of the ultimate messianic kingdom [kutipan dari William S. La Sor, et al., Old Testament Survey (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1990), p. 476].

- - - NR - - -

Kis 2 : 1 4 , 3 6 – 4 1

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Khotbah Petrus dalam pasal pembacaan kita sekarang ini dapat dibagi kedalam penggalan- penggalan sebagai berikut: [1] Pendahuluan (ayat 14-16), yang mengkaitkan khotbah tersebut dengan situasi dan kon- disi saat itu, juga dengan empat penggalan berikutnya yang ditandai dengan sapaan langsung. [2] Uraian I (ayat 17-21) yang berisi kutipan dari nubuat nabi Yoel. Dengan latar belakang nubuat ini, Petrus menafsirkan peristiwa Pentakosta sebagai pemenuhan dari nubuat nabi Yoel tersebut. Pernyataan dalam ayat 21 menjadi landasan untuk isi khotbah Petrus seterusnya. Tu- han yang menyelamatkan itu adalah tak lain dari Yesus sendiri. [3] Uraian II (ayat 22-28) berisi kerygma (pesan, kesaksian, message) tentang Yesus dalam versi Lukas [penulis Kis] --- “Yesus . . . yang telah kamu salibkan adalah Dia yang Allah telah bangkitkan. Pembangkitan-Nya itu telah diramalkan oleh Daud dalam Mzm 16 yang menya- takan bahwa “orang Kudus[Nya] tak akan berakhir dalam kematian”. [4] Uraian III (ayat 29-36) menafsirkan Mzm 16 tadi. Penafsiran tersebut lalu dikaitkan de- ngan ketuangan Roh Kudus, juga dengan nubuat nabi Yoel. Ayat 36 menjadi klimaks untuk Uraian I dan II --- “Jadi seluruh kaum Israel [jadi tidak hanya semata-mata orang-orang Ya- hudi di Yerusalem saja] harus tahu dengan pasti [berdasarkan kesaksian Kitab Suci yang di- singgung dan ditafsirkan Petrus sebelum ini, termasuk kesaksian rasuli dari Petrus sendiri] bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus”. [5] Uraian IV [ayat 37-40] bukan sekedar penggalan penutup, tetapi sebenarnya lebih me- rupakan titik puncak dari keseluruhan khotbah Petrus itu. Ayat 41 melaporkan “phenomenal success [and the impact]” dari khotbah Petrus itu [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Gerhard Krodel, Proclamation Commentaries, Acts (Philadelphia: Fortress, 1981), pp. 20ff.].

Informasi:

[This speech] is an indication of Luke’s exaltation Christology that both in his Gospel and in Acts the idea of the ascension is given significant space, which makes evident Christ’s absence, including the absence of his body. A variety of texts stress that Jesus is in heaven, even if by means of vision he appears to some on earth, such as Stephen or Paul . . . This is why the sending of the Spirit is so crucial in Acts. If Jesus is absent, the church must have some source of power and direction, and this they receive from the Spirit. God now acts by means of the Spirit or an angel on earth . . . Nor is there any sort of “Immanuel” theology predicated of Christ in Acts, as we find at the beginning and end of Matthew’s Gospel. The ascension, however, should probably not be seen as a Lukan theolo- goumena, not least because the christological hymn reflect this notion when they refer to the exaltation of Christ to the right hand (cf. Phil. 2:9-11; Heb. 1:3-4) . . . In the paradigmatic speech in Acts 2 we are told of the whole compass or scope of this work and ministry of Jesus, and thus his fitness to act in a historical drama, is stressed in Acts by the repeated reference to the fact that he is from Nazareth (3: 6; 4:10 et al.; notice it is often in conjunction with the name Jesus Christ, not just the name Jesus [kutipan dari Ben Witherington III, The Acts of the Apostles, a Socio-Rhetorical Commentary (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1998), p. 152].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 37: Sebegitu persuasif-nya khotbah Petrus, sehingga impact-nya bagi para pen- dengarnya ialah “hati mereka sangat terharu” [Inggris: cut to the heart]. Menyadari betapa mereka telah melakukan suatu tindakan yang keji, yang berakhir dengan terbu- nuhnya sang Mesias yang akan menyelamatkan Israel, mereka bertanya apa yang harus mereka lakukan? [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Ibid., p. 153]. Informasi: Kegoncangan tentulah mendalam sampai kepada perasaan hati yang telah berubah dan tetap. Daripada mengaku Nama Yesus, orang-orang Yahudi te- lah menyalibkanNya. Bagaimana mereka dapat kembali kepadaNya, kecuali jika tidak berubah sama sekali? Dan hal ini berarti bahwa haruslah dilepas- kan pikiran Yahudi bahwa orang dapat menerima keadilan dengan hukum Ta- urat. Justru dalam agama Yahudi yang bersifat hukum taurat ini terletak rinta- ngan untuk mencapai keselamatan dan karunia hanya pada Kristus saja [kutip- an dari H.v.d. Brink, Tafsiran Alkitab, Kisah Para Rasul (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 42f.].
2.2. Ayat 38-39: Petrus memaparkan ikhtisar dari ikhtiar yang diperlukan untuk seseorang yang ingin menjadi pengikut Yesus dan manfaat yang diperoleh dari ikhtiar tersebut. Ini bukanlah hal yang baru sama sekali. Yohanes Pembaptis juga telah menyerukan hal yang sama sebelum ini (bnd. Luk 3). Oleh karena itu respons para pendengar juga tidak jauh berbeda dengan respons para pendengar seruan Yohanes Pembaptis pada waktu itu (Luk 3:10). Namun demikian, terdapat juga perbedaan. Di sini kita diperkenalkan dengan ke-khas- an baptisan kristiani. Di samping hubungan pertobatan dan baptisan, kini ada yang baru, yakni bahwa kini baptisan dikaitkan dengan nama Yesus dan penerimaan karunia Roh Kudus. Juga tidak ada indikasi sama sekali bahwa baptisan itu hanya boleh dilakukan oleh para rasul saja [Sumber: Witherington III, op. cit, p. 154]. Informasi: Petrus berkata, bahwa baptisan harus berlangsung atas dasar (terjemahan Baru: dalam) nama Yesus Kristus. Di tempat-tempat lain, di mana dibicarakan tentang baptisan, senantiasa kita membaca: dalam nama. Bahwa di sini dipa- kai katadepan atas dasar (menurut naskah aslinya) dan tidak dibicarakan tentang Bapa dan Roh Kudus, menunjukkan bahwa di sini Petrus dengan sengaja hendak memberi tekanan yang kuat kepada dasar yang atasnya baptisan itu terletak (1 Kor 3:2). Nama Yesus Kristus berbicara tentang pe- kerjaanNya sebagai pelepas. Jadi “menginginkan baptisan”, adalah sama dengan suatu pengakuan percaya akan Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan. Gambaran pekerjaan Yesus Kristus ini (lihat juga Rm 6:3-5) da- lam baptisan, dengan jelas menunjukkan dasar yang atasnya kepercayaan kita akan penyucian dari segala kesalahan/dosa kita, harus dan dapat berdiri. Baptisan tidak menimbulkan karunia Roh Kudus secara magis. Karunia ini di- berikan, oleh sebab Kristus sendiri memberikannya kepada semua orang, yang menerima Dia di dalam iman. . . . Jadi bahwa di sini tidak dipergunakan formulir baptisan yang lengkap, tidak lain disebabkan bahwa Petrus hanya memberikan dasar baptisan . . . Dalam seruannya supaya bertobat dan me- ngaku percaya, Petrus bersandar pada janji Allah bagi Israel yang sudah diu- capkan kepada Abraham (Kej 17: 7), yaitu suatu berkat yang di dalamnya ter- masuk juga anak-anak para orang beriman. Karena itu Petrus memberanikan diri untuk berkata dengan tegasnya bahwa keselamatan ini diperuntukkan bagi . . . mereka dan anak-anak mereka [kutipan dari Brink, op.cit., hlm. 43f.]. Acts 2 also serves as the pre-enactment of the universal mission of the church. The list of nations in 2:9-11 as well as the reference to “those far off [LAI: orang yang masih jauh] in 2:39 indicate the worldwide dimension of the church (cf. Luke 3:6). Under the guidance of the Holy Spirit and in accordance with the promise (2:21) the church will break out of its Jewish context and offer salvation to half-Jews and gentiles (Acts 8-10) [kutipan dari Krodel, op. cit., p. 24].

- - - NR - - -

Kis 2 : 1 – 13

(Beberapa Kutipan Lepas)

1. Pengantar: “Analisis Teks secara Historis-Kritis” Istilah yang dipakai oleh Lukas untuk menggambarkan fenomen turunnya Roh Kudus adalah “bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah” (ay. 2). “Bunyi” itu dika- takan oleh Lukas, turun secara “tiba-tiba”. Itu berarti bahwa bunyi itu datang dan terdengar secara mengejutkan. Haenchen menyebut fenomen itu sebagai enigmatic phenomenon, yaitu fenomen yang penuh teka-teki yang membingungkan. Conzelmann menyebut fenomen tersebut sebagai fenomen komparatif (perbandingan) untuk menggambarkan daya kekuatan Roh Kudus yang luar biasa, yang merupakan daya-dinamis dan daya-kreatif. . . . daya- kekuatan-ilahi. Bunyi itu tidak hanya seperti “embusan” yang lembut dan membuai, melainkan seperti “tiupan angin keras dan memenuhi seluruh ruangan”. Kiranya hal ini menunjuk pada sebuah “dorongan” dan “daya-kekuatan-ilahi” yang luar biasa yang membuat siapa pun yang mendengar dan mengalaminya tidak bisa tidak menjadi “bangkit” dan “bergerak”. Secara parallel (sejajar), dalam ay. 3 ditegaskan kembali oleh Lukas bahwa Roh Kudus yang turun sebagai bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh ruangan itu juga tampak sebagai “lidah-lidah seperti nyala api bertebaran dan hinggap pada mereka masing- masing”. Dalam perspektif simbolis mengenai Roh Kudus, gambaran “lidah-lidah seperti nyala api” yang bertebaran dan hinggap pada para rasul itu memiliki nuansa makna yang amat indi- vidual. Conzelmann menafsirkan fenomen ini secara menarik. Gambaran pencurahan Roh Kudus kepada para rasul tersebut mengisyaratkan bahwa Roh Kudus memang masuk ke dalam diri para rasul, dan bukan hanya melingkupi kepala mereka seperti sebuah lingkaran halo. Seca- ra kualitatif, gambaran ini memberikan pengertian bahwa Roh Kudus yang merupakan “daya- kekuatan-ilahi” yang hebat itu sungguh-sungguh masuk dan mendorong dari dalam diri para rasul. Haenchen menegaskan bahwa dengan cara itulah, Roh Kudus sungguh-sungguh dicurah- kan kepada para rasul secara pribadi, bukan hanya melalui pendengaran dan penglihatan, mela- inkan melalui pengalaman pribadi dari dalam. Roh Kudus sebagai daya-kekuatan-ilahi yang masuk dan mendorong dari dalam diri para rasul itu secara tegas dirumuskan oleh Lukas dalam teks dengan mengatakan, “maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus” (ay. 4a). Fenomen yang digambarkan dalam ay. 2 dan 3 sebagai “bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah” dan “lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing” bukan hanya melingkupi dan memenuhi ruang dan tempat, tetapi masuk secara personal ke dalam pribadi, ke dalam seluruh kehidupan para rasul. Ay. 4a dengan tegas dan jelas mengungkapkan kenyataan ini. Daya-kekuatan Roh Kudus itu membuat para rasul mampu memberikan kesaksian dan mewartakan pengalaman iman dan hubungan pribadi mereka dengan Yesus Kristus. Ay. 4b melukiskan pengalaman awal ini dengan gambaran bahwa “mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain”. Berkat daya-kekuatan Roh Kudus, para rasul mampu berkata-kata. Yang dikatakan dan diwartakan oleh para rasul pasti bukan pengalaman sembarangan, melainkan pe- ngalaman iman akan hubungan mereka dengan Yesus Kristus, sebab dijelaskan dalam ay. 4c bahwa mereka berkata-kata “seperti diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakan- nya”. Yang dikatakan dan diwartakan adalah “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (ay. 11b). Dengan demikian, selain menjadi “dorongan” dan “daya-kekuatan-ilahi” yang menggerakkan, Roh Kudus sebagaimana digambarkan dalam Kis 2:1-13 dapat pula dimengerti sebagai “daya- dinamis” dan “daya-kreatif”. Hal ini secara tekstual terungkap dalam ay. 6, “Ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak.” Roh Kudus yang digambarkan sebagai “bunyi” yang meme- nuhi seluruh tempat para rasul duduk itu ternyata juga membuat dan menggerakkan orang banyak untuk “berkerumun”. Lebih lanjut, peranan Roh Kudus yang menjadi “daya-dinamis” dan “daya- kreatif” itu tampak dalam ay. 14. Roh Kudus sebagai “daya-dinamis” membuat Petrus bukan ha- nya “bangkit berdiri”, melainkan “dengan suara nyaring ia berkata kepada mereka”. Pengalaman ini tidak bisa dilepaskan dari janji Yesus Kristus dalam Kis 1:8, yang mengatakan bahwa para ra- sul akan menerima “kuasa” (dynamis), kalau Roh Kudus turun ke atas mereka, sehingga mereka akan menjadi saksi Kristus di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi [kutipan dari Aloys B. Purnomo, Pr., Roh Kudus Jiwa Gereja yang Hidup (Yogyakarta: Kani- sius, 1998), hlm. 20f.].

2. Perbedaan antara ‘Baptisan’ dan ‘Kepenuhan’ Roh Apa yang terjadi pada hari Pentakosta ialah bahwa Yesus ‘mencurahkan’ Roh dari sorga dan dengan demikian ‘membaptis dengan Roh’, pertama-tama 120 orang, kemudian 3.000 orang. Buah baptisan Roh ini ialah bahwa ‘penuhlah mereka dengan Roh Kudus’ (Kis 2:4). Jadi, kepenuhan Roh adalah akibat dari baptisan Roh. Baptisan itulah --- yakni apa --- yang Yesus perbuat (mencurahkan Roh dari sorga), kepenuhan itulah --- yakni apa --- yang mereka terima. Baptisan adalah pengalaman permulaan yang khusus, kepenuhan dimaksud sebagai akibat tepat, yang terus-menerus, menjadi patokan. Sebagai kejadian permulaan, baptisan tidak diulangi dan tidak dapat hilang, tapi pemenuhan dapat diulangi, dan bagaimanapun juga perlu dipertahankan. Jika tidak dipertahankan akan hilang. Jika hilang, dapat ditemukan lagi [kutipan dari John Stott, Baptisan dan Kepenuhan, terj. (Jakarta: YKBK/OMF, 1999), hlm. 56f; huruf-huruf tebal oleh NR]. Baptism and the gift of Spirit do not invariably coincide. The Acts of the Apostles . . . tell us of the mission to Samaria (8:4-17), the conversion of the centurion Cornelius at Caesarea (Acts 10) and Paul’s meeting with the converted disciples of John (Acts 19:1-7) --- all cases in which the Spirit was given without baptism or before baptism. Someone who is baptized in the name of Jesus may be sure that he is living, as it were, within the Spirit’s forcefield, but baptism does not canalize the action of the Spirit. [ . . . ] It is necessary for Christianity to remember from time to time that the Spirit is not under its control. This is not contradicted by the primitive Church’s habit of speaking, as it soon began to do, of the “gift” of the Spirit (cf. Lk 11:13, and so on). What is implied by this is that the normal, long-term environment of the Christian is the sphere of action of Spirit, the presence of Christ. But the gift of the Spirit remains God’s gift; only he can give it and make it fruitful [kutipan dari The Common Catechism, A Book of Christian Faith (New York: Seabury, 1975), pp. 227f.]. EXPOSING THE MYTH You may remember that our Lord said: “For John truly baptized with water, but you shall be baptized with the Holy Spirit not many days from now” (Acts 1:5 NKJV). But on the Day of Pentecost, does Scripture say, “And they were all baptized with the Holy Spirit”? No! It says they were all “filled” with the Holy Spirit (see Acts 2:4). Why? Because these men [sic.] were going to be speaking in other tongues (not unknown tongues; they were going to speak in known languages), and they were going to serve. And in order for them to serve, they needed the experience of the filling of the Spirit. The baptism of the Holy Spirit is never related to experience. Someone wonder, “Weren’t they baptized, too?” Of course they were, but the point is they were going to serve, and in order to serve they had to be filled. The baptism of the Holy Spirit hasn’t anything to do with the service or experience. The filling is the experience, and it is for service. If you read some older commentaries, you might notice that the writers sometimes use the word “baptize” to mean “filling”. But that was back in the days when you did not have to be as sharp with terms, because there were not these groups as we have today that go off on tangents trying to make the word “baptize” mean something it doesn’t. That’s how the whole business of “seeking the baptism of the Holy Spirit” got started. And among those who teach that we ought to be seeking our baptism, many misrepresent the rest of us by suggesting that we don’t believe baptism is necessary at all! I believe that the baptism of the Holy Spirit is essential. In fact, you’re not a believer unless you’ve been baptized by the Holy Spirit. But I do not believe it is an exoerience. Every believer has been baptized by the Spirit of God. Those on the fanatical fringe ought not to misrepresent us by saying we do not believe in the baptism; we just don’t believe that it is an experience. These same people have been known to teach that we are to wait for the Holy Spirit. May I say how false it is to tell people they are to tarry for the Holy Spirit? Where did our Lord tell us to tarry? He told his apostles to wait for the Day of Pentecost --- it’s already come! It’s a matter of history, and the Spirit of God is here today. The minute any individual puts his faith in Jesus Christ, he’s regenerated, indwelt, and baptized by the Spirit of God [kutipan dari J. Vernon McGee, Through His Spirit (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2003), pp. 140f.].

Excursus:

Kecuali dalam Markus 6:17, . . . Yesus tidak pernah mengajar tentang berbicara dengan bahasa roh, dan para rasul pun tidak pernah menuntutnya sebagai keperluan yang mutlak untuk membuktikan bahwa Roh Kudus telah diterima. Tidak pernah disebutkan bahwa ketiga ribu orang yang percaya dalam Kisah para Rasul pasal 2 berkata-kata dalam bahasa roh, walaupun jelas bahwa mereka telah menerima Roh Kudus. Demikian pula halnya dengan orang lumpuh dalam Kisah para Rasul pasal 3, kelima ribu orang percaya dalam pasal 4, sida-sida dari tanah Etiopia dalam pasal 8, orang-orang percaya di Anto- khia dalam pasal 11, banyak orang percaya yang dimenangkan oleh Paulus dalam perjalanan penginjilannya yang pertama (pasal 13, 14), Lidia dan kepala penjara di Filipi dalam pasal 16. Tidak ada laporan bahwa mereka telah berkata-kata dalam bahasa roh, tetapi ada tercatat bahwa mereka semua dibaptis dengan air. Inilah yang perlu untuk menandai baptisan dengan Roh Kudus. Berkata-kata dalam bahasa roh, bilaman terjadi, penting dan patut dikemukakan, tetapi dalam masyarakat Kristen pada waktu tu bukan merupakan sesuatu yang diperlukan sebagai bukti bahwa Roh Kudus telah diberikan [kutipan dari Donald Bridge dan David Phypers, Karunia-Karunia Roh dan Jemaat, terj. (Bandung: Penerbit KH, 1984), hlm.130f.; huruf-huruf tebal dan miring oleh NR).

3. Untuk Refleksi

Kutipan dari J.L.Ch. Abineno, Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya (Jakarta: BPK-GM, 2000), hlm. 29f.) [Adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang diutarakan tadi] sering sangat dipertajam, sehingga menimbulkan hal-hal yang buruk yang merugikan. Gereja-gereja Pentakosta memperma- salahkan gereja-gereja lain (=Gereja-gereja Protestan), dan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki Roh Kudus, atau kalaupun mereka memiliki-nya, Roh itu tidak bekerja lagi, karena Ia telah mati terkungkung dalam tradisi dan institusi yang mereka miliki. Buktinya, dalam Gereja-gereja Protestan tidak ada mujizat (=penyembuhan ilahi, dan lain-lain), tidak ada glosolalia (=bahasa roh), tidak ada nubuat, tidak ada baptisan Roh, dan lain-lain. Sebaliknya Gereja-gereja Protestan mempersalahkan Gereja-gereja Pentakosta, bahwa mereka menyalahgunakan (=menyalahtafsirkan) Roh Kudus dan sering mencari realitas-Nya dengan cara emosional, individualistis dan extravagan. Buktinya, pemutusan hubungan antara mujizat dan Injil (Kerajaan Allah), penekanan yang berlebih- lebihan pada pertobatan individuil, penghargaan yang berat sebelah terhadap glosolalia (=bahasa roh), tangisan dan adegan-adegan lain yang emosional dalam kebaktian-kebaktian, dan lain-lain [ . . . ] kita harus mengadakan koreksi kedua jurusan. Pertama kepada Gereja-gereja Pentakosta kita harus katakan, bahwa Roh Kudus tidak dapat dilepaskan dari Yesus Kristus dan dianggap sebagai Oknum atau Pribadi yang berdiri sendiri. Keduanya erat berhubungan, bahkan identik. Roh Kudus, adalah Roh Kristus [Rm 8:9; Gal 4:6; Flp 1:19; 1 Ptr 1:11], Roh Anak. Di dalam Dia Kristus hadir di bumi. Kedua, kepada Gereja-gereja Protestan kita harus katakan, bahwa Roh Kudus bukan hanya “alat” Kristus. Roh Kudus bukan saja Roh Kristus, tetapi sebaliknya Kristus juga adalah Roh (2 Kor 3:17), seperti yang antara lain kita baca dalam 1 Korintus 15:45: “Adam yang akhir (=Kristus) menjadi roh yang menghi- dupkan”. Roh Kudus adalah cara baru dari presensia dan tindakan Kristus di bumi. Oleh kebangkitan- Nya Ia menjadi Oknum (=Pribadi) in action, di mana Ia --- sekarang dalam hubungan mondial --- meneruskan apa yang telah Ia kerjakan dalam hidup-Nya di dunia [ . . . ] Timbul pertanyaan: Kalau demikian bolehkah kita menganggap Roh Kudus sebagi pribadi atau tidak? Patterson (dalam Pelajaran tentang Roh Kudus, 1971) mengatakan: “Ya, boleh, malahan harus Roh Kudus adalah Pribadi Ilahi yang ketiga” [ . . . ] Timbul pertanyaan: Kalau demikian bagaimanakah “identitas” Roh Kudus dan Kristus berada dalam kemuliaan harus kita pikirkan? Telah kita bahas bahwa baik Gereja-gereja Protestan, maupun Gereja- gereja Pentakosta tidak mau mengakui identitas itu. Mereka lebih banyak berkata-kata tentang identitas dan fungsi Kristus dan Roh Kudus. Hal ini . . . tidak mungkin. Memang Roh Kudus bukan hanya “nama lain” dari Kristus yang berada dalam kemuliaan, melainkan Ia bertindak di bumi, sesudah Kristus “naik ke sorga”. Sungguhpun demikian Ia bukan Oknum atau Pribadi yang otonom. Ia adalah “predikat” yang menerangkan pekerjaan Allah dan Kristus dan bagaimana caranya pekerjaan itu dilakukan.

- - - NR - - -

1 Pet 5 : 1 – 5

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Tidak banyak bagian Alkitab yang berbicara tentang para penatua dan sekaligus menunjukkan betapa pentingnya peranan para penatua/tua-tua dalam Jemaat, khususnya dalam gereja perda- na. Di sini jugalah letak pentingnya perikop bacaan kita sekarang ini. Tambahan pula, yang menulis surat ini adalah Petrus, “camat”-nya para rasul, yang dalam suratnya ini menyatakan dirinya sebagai “teman penatua” (Inggris: a fellow elder). Jabatan penatua mempunyai asal-usul dari lingkungan agama dan masyarakat Yahudi. Per- tama kali jabatan ini dikenal ialah ketika Musa mengangkat 70 orang untuk ikut memimpin umat Israel dan kepada mereka ini dikaruniai Roh Allah (Bil 11:16-30). Sejak itulah jabatan “tua-tua/penatua” menjadi fungsi yang tetap/permanen dalam kehidupan bermasyarakat orang- orang Israel/Yahudi. Memasuki zaman Perjanjian Baru, penatua/tua-tua merupakan jabatan dasar (Inggris: basic office) dalam jemaat perdana [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Letters of James and Peter (Edinburgh: the Saint Andrew, 1987), 262ff.]. Informasi: Sesudah masa pengembaraan di padang gurun, kelihatannya tiap kota [dan desa] mempunyai lembaga pemerintahan sendiri yg terdiri dari para tua-tua, yg menurut Kitab Ul berfungsi sebagai hakim dalam menahan para pembunuh (Ul 19:12), menjalankan pemeriksaan (Ul 21:2), dan menyelesaikan pertikaian perni- kahan (Ul 22:15; 25:7). . . . Jumlah mereka berbeda-beda . . . dan mereka dihu- bungkan dengan pejabat-pejabat sipil yg lain, mis kepala-kepala suku (Ul 5:23; 29:10) dan para pengatur pasukan dan para hakim (Yos 8:33). Mungkin kata ‘tua- tua’ merupakan kata umum untuk lembaga pemerintahan dan mencakup bebera- pa dari pejabat-pejabat ini. . . . Pada mulanya kekuasaan mereka bersifat sipil, tetapi pada zaman PB tua- tua bangsa Yahudi (presbuteroi tou Laou) sama-sama berkuasa dengan para i- mam kepala (Mat 21:23) dalam memutuskan soal-soal agama, dan jika perlu da- lam mengucilkan orang dari rumah sembahyang Yahudi [kutipan dari Ensiklopedi Alki- tab Masa Kini, Jilid II (Jakarta: YKBK/OMF, 1995), hlm. 493].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 1: “teman penatua” --- menyatakan bahwa Petrus tidak menempatkan diri sebagai yang lebih tinggi derajatnya dari para penatua, tetapi sebagai rekan. Dengan itu tersirat pula bahwa Petrus tidak merasa sebagai yang utama dalam hubungannya dengan para ra- sul lainnya, terlepas dari penugasan khasnya dari Yesus (bnd. Yoh 21:15 dst). Nampak juga di sini betapa Petrus telah berubah --- dari seorang yang tadinya suka “ngomong” dan “sok bisa/menampilkan diri”, kini menjadi seorang yang rendah hati. “saksi penderitaan Kristus” --- malah lebih dari itu, Petrus juga saksi untuk pembangkitanNya dan ketuangan Roh Kudus (Pentakosta). Terlepas dari penyangkalan- nya terhadap Yesus, tetapi cinta kasihnya kepadaNya tidak diragukan. Justru karena inilah maka kepadanya Yesus mengamanatkan untuk menggembalakan domba-dombaNya (Yoh 21:15 dst). Lalu dari pihak Yesus sendiri: “the constraining power of the love of Christ no doubt gave Peter his pastoral concern” “mendapat bagian dalam kemuliaan . . . kelak” --- seperti yang telah sekelu- mit dialaminya dalam pemuliaan Yesus di gunung (Mrk 9:28). Dengan itu Petrus menyu- lut pengharapan dan ketahanan beriman bagi orang-orang Kristen yang menderita. Juga ini menggambarkan wataknya: “he is a man of invincible hope” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari The Interpreter’s Bible, Vol. XII (Nashville, Tenn.: Abingdon, 1957), “Exposition”, p. 148].
2.2. Ayat 2: “gembalakanlah” --- bisa diperkirakan bahwa dalam menyampaikan seruan ini, Petrus tentunya teringat akan amanat Yesus yang telah bangkit dan yang ditujukan kepa- danya untuk menggembalakan domba-dombaNya (Yoh. 21:15 dst). Bukan itu saja, ia tentunya teringat perumpamaan anak domba yang hilang, di mana Yesus menggambarkan diriNya sebagai sang gembala tersebut, bahkan yang rela menyabung nyawanya untuk menyelamatkan domba-dombanya (Mat 18:12-14; Luk 15:4-7). Bersama dengan para murid yang lain, ia diutus oleh Yesus untuk mencari “domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat 10: 6). Petrus mestinya memahami perasaan belas kasihan Yesus yang melihat orang banyak bagaikan “domba yang tak bergembala” (Mat 9:36; Mrk 6:34). Di atas semuanya ini, Yesus melihat diriNya sebagai gembala yang baik, yang “memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh 10:1-18). Dengan latar belakang ini semua, maka dari seruan ini pula tersirat pandangan Petrus tentang jabatan gembala [jemaat], “being a shepherd of the flocks of Christ was . . . the greatest privilege that a servant of Christ could enjoy” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Barclay, op. cit., pp. 269f.]. Informasi: Dalam PB tugas Mesias adalah menjadi Gembala, bahkan Gembala Agung (Ibr 13:20; 1 Ptr 2:25; 5:4). Hal ini diuraikan secara rinci dalam Yoh 10 dan rinciannya sepadan dengan Yeh 34. . . . Ajaran mengenai Diri Mesias, yang diumpamakan pintu (gembala sering tidur tepat di mulut pintu atau di mulut tembok) terkait dengan Gembala yang baik, tapi bertentangan dengan gemba- la upahan yg tidak becus. Injil Yoh menggarisbawahi hubungan Mesias de- ngan para pengikut-Nya dan Allah; ihwal menyatukan ‘domba-domba lain’ menjadi satu kawanan dengan domba-domba lainnya (ay 16); dan menolak orang-orang yg bukan domba yg sungguh dari Mesias itu [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, hlm 331]. “jangan dengan paksa . . . kehendak Allah” --- seruan ini menyiratkan bahwa menjadi penatua berarti menempati suatu jabatan yang dihormati. Ungkapan “sesuai de- ngan kehendak Allah” berkaitan erat dengan ungkapan “dengan sukarela”. Itu berarti bah- wa para penatua hendaknya melayani, bukan untuk keuntungan/kepuasan diri pribadi ma- sing-masing, tetapi sebagai para sukarelawan dalam mengemban pelayanan (“service”) yang diberikan oleh Allah. Ungkapan “mencari keuntungan” menyiratkan bahwa jabatan penatua bisa disalahgunakan untuk mencari keuntungan. Merujuk kepada 1 Tim 5:17 dst, maka pada waktu itu sudah diberlakukan suatu sistem pengupahan bagi para pelayan gere- jawi. Ini juga tersirat dalam isi surat Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Kor 9:7-11) [Sumber: J.N.D. Kelly, A Commentary on the Epistles of Peter and Jude (London: Adam & Charles Black, 1969), pp. 200f.].
2.3. Ayat 3: “Janganlah . . . mau memerintah . . . menjadi teladan” --- Jelas Petrus di sini mengingatkan para penatua agar tidak menyalahgunakan wewenang (otoritas) mereka. Melatar belakangi seruan Petrus di sini adalah peringatan Yesus sendiri, seperti yang ter- catat dalam Mrk 10:42 dst. “The will-to-power motive belongs to the world; it should have no place in the Church.” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari C.E.B. Cranfield, I & II Peter and Jude (London: SCM, 1960), pp. 129f.].
2.4. Ayat 4: Sesudah menyampaikan ketiga seruan tadi, sekarang Petrus menyampaikan janji, “apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak da- pat layu.” “Mahkota” adalah tanda penghargaan tertinggi dari Allah bagi manusia --- “the promised eschatological reward” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Kelly, op. cit., p. 203].
- - - NR - - -