14 April 2008

Ayub 33 : 14 – 30

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

Thema kitab Ayub ialah “PERSOALAN PENDERITAAN MANUSIA YANG SALEH”. Me- ngapa orang yang baik atau saleh itu harus menderita? Pada umumnya dalam kepercayaan orang Yehuda dan di dalam sastera hokmah (hikmat) Yehuda terdapat konsepsi dasar bahwa Allah menghukum orang yang bersalah dan fasik, sehingga mereka menderita, sedangkan Allah menyayangi orang yang benar dan saleh. Dengan menonjolkan tokoh Ayub, penulis mau menyatakan bahwa kepercayaan orang Ye- huda selama ini tidaklah selalu benar, sebab kenyataan dalam hidup sehari-hari ialah bahwa orang-orang benar yang selalu hidup menurut kehendak Allah, namun demikian mereka men- derita. Dalam diskusi antara Ayub dengan kawan-kawannya penulis ingin mencari jawaban terhadap persoalan ini, akan tetapi ternyata penulis sendiri tidak menemukan jalan keluar. Akhirnya dia tiba pada kesimpulan bahwa semuanya itu adalah kehendak Allah yang terlalu tinggi bagi manusia untuk bisa dimengerti [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 150f.]. Informasi: What can we learn from Job’s [three] friends? Job’s friends came to console him by sharing in his grief. But they soon began to accuse him, rigidly applying general principles to Job’s specific situation. By dis- torting the truth in this way, Job’s friends only added to his suffering. So what are we to make of the large sections of this book that come from the lips of Job’s [three] friends (15 chapters compared to 20 for Job)? How much of what they say is true? How can we tell they distort or misapply the truth and arrive at a wrong conclusion? The key to a correct understanding of these passages in Job is context. Taken apart from the rest of the book (as well as the rest of the Bible), the words of Eli- phaz and the others can be misleading. For example, when Eliphaz suggests that the innocent and the upright are never destroyed (4:7), we should remember that the Bible as a whole teaches that the righteous may at times suffer undeserved calamities, persecutions or even death (see Luke 13:1-5). On the other hand when Eliphaz says that God performs wonders that cannot be fathomed, miracles that cannot be counted (5:9), we can se the thought to be consistent with the rest of the Bible. Even Job echoes the same words (9:10). Beyond comparing what Job’s friends say with the rest of the Bible, we can learn from their faulty logic. If sin causes suffering, they reasoned, then all suffer- ing must be caused by sin. Not so. Jesus contradicted such simplistic explanations when he showed his disciples that some suffering comes not because of sin, but to bring glory to God (John 9:1-3). We can also learn from the example of Job’s [three] friends that we should not pass judgment on those who suffer. Rather than attempt to offer short-sighted ex- planations, Job’s friends would have helped Job more to simply share his grief and admit that they did not know all the “whys” of life [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 710]. Fasal 32-37: Elihu, kawan yang keempat, muncul dengan mengatakan bahwa selain Allah bi- sa memberi penderitaan, agar orang yang berdosa itu bertobat, maka Allah juga bisa memberi penderitaan kepada orang saleh untuk mencobai mereka [kutipan dari Blommen- daal, op. cit., hlm. 152].

Informasi:

Ciri khas pembicaraan-pembicaraan Elihu ialah, suasana hormat yg khudu kepada Allah, pandangan yg lebih dalam mengenai dosa daripada yang terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan kawan-kawan yang lain [Elifas, Bildad dan Zo- far]; tampilnya Allah selaku Guru (35:11; 36:22) yg bermaksud untuk menuntun manusia dengan disiplin penderitaan ke suatu peri-kehidupan yg lebih bijaksana. [Prof.] Budde mempertahankan bahwa fungsi yg tertinggi dari pembicaraan- pembicaraan itu ialah untuk menyingkapkan sifat Ayub yg dapat sangat berbaha- ya --- kecongkakan rohani (33:17; 35:12). Bahwasanya penderitaan menyembuh- kan memang tampil dalam pembicaraan-pembicaraan lain, tapi bukan dengan te- kanan yang sama [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 2 (Jakarta: YKBK/OMF, 2004), hlm. 100f.].

2. Eksposisi

Ayat 13-14: Apa faedahnya jika tak seorang pun tahu kalau Allah “berfirman”? Elihu menyatakan bahwa orang-orang mungkin saja tidak menyadari kalau Allah berfirman kepada mereka. Pada saat yang sama ia menyadari bahwa Allah “dapat menghalangi manusia dari perbuatannya [yang salah]” (ayat 17), betapa pun firmanNya tidak didengar/dipahami. “It is sometimes hard to hear God’s voice in the busyness of life, but God always hears our con- cerns, even when he sometimes appears silent or hidden” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Quest Study Bible, p. 743]. Ayat 14-17: Dengan kiat apa Allah mengingatkan perbuatan yang salah? Menurut Elihu, Allah berbicara dalam berbagai cara, termasuk melalui penglihatan (visi) atau mimpi.. Semuanya ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang terhadap perbuatan mereka yang salah. Contoh, Abimelekh (Kej 20:3) dan Laban (Kej 31:24) diperingati Tuhan melalui mimpi. Excursus: What does ancient visions mean to us today? The visions of the Old Testament prophets often were the means by which they received the word from the Lord. Because these visions were revelations from God they can benefit us centuries after they were first given. First, we can observe what the visions did for the people who originally re- ceived them. As they were inspired or challenged, so can we. Often God reveals principles that apply to many different situations even though specific details may change. Second, many visions contained revelation from God that transcended imme- diate circumstances. Prophecy about a coming glorious age, for example, was understood by the original listeners to mean a prosperous future for Israel. But it may refer to God’s eternal plans for his people, and is thus relevant to us today [kutipan dari Ibid., p. 1361]. Does God [still] speak through visions and dreams? God still can communicate in any way he chooses [bnd. Ayb 33:14-15]. Some believe he continues to send special revelations, especially to those with the gift of prophecy and that these must be interpreted within strict guidelines (1 Cor. 14:26- 33). Others believe that the need for such revelations ceased after the early days of the church, when every Christians began to be guided personally by the Holy Spirit and the written Scriptures (John 16:13). Evaluating people’s claims that they have had dreams or visions from God must be done carefully. The Law of Moses demanded the death penalty for the false interpreters of dreams who tried to mislead God’s people (Deut. 13:1-5). Even Daniel knew his abilities were limited; he had to ask God for the meaning of Nebuchadnezzar’s dream (2:18-19) and needed help to interpret his own visions (7:15-16; 8:15-16) [kutipan dari Ibid., p. 1262]. Ayat 19: Bagaimana caranya penderitaan menegur kita? Penderitaan dapat merupakan sarana dengan mana kita berpaling kepada Allah, setelah kita memeriksa dan menyadari keadaan diri kita. Dengan merujuk kasus Ayub, maka penderitaan tidak harus bersifat sebagai hukuman atau pembalasan atas dosa kita. Kadang-kadang pende- ritaan bersifat mendidik. Ayat 28: Di dalam PL juga sudah ada harapan akan kebangkitan orang mati . . ., sekali- pun gambaran orang beriman mengenai maut adalah suram sekali . . . Hal ini semuanya men- jadikan orang saleh takut akan mati. Mereka berharap jangan sampai mati pada pertengahan umur hidupnya (Mzm 102:24,25), dan mereka yakin, bahwa umur orang jahat disingkatkan (Ams 10:27) [ . . . ] Sekalipun demikian, di dalam PL ada keyakinan bahwa keadaan orang di dalam alam maut itu tidak sama . . . Mati bukannya dipandang sebagai suatu nasib yang tak dapat diatasi. Tuhan adalah Allah yang hidup, yang lebih berkuasa daripada maut dan alam maut . . . Kuasa Tuhan itu akan dinyatakan di dalam Ia akan menelan maut dengan kemenangan (Yes 25:8), menghidupkan kembali orang beriman dan membangkitkan jenazahnya (Yes 26:19), sehingga mereka akan gemerlapan seperti terang cuaca di langit kekal selama-lamanya (Dan 12:2,3) [kutipan dari Haroen Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK-GM, 1973), hlm. 386 dst.]. Informasi: There are two Old Testament passages, both of them in the prophets, which ex- plicitly speak of the resurrection of the body. The first of these is Isaiah 26:19 . . . Isaiah here contrasts the future lot of the believing dead . . . with the lot of Judah’s enemies, about whom he had spoken in verse 14 . . . Isaiah 26:19, therefore, speaks only about the future bodily resurrection of believers --- specifically of believers among the Israelites [kutipan dari Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1979), p. 245].

3. Refleksi

Apakah memang Allah yang mengirimkan banyak kesusahan dan malapetaka kepada orang-orang percaya ? (bnd. Mzm 71:20) Penderitaan sudah merupakan bagian kehidupan dalam dunia yang berdosa ini. Manusia dapat berusaha menghindarinya, tetapi mereka tidak behasil; oleh kaena itu mereka hidup dalam ketakutan akan penderitaan dan merasa kecewa ketika mereka mengalaminya. Tuhan dapat memanggil kita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada penderitaan, sesuatu yang memberi kita kekuatan untuk menghadapi penderitaan, tanpa rasa takut. Sesuatu itu ialah hubungan kita dengan Tuhan kita yang kekal dan tidak berubah. [ . . . ] Karena teologi yang keliru, kita menjadi percaya bahwa Tuhan menghendaki agar kita semua sehat dan kaya. Tidak begitu! Alkitab tidak pernah menjanjikan bahwa seba- gai orang Kristen kita akan bebas dari pencobaan dan penderitaan . . . Sebenarnya ada saat- saat ketika Alkitab menjanjikan kepada kita justru sebaliknya! Yesus berkata, “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan (Yoh 16:33). Dan Paulus menulis: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya”; tetapi sisa ayat itu berbunyi, “dan persekutuan dalam penderitaanNya, di mana aku menjdi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (Flp 3:10). Kristus tidak berjanji akan mencegah kita dari mengalami berbagai kesulitan, tetapi Ia ber- janji akan menjagai kita dalam semua kesulitan itu. Kalau kita ingin menjadi serupa dengan Yesus, terutama kita harus dengan senang menerima apa saja yang muncul dalam hidup kita untuk membantu berlanjutnya proses [keserupaan] tersebut. Kita harus melakukan hal itu de- ngan menyadari bahwa Tuhan itu mahakuasa dan yang Ia lakukan dalam hidup kita adalah untuk kemulian-Nya [kutipan dari Pola Hidup Kristen, Penerapan Praktis, terj. (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 495 dan 499f.; kata-kata miring oleh NR]. We have trouble in the world and in our lives of humanity’s sinful nature. The book of Job, however, shows that troubles do not necessarily come in direct proportion to our sin. Troubles may come when someone else sins against us --- not always because we have committed a particular sin [kutipan dari Quest Study Bible, p. 822].

- - - NR - - -

Tidak ada komentar: