25 Oktober 2007

Empat Isteri

--- venny riana wrote:
Dahulu kala...
Ada seorang raja yang mempunyai 4 isteri.Raja ini sangat mencintai isteri keempatnya dan selalu menghadiahkannya pakaian-pakaian yang mahal dan memberinya makanan yang paling enak. Hanya yang terbaik yang akan diberikan kepada sang isteri.
Dia juga sangat memuja isteri ketiganya dan selalu memamerkannya ke pejabat-pejabat kerajaan tetangga. Itu karena dia takut suatu saat nanti, isteri ketiganya ini akan meninggalkannya.
Sang raja juga menyayangi isteri keduanya. Karena isterinya yang satu ini merupakan tempat curahan hatinya, yang akan selalu ramah, peduli dan sabar terhadapnya. Pada saat sang raja menghadapi suatu masalah, dia akan mengungkapkan isi hatinya hanya pada isteri ke dua karena dia bisa membantunya melalui masa-masa sulit itu. Isteri pertama raja adalah pasangan yang sangat setia dan telah memberikan kontribusi yang besar dalam pemeliharaan kekayaannya maupun untuk kerajaannya. Akan tetapi, si raja tidak peduli terhadap isteri pertamanya ini meskipun sang isteri begitu mencintainya, tetap saja sulit bagi sang raja untuk memperhatikan isterinya itu. Hingga suatu hari, sang raja jatuh sakit dan dia sadar bahwa kematiannya sudah dekat.
Sambil merenungi kehidupannya yang sangat mewah itu, sang raja lalu berpikir, "Saat ini aku memiliki 4 isteri disampingku, tapi ketika aku pergi, mungkin aku akan sendiri". Lalu, bertanyalah ia pada isteri keempatnya, "Sampai saat ini, aku paling mencintaimu, aku sudah menghadiahkanmu pakaian-pakaian yang paling indah dan memberi perhatian yang sangat besar hanya untukmu. Sekarang aku sekarat, apakah kau akan mengikuti dan tetap menemaniku?" "Tidak akan!" balas si isteri keempat itu, ia pun pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Jawaban isterinya itu bagaikan pisau yang begitu tepat menusuk jantungnya. Raja yang sedih itu kemudian berkata pada isteri ketiganya, "Aku sangat memujamu dengan seluruh jiwaku. Sekarang aku sekarat, apakah kau tetap mengikuti dan selalu bersamaku?" "Tidak!" sahut sang isteri. "Hidup ini begitu indah! Saat kau meninggal, akupun akan menikah kembali!" Perasaan sang rajapun hampa dan membeku. Beberapa saat kemudian, sang raja bertanya pada isteri keduanya, " Selama ini, bila aku membutuhkanmu, kau selalu ada untukku. Jika nanti aku meninggal, apakah kau akan mengikuti dan terus disampingku?" "Maafkan aku, untuk kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaaanmu!" jawab isteri keduanya. "Yang bisa aku lakukan, hanyalah ikut menemanimu menuju pemakamanmu." Lagi-lagi, jawaban si isteri bagaikan petir yang menyambar dan menghancurkan hatinya. Tiba-tiba, sebuah suara berkata: "Aku akan bersamamu dan menemanimu kemanapun kau pergi." Sang raja menolehkan kepalanya mencari-cari siapa yang berbicara dan terlihatlah olehnya isteri pertamanya. Dia kelihatan begitu kurus, seperti menderita kekurangan gizi. Dengan penyesalan yang sangat mendalam kesedihan yang amat sangat, sang raja berkata sendu, "Seharusnya aku lebih memperhatikanmu saat aku m asih punya banyak kesempatan!"

Dalam realitanya, sesungguhnya kita semua mempunyai '4 isteri' dalam hidup kita.... 'Isteri keempat' kita adalah tubuh kita. Tidak peduli berapa banyak waktu dan usaha yang kita habiskan untuk membuatnya terlihat bagus, tetap saja dia akan meninggalkan kita saat kita meninggal. Kemudian 'Isteri ketiga' kita adalah ambisi, kedudukan dan kekayaan kita. Saat kita meninggal, semua itu pasti akan jatuh ke tangan orang lain. Sedangkan 'isteri kedua' kita adalah keluarga dan teman-teman kita. Tak peduli berapa lama waktu yang sudah dihabiskan bersama kita, tetap saja mereka hanya bisa menemani dan mengiringi kita hingga ke pemakaman. Dan akhirnya 'isteri pertama' kita adalah jiwa, roh, iman kita, yang sering terabaikan karena sibuk memburu kekayaan, kekuasaan, dan kepuasan nafsu. Padahal, jiwa, roh, atau iman inilah yang akan mengikuti kita kemanapun kita pergi.
Jadi perhatikan, tanamkan dan simpan baik-baik dalam hatimu sekarang! Hanya inilah hal terbaik yang bisa kau tunjukkan pada dunia. Let it Shine!


Dear Sis Venny: Thanks a lot untuk kisahnya. Saya belajar banyak . . . terutama
tentang jenis-jenis "isteri".

Mohon maaf, tetapi ada pertanyaan 'kecil'dari saya: Apakah "4 wifes" (sic.) bisa
diganti/diterapkan untuk "4 husbands'? He, he, he . . .

Maksudnya, agar "gender-wise" dan tentunyasang raja jadinya adalah perempuan.

Gbu,
NR

24 Oktober 2007

Renungan Hari Pengentasan Kemiskinan Sedunia

Johny_Sirait@wvi.org wrote:
> Renungan Hari Pengentasan Kemiskinan Sedunia
Rekan-rekan dalam Kristus, Berikut ini saya share renungan tentang Hari Pengentasan Kemiskinan Sedunia yang dicanangkan PBB beberapa tahun yang lalu karena keprihatinan terhadap kemiskinan global yang tidak pernah teratasi. Kiranya menjadi berkat. Salam saya, Tri
17 Oktober

Lukas 4:18-19 Hari Pengentasan Kemiskinan Sedunia Pada waktu umat manusia memasuki millennium yang ketiga, seperempat penduduk dunia hidup dalam kemiskinan. Betapa sangat relevannya rumusan missi Tuhan Yesus itu yang menjadikan masalah kemiskinan sebagai pusat pelayananNya. Juga sewaktu ke-Mesias-anNya dipertanyakan, maka kepedulian kepada mereka yang miskin, yang sakit dan terlupakan dipakainya sebagai landasan pembenarnya (Lukas 7:18-23). Alkitab tidak memandang kemiskinan sebagai kekurangan secara sosial ekonomis semata-mata. Kuasa kemiskinan akan bekerja sedemikian rupa sampai manusia benar-benar kehilangan martabatnya dan tidak lagi mencerminkan kemuliaan Allah penciptanya. Kemiskinan adalah juga ketidakberdayaan dan ketiadaan harapan akan hari esok. Hidup kekal menjadi terlalu mewah karena hidup hari ini sudah sedemikian mahalnya. Hal itu tercermin dalam aneka ragam kosa kata tentang kemiskinan. Secara implisit, dapat diperkirakan bahwa Alkitab melakukan analisa sosial tentang sebab musabab kemiskinan dan menjelaskan gejala-gejala yang berkaitan dengan kemiskinan itu. Kosa kata yang digunakan di dalam Alkitab, terutama dalam Perjanjian Lama tentang kemiskinan antara lain adalah CHASER, yang arti harafiahnya adalah kekurangan, Ayub 30:3,Ul 28: 57; YARASH, yang berarti tidak mempunyai harta milik, tidak mempunyai apa-apa, 2 Sam 12:1-4, Am13: 8, Am 13:23, 14:20, 19:4; DAL, yang berarti lemah, rapuh dan rentan, 2 Raja 24:14, 25:12, Am 10:15, Kej 41:19; EBYON, yang berarti ketergantungan, Ayub 5:15-16, Amos 4:1 Kel 23:11, Ul 15:4 dan kata yang paling sering dipakai, ANI. Secara harafiah kata ini berarti orang yang harus membungkuk pada waktu berurusan dengan orang lain, yang menggambarkan hubungan yang opresif, bernuansa penindasan dan berwarna ketidakadilan, Amos 2:6-7, Am 18:23. Alkitab memandang kemiskinan sebagai suatu realitas yang kompleks ditandai dengan tata hubungan yang tidak adil. Orang percaya dipanggil untuk menyikapinya secara tuntas, baik melalui perbuatan baik (amal), berbagi (koinonia), membangun dan mengubah tata kehidupan bersama (transformasi). Namun, berbeda dari falsafah pengentasan kemiskinan sekuler yang memusatkan usahanya pada analasis masalah kemiskinan dan penghapusannya, Alkitab menunjukkan tujuan akhir penanggulangan kemiskinan. Wahyu 21:24-26 menantikan datangnya suatu ketika pada waktu para raja dan penguasa menghadap Allah sang Pencipta dengan membawa kekayaan dan kemuliaan bangsa-bangsa. Hal ini tidak mungkin terjadi bila lebih dari 1/4 tiga penduduk dunia dan 3/4 bangsa di dunia hidup dalam kemiskinan. Pengentasan mempunyai wawasan eskatologis. Memang, pengentasan kemiskinan mempunyai dimensi spiritual. Tugas itu terlalu mulia untuk dilakukan hanya oleh lembaga-lembaga sekuler saja, baik pemerintah, antar pemerintah maupun LSM. Selain karena kemiskinan itu bertentangan dengan cita-cita Allah sewaktu Ia menciptakan alam semesta, lebih jauh dari itu, Allah menghendaki pada akhir jaman nanti, bangsa-bangsa menghadap hadiratnya dengan membawa kemuliaan dan kekayaan mereka. Rencana keselamatan Allah bukan hanya membawa jiwa-jiwa ke dalam surga, tetapi bangsa-bangsa menghadap hadiratnya dengan mempersembahkan kemuliaan dan kekayaannya.

22 Oktober 2007

Muslim secularism and its allies

by Ali Eteraz
Guardian Unlimited 10-17-2007

I was not aware how thoroughly awash in Islamist propaganda members of the western public are until yesterday when I called for a Muslim left. I made a straightforward introduction to an authentic version of Muslim secularism, identified primarily by its affirmation of separating mosque from state. Its goal would be to ally with secular humanists and liberal nationalists in the Muslim world. Together, they would challenge the growing influence of the Muslim right, ie political Islam, which has replaced nationalism and one-party Marxism as the newest form of illiberalism in the Muslim world. Yet across blogs and listserves, most of the feedback has been negative, with some chiding the ideas as far-fetched and impossible. The New York Times's Opinionator blog was one of the few to show some sense.

It is as if people cannot conceive of Islams that are other than ideological. Let me be even more blunt: westerners, with neither an appreciation of Muslim history nor of current trends in the Muslim world, inspired only by fatuous slogans ("Reform Islam!"; "Where is my Islamic Enlightenment!"), are in a de facto alliance with the Muslim right, because they refuse to entertain the possibility of any other kind of Islam beyond Islamism.

Show people the way towards an Islam that doesn't have political aspirations and their first impulse is to start defending Qutb and Mawdudi as if their life depended on it. The cynic in me blames our new pundit class which requires the perpetuation of Muslim devilry to continue turning a buck. Then again, perhaps we're just dealing with "realists" who simply are hungry for facts.

Let's start by looking at the Egyptian Muslim Brotherhood's newly-released platform. I think it is obvious that the most problematic issue with it - besides the alienation of minorities and women - is that it seeks to establish "a board of Muslim clerics to oversee the government". This is illiberal.

We can further see that the Muslim right wants to use the vote, instead of the revolution, to empower such a board of clerics.

The aspiration for this board of clerics represents the heart of the Muslim right. The most glaring way, then, to identify an Islamist is if he or she agitates for such an institution. Once such an institution is set up, all other Islamist social programmes - anti-woman, anti-minority, anti-modernity legal schemes - will be approved, while all anti-Islamist programmes and 21st century human rights schemes will be struck down.

Among friends I off-handedly refer to the desire for such a clerical oligarchy as "the Iran problem". This is not because it has anything to do with Shi'a Islam, but because Iran is the world's pre-eminent Muslim state using such a clerical watch-dog institution.

However, if one wants to be be historically accurate, this theo-oligarchic system should really be called "the Pakistan problem" because before Khomeini imposed such a council in 1979 Iran, Pakistan had set up a Council of Islamic Ideology in 1962. (My suspicion is that Khomeini, born into an Indian-Persian family, probably got his idea by looking at Pakistan).

Furthermore, if open polls are done across Gulf and African Muslim nations, there will be significant support for a political system that provides for the Iran model. It will be a democracy sure; but one that is then overseen by a "board of Muslim clerics". In other words, an illiberal democracy. Just last year, in an Angus Reid poll of the Palestinian population, the Palestinians favoured precisely this "Iran model" of government (37%; the US model received 25%; Caliphate got 14%).

There are a few reasons this model finds support in the Muslim world. One is that the Muslim right has been the most active grassroots Muslim movement over the last 70 years. Second, because the Muslim right willingly became a tool of the west to get paid. The last is that Muslims who do not support "the Iran model" have become completely sidelined and meek (a case of not having political, financial, or intellectual backers).

It is to challenge the heart of Islamism - that clerical institution - that yesterday in my call for a Muslim left, point number one of the platform called directly for a "separation of mosque and state". Meanwhile, point number eight went further and stated that the Muslim left would be committed to "opposing any and all calls for a 'council of religious experts' that can oversee legislation".

I then concluded the post by promising to identify people on the Muslim left, though I didn't set forth a criterion to use, which prompted some to speculate that the list might be arbitrary.

In light of the centrality of "the Iran model" to Islamism, I propose that if one is going to identify people who qualify to be on the Muslim left, a good substantive yardstick to use is if they oppose the "Iran model" of governance. This is better than using "democracy" as the parameter because The Brotherhood's document and Iran's example both show that that "democracy" can mean just about anything today; even, Kafkaesquely, theocratic-oligarchy.

So, why not begin the search for Muslim leftists by looking inside Iran? Then, perhaps, we can trail that trend outward into other Muslim countries.

The first person that comes to mind is friend of the late Richard Rorty, Akbar Ganji, the journalist, activist and lawyer, of "Freedom is not free" fame. In the western media, his presence is consigned to smaller, more "intellectual" magazines. Yet Middle Eastern journalists recognise his name quite well. Ganji is the most important of the Muslim secularists in Iran today. Others like him include Shirin Ebadi, the Nobel Prize winner, and Rahim Jahanbegloo, called "the Iranian Gandhi" for his non-violent approach to protest. These individuals match the criteria of a Muslim leftist I laid out in yesterday's post almost to the dot. In fact, they inspired it.

But they are not the entirety of those who qualify to be on the Muslim left. Traditionalist Muslims who oppose theocracy can also be a part of the alliance. Take for example, Ayatollah Kazemeini Boroujerdi. He is not a modernist like Ganji and Ebadi. He is from the old school Shia orthodoxy. Yet he considers Khomeini's interpretation of Shi'a Islam a heresy. Boroujerdi considers the theocratic regime to have usurped the authority of the Hidden Imam, and argues that all religious laws made by the state are null and void because the clerics do not have a right to legislate. After being tortured and beaten by the regime he now leads prayers in stadiums and has made appeals to the Pope and Kofi Annan for help. Affirmation of international law is a hallmark of the Muslim left.

A man like Boroujerdi - like many Muslim traditionalists - is a libertarian. He wants his mosque and his flock without the state interfering with either. This makes him a theist who favours separation of mosque and state - ie, a Muslim secularist. He should be viewed as a Muslim equivalent of someone like Reverend Jim Wallis in the states.

Secular humanists in Europe often cry that a person cannot be religious and committed to separation of religion and state; yet the US contains many such people, and increasingly, so does the Muslim world. In fact, it will be theist Muslim secularists who will help atheist and agnostic secular humanists exist safely among Muslims.

So, the goal of the Muslim left (and people in the west who are sympathetic to its goal), is to scan the Muslim world and find all the committed Muslims who favoor liberal democracy over the illiberal version that Islamists peddle.

In conducting such a search, they will run into a diverse multitude of people. Individuals as conservative as the Grand Mufti of Egypt (a religious, but not a political position) who believes that liberal democracy is compatible with Islam, and as liberal as Abdullahi an-Naim, the Sudanese scholar of law who was once exiled from his country but is now welcome back.

It will include the immensely popular Shaykh Waheeduddin Khan in India who, being Indian and being part of a pluralist society, has naturally been an adept expositor of an Islam that is consistent with liberal democracy.

It will include Muhammad Sa'id al-Ashmawi a judge, whose attack on political Islam provoked intense reactions from the conservatives, and Muhammad Khalaf-Allah who argued that the Quran did not simply allow democracy, but required it; both in Egypt.

It will include the Indonesian Nurcholish Madjid - of "Islam yes, Islamic parties no" - who, as long ago as 1970, called for deep-seated changes to politics among Muslims, even using the term "secularism" (which he regretted later but only because it was a tactical blunder). Madjid later became a student of the Pakistani exile Fazlur Rahman, a 1963 victim of Mawdudi's persecution. Rahman, before his death, had an immense amount of influence and success in challenging political Islam, and people influenced by him to this day carry on his anti-Islamist, pro-spirituality Islamic project.

I myself have disagreements with each one of the aforementioned people on many points. However, the commitment of these Muslim secularists to liberal democracy is unerring. That is why I conceive of the Muslim left as a "big tent" rather than an ideological system.

My request, thus, to the self-appointed western defenders of Mawdudi and Qutb is to start learning about Fazlur Rahman and an-Naim instead; otherwise they are simply helping the Islamist cause maintain its media monopoly. My other request - especially towards Muslim readers - is to read the entire series. Links are conveniently placed at the bottom.

In my next - and last - post in the Islamic reform series, I will articulate some thoughts on how liberal democrats among Muslims can come to power.

18 Oktober 2007

Tema Natal PGI 2007

HIDUPLAH DENGAN BIJAKSANA, ADIL DAN BERIBADAH
(bdk.Titus 2:12b)

16 Oktober 2007

Matius 16 : 24 – 28

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar

“Mengikut” Yesus tidak lain berarti menjadi murid-Nya yang setia. Hal “mengikut” Yesus ini merupakan suatu pokok yang berulang-ulang muncul dalam ajaran Yesus, terutama dalam kitab-kitab injil sinoptis (Mat 10:38; Mrk 8:34; Luk 9:23; 14:27). Dengan itu juga, dan dari masih sejak semula, Yesus membeberkan kepada para muridNya tantangan dan kesulitan men- jadi seorang Kristen. Informasi: Sebutan “Kristen” sebenarnya tidak umum digunakan Alkitab. Hanya tiga kali sebutan itu muncul, dalam Kis 11:26 [yang memberi informasi di mana sebutan “Kristen” itu muncul untuk pertama kalinya]; 26:28 dan 1 Ptr 4:16. Sebutan lebih umum ialah murid (Kis 6:1,7; 9:36; 11:26; 19:1-4). [ . . . ] Penggunaan sebutan [“murid”] ini dapat dimengerti sebab faktanya memang Yesus memakai tradisi kemuridan tadi, namun secara lebih bermutu dan unik, memanggil para murid-Nya untuk hidup, belajar, melayani bersama Dia. Selama tiga tahun yang singkat namun sangat mendalam itu, para murid diubah-Nya dari orang tak berarti (para nelayan) bahkan sebagian dianggap sampah dan benalu (pemungut cukai), menjadi para rasul yang menggoncangkan dunia dan mengha- silkan para murid baru yang memiliki pola dan gaya hidup alternatif yang mence- ngangkan orang sezamannya dan menerbitkan harapan dalam dunia yang gelap dan mencemaskan [kutipan dari Paul Hidayat, “Hakikat Kekristenan: Kemuridan” , Sisipan San- tapan Harian, Edisi Januari-Februari 1993, hlm. 2f.]. . . . karya Yesus yang paling ditekankan oleh Matius bukanlah Yesus sebagai Tuhan ataupun Allah beserta manusia (Imanuel), melainkan Yesus yang tampil sebagai guru. Yesus dalam Injil Matius adalah guru yang mengajar dengan kuasa dan yang menunjukkan kepada murid-muridNya jalan yang “lebih benar” (5:1, bnd. 5:21). Dengan menjadi murid Yesus orang dapat melaksanakan “kebenaran yang lebih benar” itu. Tapi menjadi murid Yesus bukanlah peristiwa yang hanya berlang- sung pada zaman dulu saja. Justru karena kepada Kristus telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi (28:19), maka panggilan untuk menjadi murid harus diteruskan, juga setelah Paskah. . . . Ciri khas kemuridan . . . ialah menjadi pengi- kut Yesus, yaitu melaksanakan kehendak Allah dan mengambil bagian dalam misi Yesus (bnd. 8:23; 9:37 dst; 12:49) [kutipan dari Henk ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 80].

2. Eksposisi

Yesus berada di daerah Kaisarea Filipi (16:13), wilayah paling utara dari Palestina. Kalau Dia berjalan terus ke utara, maka Dia dan murid-muridNya akan memasuki wilayah asing. Pilihan satu-satunya ialah kembali ke selatan. Dalam hubungan itulah, maka Yesus menyam- paikan pemberitahuan pertama tentang penderitaanNya. “Ia harus ke Yerusalem dan menang- gung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu di- bunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (16:21). Dalam “setting” inilah, Yesus berkata kepada murid-muridNya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku [termasuk ikut ke Yerusa- lem], ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (ayat 24). Informasi: Caesaria Philippi marks a very significant turning-point of the Gospel story, en- compassing the recognition of the Messiah [16:16], the church that is built on that recognition, the battle in which it is locked, and the suffering and the triumph that will befall the people of God. It all begins to take shape. Caesaria Philippi is a watershed. After it come the passion predictions, and Jesus is seen as the Christ, the Son of God who must suffer. So must they. Per ardua ad astra, ‘through trials to triumph’ [kutipan dari Michael Green, The Message of Matthew (Leicester, England: IVP, 2000), p. 183]. Ada tiga hal yang seseorang harus besedia lakukan, kalau mau mengikut Yesus. Tidaklah berkelebihan untuk menganggap ketiga hal ini sebagai persyaratan menjadi “murid” Yesus, yang baru kemudian disebut secara populer sebagai orang “Kristen” (Kis 11:26).

2.1. Dia harus menyangkal dirinya. Itu berarti bahwa untuk segala waktu dalam kehidupannya dia mengatakan tidak bagi keinginan pribadinya, tetapi selalu ya bagi Allah. “To deny oneself means once, finally and for all to dethrone self and to enthrone God. . . . to ob- literate self as the dominant principle of life, and to make God the ruling principle, more, the ruling passion, of life. The life of constant self-denial is the life of constant assent to God.”

2.2. Dia harus memikul salibnya. Dengan kata lain, dia harus bersedia menanggung risiko untuk kerelaannya berkorban. Dan memang kehidupan Kristiani pada dasarnya adalah pelayanan berkorban - - - “the Christian life is the sacrificial life. . . . [it is] a life which is always concerned with others more than it is concerned with itself.” Itu bisa berarti megorbankan ambisi dan prestise pribadi. Itu bisa berarti mengorbankan kedudukan sekarang ini demi melayani Kristus dalam kepatuhan akan panggilanNya. 3.3. Dia harus mengikut Yesus [bahasa Jawa: nderek Gusti]. Itu berarti mengikuti Yesus dalam kesetiaan dan kepatuhan. “The Christian life is a constant following of our leader [Jesus], a constant obedience in thought and word and action to Jesus Christ. The Christ- ian walks in the footsteps of Christ, wherever he may lead.” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Matthew, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1979), pp. 151f.].

3. Refleksi

Seseorang menjadi murid Yesus ketika Yesus memanggilnya untuk mengikut Dia, me- ninggalkan segala sesuatu, menyangkal diri dan memikul salibNya. Bukan murid yang memilih sang Guru, tetapi Dia yang memilih seseorang untuk menjadi muridNya. Panggilan kemuridan ini saja sudah cukup untuk menyadarkan kita bahwa kemuridan ada- lah suatu anugerah yang mahal. . . . Diutarakan atau tidak, panggilan itu sudah mengandaikan pengampunan, persekutuan dan pembaruan. Dalam panggilan dan persyaratan yang Yesus uraikan kepada para murid-Nya tersirat adanya anugerah pengampunan, pencerahan dan bimbingan agar mengenal Dia lebih dalam, pelatihan untuk hidup dan melayani Dia, pengkhu- susan dan penugasan dan akhirnya perubahan hidup yang mempengaruhi dan mengubah dunia luas dalam misi-Nya. Dengan demikian kemuridan dalam pengertian yang benar bukan sekedar usaha manu- sia meniru Kristus, tetapi bukti beroperasinya anugerah panggilan-Nya yang membuahkan ketaatan dan penaklukkan diri kepada Ketuhanan-Nya. Di dalam kemuridanlah, gambar dan rupa Allah dalam diri kita yang seharusnya membuat kita menjadi replica Allah namun telah rusak oleh dosa itu, diperbaharui oleh sang Gambar dan Rupa Allah sempurna yang memu- ridkan kita kembali. [ . . . ] Jelasnya kemuridan bukanlah peniruan subjektif dangkal yang bisa menciptakan kemu- nafikan, tetapi konsekuensi logis dari mengalami panggilan anugerah Allah, campur tangan Kristus dalam kehidupan kita. . . . Hanya murid Yesuslah yang layak dan patut disebut Kristen [kutipan dari Hidayat, op. cit., hlm. 7f.].
- - - NR - - - .

Martin Luter dan Persatuan Gereja

Dear All: Di bawah ini saya posting bahan bacaan tambahan, masing-masing tentang [1] "Martin Luter dan Persatuan Gereja", yang di kirim oleh salah seorang rekan pendeta di California, USA dan [2] "Mat 16:24-28", sesuai dengan jadwal bacaan Alkitab dalam SBU, Minggu (pagi), 21/10-2007. Semoga bermanfaat dan membangun dengan "ketulusan dan kejujuran". Selamat melayani/berkhotbah. Gbu all! Wassalam,
NR

Pdt. Dr. Bob Jokiman wrote:
Tergerak mengirim artikel ini dari salah seorang anggota jemaat menjelang peringatan hari Reformasi 8-)) BJ

Menurut saya, perpecahan dari 1 gereja katolik menjadi berbagai denominasi itu tidak bisa dielakan. Kalau bukan Martin Luther waktu jaman itu, saya percaya akan ada orang lain yang melakukan reformasi. Jadi tidak usahlah terlalu berfokus pada Martin Luther saja. Lagipula, apakah segitu buruknya adanya berbagai ragam denominasi?? Adanya perbedaan denominasi itu bukan menunjukkan ego seseorang, tapi justru kebalikannya. Kenapa? Karena dengan memaksakan orang lain untuk percaya yang sama dengan kepercayaan kita (tetap 1 denominasi, walaupun banyak yang tidak setuju dengan prinsip yang ada), justru kita lah yang egois. :

-) Would it be possible that all Christians belong in the same group / denomination? Tidak mungkin. Contohnya gini. Misalnya ada seseorang yang tidak percaya dengan beberapa praktek keagamaan atau malah prinsip dari denominasi tsb, dan mengajukan protes secara baik-baik ke petinggi gereja, apakah orang tsb akan didengar? Ingat kasus Martin Luther saja udah sampai dibawa ke pengadilan, dan akhirnya karena Martin Luther masih bersikeras percaya dengan theses dia, tidak mau tunduk kepada petinggi gereja / pemerintah saat itu, akhirnya oleh Emperor dia dijadikan "outlaw". Tidak gampanglah kita sebagai orang biasa bisa mengajukan ketidak setujuan kita baik-baik, menunjukkan sesuatu yang kita pikir salah (benar atau enggaknya) dan diterima oleh pihak tinggi. Soal agama ini jugalah yang membuat orang-orang dulu lari dari England dan kabur ke Amerika dan Holland untuk mendapatkan 'freedom of religions', karena dulu itu mereka dipaksa harus beragama yang sama dengan raja nya dan juga tidak boleh melakukan 'ritual' keagamaan yang lain dari apa yang ditentukan oleh raja. Orang-orang yang protes biasanya mendapatkan sanksi dari raja.

Well... this is a different story for different time, just a similar example. Christianity is *not* about religion, not about denomination. It is about our personal relationship with our Creator.

Yesus datang bukan untuk mengajarkan agama, tapi karena Tuhan ingin menunjukkan kasihNya dan memberikan keselamatan kepada anak-anakNya. Saya sendiri merasa tidak penting soal denominasinya, entah katolik, protestant, baptist, atau seperti gereja saya yang termasuk 'non-denominational church', dll. Ke gereja manapun kita pergi, selalu dasar kita adalah alkitab. Semua denominasi atau non-denominasi itu di bentuk oleh manusia. Kewajiban kita adalah mengkaji segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan. Segala ritual atau kepercayaan gereja itu, biarlah kita selalu kembali kepada Alkitab: apakah yang diajarkan sesuai dengan Alkitab? Apakah ada bertentangan dengan apa yang disebut di alkitab? Oleh sebab itu, kita perlu pelajari firman Tuhan setiap hari, sehingga kita bisa mengenal mana benar dan mana salah. Pastor di gereja saya cerita, dia dulu pernah kerja di bank waktu masih muda. Suatu hari datang seorang yang mau deposit cek. Dia minta KTP nya. Waktu teman kerja dia yang sudah lama kerja di situ lihat, temannya bilang itu KTP palsu. Tapi pastor saya ini tidak percaya, dia bilang kelihatannya asli kok. Temannya tetap bilang palsu. Pastor saya tetap menerima cek tsb. Belakangan ketahuan ternyata KTP itu palsu. Moral of the story: temannya itu sudah lama bekerja di situ, dan banyak sekali melihat KTP asli, dari warna, texture dsb. Seperti juga kalau uang dollar asli / palsu, cuma perlu 1 detik saja mereka sudah bisa tahu apakah itu asli / palsu. Mereka yang setiap hari 'exposed' ke hal-hal yang asli, memegang KTP asli dari setiap customer, menerima uang asli, mereka tahu waktu mereka melihat yang palsu.

It's just not the same. Buat orang yang tidak biasa, tidak gampang untuk membedakan. Demikian juga dengan firman Tuhan. Semakin kita dekat dengan Tuhan, semakin kita banyak membaca firmanNya, kita bisa mengenal karakter Dia, dan kita bisa membedakan mana 'wolf' dan mana yang bukan. Pada akhirnya, apalah artinya denominasi. Waktu kita menghadap Tuhan nanti, Dia tidak akan menanyakan kita dari denominasi mana kita berasal. It's no longer important or matter anymore. It's how we live our lives, that's what He wants to see.

12 Oktober 2007

Hukuman Mati

Robert Borrong wrote: Date: Wed, 10 Oct 2007 21:41:16 -0700 (PDT) From: Robert Borrong Subject: Re: Fwd: HUKUMAN MATI To: nazarius rumpak

Secara prinsipil saya mendukung anti hukuman mati artinya mestinya hukuman mati dihapuskan. Tetapi masalahnya hukuman mati yang selama ini diberlakukan di dunia, khususnya di Indonesia itu kan sangat politis. Jadi........masalahnya bukanlah sekedar hukum atau moral atau teologi tetapi soal politik. Kalau begitu ya, sulit memperjuangkan dihapuskannya hukuman mati dari bumi ini, khususnya dari Indonesia. Saya sudah dua kali menulis ttg topik ini di Suara Pembaruan: 20 Mei 2006 dan 7 Oktober 2006. Kalau ada yg berminat baca, masih bisa diakses dari Web Suara Pe4mbaruan. Nah kawan2 inilah soalnya kerhidupan bahwa tidak semua bisa ditakar dari sudut hukum atau moral saja. Kalau mau konsisten dg UUD45 revisi mestinya hukuman mati sudah dihapuskan dari negeri ini. Salam, Borrong

Dear Bpk. DR. R. Borrong & Rekan2 sekalian Apakah penghapusan hukuman mati (di Indonesia) merupakan solusi yang terbaik bagi kemanusiaan yang adil dan beradab ? Sementara begitu banyaknya kejahatan (termasuk bom Bali) yang meremehkan nilai2 kemanusiaan yang adil dan beradab. Perlu penjelasan yang lebih mendalam-terutama kaitannya dengan supremasi hukum dan nilai2 kemanusiaan yang adil dan beradab. Keputusan etis bisa berproses dalam legitiminasi hukum, bila peredaran nilai2 etis itu disadari perlu oleh masyarakat, yakni setuju atau tidak dengan hukuman mati: setuju atau tidak adalah keputusan etis/moral, dan bila diterima mayoritas masyarakat-tentunya akan menjadi suatu proses dalam lembaga legislatif-yang mana menelorkan produk perundangan- undangan, yakni dihapuskannya hukuman mati, atau sebaliknya tetap ada hukuman mati. Selanjutnya, lembaga eksekutif dan yudikatif melaksanakannnya dalam menegakkan supremasi hukum. Yang menjadi masalah di Indonesia, bukan hanya masalah dipolitisir, tapi belum sepenuhnya supremasi hukum dilaksanakan. Ketidak becusan pelaksanaan hukum di Indonesia, karena para pelaku/subyek hukum belum sepenuhnya memiliki moral. Kewibawaan hukum, harus dilandasi oleh moral yang ber axis pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila otoritas itu ada, maka hukuman apapun akan dirasakan sebagai ditegakkannya supremasi hukum. Termasuk hukuman mati, apabila itu merupakan suatu tindakan supremasi hukum (bukan dipolitisir) , maka hal inipun ada dalam koridor kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian, tidak mudah kita mengatakan hapuskan hukuman mati, walaupun nurani kemanusiaan kita mengatakan: tidak setuju hukuman mati. Haruslah kita tinjau terlebih dahulu dari hal2 yang telah saya sebutkan di atas. Membuat rumusan dogma, maupun rumusan etika itu mudah ! Namun membuat suatu keputusan etis itu tidak gampang, karena keputusan etis itu akan berinteraksi dalam kehidupan Aku dan Kau, antara Aku sebagai subyek yang satu terhadap Kalian subyek yang jamak ! Proses interaksi itulah yang saya maksudkan dengan peredaran nilai2 etis dalam proses menjadi suatu yang legitimate di masyarakat (bangsa & negara). Demikian dulu komentar sekaligus konsepsi pemikiran dari saya, semoga bermanfaat.

In Christ

Pdt. DR. Leonard Siregar. Upland-California.

NB: Supremasi hukum di Indonesia dapat terwujud apabila lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif benar2 bersih. Yang seharusnya ialah: lembaga hukum (misalnya kejaksaan) terpisah dari lembaga eksekutif, dengan demikian lembaga yudikatif tidak diatur oleh pemerintah/eksekuti f, bila diatur maka nilai2 hukum telah dikebiri bagi kepentingan penguasa dan mayoritas. Inilah yang terjadi di Indonesia.

11 Oktober 2007

Christians and the Burmese Crackdown

Christians in current situation in BURMA. Kita tidak tahu banyak tentang orang-orang Kristen di Burma dalam hubungannya dengan Demo para bhiksu baru-baru ini dan usaha Junta Militer menumpasnya sekarang ini. Artikel berikut ini (maaf, dalam bahasaInggris) mungkin bisa sekedar membantu.

Semoga bermanfaat dan membangun dengan "ketulusan dan kejujuran".

Gbu all,
NR


Christians and the Burmese Crackdown
A Burmese Pastor speaks on the situation of the church.
Interview by Susan Wunderink | posted 10/05/2007 04:13PM
Burmese citizens began peaceful protests for better living standards in mid-August in response to a sudden rise in gas prices in Myanmar. After several hundred Buddhist monks joined them, the Burmese government responded with arrests, a media crackdown, and night raids. It is unclear how many people have been killed in the crackdown.

Related articles and links


Myanmar, which was known as Burma before a 1962 military coup, has a long history of rights abuses—and peaceful protest. National League for Democracy leader Aung San Suu Kyi, who won the Nobel Peace Prize in 1991, has been under house arrest for almost a decade. Last week Burma's military leader Gen Than Shwe, agreed to meet with her if she would abandon her support of international sanctions on Burma and her "confrontational" stance.

Two ethnic groups—the Karen and the Chin—have historical ties to Christianity. The U. S. State Department estimates that 3 percent of the country's 47 million people are Baptist.

Burmese Christians have been specifically targeted by the regime. Last March, Christian Solidarity Worldwide obtained a leaked government document entitled "Program to Destroy the Christian Religion in Burma."

Pastor David, a Burmese church planter who has been working in Myanmar for the last few years, spoke with CT about the situation of Christians in the country.

What's happening with the protests? Why was the sudden rise in oil prices the catalyst?

The government doubled the price on the morning of August the 15th without any prior notice to the public. So what happened is that there was a sudden raise in the price, buses and public transportation cannot operate. There is simply no public transportation, so people who need to go to work got stranded. There was a lot of chaos.

I was still in the country at that time and I knew at that moment that something was going to happen. Now before the raising of oil prices, there was a convention going on on the northern side of Rangoon. And there was already quite an atmosphere in the country: There were officials going about, raiding churches.

In fact, the Bible school that I have the privilege of directing—we had to shut it down on the last week of September with all this going on.

In the midst of that, they doubled the [oil] prices, and that really sparked the fire. And that's when people said, "we can't stand this anymore," and they began to rally. And at first it was a very small rally. It wasn't getting any international attention. It was only when the Buddhist monks began to come out and began to rally that the international community began to focus their attention on Burma.

Why did the government let the protests go on for so long before cracking down? Is that usual?

I was very surprised. The best I can do here is speculation: Within the government there are already tensions. There are four big generals that are fighting for power, and they don't really share values or worldviews. So there's already a clash between them. I think they take the time among themselves as to how to best handle the [rallies] and it probably took some time before they came back and decided to crack down. I think it's [because] of the internal tactics and discussion that is taking place [within the Burmese government].

Have Christians been involved in the protests?

As a church, in the name of the church, we don't usually do that. But I know there are Christians who are very much into pushing for this kind of activity. But there's no way we can say that certain Christians participated.

Would they be targeted because they're Christians?

Christians usually don't have the same protection that a monk would have, simply because we are Christian and they are Buddhist. But for the monks who rally and demonstrate, there is still the moral respect that they have. There is a tradition that grants them some protections, and they enjoyed that in the midst of their rally. But we as Christians, who are seen as secondary citizens, do not have that [protection]. Even if there's no rally taking place, the mere fact that we meet in the church, that we teach classes in the Bible school—they're already nervous about that, and they come back just to interfere, to know what's going on.

In fact, during this rally, I have been in constant communication with my assistant, and he told me that officials come to the school three or four times a day, perhaps to spy on whether we participated in the rally or are just staying at home. There is a constant monitoring of Christians.

Have you heard about any Christians who have undergone raids or questioning?

Yes. Since I do not have their permission, I don't think I can mention their names, but there are a couple pastors who have been taken, partly because they visited their folks and the government may be suspicious of what they're doing.

Another thing that happens in our own experience happened on the 17th of August—the local officials came to our school at about 1:30 in the morning and knocked the door and began to check who was sleeping in the school. Now, in Burma, we have to register with local officials every four days how many people are sleeping and in whose house and why. So, [officials] came with that registration and they began to count how many people were sleeping in the school. And by God's providence, the list and the people who were sleeping in the school matched, so there's nothing [the officials] could do. But I have heard a lot of reports that they knock from house to house and do that. Especially to Christians.

Has anyone disappeared?

I don't know of any Christians who have disappeared.

Is there a lot of internal displacement in Burma?

At this point, I am sure that those people who are really rallying are having to flee for their lives. Because right now the government is doing the follow-up work. Now that they have all their cameras and have all the pictures of people who demonstrated. That happened back in 1988. It was months before the government tracked down all the people who were on the streets rallying.

The same thing happens even now: that they track down people who have been rallying. There are a lot of reports going around that at nighttime, the government would raid houses. [Officials] would not ask questions, but they would just take [the people who allegedly participated in rallies], and so far they've never come back.

How does this crackdown compare to the one in 1988?

I am not sure; it might even get worse than the 1988 event. I think they are working hard to do as much tracking down as possible.

What happened to the church in 1988?

Before then the church was quite free, but from then on, the church began to have more restrictions, so I do not know if there is any specific attention given to the church. I think they always see the church as connected to the Western world. And that's when they began to be suspicious of the churches.

What is the Christian population in Burma?

There has been some discussion of Christian leaders as to what percentage are actually Christian. More conservative studies would say 6% but a more open study would say 10%. I'm in the more middle way where I would say in my best opinion with all the travels that I've had, that roughly 8% are Christians. Half of that 8% would be mainline denominations, and the rest would be evangelical Christians. There is a small section of Roman Catholics. I think they compose 2%, maybe. So evangelical Christians are not that many.

There are different denominations and different organizations. And the country has not had any foreign missionaries since 1966, when the government expelled all the missionaries. Since then, all the work has been done by the national leadership.

How do pastors get educated? Are there seminaries?

There was one ecumenical seminary that was started back in the 1920s that got recognized, and they can freely have their education there. But it's not as free as what you would see going on in some of the pagodas or monasteries. Relative to some of the evangelical seminaries, they have enjoyed significant freedom.

We opened a Bible school, but we do not have any government recognition. So, we go through enormous challenges. Sometimes, they would come in the middle of class, and we would have to quickly put down our books and run. Sometimes they would take us to their offices and give us incredible troubles. And at times they would even close the school facilities.

Does the same thing happen to Christian ethnic groups besides the Chin?

The Karen are mostly mainline Baptist. Most of the mainline churches have recognition because they have been there for a long time and have been able to obtain their permits before the government changed its policies on religious freedom. Some evangelicals do not have permits because they started their ministries after the government changed its policies—those people do not enjoy the same freedom.

Do you think the government targets Christians because they are Christians?

I think this falls between the ethnic and religious line. Chin and Karen [have the most Christians of any of the seven] states in the country. And a lot of the Chin have a lot of education. That has to do with how we understand the world, how we understand our theology and how our theology has informed our life and our worldview.

When [the government] saw the significant education that the Chin were able to have in the last 20 - 30 years, they began to build some defensive walls against them. So I think that the reason would be they are Chin and they have a lot of education, plus they are Christians.

Is there solidarity among different denominations?

Yes and no. To some extent, unfortunately, there has been a strong denominationalism in some circles, but in the past 10—15 years there have been some efforts to do interdenominational activities together. So we begin to see the new generation of leadership in the church emerge. So even the face of Christianity in the country is gradually changing.

What about the relationship of Christians to Buddhists?

The answer can come in two forms. The ecumenicals would look much [closer to the] Buddhists. There's a lot of dialogues taking place [between ecumenical Christians and Buddhists].

But as for me, coming from an evangelical, we see various religions together, discussing some issues and having socials. But when it comes to our understanding of God and salvation, we are very different.

When I travel to remote villages and do church planting, sometimes the pressure comes not from the local officials but from the Buddhist leaders, because they know that our targets are their people. So there's a defensive wall that is built around them, and there's a lot of prejudices going on even before we start to do anything.

So it can be sweet, but in most cases, it's a sour relationship.

The Evangelical Fellowship of Asia sent out a press release condemning the "violent attack on Buddhist monks and civilians who were engaged in peaceful protest in Burma during the past week."

I would pretty much share the same feeling. I have a high respect for those monks and I think in many ways it's an embarrassment for many of us Christians—I wish we could just rise up as a church, but that's just not how that situation's worked out. Again, I would say that I'm in full support of [the monks and protesters]. And I think most evangelicals admire their courage, their willingness to sacrifice the favor that they get from the government, and their willingness to even sacrifice their lives. We would give them high respect for that.

What do Burmese pastors preach about the government?

We pretty much do not talk about government issues when we preach, knowing that in most of our services there are informants. Informants get their money whether they bring the right information or not. So if we say 1 word, they end up making 50 words out of our mouths.

I wish I could preach on Romans 13, where Paul begins to talk about governmental issues, but that is the subject that most of us would shy away from. Although in small-group discussions, we would talk about it and bitterness towards government. But publicly, from a pulpit, we tend to shy away from those issues.

What would happen if Aung San Suu Kyi were released?

I think full religious freedom would be restored, because significant Christian presence would come in, particularly from people outside who are involved in this. In terms of religious freedom, I think that would be a step forward. We would definitely look forward to that.

Economically, the country's definitely going to improve. But I am not sure in terms of our society, I am not sure if we are ready for an overnight change. I think it would take time. And I would expect some turbulence within the next 3—4 years. Even if there were to be a change in the political leadership.

What would happen if China and India put pressure on Myanmar's government for reforms?

I don't think the government would listen, because for them what is most important is not their reputation with the international community or even with their close allies such as India and China. I think they see it more in terms of personal benefits, personal gain, in terms of power. They would do anything just to keep their power.

What will happen when the protests die down?

It could be pretty complicated. But I think even if [the situation] is going in a worse direction, it wouldn't last very long—it could dramatically reverse and really point toward democracy.

I don't think the next generation of military leadership is willing to take the matter into their hands. They would like to give up their power to people. The people in power right now—they are holding onto a snake. They don't like holding onto a snake; they want to let it go. But they are afraid that at the moment they let it go, it's going to bite them. I don't think the younger generals would come up and say, "I want to take power, and I'm going to continue the oppression."

What can Westerners be doing about this?

Promoting what is going on to the news and rallying on the Burmese embassies. Most of all, [it would help] for Christians to pray for the country and especially the Christians in Burma. Your praying and your identifying yourself with the struggle we are going through would mean so much for us.

What could people be praying for?

Right now, there's chaos. The prices are rising, and most Christians are very poor. They are struggling to buy basic necessities. It has been a great challenge that the pastors go through. They have obligations not only to provide for their families but to care for their flocks. When the prices are going up, it's very hard. It's really the pastors who are suffering most in terms of needing basic necessities.

Copyright © 2007 Christianity Today. Click for reprint information.



Related Elsewhere:

The New York Times and BBC News have collected their coverage of the protests and crackdown in Myanmar.

Other Christianity Today articles on Myanmar and the Burmese people include:

'Destroy the Christian Religion' | Campaign against Christians presses problem with refugee resettlement. (March 14, 2007)
The Town that Loves Refugees | Christians in Utica, New York are resettling the world one displaced soul at a time. (February 15, 2007)
Red-Light Rescue | The 'business' of helping the sexually exploited help themselves. (December 19, 2006)
Homeland Security's Catch-22 for Exiles | 'Ridiculous' interpretation of law bars thousands. (May 1, 2006)
Burma's Almost Forgotten | Christians find themselves battered by the world's longest civil war and a brutally repressive regime. (March 1, 2004)
Compassion Confusion | We should serve the needy even when it has bad political consequences. (Aug. 28, 2001)
The Homeless Church of Myanmar | In, after decades of cruel military regimes, democratic elections were held in Myanmar, and the National League for Democracy party won with over 80 percent of the vote. The military ignored 1990 the election results, seized control, and has set up the illegitimate (and wrongly named) State Peace and Development Council (SPDC) government. (Oct. 5, 1998)
Ethnic Politics Suppresses Outreach | The stunning success of Christian outreach among some ethnic minorities in Asia has fueled religious resentment and repression. (May 19, 1997)
Christian History & Biography has an issue on Adoniram Judson, a missionary to the Burmese.

10 Oktober 2007

Buta Huruf

Saya tak tahu pasti, apa kutipan berikut ini bisa dihubungkan dengan isyu yang Bung sedang ketengahkan.


++++++++++++++++++++++++++++++++++++


Helen Keller pernah ditanya: "Apakah yang lebih parah ketimbang dilahirkan buta?" [NR: bukan "buta huruf"!] Ia menjawab: "Mempunyai penglihatan tetapi tidak punya visi." [NR: tetapi malas membaca!] [Sumber dari sebuah buku tentang "Leadership" (maaf, lupa)]

Gbu, NR



"A.M.T. Harrisakti"

Rekan milister, Pernahkah anda merenungkan, bahwa ada perbedaan besar antara orang buta huruf dan orang yang bisa membaca? Ada perbedaan signifikan antara orang yang bisa membaca tetapi malas membaca dengan orang yang suka membaca buku dan surat kabar. Jenis buku dan surat kabar yang dipilih pun menentukan isi kepala yang bersangkutan. Picisankah bacaannya, atau bermutukah? Sebagai pemula, saya membaca apa saja. Trial and error. Saya pernah menjadi seorang naif yang memercayai apa saja yang dikatakan surat kabar dan tabloid. Menelan bulat-bulat semua informasi. Tapi sekarang tidak. Dulu saya tidak pilih-pilih buku rohani, kini saya tau mana yang bermutu mana yang "pop". Membaca membuat perbedaan. Kini saya merangkak. Merangkak menjadi careful reader. Pembaca yang menyusun pertanyaan-pertanyaan kritis setiap kali berhadapan dengan suatu bacaan. Pembaca yang menaruh curiga pada kebenaran setiap bacaannya. Ya, saya merangkak menjadi pembaca seperti itu. Kini saya tidak mudah terprovokasi pada judul apapun yang memang didesain untuk provokatif. Kubaca perlahan, kucoba menalar dan mengerti, dan kudapati mutiara berharga. Kubayangkan diriku tujuh tahunan silam, pasti aku marah besar jika kubaca tulisan "Yesus Mesias yang Gagal", atau "Via Dolorosa itu tidak historis". Kini tidak lagi. Aku belajar menarik manfaat dan pelajaran berharga dari temuan-temuan ilmiah yang paling mengguncangkan sekalipun. Saudaraku... Bacalah... Membaca membuatmu mengerti... asal kita mau terbuka sekaligus tetap kritis.


Salam dari teman ziarah, A.M.T. HARRISAKTI

Yesus Sejarah

COMMENTS: (Sebuah kutipan)

Dapatkah kita mengetahui Yesus historis? Tentu tidak pada tempatnya memaparkan perdebatan atas masalah ini secara lengkap; hanya perlu dijelaskan pra-anggapan yang melatar belakangi[nya] . . . Mungkinkah kita sungguh-sungguh mengetahui macam apakah orang itu ataukah hanya interpretasi- interpretasi tertentu yang timbul kemudian dalam gereja perdana? Dahulu banyak ahli berpendapat bahwa pribadi Yesus sendiri tampil dalam injil- injil. Ia tetap tersembunyi di balik tirai penafsir para penginjil. Menurut pandangan itu, Yesus sendiri tak kelihatan karena para penginjil dalam menyusun karangan masing-masing melaporkan, bukan peristiwa dan perkataan dari riwayat Yesus, melainkan penafsiran dan wawasan yang sedang beredar dalam pelbagai aliran dan tradisi gereja perdana. Dan penafsiran-penafsiran ini melukiskan Kristus yang bangkit, Tuhan yang dimuliakan, sambil menutupi wajah yang asli dari Yesus sendiri. Bultmann bahkan menulis: "Saya berpen- dapat bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa tentang riwayat dan kepribadian Yesus". Dan ia anggap remeh ketidaktahuan ini karena iman mesti dipusatkan pada Kristus yang mulia semata. Demikianlah cara Bultmann menyelesaikan baik masalah historis maupun masalah teologis. Tetapi iklim sekarang sedang berubah. Keba- nyakan ahli Perjanjian Baru, termasuk bekas murid-murid Bultmann sekalipun, tidak lagi sepakat dengan pendirian skeptis tersebut. Kasemann, misalnya, berpendapat bahwa: "Yesus historis pasti mempunyai relevansi bagi iman Kristen"; lagi pula, "kesinambungan antara Yesus historis [i.e. yang diingat] dan Kristus [i.e. yang diimani] harus dipertahankan untuk merintangi doketisme." Bornkamm juga mene- gaskan bahwa Yesus historis dan Kristus menurut iman adalah tersatupadu dalam pengakuan: Yesus adalah Kristus. Dalam injil-injil, katanya, Yesus sebagai pribadi historis ditampilkan di depan mata kita "sejelas-jelasnya". Sebagai penyaksi yang ketiga dapat dipanggil C.H. Dodd yang menyatakan: Melalui kisah-kisah injili terlihat "pribadi nyata yang tengah bertindak dikancah sejarah". Tentu saja tidak boleh disangkal bahwa kesaksian injil-injil memantulkan juga kepercayaan gereja perdana kepada Kristus yang telah bangkit; lagi pula bahwa mereka cendereng menerapkan kisah-kisah injil pada persoalan dan pergumulan yang dihadapkan pada jemaat-jemaat Kristen satu atau dua generasi sesudah zaman Yesus. Namun demikian, injil- injil tidak merupakan tirai yang menyembunyikan Yesus tetapi lebih bersifat JENDELA yang mela- luinya sungguh terpancar wajah Yesus sendiri. Di situ kita dapat menemukan Yesus sebagaimana Ia diingat dan sekaligus ditafsirkan.

[kutipan dari Verne H. Fletcher, LIHAT SANG MANUSIA ! (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm. 202ff.; huruf-huruf kapital oleh NR)

Semoga bermanfaat dan membangun dengan "ketulusan dan kejujuran". Wassalam, NR
--- "A.M.T. Harrisakti" <nonkonformis@yahoo.com wrote:

Siapakah Yesus menurut anda? Jawaban dapat bervariasi menurut masing-masing orang dengan segala latarbelakangnya. Jawaban pun bervariasi antara jawaban-jawaban subyektif dan jawaban-jawaban obyektif. Seorang umat Islam mungkin akan menjawab, Isa (Yesus) itu salah satu dari ke-25 nabi yang wajib diimani. Seorang kristiani menjawab, Yesus itu kristus, Tuhan dan Penyelamat. Orang Evangelikal lebih spesifik lagi, "Saya sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat PRIBADIKU, pada tanggal .... ketika aku "lahir baru" (baptis selam) dilayani oleh pendeta...." Subyektif dan relatif. Namun adakah kesepakatan bersama antara jawaban-jawaban subyektif di atas? Ya. Semua golongan di atas sepakat, Yesus itu bukan tokoh dongen isepan jempol, melainkan tokoh historis, yang pernah hidup dalam sejarah dunia. Semua sepakat. Pencarian Yesus yang historis secara jujur dan obyektif pun dilakukan. Pencarian ini haruslah bebas-nilai, tak terbelenggu dogma dan lepas dari ideologi subyektif penelitinya. Muncullah penemuan Yesus sejarah yang obyektif, Yesus itu pernah hidup sebagai anak tukang kayu, pengajar agama Yahudi-Yudais, pemimpin gerakan Mesianik, memaklumkan pemerintahan Allah (datangnya kerajaan Allah) di bumi, namun perjuangannya harus di-terminated di bukit Tengkorak luar kota Yerusalem. The End. Pak guru Yesus, pemimpin gerakan Mesianik yang gagal. Mendengar Yesus sebagai "Mesias yang gagal" menimbulkan perasaan tertentu bagi banyak orang kristen. Blasphemy. Heretic. Namun kalau orang kristen yang bersangkutan bersedia melakukan perenungan dan permenungan, studi yang komprehensif dan sabar, terbuka sekaligus kritis, maka klaim "Mesias yang gagal" tadi perlahan tak lagi menimbulkan perasaan tertentu yang mengganggu. Markus mengawali Injilnya dengan "Inilah permulaan Injil (kabar baik, euaggelion) tentang Yesus Kristus, Anak Allah." dan diakhiri di pasal 16:8 (selebihnya tambahan redaksional abad >II zb) "Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka." Injil (kabar baik) tentang Yesus Kristus menurut Markus tidaklah harus happy ending, Markus justru memberikan ending mengerikan, redakturlah yang membuatnya happy ending. Mungkin bagi paguyuban kristen perdana abad I zb, peristiwa kebangkitan Yesus itu bukan tema sentral pemberitaan. Mereka membentuk paguyuban untuk mengenang ajaran Yesus, amanat-amanatNya, meneruskan cita-cita MesianikNya menghadirkan pemerintahan Allah di bumi, yang belum kesampaian karena wafatNya. Pak guru Yesus sudah memaklumkan kerajaan Allah itu dengan kedatangan, pengajaran, pelayananNya, namun kerajaan Allah tidak serta merta mewujud di bumi. Mungkin sekali Allah tidak menghendaki kerajaan Allah itu muncul bersamaan dengan datangnya Yesus. Kedatangan kerajaan Allah dalam bentuknya yang utuh di mana Allah memerintah dan manusia tidak lagi mengalami penindasan masih menjadi harapan eskatologis. Justru karena harapan itu belum mewujud secara utuhlah kita tiba di abad XXI zb ini dengan masih mengharapkan "langit dan bumi baru" itu. Jika Yesus Mesias tidak gagal, apa lagi yang diharapkan? Mari sama-sama kita nantikan waktunya Tuhan kita berkata "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru."
Salam dari teman sepeziarahan,
A.M.T. HARRISAKTI
Minds are like parachutes. They only work when open.

08 Oktober 2007

Kejadian 13 : 14 – 18

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
  • Allah menyatakan diriDi antara tindakan-tindakan Allah terhadap para leluhur, selayaknyalah disebut pertama-tama penyataan-penyataan diriNya kepada mereka. Dengan berulang-ulang Allah memper-lihatkan diriNya, memperdengarkan suaraNya, memperkenalkan namaNya . . ., serta menya-takan kehadiranNya di beberapa tempat suci di tanah Kanaan. [ . . . ]Allah memberi janji-janjiNyaDengan perjanjianNya yang berupa sumpah-setia, Allah mengarahkan pengharapan para bapa leluhur (dan pengharapan umat Israel turun-temurun) kepada perbuatan-perbuatanNya yang besar di masa depan. Di dalam cerita-cerita Perjanjian Lama mengenai para bapa lelu-hur, unsur pengharapan ini nampak dari beberapa segi:
  • a) Di mana-mana disisipkan firman-firman yang berupa janji mengenai berkat, keturunan dan tanah, yang akan diberi kepada bapa leluhur dan kepada keturunan mereka.
  • b) Berulang-ulang dijanjikan bahwa keturunan para bapa leluhur itu akan menjadi suatu berkat bagi segala bangsa di bumi. [ . . . ]Kepada Abraham, Ishak dan Yakub diberi janji-janji yang mengajaibkan. Tanah Kanaan akan menjadi milik mereka untuk sepanjang masa. Keturunan mereka akan menjadi banyak, sehingga tidak terbilang lagi jumlahnya . . . Mereka akan diberkati dengan segala berkat yang dari atas: kesuburan kaum ibu, kesuburan ternak dan kambing-domba, kesuburan tanah milik mereka, kelimpahan hasil jerih-payah mereka --- semuanya tersimpul sebagai berkat yang berupa penyertaan dan perlindungan ilahi yang tak putus-putusnya. Allah berfirman dan ber-sumpah bahwa ia akan melaksanakannya, sebab demikianlah rencana dan kehendakNya yang pasti [ . . . ]Sejumlah besar dari cerita-cerita bapa leluhur itu memuat kalimat-kalimat di mana Allah menjanjikan tanah, keturunan dan berkat. . . . Nats-nats yang terpenting adalah Kej 12:1-3,7; 13:14-16 . . .[dst.] [kutipan dari C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 119ff.].

2. Latar Belakang dan Konteks Perikop
  • Pasal 13: Perpisahan dengan Lot. . . . Setelah Abram kembali dari dari Mesir, ternyata-lah bahwa Lot tidak mungkin lagi tetap bersamanya, sebab harta kekayaan mereka makin bertambah banyak. Oleh sebab itu Lot memilih seluruh daerah lembah sungai Yordan sebagai daerah tinggalnya yang baru. Sesudah Lot pergi, Allah datang dan mengulangi janjiNya kepa-da Abram, kemudian Abram menetap dan mendirikan kemahnya di dekat pohon-pohon tar-bantin di Mamre, dekat Hebron [kutipan dari J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 34].Informasi: Sekalipun tidak disebutkan dalam 12:10-20, Lot sudah pernah ke Mesir, meman-faatkan keadaan Abram yg menguntungkan (ay 5) dan merasakan kemewahan lembah-lembah itu (bnd ay 10 --- ‘seperti tanah Mesir’). [ . . .] Sebelum Abram pergi ke Kanaan orang-orang yg bersama-sama dengan dia serta milik-miliknya sudah banyak di Haran (bnd 12:5). Agaknya keturunan Terah ada-lah pedagang-pedagang, yg melakukan perdagangan kafilah. [ . . . ]. . . kekayaannya mencobai iman Abram . . . betapa terbatasnya tanah yang dijanjikan itu (bnd 7b). Tapi dalam rangka hak-haknya yg istimewa Abram menam-pakkan kemurahan iman (ay 8-13). Jalan yg dipilih Lot menunjukkan ketidaksabar-annya untuk menerima kebaikan tanah yg dijanjikan (ay 10) tanpa pandangan se-mestinya kepada tuntutan-tuntutan etis perjanjian (bnd ay 13) [kutipan dari Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Kejadian-Ester (Jakarta: YKBK/OMF, 1998), hlm. 101f.].

3. Eksposisi
  • [Ay] 14, 15 Sesudah pemberian tanah Abram dan tuntutan Lot datanglah pemberian Yahweh dan tuntutan Abram. Dalam keterangan pembatasan tanahnya penyataan ini berada dalam ke-adaan tengah antara kekaburan 12:7 dan penetapan yg tepat dalam 15:17 dab. [Ay] 16 Janji tentang ‘bangsa yg besar’ dalam 12:2 juga diperlebar.Untuk diskusi: Mengapa janji “banyaknya” keturunan Abram digambarakan seperti “de-bu tanah”?Penulis di sini memakai gaya bahasa “hyperbole” [“pernyataan yang berlebih-lebihan supaya mengesankan”] dan oleh karena itu hendaknya tidak dipa-hami secara harfiah. Yang ingin dinyatakan ialah bahwa keturunan Abram tidak terhitung banyaknya [bnd 15:5]. Banyaknya keturunannya itu tidak saja fisik-biologis, tetapi termasuk juga keturunannya secara spiritual, yakni orang-orang beriman (bnd Gal 3:29).[Ay] 17 Jalanilah . . . Bnd Yos 24:3. Barangkali ini adalah suatu upacara hukum simbolis yg dengannya orang menentukan tuntutannya kepada tanah milik. Memang suatu perjalanan iman![Ay] 18 Dekat Hebron. Abram diam lebih menetap di sini, dengan membuat perjanjian-perjanjian yg sejajar dengan raja-raja setempat (bnd 14:13). Namun ia mendirikam sebuah mezbah, yaitu yg ketiga, tanda pengakuan akan Yahweh sebagai Maharaja Agung atas tanah itu dan menuntutnya untuk Dia [kutipan dari Ibid., hlm. 102].

4. Informasi Tambahan
  • Gaya hidup nomadik, seperti yang digambarkan untuk Abram dan orang-orangnya, memang sesuai dengan cara hidup pada bagian awal millennium kedua. Namun dari hasil penelitian antropologi belakangan ini, maka gaya hidup tsb. tidak lagi dibayangkan seperti gaya hidup orang-orang Arab Badui kemudian yang dengan berkendaraan unta menyerang dan meram-pok para penduduk tetap di daerah sekitar mereka. Malah sebaliknya, Abram dilaporkan hidup rukun [bnd ayat 18] dengan para penghuni daerah pertanian, sehingga dengan kedua jenis gaya hidup itu, mereka membentuk masyarakat “dimorphic” --- “forming a dual society in which villagers and pastoralists [a.l. Abram dan orang-orangnya] were mutually dependent and integrated parts of the same tribal community” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William S. LaSor, et al., Old Testament Survey (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1990), pp. 104f.].. . . with the call of Abraham, the covenant of grace [“perjanjian anugerah”] underwent a re-markable advance, definitive for all time to come. The instrument of that advance is the cov-enant which God made with Abraham which guaranteed and secured soteric blessing for “all the families of the earth.” So significant are the promises of grace in the Abrahamic covenant, found in Genesis 12:1-3; 13:14-16; 15:18-21; 17:1-16; 22:16-18, that it is not an overstate-ment to declare that these verses, from the covenantal perspective, as the most important verses in the Bible. The fact that the Bible sweeps across the thousand years between the creation of man and Abraham in only eleven chapters, with the call of Abraham coming in Genesis 12, suggests that the information given in the first eleven chapters of the Bible was intended as preparatory “background” to the revelation of Abrahamic covenant [kutipan dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville, Tenn.: Thomas Nelson, 2003), p. 513].
  • - - - NR - - -

07 Oktober 2007

Kisah Seorang Pastur dan Keluarga Yahudi

Oleh: Esther Ueberall

DESEMBER 1902 Hari ini hari Jumat, hari pertama kami membuka usaha kami.Dengan berseri-seri, saya (17 tahun, pengantin baru) berdiri di sebelah suami saya Solomon, di dalam toko kami yang bernama UEBERALL 3 - 9 - 19 Sen. Terletak di Brooklyn, Amerika Serikat, toko ini menjual barang-barang dengan harga pas, senilai 3, 9 atau 19 sen.Tamu pertama kami melangkah masuk. Beliau seorang Pastor Katolik muda usia, dari sebuah Gereja (Katolik) kecil, namanya Pastor Caruana. Beliau berbelanja sedikit, dan mukanya gelap, semuram warna jubahnya. "Mengapa sedih Bapa?" suami saya bertanya - Pastor Katolik biasa disapa dengan sebutan Father/Bapa - Solomon tergolong orang yang sangat mudah "jatuh hati".Pastor tersebut berbicara pelan, seolah menerawang menjawab, "Gereja kami harus ditutup...." "Mengapa?" bagi suami saya, agama adalah penyembahan dari menit ke menit. Kami menjalankan semua ritual agama kami, Keluarga Ueberall, sebagaimana sebagian besar orang-orang Yahudi, beragama Yahudi.Mereka menyembah Allah Yehovah yaitu Allah Abraham, Ishak & Yakub, dan mematuhi hukum Taurat Musa. Mereka bukan beragama Kristen Katolik. Bukan demi ritus itu semata mata, namun kepatuhan kami kepada Allah.Pastor tersebut menjelaskan bahwa Beliau membutuhkan $500, untuk Senin mendatang. Jemaatnya miskin, dan tidak mungkin memenuhi tuntutan $500 itu. Gereja pusatnya tidak dapat membantu, dan rasanya tidak ada jalan keluar.Suami saya mendengarkan dengan cermat, dan tangannya meremas-remas jemari saya. Saya merasakan perasaan hatinya yang terdalam. Kami berdua adalah orang-orang Yahudi, pindah dari Austria (suami saya) dan saya dari Rusia. Kami mencari kehidupan yang lebih aman dan baik di Amerika. Di Eropa, keadaannya kurang begitu baik untuk bangsa kami."Tidak! tidak boleh terjadi...." Solomon menggerutu. Ia berpikir keras, dan kemudian berkata: "Jangan kawatir Bapa, kita usahakan uang itu...."Saya melotot ke arah Solomon. Nggak salah? Lima dollar saja tidak kami miliki saat ini. Pastor Caruana juga melotot memandangi suami saya. Kemudian dengan wajah tidak percaya, Beliau meninggalkan kami.Solomon menatap saya. "Esther, kita memiliki begitu banyak hadiah pernikahan. Kita gadaikan itu semua. Suatu saat kita tebus itu semua kembali, namun sekarang kita cari 500 dollar...." Solomon melepaskan jam emas beserta rantainya yang merupakan hadiah dari ayah saya. Ia melihat kepada cincin kawin saya. Terpaksa saya buka perlahan dan menyerahkan kepadanya.
MASIH KURANG BANYAK Solomon kembali petang itu dengan wajah kurang cerah. Ia hanya berhasil mendapatkan $250. Pada saat makan malam ia menjadi riang kembali dan berseri-seri berkata: "Saya tahu, kita pinjam! Keluarga kita besar dan kompak bukan?"Dan sepanjang hari minggu itu,Solomon pergi mengunjungi para paman, ipar,> sepupu, dan kawan-kawan yang pernah ia tolong. Beberapa dengan simpatik langsung menolonG, beberapa berkeras hati. Solomon memohon-mohon, ia mengemis-ngemis, ia menghimbau, ia membangkit-bangkit, akhirnya terkumpul lagi sebesar $250.-. Sejak saat itu, tiap hari Senin, Pastor Caruana merupakan pengunjung toko kami yang paling pagi. Beliau senantiasa membawa sebuah dompet kulit, dan membayar sebagian demi sebagian. Uang tersebut adalah hasil kolekte jemaatnya. Persahabatan kami meningkat. Kemudian seluruh hutangnya terbayar lunas

....BERKAT MELIMPAH Cincin kawin saya telah berhasil ditebus, dan semua barang-barang yang kami gadaikan kembali dengan selamat. Keberuntungan senantiasa mewarnai toko kami, dan berkat bagaikan luber tercurah. Tak lama sesudah itu kami mengganti nama toko menjadi TOKO SERBA ADA UEBERALL.Demikianpun dengan jemaat Pastor Caruana. Dengan pelan namun pasti, jemaat itu makin kuat dan makin besar. Mereka bahkan bisa membangun gereja yang lebih kokoh dan bagus, dengan nama Santa Lucia. Tahun 1919 Pastor Caruana dipanggil pulang ke Roma, dan perpisahannya dengan Solomon lebih merupakan perpisahan dua saudara kandung.

TAHUN-TAHUN KEMUDIAN Solomon secara tiba tiba dipanggil Allah pulang, meninggalkan saya dan dua anak anak. Pukulan keras ini berdampak dua tahun. Saya kemudian bekerja sendiri, dan melatih putera saya mengambil alih usaha. Secara pelan-pelan, ingatan akan Pastor Caruana menghilang dari pikiran saya.Perang dunia II meletus, dan Hitler menderap masuk Austria. Kesulitan besar erjadi di sana, dan kami menerima surat-surat permohonan dari saudara serta kerabat Solomon, yang ingin disponsori untuk pindah ke Amerika. Tanpa kepindahan ini, kamp-kamp konsentrasi dan maut menanti mereka.Saya berusaha keras menolong.Namun pemerintah Amerika kemudian menutup kemungkinan migrasi dengan memberlakukan sebuah kuota. Surat-surat permintaan terus masuk. Tiap menerima sebuah, terasa satu tikaman di ulu hati saya. Saya akan bersandar di dinding dan menangis: "Oh Solomon, kalau saja engkau masih hidup...."Akhirnya saya menghubungi Departemen Perburuhan di Washington, dan mereka menyarankan agar saya membiayai para pelarian masuk Cuba. (Saat itu Cuba masih bersahabat dgn Amerika Serikat). Syaratnya, harus ada tokoh kuat dCuba yang bisa mensponsori, dan menjamin akan kelangsungan hidup di sana. Siapa? Saya tak kenal seorang pun di Cuba. Terbersit sebuah ilham. Cuba negara Katholik, mungkin gereja Santa Lucia bisa menolong. Seorang Pastor muda langsung mengirim kawat (telex) kepada pimpinan Gereja Katholik di Havana memberi kabar kedatangan saya.

HAVANA INTERNATIONAL AIRPORT CUBA, 2 HARI KEMUDIAN... Turun dari pesawat terbang, udara hangat menerpa wajah. Seorang anak laki-laki kecil berlari-lari menemui saya di tangga pesawat dengan sebuah buket kembang mawar. Saya mencium pipi anak kecil ini, terheran heran akan penyambutan VIP macam ini.Pelan pelan saya melihat sepasang sepatu coklat di sisi anak itu. Mata saya naik ke atas, terpandang sebuah gaun beludru berwarna merah darah dengan rumbai-rumbai kuning. Mata saya terangkat lagi ke atas, dan melihat langsung kepada sepasang mata ramah, berkeriput, yang memandang dalam-dalam, dengan > riak-riak gelombang hangat di dalamnya. Orang itu tersenyum kepada saya. Saya memusatkan perhatian. Tangannya terulur kepada saya,dan berkata pelan: "Esther Ueberall... tidak ingatkah kau pada saya?" Pastor Caruana!! Saya berenang dalam air mata....Di dalam mobil menuju pusat kota, Pastor Caruana bercerita bagaimana Beliau kemudian ditugaskan Roma di Cuba, dan menjadi Bishop Kepala (Uskup Agung?) di sana. Dengan pertolongannya, dua lusin keluarga kami melarikan diri dari cengkeraman Hitler, dan tiba di Cuba. Mereka menantikan dibukanya kuota imigrasi Amerika, dan tidak diperkenankan bekerja. Namun, Gereja Katolik Cuba melindungi mereka, memberi makanan, pakaian, sayur mayur segar dari kebun-kebun sendiri, daging, dan enam bulan kemudian mereka telah aman di Amerika.
KEMBALI KE AMERIKA SERIKAT Sejak saat itu, saya dan Pastor Caruana berkirim-kiriman surat. Beliau kemudian jatuh sakit dan dirawat di kota Philadelphia, Amerika Serikat. Beberapa kali saya menyempatkan diri menengok, dan dalam tiap doa.... saya selalu ingat keadaan Beliau.Suatu hari, sebuah surat tiba di meja kerja saya, dari pimpinan Gereja Katolik Philadelphia, dan isinya mengatakan bahwa keadaan Pastor Caruana sangat gawat. Beliau tidak ingin ditemui oleh siapapun, namun terus menerus memanggil-manggil nama saya. 3 jam kemudian saya telah tiba di sana, dan duduk dengan diam di sisi tempat tidurnya. Beliau tampak kurus, lemah, dan tidak berdaya..."Esther. ...", katanya memegang tangan saya. Kami berdiam diri disana, saling memandang. Saya tahu,Kemudian Beliau berkata: "Esther, jaga diri baik baik, saya selalu berdoa untukmu dan untuk keluargamu." Kemudian,dengan banyak kesulitan, Beliau mengeluarkan dari bawah bantalnya sesuatu yang diletakkan dalam genggaman tangan saya.Beliau memberikan kepada saya sebuah bros perak yang selalu dikenakannya. Air mata yang panas membanjiri saya, dan sambil memegang tangannya erat-erat.

Pergilah dengan tenang Bapa, KENANGAN akan engkau sangat MANIS di dalam hati saya. Lambang dari suatu hubungan yang manis, dari sekian banyak perbedaan-perbedaan umat manusia, namun...saling berbuat baik, karena kenal DIA !!

Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia. Riwayat kehidupan Esther Ueberall ini, dimuat dua kali dalam majalah Guideposts, Februari 1974 dan Mei 1987.Marilah kita singkirkan semua perbedaan kita dan saling membantu satu sama lain sebagai umat yang mengenal TUHAN "

Motivation of The Day

"Terimakasih, Ayah Telah Menunjukkan Kepada Saya Betapa Miskinnya Kita "

Suatu ketika seseorang yang sangat kaya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung dengan tujuan utamamemperlihatkan kepada anaknya betapa orang- orang bisa sangat miskin.Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian yang sangat miskin.Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya. "Bagaimana perjalanan kali ini?" "Wah, sangat luar biasa Ayah" "Kau lihatkan betapa manusia bisa sangat miskin" kata ayahnya. "Oh iya" kata anaknya "Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?" tanya ayahnya.Kemudian si anak menjawab. "Saya saksikan bahwa : Kita hanya punya satu anjing, mereka punya empat. Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ke tengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya. Kita mengimpor lentera-lentera di taman kita dan mereka memiliki bintang-bintang pada malam hari.Kita memiliki patio sampai ke halaman depan, dan mereka memiliki cakrawala secara utuh.Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan kita.Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya.Kita membeli untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri.Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan kita dan mereka memiliki sahabat- sahabat untuk saling melindungi."Mendengar hal ini sang Ayah tak dapat berbicara.Kemudian sang anak menambahkan "Terimakasih, Ayah telah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya kita."Betapa seringnya kita melupakan apa yang kita miliki dan terus memikirkan apa yang tidak kita punya.Apa yang dianggap tidak berharga oleh seseorang ternyata merupakan dambaan bagi orang lain.Semua ini berdasarkan kepada cara pandang seseorang.Membuat kita bertanya apakah yang akan terjadi jika kita semua bersyukur kepada Tuhan sebagai rasa terima kasih kita atas semua yang telah disediakan untuk kita daripada kita terus menerus khawatir untuk meminta lebih.
smile fien ns

Creationist atau Evolusionist?

Teman-teman, Ini saya sampaikan perenungan saya sambil jalan menelusuri lereng-lereng gunung menoreh - Jumat malam - dan diskusi bersama 2 orang saudara Muslim yang baru saja berbuka puasa untuk pembuatan pupuk organik.Kalau Anda tidak setuju dengan pandangan saya tidak apa-apa. Silakan lupakan saja. Salam damai dari Pegunungan Menoreh Yogyakarta
Totok

Kejadian 1: 1 – 251.
Pendahuluan
Bapak/Ibu/Sdr/ Sdri yang dikasihi oleh Tuhan Allah,Kejadian 1:1-25, menimbulkan perpecahan tajam dalam sejarah gereja. Baru-baru ini, termasuk di AS, pertentangan itu muncul kembali. Pertentangan antara Kaum Creationist dengan Evolutionist. Kaum Creationist percaya kebenaran Kej 1:1-25 secara leterlijk. Allah membuat bumi dalam 7 hari. Tidak boleh dikutik-kutik. Menurut mereka bumi ini statis. “Pokoke pathok bangkrong” … ya gitu deh … orang Jawa bilang. Sebaliknya Kaum Evolutionist percaya kebenaran teori evolusi dari ilmu pengetahuan. Bumi terbentuk melalui proses yang sangat panjang, jutaan tahun. Bumi itu dinamis. Berubah dari waktu ke waktu. Kedua kelompok saling melawan, menuding, dan menjelekkan, melalui mimbar gereja, brosur, buku, video, majalah, radio, dan televisi. Bagai perang antara Palestina dan Israel yang tidak pernah berakhir. Padahal mereka bersaudara. Kaum kreasionis mengatakan “Kaum evolusionis itu tidak alkitabiah, tidak beriman pada Tuhan, liberal, bidat, ateis”. Sedangkan kaum evolusionis mengatakan “Kaum kreasionis itu bodoh, tidak berpendidikan, tradisional”. 2. Inti percakapanSidang jemaat yang dikasihi Allah,Sesungguhnya, tidak perlu ada pertentangan atau dipertentangkan. Pertentangan mereka bagai membandingkan mana yang benar “pacul/cangkul atau arit/sabit?” Keduanya terbuat dari besi, kemudian dipande (ditempa), dan dibentuk menjadi pacul atau arit. Keduanya dibuat untuk tujuan yang berbeda. Jadi kita tidak dapat mengatakan mana yang benar. Keduanya benar. Alkitab, bukan buku ilmu pengetahuan. Alkitab adalah buku iman dari sebuah umat: beriman: Israel. Kejadian 1 adalah sebuah credo, pengakuan iman, dalam bentuk cerita. Alkitab adalah buku tentang karakter dan hakekat manusia yang sejati sebagai hamba Allah (Abdullah) dan wakil Allah (kalifatullah) di bumi. Sebaliknya ilmu pengetahuan menguraikan proses terjadinya bumi. Ilmu pengetahuan bukan buku iman. Ilmu pengetahuan bukan buku karakter manusia sebagai hamba dan wakil Allah; bagaimana seharusnya hidup menjadi manusia sejati di bumi. Sebenarnya Alkitab dan ilmu pengetahuan saling melengkapi. Bagai air yang kita minum dan nasi yang kita makan ketika makan siang.Cerita Alkitab dalam Kejadian 1 merupakan gambaran sederhana, yang dengan mudah dapat ditangkap oleh masyarakat zamannya. Cerita kontekstual. Orang dipersilakan menemukan sendiri maknanya yang terdalam dari cerita yang dituturkan. Dan memakainya sebagai pedoman hidup sehari-hari. Kejadian 1 tidak menggunakan bahasa wantah, melainkan bahasa susastra yang adiluhung. Kejadian 1 bukan ceramah ilmiah tentang proses terbentuknya bumi. Namun, bukan berarti omong kosong. Sebaliknya, bukan berarti, teori evolusi dapat dikesampingkan begitu saja. Lihat saja apa yang terjadi di sekitar kita. Gempa bumi di Bantul tahun yang lalu dan semua bencana alam yang lain merupakan bukti yang paling nyata bahwa bumi kita ini tidak statis. Makna pertama, terutama, dan terdalam dari Kejadian 1 adalah penyembahan kepada Tuhan Allah: ibadah pada hari ketujuh. Pada hari ketujuh orang harus berhenti dari segala macam aktifitas. Hari ketujuh adalah hari Sabtu. Bukan hari Minggu. Hari Minggu (Ahad) adalah hari 1. Kantor tutup pada Hari Sabtu. Almarhum ayah saya, sangat Calvinis. Ketika saya masih kecil, ayah tidak ke mana-mana pada hari Minggu. Bahkan sekedar mencari rumput untuk kambing pun diusahakan pada hari Sabtu. Apalagi ke ladang atau ke sawah, sama sekali tidak boleh. Dia sering menegur sesama orang Kristen yang pergi ke ladang pada hari Minggu. Pada hari Sabtu, orang Yahudi sembahyang berjamaah di sinagoge. “Tuhan Allah saja beristirahat pada hari ketujuh, mengapa kita tidak? Kemampuan kita terbatas. Kita harus mengakui keterbatasan kita. Oleh sebab itu, kita perlu beristirahat dan beribadah”. Itulah kata bijak almarhum ayah. Hari Minggu adalah saat yang saya tunggu-tunggu, bersama ayah dan Ibu pergi beribadah. Apalagi kalau almarhum ayah yang memimpin ibadah. Kotbahnya sederhana. Semua umur dapat memahaminya. It was straight to the point, pendek. Doanya juga pendek. Dia tidak mengulangi atau berkotbah lagi dalam atau mengkotbahi Tuhan dalam doa syaffat, seperti dilakukan oleh beberapa pemimpin ibadah masa kini. Seorang penatua jemaat 2 minggu yang lalu berbisik-bisik di samping saya “Pak ini namanya kotbah ketiga” di tengah doa syafaat. Kata almarhum ayahku “jangan mengkotbahi Tuhan dan jemaat dalam doa syafaatmu”. “Mengkotbahi Tuhan haram hukumnya” kata almarhum ayahku.Sebagai karya susastra yang selalu dibaca berulang-ulang dalam ibadah di sinagoge-sinagoge, kita dapat mengatakan bahwa Kejadian 1: 1 – 2 merupakan prolog “Pada mulanya …. “Kejadian 1: 3 – 31 merupakan dialog “Berfirmanlah Allah ….” Akhirnya, Kejadian 2: 1 – 3 merupakan epilog. Epilog tersebut merupakan proklamasi dan ajakan kepada umat betapa pentingnya istirahat dan beribadah. Orang Jawa bilang “liding dongeng” atau orang Inggris mengatakan “learning point” atau “lesson learned” atau “hikmah” dari cerita yang yang dituturkan. Itulah sebabnya, cerita Kejadian 1 dan Kitab Keluaran, khususnya tentang pembebasan dari perbudakan Mesir - selalu diulang-ulang dalam ibadah berjamaah orang Israel. YAHWE atau Allah memerdekakan, membebaskan, menyejahterakan, menteraturkan, menyelaraskan kehidupan.Makna kedua adalah bahwa “Tuhan Allah adalah pencipta yang menciptakan kesaling-tergantung an alam semesta, termasuk manusia. Seluruhnya menjadi sebuah eco-life system atau cakra manggilingan kehidupan. Meskipun berbeda-beda, semuanya tersusun rapi dalam sebuah sistem, bagai sebuah lingkaran. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara pengakuan iman dalam Kejadian 1 dan kerangka evolusi dalam ilmu pengetahuan. Keduanya memiliki makna yang sama. Hanya cara pengungkapannya yang berbeda. Karena tujuan dan komunitas pendengar dalam konteks yang berbeda. Keduanya menceritakan tentang keagungan Allah. Yang pertama melalui ceritera susastra sederhana tentang hasil akhir intervensi Allah atas situasi kekacauan “tohu wabohu”. Sedangkan kedua melalui analisis, observasi, explorasi, dan penelusuran proses terbentuknya bumi.Baik dalam buku iman maupun ilmu pengetahuan, antara manusia dan alam digambarkan saling terkait dan tergantung. Saling menghidupkan atau sebaliknya saling mematikan. Allah pemegang kendali, namun tidak fatalistic. Pengelolaan bumi diserahkan kepada manusia. Manusia adalah mandataris Allah di bumi. Manusia adalah kalifatullah di bumi. Keseimbangan harus dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. Kehadiran Allah menimbulkan tata tertib, kehidupan, keseimbangan. Begitu pula kehadiran kita. Tanpa usaha demikian, dunia menjadi malapetaka atau “tohu wabohu” kata bahasa Ibrani. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola bumi ini. Namun sayang manusia tidak jarang merusaknya. Kita boleh memakainya untuk kenikmatan dan kenyamanan kita, namun ada batasnya. Namun, kita beranggapan bahwa pengelolaan kita tanpa batas. Seolah-olah kekuasaan kita tanpa batas. Padahal seharusnya kita dapat mengatakan “sampai di sini saja”. Tidak boleh terus. Ada batas-batasnya. Kalau hari ketujuh ya beristirahat. Jangan kebablasan. Kalau keblabasan, berarti kita tidak menjaga diri. Kita merusak diri sendiri dan lingkungan alam kita. Ingat, kalau kita bekerja di sawah, tanah itu juga perlu istirahat. Mungkin tanah bosan akan kehadiran dan bau keringat kita. Kalau kita menebang hutan, kita juga perlu istirahat. Hutan perlu istirahat. Komputer, mobil, mesin yang kita gunakan perlu istirahat. Untuk menjaga keseimbangan. Itulah makna “pohon perbatasan” “pohon pengetahuan antara yang baik dan jahat”. Dengan menggunakan bahasa popular “itu adalah pohon apel di tengah Taman Firdaus”. Jangan makan. Jangan lewati batas itu. Bahaya. Anda hancur. Lingkungan alam juga akan hancur.Maaf, bagi para perokok juga ada batasnya, yakni di smoking areas. Batasnya tempat beribadah atau waktu beribadah. Kalau di gedung gereja ya tidak merokok. Kalau sedang bertugas sebagai penetua atau diaken, ya selesaikan dulu tugasnya. Nanti merokoknya. Jangan hanya ingin jadi penerima tamu saja, karena kalau jemaat sudah masuk semua, kan dapat merokok di luar. Kalau di keramaian, paling tidak meminta ijin orang di sebelahnya apakah Anda boleh merokok di sampingnya atau tidak. Jangan hantam krama. “Pasti semua orang mengijinkan merokok” kata hati Anda. Kan hak azasi manusia. Pembangunan rumah juga ada batasnya “tritisane aja ditibaake ing lemahing liyan”. Punya hajat, mantu, sunatan, memperbaiki rumah, dsbnya ada batasnya. Ada bulan baik. Ada bulan tidak baik. Biarkan para tetangga beristirahat memberi sumbangan. Menebang pohon ada batasnya. Menggali tambang, apa pun namanya ada batasnya. Memelihara hewan juga ada batasnya “ambune aja ngganggu tanggane”. Menghidupkan radio, menonton televisi “ya ana watese”. Dan sebagainya. Ingat televisi sendiri atau radio pun perlu beristirahat. Kalau kita tidak beristirahat, berarti kita melampaui kewenangan kita dan menyerobot kewenangan Tuhan Allah. Tuhan saja beristirahat, masak kita bablas terus. Beranak-pinak …. juga ada batasnya. Ingat P. Jawa dan bumi kita sudah penuh dan jenuh. Daya dukung bumi dan air di Jawa sudah di ambang batas. Oleh sebab itu, kita harus pintar mengatur jumlah anak. Apakah ada program KB dari BKKBN atau tidak. Ingat hubungan suami isteri juga ada batasnya. Ingat, kalau kita pacaran – ciuman juga ada batasnya, baik dari segi waktu atau tempat. Jangan cium pacar sembarangan. “Jangan main sosor aja” kata anak-anak saya.Kita bukan penguasa bumi dan manusia. Tuhan Allah-lah penguasa dan pemilik bumi. Zaman dulu nenek moyang kita, sangat berhati-hati kalau ingin menebang pohon. Napa sing nunggu pareng punapa boten nggih? Kalau boleh: kapan, hari, bulan, atau tahun apa? Sama kalau mincing ikan. Tidak setiap hari boleh mincing. Kini orang Jawa ilang jawane. Bras-bres. Orang Jawa kehilangan akarnya. Dan itu tidak jarang disebabkan oleh pemahaman teologi kita yang salah. Serba boleh. Seolah-olah sesuatu yang serba Jawa bertentangan dengan Alkitab atau teologia dari Eropa. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan, namun kita lupa menciptakan nilai-nilai baru sebagai pedoman dan tuntunan hidup bersama.3. PenutupSidang jemaat yang dikasihi Allah,Kini waktunya bagi gereja, jemaat, warga jemaat menggumuli dan menciptakan pedoman hidup sehari-hari yang memperhatikan kelestarian alam. Bagai mendirikan rumah di atas fondasi yang kukuh, sehingga tidak mudah roboh. Menciptakan tuntunan hidup sehari-hari sehingga secara bertanggungjawab ikut serta melestarikan bumi, memayu hayuning bawana. Bumi ini milik Allah yang dititipkan pada kita dan kita wariskan pada anak cucu kita.Persoalannya sesederhana harus memilih kreasionis atau evolusionis. kita harus memutuskan apa peran kita untuk ikut serta Tuhan Allah menyelamatkan bumi, baik gereja secara korporatif maupun warga secara perorangan. Bumi adalah tempat tinggal kita. Kita tidak dapat menyamakan diri sama dengan Allah. Memang tidak ada zat dari seorang manusia pun yang sama dengan zat Allah. Kesamaan Yesus Sang Kakak dan Putra Sulung dengan Allah bapanya adalah karakter: menyelamatkan bumi, alam lingkungan, dan manusia. Semoga kita mampu meneladani karakter Kak Yesus dalam kehidupan kita.Amin.

Khotbah Dalam Keheningan

--- Jehoshua Lawalata <protonexxus@yahoo.com wrote:
Khotbah Dalam Keheningan
Bacaan: Kolose 3:12-17, Ibrani 10:24-25 Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain... —Kolose 3:16a Seberapa pentingkah persekutuan kita pada gereja lokal? Biarlah saya menjawab pertanyaan ini dengan sebuah cerita: Seorang pendeta merasa prihatin mengenai ketidakhadiran salah seorang jemaat pria yang selama ini tidak pernah absen dari kebaktian Minggu. Setelah beberapa minggu ia memutuskan untuk menemui pria tersebut. Saat sang pendeta tiba di rumah pria itu, dia menemuinya sedang seorang diri duduk didepan perapian. Sang pendeta menarik sebuah kursi disamping pria tersebut dan setelah mengucapkan salam tidak berkata apapun lagi kepadanya. Mereka berdua duduk dalam keheningan untuk beberapa menit sambil menatap api dalam perapian. Kemudian sang pendeta bangun, mengambil penjepit dan dengan berhati-hati memindahkan sebuah bara yang masih menyala kedalam wadah. Ia duduk kembali dan suasana kembali hening. Sang tuan rumah terlihat merenung saat nyala bara tersebut mulai mengecil, padam dan akhirnya menjadi dingin. Sang pendeta melirik jamnya dan mengatakan kalau dirinya sudah harus pergi. Sebelum keluar, ia mengambil kembali bara yang sudah dingin tersebut dan menaruhnya kembali dalam perapian. Bara tersebut kembali segera menyala dengan cahaya dan kehangatan dari bara lain disekelilingnya. Saat sang pendeta akan meninggalkan rumah tersebut, jemaat pria itu mengantarnya keluar dan menyalaminya. Kemudian dengan senyum diwajahnya mengatakan, “Terimakasih untuk khotbahnya Pak Pendeta. Sampai bertemu lagi di hari Minggu nanti.” —David H. Roper
"Yesterday we obeyed kings and bowed our necks before emperors. But today we kneel only to truth..." -- Kahlil Gibran
------
Ada cerita lain yang sejajar.
Dua bapak bertetangga dekat. Mereka akrab, suka saling mengunjungi.Yang seorang anggota Majelis Gereja ("presbiter") yang aktif. Yang lain hanyalah seorang Kristen "ktp" yang belakangan ini tidak pernah ke gereja lagi.Pada suatu hari Minggu, bapak yang Kristen "ktp" mengundang bapak presbiter untuk main golf. Bapak presbiter menolak secara halus, "Ini hari Minggu. Anda 'kan tahu kalau saya seorang presbiter. Saya melayani di ibadah gereja saya pagi ini."Hari Minggu berikutnya bapak Kristen "ktp" mengundang lagi bapak presbiter untuk main golf. Juga tetap ditolak secara halus oleh bapak presbiter.Minggu berikutnya bapak Kristen "ktp" mengundang lagi bapak presbiter untuk main golf. Mungkin karena sedikit kesal, si bapak presbiter menjawab, "Saya mohon Anda dengan sangat agar jangan undang-undang saya lagi main golf. Saya terlalu sibuk setiap hari Minggu."Bapak Kristen "ktp" menjawab, "Baiklah. Saya hanya ingin mengatakan kepada Anda bahwa sudah TIGA KALI saya mengundang Anda untuk main golf. Tetapi Anda, TIDAK SEKALI PUN Anda mengundang saya ke gereja Anda. Good bye."[Sumber bacaan: sudah lupa] Semoga bermanfaat dan membangun dengan "ketulusan dan kejujuran".Gbu, NR

Surat Terbuka Ioanes Rakhmat

COMMENTS:
Ketika saya studi pasca-sarjana di Southern Methodist University (1977- 1980), Dallas, Texas, saya sempat mengambil mata kuliah "Systematic Theology" yang diampuh oleh Prof. Dr. Schubert Ogden (salah satu "pentolan" Process Theology). Saya agak kaget ketika mengetahui bahwa beliau bukanlah "pendeta". Pada suatu kesempatan, ketika habis kuliah, saya membuntuti beliau, untuk sekedar 'ngobrol, untuk akhirnya bertanya: "You're not an ordained minister, are you?" Beliau langsung menjawab (dalam gaya bahasa Inggris Texas): "Nope, mister! I am a theologian proper."Dengan rasa empati yang tulus (maklumlah, hampir 10 tahun pernah menjadi dosen di STT INTIM, Makassar) terhadap rekan tercinta Pdt. Dr. Ioanes Rachmat dalam kasusnya sekarang ini, saya kini lebih memahami pernyataan Prof. Ogden di atas. Prof. Ogden memilih menjadi ilmuwan murni. Dan beliau memilih untuk TIDAK menjadi "pendeta" gerejanya (United Methodist Church in USA), karena memang tidak mau "repot" dengan para pejabat gerejawi sehubungan dengan ajaran/tradisi gerejanya ("take it or leave it, guys!)Memang menjadi persoalan ialah apakah dosen tetap STT/Fak. Teologia kita di Indonesia bisa "non-pendeta", jadi bukan utusan gereja?Best wishes, Gbu all. NR

COMMENTS:
The theologian is a strange creature. He is obliged to talk about God who is unconditionally present to all men [and women] in all times and all places, but he[/she] is him[/her]self only a man [/woman] who is limited in his[/her] capacities and who is conditioned in his[/her] views by his[/her] own tradition and culture. . . . He[/she] will therefore combine his[/her] certainty in God with humility in his[/her] humanity, and thus esteem the truth that is greater than him[/her]self and his[/her] best theology . . . Theology is a gratifying as well as a very humbling science. Only those who are honest about their human frailty can speak for it. This virtue, too, belongs to the formation of the theologian [kutipan dari J. Moltmann, THE EXPERIMENT OF HOPE (Philadelphia, Penn.: Fortress, 1975), p. 2 and 13]. With best wishes, Gbu all. NR

Surat Terbuka Ioanes Rakhmat tgl 20 Agustus 2007
Dear friends, Surat di bawah ini adalah surat pribadi saya yang sudah diterima BPMSW GKI Jabar pada 20 Agustus 2007; dan melalui kantor sinode GKI JB sudah 2 hari yang lalu (agak telat!!) dikirim ke jemaat-jemaat GKI.
Salam Ioanes
---------------------------------------
Kepada yth. Warga GKI dan komunitas Kristen pada umumnya
Dengan hormat, Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, tulisan saya di lembaran Bentara Kompas 5 April 2007, yang berjudul Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus, telah menimbulkan banyak reaksi dari kalangan warga gereja. Setelah melewati beberapa percakapan dengan BPMSW GKI Jawa Barat, saya tiba pada kesadaran bahwa adalah tanggungjawab saya untuk mencoba meredakan dan mengatasi pelbagai reaksi itu melalui pengakuan dan pernyataan berikut.
Pertama, saya akui bahwa saya telah bertindak tidak bijaksana ketika mengaitkan paparan temuan makam keluarga Yesus langsung dengan pemahaman iman gereja mengenai kebangkitan Yesus. Atas kejadian ini, saya meminta maaf;
Kedua, saya akui bahwa tulisan saya itu menunjukkan ketidakpekaan saya terhadap penghayatan iman kebanyakan warga gereja yang memahami kebangkitan Yesus sebagai kebangkitan ragawi. Atas kejadian ini, saya meminta maaf;
Ketiga, berdasarkan dua hal di atas, dengan ini saya menyatakan menarik kembali bagian Penutup dari tulisan saya di lembaran Bentara Kompas tersebut di atas; dan bersedia untuk menulis sebuah artikel ilmiah populer yang berisi pertimbangan- pertimbangan kritis saya terhadap penelitian temuan makam keluarga Yesus;
Keempat, saya ingin menegaskan kembali, makam keluarga Yesus di Talpiot sebagai makam keluarga Yesus dari Nazareth adalah sebuah hipotesis;
Kelima, sesuai dengan berita Perjanjian Baru, saya percaya kebangkitan Yesus itu mencakup kebangkitan ragawi natural sekaligus non-ragawi supernatural, berlangsung sebagai kejadian historis sekaligus kejadian trans-historis, dan karena itu merupakan sebuah misteri iman. Demikian pengakuan dan pernyataan saya.
Jakarta, 20 Agustus 2007
ttd
Pdt. Ioanes Rakhmat

Setani

Dear Bung Jehoshua: Thanks. Saya dukung pandangan Bung. Oleh karena itu, kacamata POSMO yang dipakai Pak Gerrit dalam menafsirkan Kej. 1:1-3: "Ex Nihilo Nihil Fit" (sekaligus meralat kekeliruan tulis ayat dalam posting saya, seperti yang tertera dibawah), with due respect and appreciation to Pak Gerrit, memungkinkan kita untuk "reading the Bible with new eyes". Soal setuju atau tidak setuju dengan kacamata POSMO, itu kembali ke pribadi masing-masing. Kemungkinan lain ialah "cross/inter- cultural approach/studies". Menurut hemat saya, munculnya pendekatan ini pun adalah akibat (langsung atau tidak langsung) dari fenomena POSMO itu. Begitu kira-kira, Pak Pdt. Dr. Rapar? 'Kan menurut POSMO, tak ada lagi kebenaran universal, bukan? Begitu dulu, Bung. Gbu. Warm regards, NR
===========================
--- Jehoshua Lawalata <protonexxus@yahoo.com wrote:
Apakah mungkin masalah setan menyetani ini muncul karena demografi kepercayaan semitik lebih besar dari kepercayaan lainnya dan sebagian besar pemeluk kepercayaan semitik itu Kristen ya Oom Naza, sehingga alamiah muncul gerakan "satanism" yang menjadi "lawan" dari Kristen. GBU -JL-
====================================
nazarius rumpak <ranteballa@yahoo.com wrote:
Dear Bung Agustinus: Terima kasih untuk posting c.c.-nya. Sebenarnya saya anggap isyu setan/iblis ini sudah ber-LALU untuk ramai-ramai didiskusikan di milis kita ini. Tapi Bung munculkan lagi! You are really an issue-maker, man. My appreciation anyhow. Dalam salah satu tulisan Bung Gerrit beberapa waktu yang lalu, dalam hubungannya dengan "Lucifer", disinyalisasi bahwa cara berpikir mitis (mythical) telah berlalu, for good or bad ( I think!). Hence, "de- mythologization project" itu, yang Bung sudah "kulino", bukan? Masih sinyalisasi Bung Gerrit, dan saya setuju, sejalan dengan itu (atau sebagai konsekwensinya) terjadilah "de-setanisasi". So let by gone be by gone, man. Kalau pun Bung masih mau meng-isyukannya lagi, termasuk "satanism" yang Bung ungkit dalam message di bawah, maka satu-satunya channel yang "feasible" (supaya "scientific") ialah VIA fenomena POST MODERNISM ("POSMO"). Saya ingat Bung sudah pernah mengangkat gejala "POSMO" ini dalam salah satu posting beberapa waktu yang lalu. Saya tunggu-tunggu kawan-kawan untuk memberi "comments", tapi sepi. Apa tidak tertarik, atau belum/tidak tahu, entahlah. (Pak Pdt. Dr. Rapar, mohon kiranya memberi kami pencerahan tentang gejala "POSMO" itu. Please, mohon jangan kirim daftar websites!).
------------------- FYI! Orasi Pak Gerrit dalam rangka pengukuhan beliau menjadi guru besar teologi di UKDW berjudul: "'Ex Nihilo Nihil Fit': Sebuah Tafsiran Kitab Kejadian 1:1:1-3". Semoga saya tidak terlalu meleset (maaf, "Karaeng" Prof. Singgih), namun saya ingin beranggpan bahwa penafsiran Pak Gerrit di atas rasanya memanfaatkan "kacamata" POSMO tadi.
------------------- Masih ingat ilustrasi yang saya tulis dalam ulasan pendek saya,
Re: Setan/Iblis, yang saya posting tidak lama sesudah "serangan" di retreat itu dilaporkan di milis ini? Saya mau menulisnya lagi. Anda baru saja memakai seterika listrik. Aliran listrik telah Anda cabut. Tetapi jangan coba-coba memegang seterika itu. Masih panas sekali, bukan? Melalui pembangkitan Yesus dan kenaikanNya ke sorga, kuasa Iblis telah dicabutNya. Sama dengan seterika listrik tadi, jangan coba-coba memegang atau mengelus-elus setan/ iblis itu lagi. Kalau juga mau coba, ya, tanggung sendiri akibatnya. Saya tamatan SMA Katolik di Makassar (1957). Salah satu pelajaran agama yang tak pernah saya lupakan dari salah seorang pastor/guru saya waktu itu ialah kisah seorang pemuda yang ingin mengetahui/mengenal siapakah setan/ iblis itu. Ia berkeliling dunia mencarinya bertahun-tahun lamanya. Mencapai usia senja, ia memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya, tanpa menemukan dan/atau ditemui oleh setan/ iblis itu. Sesampainya di tempat asalnya, ia berenung secara mendalam. Akhirnya ia menyadari bahwa SETAN/IBLIS itu sesungguhnya BERADA DI DALAM DIRINYA SENDIRI. Itu jugalah alasan saya, mengapa saya memilih berdiam diri saja, ketika kawan-kawan ramai- ramai berdiskusi tentang setan/iblis di milis kita baru-baru ini. Ok, Bung, semoga bermanfaat dan membangun dengan "ketulusan dan kejujuran." Gbu, NR
============================
--- "A.M.T. Harrisakti" <nonkonformis@yahoo.com wrote:
Dear all, beberapa pekan ini kita banyak bicara setan, iblis, licifer-lah, apa-lah namanya. Percakapan bertema setan ini berawal dari "serangan" di retret. Ada yang bilang percaya, ada yang tidak, ada yang bilang setan itu tak ada, dll. Namun sebagai aliran kepercayaan, satanisme itu ada, dan legal di Amerika Serikat. Gereja Setan (the Church of Satan) dengan Satanic Bible-nya didirikan oleh Anton Szandor LaVey pada Juni 1966 (06/66). Mereka melakukan ritual yang dipercayai dapat berhubungan dengan ilah mereka, the Prince of Darkness, raja iblis. Lepas dari apakah kita percaya setan itu ada atau tidak, sekali lagi, Satanisme itu ada. Marilah kita mengkaji aliran ini -seperti Dr. Aritonang, melakukan pendekatan fenomenologis-historis terhadap gerakan/aliran ini. Kalau kita buka website-nya, misalnya www.satanspace.com, yang memuat gembar-gambar dan jargon-jargon berbau satanis, kita dapat menyimpulkan mereka anti-religion. Ada gambar salib dicoret seperti rambu dilarang parkir. Ada gambar salib dibuang di tempat sampah. Ada salib Yesus, dengan yesus disalibkan tebalik dan salib itu dijatuhkan dari dinding, kepala Yesusnya kejedot. dlsb. Kalau saya hendak menyimpulkan sementara, gerakan satanisme ini -terlepas benar/tidaknya setan itu, punya dendam kesumat terhadap agama, terutama kekristenan. Saya belum tahu banyak. Bagi rekan-rekan milister yang punya pengetahuan soal sejarah satanisme ini, harap tidak sungkan membagikannya pada kita semua. TUHAN memberkati!
A.M.T. HARRISAKTI
Minds are like parachutes. They only work when open.